Cerpen Cinta - Mawar | Selmi Fiqhi
Suatu Cerita - Mawar. Begitulah panggilannya. Orang bilang, Mawar adalah bunga yang indah dan harum. Banyak orang mengagumi Mawar. Mereka, sangat menyukai dan mencintainya. Namun, aku berbeda dengan mereka. Aku sama sekali tak pernah lagi tertarik pada Mawar. Sebelumnya, aku sangat menyukai Mawar. Bahkan aku rela menjaganya agar Mawar itu tak pernah rapuh. Namun, setelah ku ketahui apa yang ada di balik Mawar, aku menjadi membencinya. Aku sangat membenci Mawar. Semuanya berawal dari sebuah kisah. Kisah di mana aku jadi membenci Mawar.
Cerpen Mawar
“Nas, kamu maukan jadi pacar aku?” Ucap
pemuda itu penuh harap sambil menyondorkan sebuah Mawar padaku. Tingkahnya sama
percis seperti seorang pangeran yang hendak melamar Cinderellanya. Dia rela
menatapku lama dengan tatapan berbinar-binar. Beribu-ribu jawaban berkeliaran
dan berhamburan di otakku. Banyak sekali sesuatu yang ingin aku ucapkan. Aku
bingung. Kalimat mana yang akan ku ucapkan.
“Tapi, bukankah kau berpacaran dengan
Meira?” Ucapku penuh tanya padanya. Diapun berdiri dari jongkoknya. Dia
memandangku sama dengan tatapan sebelumnya. Tatapan berbinar-binar.
“Nasya, sudah beberapa kali aku bilang.
Aku sudah putus dengannya.” Lanjutnya lagi sambil memegang tangan kananku.
Diapun menyelipkan sekuntum mawar merah di sela-sela jariku. Akupun menatapnya
nanar. Dia hanya mengangguk pelan. Seketika dia melepaskan genggamannya, akupun
memeluk mawar itu di atas dadaku. Sesaat, dia langsung memandangku penuh
pertanyaan. Sementara aku, aku hanya meniru tindakannya tadi. Mengangguk pelan.
Seketika, dia langsung memelukku saat itu juga. Aku langsung membalas
pelukannya bersamaan tangan kananku menggenggam mawar.
“Aku mencintaimu, Nasya,” Bisiknya di
telingaku.
Hujan hari ini masih mengguyur sekitar
kota. Titik air semakin lama semakin bertambah saja. Aku hanya duduk kecil
menghadap jendela kamar. Melihat jalan di depanku yang cukup padat dan sorot
lampu tiap kendaraan yang menerangi gemerlapnya malam seiring hujan bernyanyi.
Aku masih terduduk memandangi
orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar jalanan. Dengan sebuah mawar yang
menemaniku menatap cuaca malam ini, semakin betah saja. Walau perasaan ngantuk
mulai menyeruak sela-sela kelopak mataku. Tapi, aku masih terdiam di sini
bersama Mawar pemberian Wendi kemarin. Aku masih dapat merekam jelas tiap-tiap
detik berharganya Wendi menyatakan cintanya padaku. Baru kali ini, aku di
tembak seseorang secara langsung. Tanpa via SMS ataupun menelepon. Atau lewat
surat dan surel.
Wendi memang pria yang percaya diri. Badannya tinggi mungkin setinggi pintu. Dia juga memiliki wajah yang bisa di bilang lumayan. Cukup banyak gadis yang menginginkannya. Tapi aku belum terlalu tahu, apakah dia pria baik-baik atau bukan. Meskipun begitu, aku tetap percaya padanya.
Tetes-tetes air yang terjatuh dari tadi
kini mulai kehabisan peserta. Sekarang, hujan tak terlalu mengguyur lalu lintas
Jakarta ini. Walau kemarin-kemarin daerah ini di landa banjir, namun, hujan
saat ini tak memberikan dampak buruk sama sekali pada keadaan di kota ini.
Seketika aku betah memandang hujan dan lalu lintas yang saling bergantian,
tiba-tiba aku tercengang melihat seorang pria bersama gadis naik motor bersama.
Aku dapat tahu jelas siapa mereka. Ya, Wendi dan Desi. Tunggu, mengapa Wendi
mebonceng Desi dengan sepeda motornya? Ada apa ini?
Kuputuskan untuk mencoba menghubunginya.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif
cob..”
“Tet.” Akupun mengakhiri panggian
tersebut. Nomor Wendi tak aktif. Apa benar dia sedang bersama Desi. Apakah dia
playboy? Arghh, mulai lagi ribuan pertanyaan itu merasuk benakku. Apa benar
semua ini.
