Cerpen Lucu - Di Terminal | Oan Wutun
Minggu lalu, di terminal, aku menunggu
truk mau pulang kampung.
Siang itu memang panas sekali. Tampak bukan hanya penjual asongan yang kepanasan. Barang-barang dagangan mereka pun tampak kepanasan. Mereka sama-sama berdesak-desakkan di bawah naungan pohon asam di pinggir terminal. Beberapa pedagang sempat terlibat adu mulut, setelah saling mengklaim hak atas naungan pohon asam. Pohon asam terdiam membisu.
Di gerbang terminal, ku lihat penjual es
tong-tong pulang dengan muka kusam. Perkaranya, es tong-tongnya terlanjur cair
sebelum laku terjual. Mau menjual es tong-tong cair, ia tak punya gelas.
Kasihan. Ia pulang dengan langkah seret sambil terus bersungut-sungut.
Di pojok ruang tunggu, di antara lalu
lalang manusia dengan bau keringat masing-masing, seorang kakek duduk menopang
dagu memandang potret artis dangdut ibukota, yang terpampang di halaman
belakang koran lokal hari itu. Dari jauh, ku lihat potret artis itu memang
seksi, tetapi tidak tersenyum. Bisa jadi kepanasan juga.
Seperti orang lain di terminal, loper
koran pun kepanasan. Kancing bajunya ia buka sebagian. Dikipas-kipaskannya
tubuh kurusnya dengan selembar koran yang belum laku. Tidak ia hiraukan ribuan
huruf yang terlepas dari lembar koran yang dikipas-kipaskannya itu. Huruf-huruf
yang kelihatannya juga kepanasan itu, berhamburan begitu saja di lantai terminal.
Tampak korannya yang lunglai dan kepanasan itu, telah menjadi bundelan kertas
A-16. Polos tanpa ada jejak berita di sana.
Teeetteeettttt… Brummmbrummmm…
Sebuah truk kayu tua baru tiba dari
kampung, sarat penumpang dan barang muatannya. Persis seorang lansia, truk tua
itu tampak terengah-egah merayap masuk ke dalam terminal. Terseok-seok, truk
tua itu berusaha menghindari beberapa bus dan mikrolet yang sedang berlabuh.
Meski tersendat, truk tua itu terus berusaha maju, sebelum akhirnya kehabisan
tenaga dan berhenti di tengah hiruk pikuk lautan manusia. Masalahnya truk itu
berhenti tepat di tempat parkir roda dua.
Seorang pria dewasa dengan perut buncit
seperti ibu hamil, turun dari pintu kanan depan. Tak salah lagi, dia adalah
sopir truk reot itu. Sambil menyalakan puntung rokok ia membanting pintu truk
tua itu dengan pantatnya. Ia juga kepanasan. Tampak selembar handuk kecil
terkulai lemas di lehernya; basah oleh keringatnya yang tentu asam dan asin.
Belum jauh ia meninggalkan truk tuanya,
terdengar nyaring bunyi peluit bersaing dengan hingar bingar bunyi kendaraan.
Seorang pria kurus dengan celana yang melorot meniup peliut ke arah sopir itu.
Tentu pria kurus itu adalah petugas terminal.
Peluit di mulut pria itu terus
melengking, menjerit-jerit memanggil sopir truk tua itu. Dahi petugas terminal
itu sampai berkerut-kerut. Pipinya sampai kembang-kempis tak beraturan meniup
peluit. Sialnya, tak sedikit pun sopir truk itu menghiraukannya.
“Woe!!!”, petugas terminal melepaskan
peluitnya dan meneriaki sopir buncit itu.
Si sopir masih tak peduli. Para
penumpang pun mulai berdesak-desakkan, ingin segera turun dari truk yang sumpek
itu. Babi, ayam, dan kambing pun menjerit-jerit ingin segera turun dari truk
tua itu.
Prriiiitttttttttpriiiiiiiiit!!! Peluit petugas
terminal melengking. Masih tak ada respon.
“Woe!!! Kerbau tuli!!!”, petugas
terminal itu sudah tak sabar. Marah.
Teriakan petugas terminal itu tampak
mengubah segalanya. Seketika terminal berubah hening. Tidak. Bukan hanya
menjadi hening. Semua kegiatan bahkan terhenti seketika.
Seorang nenek yang hendak turun dari
truk seketika itu menjadi kaku, tergantung di pintu truk. Buruh pikul yang
hendak menangkap kardus yang di buang oleh seorang pria lain dari atas truk
hanya berdiri kaku. Ia jadi kaku menatap kardus yang berhenti di udara. Di
pojok warung, duduk kaku dua sejoli yang sedang menikmati es campur. Senduk
yang hendak disuapkan sang pria kepada pacarnya berhenti di udara, tepat di
depan mulut kekasihnya yang sedang menganga. Ada lagi seorang bocah gundul
bertelanjang dada mengejar layang-layang yang putus. Ia pun jadi kaku seperti
patung. Tak hanya itu, langkah kaki si sopir truk itu pun terhenti seketika.
