Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Misteri - Sebuah Foto Di Desa Lokana | Gede Agus Andika Sani

Sebuah foto di desa lokana

Desa itu terlihat begitu asing. Biasa tetapi tidak biasa. Tidak hanya bagi Ruhi, mungkin juga bagi pengembara lain yang melintasi desa itu.

Mungkin desa ini seperti desa-desa lain yang ia kunjungi. Yang spesial baginya mungkin hanya desa inilah yang menjadi tambatan terakhir hidupnya. Rambutnya telah tersemir putih rapi, dan bahkan mulai rontok. Kulitnya sudah tidak sekencang dulu. Iapun telah mengembara seorang diri. Teman-temannya lebih memilih tinggal di hutan beton berdiskotik.

Beberapa hari lalu ia bertemu salah seorang teman dari hutan diskotik itu. Sesuatu telah terjadi padanya. Ekor dan bulu-bulu panjang terlihat menghiasi tubuh karibnya itu. Anehnya, ia di anggap gila karena hanya dialah yang dapat melihat kejanggalan tersebut. Tetapi ia tidak pernah ambil pikir tentang hal ini karena temannya itulah yang memberitahukan keberadaan desa Lokana ini.

Sepanjang perjalanan di desa ini, Ruhi mendapati keramah-tamahan penduduknya. Di salah satu sisi ia melihat daerah yang sangat kental budaya dan tradisinya sehingga daerah itu sangat terkenal. Di sisi lain, ia mendapati anak-anak kelaparan di tengah jalan. Padahal, tepat di samping rumah anak itu terdapat sebuah lumbung padi besar yang isinya di jual kepada pemangku desa lain. Keterkejutan Ruhi bertambah ketika ia melihat kepingan emas yang tergeletak di jalan. Tidak ada seorangpun yang mengambil emas tersebut. Entah karena tidak mau atau bahkan tidak melihat.

Juga, ia tidak menemukan satupun foto di desa tersebut. Punhalnya di rumah kepala desa. Tidak ada foto apapun termasuk foto presiden dan wakilnya. Sungguh hal yang sangat aneh.

Di rumah barunya, ia merebah sejenak lalu mendekor rumah tersebut. Ia dari dulu senang mendekor rumah walau nantinya rumah itu akan ditinggalkannya dan menjadi milik orang lain. Ia hanya berkata “Setidaknya aku mendapat pahala dan bisa bergembira”.

Foto sang istri tercinta yang telah berpulang, selalu menghiasi kamar tidurnya. Istrinya begitu setia. Ruhi begitu mencintai istrinya. Ketika malam, ia pasti akan bercerita pengalamannya hari itu kepada foto istrinya. Serta, menunggu jawaban yang tidak kunjung datang dari seberang.

Seorang tamu telah berkunjung di pagi pertamanya di desa yang baru ditempati, sungguh pengalaman yang sangat asing. Ternyata orang itu adalah pemangku desa, Pak Lutfi. Entah dari mana Pak Lutfi tahu bahwa Ruhi telah memasang sebuah foto di kamar tidurnya, yang jelas wajah pak lutfi saat itu terlihat marah. “Nak, tolong lepas foto itu, saya takut terjadi apa-apa” kata Pak Lutfi langsung ke pokok permasalahan.

“Sebelum kamu bertanya mengapa, saya akan beritahu alasannya. Lagi pula di sinilah kamu akan menghabiskan makanan terakhirmu.” Lanjut Pak Lutfi. Ruhi masih terbelenggu di tengah keterkejutan, ketidakpercayaan dan mendongak. Tetapi ia tetap mendengar cerita pak Lutfi.

Pak Lutfi berkata bahwa dulu ada sebuah kejadian yang menyebabkan tidak ada satupun foto di desa ini. Hal itu diawali oleh kekejaman seorang pemimpin. Pemimpin tersebut memakai jubah berbahan kulit rakyatnya yang masih muda. Ia merupakan aktor utama dari sandiwara politik korupsi di desa tersebut. Pagi dibuatnya jadi siang, di mana mentari terus terik memanggang kulit rayat. Malam dibuatnya menjadi sore, di mana orang masih bekerja. Satu hari 36 jam pada saat itu.

Sudah sekian banyak yang meninggal. Nyawa terhitung bagai kumparan debu. Rakyat tidak tinggal diam. Berbagai tokoh dengan perlawanan mereka masing-masing muncul ke permukaan. Tetapi tidak ada yang benar-benar bertahan, bahkan untuk menyentuh pertahanan pertama sang pemimpin. Desa bagai kota mati.

Puncaknya, semua rakyat demonstrasi menentang. Hasilnya, hanya pecahan rakyat yang kembali untuk menghadapi fajar keesokan harinya. Suasana mencekam diiringi oleh tawa burung gagak dan jangkrik. Juga, suara panjatan doa penduduk tersisa kepada leluhur mereka. Lapar tak di rasa, mereka terus berpuisi kepada moyang mereka, yang bahkan tidak mereka tahu namanya. Hari berlalu membuat jenazah-jenazah di piggir jalan mengeluarkan bau yang menyengat syaraf. Semua orang masih bertahan, hebat sekali. Sampai akhirnya sesuatu terjadi tepat di bulan purnama.