Kini aku hanya terdiam menatap lagit
gelap tanpa gemerlap bintang. Gurauan angin malam membelai lembut tirai kamarku
yang kebetulan ku bukakan jendelanya. Seketika itu, ponselku berdering. Akupun
meraih benda kecil itu. Terlihat Wendi menghubungiku. Tadi, dia tak aktif.
Sekarang dia menghubungiku. Akupun membiarkan ponselku itu berdering. Sekejap
saat ku palingkan wajahku menuju jalanan luar lagi, ku lihat Wendi berjalan
menuju gerbang rumahku. Dia memakai payung hitam dengan ponselnya tertempel di
telinganya. Dia menatap ke atas. Tepatnya ke arahku. Diapun mematikan
panggilannya dan memasukan ponselnya ke dalam saku jaketnya. Akupun turun dan
mengambil payung bermaksud menghampirinya.
“Mengapa kau tak mengangkat teleponku?”
Tanyanya dari luar gerbang. Aku masih berdiri di iringi rintik hujan yang masih
berjatuhan di malam ini.
“Aku, aku tak mendengar deringannya.”
Ucapku berbohong padanya sambil masih mematung di depan pintu gerbang. Karena
aku tahu, pintu gerbangku sudah di kunci dan kuncinya terdapat di Pak Dede. Aku
bisa dimarahi jika meminjam kuncinya.
“Aku hanya ingin memberikanmu ini. Mawar
kemarin mungkin sudah rusak. Kau bisa menggantinya dengan ini.” Ujarnya seraya
tersenyum dan menyondorkan mawar itu padaku lewat sela-sela gerbang. Akupun
dengan sedikit ragu menerimanya.
“Thanks ya, kamu rela ujan-ujanan cuma
buat ngasih mawar ini. Padahal mawar yang kemarin masih ku simpan. Masih
sedikit utuh. Kamu bisa lihat, di pinggir jendela.” Ucapku manis seraya
membalas senyumannya.
“Hahah, jaga yang baik ya sayang
mawarnya. Itu tanda cinta kita.”
“Haha, iya aku jaga. Maaf ya, kamu diem
di luar gini. Gak aku izinin masuk. Gerbangnya udah di kunci sama Pak Dede,
nanti aku kena marah. Kamu sih, datang ke sini malam-malam.” Ujarku padanya.
Dia hanya tersenyum tipis padaku.
“Iya gak papa. Ya udah, kamu tidur dulu
aja. Sekarang udah malem. Besok mau sekolah kan? Aku pulang dulu ya sayang.
Byee muahh.” Ucapnya seraya melambaikan tangan dan berlalu dari hadapanku.
Akupun terus memandangnya sambil memegang mawar hingga aku tak dapat lagi
melihat bayangannya. Setelah itu, barulah aku masuk kamar ku lagi. Akupun masih
belum tidur dan terus memandangi mawar itu. Di depan jendela. Ternyata Wendi
adalah pria yang sangat perhatian sekali.
“Tuutt.. tutt..” Tiba-tiba sebuah pesan
singkat masuk ke ponselku.
“From: Wendi
Tidur dulu sayang. Mawarnya simpen dulu.
Nanti besok kalo kamu kesiangan gimana? Tidur ya, cepet:* .” Begitulah isinya.
Akupun segera membalasnya dengan perasaan riang.
“To: Wendi
Ya udah deh sayang. Aku simpen mawarnya
ya. Mau tidur dulu. Eh kamu juga jangan lupa tidur sayang udah malem.”
Setelah ku balas pesan tersebut, akupun
menutup jendela kamarku. Ketika hendak ku rebahkan tubuh di ranjang, ku lihat
balasan terakhir Wendi malam ini.
“From: Wendi
Iya ini mau sayang. Have a nice dream
babe.”
Hari ini aku pulang sendirian. Tadi di
sekolah aku memang terus berduaan bersama Wendi ketika istirahat. Berhubung,
kelas kami memang letaknya jauh karena berbeda kelas. Dan aku tak pulang
bersamanya karena dia sedang ekskul. Basket tepatnya.
Aku melangkahkan kakiku pelan ke setiap
tanah yang ku injak. Memang jarang aku berjalan seperti ini. Biasanya pulang
berangkat selalu di antar jemput oleh Pak Dede. Tapi sekarang, aku sudah bilang
padanya agar tak perlu menjemputku.
Suasana siang ini cukup bersahabat
denganku. Tak terlalu memanas. Dapat ku lihat kicauan burung dan irama angin
bergantian satu per satu. Seiringan dengan langkahku menambah suasana semakin
tenang. Kebetulan sekarang aku melewati taman kota. Di sini memang cukup ramai.
Walau rumahku tak terlalu jauh dari taman ini, tapi aku jarang berkunjung.