Singkat cerita, seperti film yang di-pause-kan. Hanya petugas terminal-lah yang
masih terus berjalan sambil memaki-maki.
Angin kering berhembus. Semua orang di
terminal, masing-masing dengan posisi tubuh yang kaku, perlahan-lahan
menolehkan kepala ke arah petugas terminal. Nenek di pintu truk, buruh pikul,
dua sejoli di pojok warung, si bocah gundul, dan semua orang di terminal
mengarahkan pandangan masing-masing ke arah petugas terminal. Petugas terminal
itu masih mengumpat-ngumpat. Ia semakin dekat dengan si sopir truk yang tengah
berdiri kaku.
Dengan posisi masing-masing, semuanya
tampak serius memperhatikan apa yang akan dilakukan petugas terminal itu.
Petugas terminal itu berdiri tepat di hadapan si sopir truk.
Ia mengayun-ayun pentungan. Dahinya
berkerut pertanda marah. Marah karena merasa martabatnya sebagai petugas
terminal tidak dihargai. Bibir bawahnya di gigit keras-keras, seolah ingin
mengatakan kalau sopir itu sedang dalam masalah yang tidak sepele. Di dadanya
masih tergantung pluit yang tampak kelelahan setelah dipaksanya berteriak
ekstra di siang bolong. Dengan mata yang terbakar marah, dipelototinya sopir
truk yang masih berdiri kaku itu.
“Kau kira saya tidak berani ‘feit’
(maksudnya: faight-berkelahi) dengan kau?!” bentak si petugas terminal. Si
sopir masih berdiri kaku.
“Kau tidak baca?!” petugas terminal
semakin panas. “Anda sopan, kami segan!!!”
Si sopir tampak mulai menggerakkan
badannya. Krakkk krakk. Direnggangkan otot leher dan lengannya. Keduanya beradu
pandang. Sopir truk itu memasukkan tangannya ke saku celana bagian belakang.
Petugas terminal mundur satu langkah. Pandangan keduanya tajam, saling
mengawasi. Situasi semakin genting. Semua yang menyaksikan peristiwa itu
semakin tegang.
Tanpa bicara apa-apa, sopir truk itu
segera mengeluarkan tangannya dari saku celananya. Entah apa yang digengamnya.
Secepat kilat, diayunkan tangannya ke arah petugas terminal. Tak salah lagi,
tepat di dada kiri petugas terminal. Petugas terminal tak sempat mengelak.
Wajahnya menjadi merah.
Siang semakin panas.
Beberapa saat, keduanya terdiam. Juga
semua yang di terminal semakin tegang, menahan nafas. Gugup, mengira-ngira, apa
yang terjadi.
Sopir truk itu kemudian tersenyum
menang. Ia berlangkah meninggalkan petugas terminal yang ganti berdiri kaku.
Aku dapat melihat keringat mengalir di kening petugas terminal itu.
Perlahan-lahan, ia meraba-raba dadanya. Dari saku baju di dada kiri, ia
keluarkan sesuatu.
Sepuluh ribu rupiah. Petugas terminal
itu tersenyum. Habis perkara. Tanpa beban, ia melangkah ke pos jaga. Seketika
itu juga, waktu seolah berputar kembali. Semua yang tadinya kaku, seperti hidup
kembali.
Tanpa persiapan, semua hal berjalan
normal lagi. Nenek yang turun dari truk langsung jatuh terguling-guling di
belakang truk. Buruh pikul pun tertimpa kardus yang mendarat tepat di wajahnya,
sebelum ia sempat berpaling. Lain lagi di pojok warung. Sendok yang disuapkan
si pemuda pun nyasar di pipi pacarnya. Si gadis langsung marah-marah. Sementara
sang pemuda kebingungan menatap kekasihnya yang langsung pergi setelah
mendaratkan telapak tangannya di wajahnya. Bocah gundul bertelanjang dada itu
pun terantuk dan jatuh tepat di hadapanku.
Truk jurusan kampungku sudah tiba. Aku
harus segara naik supaya bisa dapat tempat yang nyaman. Tetapi aku masih
bingung, mesti tertawa atau merasa kasihan atas peristiwa di terminal siang
itu.
Cerpen yang berjudul "Di Terminal" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Oan Wutun. Kamu dapat mengikuti penulis melalui facebook berikut: Oan Wutun
Posting Komentar untuk "Cerpen Lucu - Di Terminal | Oan Wutun"