Ruhi tersentak kaget. Cerita pak Lutfi begitu nyata, terjadi di depan matanya. Ia tersadar ketika beliau menenggak teh sejenak, lalu melanjutkan ceita. Sebuah mukjizat terjadi. Foto-foto di setiap rumah mengalami keanehan. Foto nenek yang awalnya duduk tenang di sebuah kursi goyang, kini telah berubah menjadi nenek yang membawa tongkat dengan wajah berang. Ya, wajah yang hampir semua foto tampilkan di kota itu. Semua orang yang berdoa telah kembali ke rumahnya. Mereka hanya terhenyak kaget, membisu dalam pertanyaaan.

Foto itu beraktifitas. Mereka semua melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Mereka bak hidup di dimensi sendiri di tempat yang tak terketahui, entah di mana. Kecemasan rakyat serentak hilang ketika foto itu mendadak kosong. Kemanakah orang di dalamnya? Mereka keluar dari dalam foto tersebut. Muncul ke dunia ini. Beberapa orang meneteskan air haru melihat sanak saudara yang sedari dulu berpisah alam dengan mereka. Beberapa orang memasang muka berang.

Setelah kejadian tersebut, para pendahulu tidak pernah menceritakan kepadaku cerita selanjutnya. Mereka hanya berkata bahwa itu seratus kali lebih menyeramkan dari penderitaan pada saat pemimpin kejam di desa Lokana. Momen itu saja telah membunuh setengah dari sisa orang yang masih hidup. Sungguh menakutkan. Hal ini dikarenakan sebuah konsekuensi dari “kebangkitan itu”.

“Apakah itu pak?” tanya Ruhi dengan mata terpusat kepada wajah Pak Lutfi. “Percuma kau bertanya padaku, para leluhur tidak menceritakannya. Yang jelas itu akan membawamu terbang ke alam lain. Maka dari itu, ketika desa ini dipimpin bukan oleh manusia, melainkan makhluk lain, dan desa hancur. Saat itulah semua foto akan mengalami keanehan. Mereka terlihat hidup, seperti yang kujelaskan tadi. Sebelum mereka sempat bangkit, ke dunia ini, penduduk akan segera bertindak. Mereka akan memasang pandan berduri dan bawang merah di sekitar foto itu. Alhasil, mereka tidak bangkit.”

“Lalu, Mengapa bapak tidak mengijinkan saya memajang foto almarhumah? Kejadian itu telah berlalu.” Tentang Ruhi. Pak Lutfi tersenyum “Saat ini, desa kita bukan dipimpin oleh seorang manusia. Bisa kau lihat penderitaan rakyat, bukan? Lebih dari itu, dua hari lalu, semua foto bergerak dan rakyat membuang foto-foto mereka. Jadi, tolong bantu kami. Mengertilah.” Pak Lutfi hanya berlalu dari rumah Ruhi.

Ruhi terbengong-bengong. Nafasnya panjang dan berat. Matanya melotot memberikan tatapan kosang di suatu ruang. Pikiranya bermozaik merangkai ingatan. Tenaganya terkuras hebat tapi ia berusaha berjalan, walau dengan gontai. Pintu depan terlewati, ia menutupnya dengan lesu. Seketika itu juga, ekspresinya berubah. Ia tersenyum sinis “Huh, hanya omong kosong belaka. Bapak itu berbakat jadi advokat.” Kata ruhi sembari menghilang ke sebuah ruangan diiringi tawa.

Seperti biasa, ia sedang bercerita kepada istrinya. Tentang semua yang dinasehati oleh pak Lutfi. Air mata bergelinang. Ia mengingat semua kenangan, seperti biasa. Mulutnya komat-kamit tanpa sadar. Menginginkan sosok dalam foto adalah mustahil, tetapi untuk melupakannya lebih dari sekedar mustahil. Seketika itu juga, air mata menetes, dari foto itu. Ruhi terhenyak. Masih dalam duduknya, ia melihat foto itu menangis! Perlahan sosok itu mulai membesar. Bergerak dan keluar. Ia keluar dari foto! 30 tahun menunggu jawaban tiap malam, kini ia diberikan kesempatan emas. Kesempatan yang tidak didapatkan oleh orang lain yang memiliki nasib sama sepertinya.

Gejolak batin dan raga dirasakannya. Secepat kilat ia larikan tubuhnya, tetapi sesuatu menahannya. Ia membatu. Sejenak ia teringat akan konsekuensi dari kebangkitan yang diceritakan oleh pak lutfi. Semua cerita itu menghantui pikirannya saat ini. Sang istri tetap diam, membelakangi dirinya. Membisu. Ia semakin kalut. Keringat dingin sudah memandikan tubunya. Perasaan berkecamuk mengganggu peredaran darah dan nafas. Ia merasakan sebuah penderitaan yang begitu berat. Rasa penasarannya akan konsekuensi itu merambat jiwa, dalam ketegangan itu. Sesaat lagi ia akan temukan jawabannya. Tetapi tangan kirinya bergerak sendiri, hendak meraih kepalanya. Bukan, bukan kepala. Melainkan sesuatu di bawahnya!!.

Cerpen yang berjudul "Sebuah Foto Di Desa Lokana" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Gede Agus Andika Sani. Kamu dapat mengikuti penulis melalui facebook berikut: babibubebong.blogspot.com

1 komentar untuk "Cerpen Misteri - Sebuah Foto Di Desa Lokana | Gede Agus Andika Sani"

  1. Kak izin make cerpennya ya untuk tugas bahasa Indonesia,terimakasih banyak kak🙏❤️

    BalasHapus