Paling aku hanya menatapnya dan melewatinya. Sebatas itu saja. Sekarang
sepertinya aku ingin sekali melemparkan bokongku ke salah satu bangku taman
ini. Apalagi sambil melihat-lihat mawar. Hmm..
Akupun berniat untuk duduk di salah satu
bangku di sana. Mulai ku pandang sekeliling tempat ini. Penuh dengan tanaman.
Akupun beranjak mendekati sebuah tanaman mawar di sana. Dapat jelas ku cium
aroma harum mawar. Akupun mendekatinya dan mencium bunga tersebut.
“Harum.” Desahku sambil tersenyum.
“Tentu saja harum. Sebagaimana aku.
Hahah.” Sebuah suara yang tak asing tiba-tiba merasuk kupingku. Akupun sedikit
membalikkan badan bermaksud menengok siapa yang berucap itu.
“Wendi?” Tanyaku heran plus bingung
melihat wajah kekasihku ada di depanku.
“Hahah, panik banget si sayang. Iya ini
aku Wendi.” Jawabnya sambil menunjuk wajahnya sendiri. Akupun tersenyum simpul
padanya. Terlihat tangannya menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
“Kau menyembunyikan apa?” Tanyaku sambil
sedikit melongo ke arah tangannya. Dia hanya sedikit melirik ke arah belakang.
“Tak ada apa-apa.” Ujarnya berbohong.
Akupun menengok ke arah belakang Wendi. Namun dia menggeserkan posisinya.
“Sudahlah aku tahu apa yang kau bawa.
Mawarkan?” Tanyaku dengan mata memandangnya. Diapun tertawa.
“Haha, pacarku ini pandai sekali. Nih.”
Diapun memberikan mawar itu padaku. Aku menerimanya lalu mengusap ujung-ujung
kelopak bunganya. Diapun mengacak-acak rambutku.
“Ih, kamu!”
Hujan sore tadi masih menyisakan bekas
genangan air di pinggir jalanan. Angin dingin masih menyeruak berlarian di
tengah suasana yang kurang mendukung ini. Aku masih terduduk lesu di depan
jendela kamarku. Terlihat 9 buah mawar berjejeran di samping kanan dan kiriku.
Tepatnya 4 di samping kanan dan 4 lagi di samping kiri. Sedangkan mawar yang
satunya lagi ada di depanku. Mawar ini adalah mawar terbaru yang Wendi beri
padaku. Sisanya ada yang tinggal batang saja, ada yang sudah rapuh dan ada yang
hampir rapuh.
Semua mawar itu adalah mawar dari Wendi.
Tapi akhir-akhir ini, Wendi jarang menampakkan bayangannya di hadapanku. Dia
juga sudah tak memberiku mawar lagi. Entah kemana dia? Aku hubungipun dia tak
aktif. Ku coba datang ke rumahnya selalu tak ada. Jika aku datang ke kelasnya
dia selalu menyuruhku untuk kembali menuju kelasku. Entah kenapa Wendi jadi
begini. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Apakah dia punya
simpanan lain? Atau dia menjauhiku karena dia sakit seperti di film dan
drama-drama? Hmm.. Kembali lagi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab itu
menyeruak ke dalam pikiranku. Jika aku memikirkan Wendi, selalu ku coba untuk
tetap memikirkan yang positif saja tentangnya. Bagaimana lagi? Aku sudah
terlalu mencintai Wendi.
Mulai ku raih mawar terakhir yang Wendi
beri padaku. Aku memegang batangnya. Akupun menggenggamnya keras dan..
“Aww.” Jariku terkena duri mawar itu.
Langsung ku lihat jari telunjuk kananku. Berdarah. Segera akupun menuju
wastafel untuk mencuci lukaku. Rasanya sedikit pedih. Langsung ku turun untuk
membawa obat lukaku ini. Lalu ku perbani. Ini sedikit sakit.
Akupun kembali lagi menuju kamarku.
Menatap langit mendung malam ini. Walau hanya sorot lampu tiap rumah yang
mewarnai cerahnya malam ini. Sekarang, tak terlalu banyak kendaraan yang
berlalu lalang. Mungkin karena jalanan licin dan sangat basah. Hujan memang
sudah sedikit reda, tapi hujan di hatiku belum juga kunjung tamat.
“Apakah Wendi akan seperti Mawar? Dia
akan tetap harum dan indah? Tapi dia rapuh karena memiliki suatu? Apakah itu
penyakit? Seperti dalam drama, seorang pacarnya rela menjauhi kekasihnya agar
dia tak tahu jika dia mempunyai suatu penyakit. Jika seandainya dia seperti
itu, aku akan tetap mencintainya.” Desahku sendiri sambil menatap sekitar
jalanan yang basah. Aku masih terdiam terpaku di depan jendela kamarku berharap
keajaiban terjadi. Berharap Wendi tiba-tiba datang dan memberiku mawar. Mimpi
aku.
Seketika, aku beranjak dari dudukku dan
menutup jendela. Aku bermaksud melemparkan tubuhku ke kasur. Aku sudah
mengantuk.
Mawar merah ini harum sekali. Seharum
dan seindah Wendi. Dia indah sekali bagiku. Walau aku masih terduduk dan
berharap Wendi datang lagi, tapi aku akan tetap percaya bahwa cerita ini akan
berending bahagia. Begitulah.
Memang sudah 2 minggu ini tak ada
komunikasi antara aku dan Wendi lagi. Bertemupun sudah tidak. Hubunganku
dengannya sudah rumit. Aku tak mengerti dengan sikap Wendi yang tiba-tiba cuek
seperti ini. Apakah dia benar-benar merahasiakan sesuatu di balik semua ini?
Jika i ya, apa?
Akupun menyimpan mawar merah itu di
bangku taman ini. Akhir-akhir ini aku merasa sedikit galau. Taman ini cukup
bisa mencairkan rasa galauku. Jadi, aku sering berkunjung ke sini.
Seketika aku menyimpan mawarku, akupun
beranjak bangun dan berjalan-jalan sekitar kota. Ku tinggalkan mawar itu di
bangku taman. Akupun meninggalkan bayanganku di sana. Daripada aku masih
terduduk di sana sambil menunggu sesuatu yang mungkin tak akan datang, lebih
baik aku berjalan-jalan.
Seketika aku sedang enak berjalan, dari
kejauhan aku melihat 2 sosok insan yang tak asing di mataku. Wendi dan Desi.
Aku melihatnya jalan berdua. Beberapa minggu lalu, aku melihatnya naik motor
bersama. Sekarang berjalan. Apa mereka ada hubungan selain berteman?
Akupun bermaksud menghampiri mereka yang
tengah bercanda tawa.
“Wendi!” Seruku padanya. Wendipun
sedikit melirik ke arahku.
“Nasya, mau apa kamu?” Tanyanya sedikit
ketus padaku. ‘Ketus’? Seperti itukah seoarang kekasih bertindak?
“Sayang mengapa kau berjalan dengannya?”
Tanyaku sedikit polos pada Wendi. Seketika itu, Desi langsung melirik ke
arahku.
“Kau bilang sayang pada siapa? Bukankah
kalian sudah putus?” Deg. Satu kalimat dari mulut Desi terucap begitu saja.
Seketika petir itu menyambar terlalu keras sehingga membuat rubuh hatiku. Saat
itu, perkataan Desi benar-benar membuat hancur hatiku ini.
“Maksudmu apa?”
“Sudahlah sayang. Dia hanya masih
mengharapkanku saja. Yuk jalan lagi. Biarkan saja dia!” Jleb. Sekarang
perkataan Wendi yang terlalu tajam. Dia terlalu menusukku dengan kata itu. Apa
maksudnya mengharapkan? Bukankah dia belum bilang putus sama sekali. Apakah
seperti ini Mawar bertindak?
Saat itu juga, hanya tinggal aku sendiri
terpaku di pinggir jalanan sana. Kakiku terasa kaku sekali untuk melangkah.
Bibirku kelu untuk berucap. Dan mataku lemah untuk menahan bendungan air mata
ini. Hatiku rasanya robek saat ini juga. Aku kira Wendi adalah pria baik. Tapi
ternyata dia sangat jauh dari dugaanku.
Sekarang, angin mulai menyeruak
menerbangkan rambut gemulaiku. Hati dan perasaanku lemah sekali saat itu. Dan
yang aku bisa hanyalah MEMATUNG.
Kemarin, aku baru saja mendengar cerita
dari Meira. Dia bilang, Wendi memang pria seperti itu. Dia melakukan hal yang
sama pada Meira seperti yang dia lakukan terhadapku. Sadis!
Aku sangat merasa bersalah pada Meira
karena menerima cinta Wendi saat itu. Aku sangat menyesal pernah bercinta
dengannya.
Dan kini, aku mengerti. Mengapa Wendi
melambangkan dirinya seperti mawar?
Karena, mawar itu harum dan indah
seperti dia. Namun, di balik semua itu, mawar memiliki duri yang bisa menyakiti
kita sendiri bila mendekatinya. Dan Wendi, semakin aku mendekatinya, semakin ku
tertusuk durinya.
Karena itulah aku BENCI Mawar.
Cerpen yang berjudul "Mawari merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Selmi Fiqhi. Kamu dapat mengikuti penulis melalui: Blog: http://selmifiqhi.blogspot.com Facebook: http://www.facebook.com/selmi.fiqhikhoiriah Twitter: @SelmiFiqhi
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Mawar | Selmi Fiqhi"