Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Cinta - Aku, Egi, Dan Pasar Kaget | Kamichama Demeter

cerpen cinta tentang pasar kaget

“Dodol! Bukan gitu caranya!” Egi memukul kepalaku dengan penggaris yang sontak membuatku meringis kesakitan.

“Sakiiiittt…” kataku sambil memanyunkan bibir. Egi berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Sekali lagi ia memukul kepalaku dengan penggaris.

“Kalo gak mau ku pukul ya kerjain yang bener!” ujarnya setengah membentak, “kalo nilaimu jelek ntar aku yang dimarahi! Gimana sih!”

Aku menggembungkan pipi sembari mengelus kepalaku yang habis di pukul, “itu udah yang seriusnya. Kasih rehat kek dikit. Otakku bukan komputer!”

Egi menghela nafas berat, menaruh penggaris di meja dan mengacak-acak rambutnya frustasi, “aku heran kenapa kamu bisa naik kelas.” Katanya serius, membuatku melemparkan buku paket matematika ke kepalanya dengan sadis.

“HOI!”

Aku memeletkan lidah, “jalan aja yuk gik, aku udah muak liat angka. Besok-besok kayanya aku musti beli kaca mata deh!” ucapku lebay. Aku serius, mataku benar-benar terasa sakit, bahkan kepalaku pun rasanya mulai ikutan sakit. Aku langsung berbaring meringkuk di lantai yang dingin.

“Oi oi! Kenapa kau malah tidur di situ? Nanti paru-paru basahmu kumat!” Egi beranjak dari seberang meja ke sampingku dan menarik tanganku berdiri, “lagian udah sore gini juga, mau jalan ke mana? Bentar lagi maghrib.” Lanjutnya lagi. Di tarik begitu mau tak mau membuatku bangun dengan malas.

“Kemana aja boleh! Yang jelas gak ngerjain matematika.” Jawabku cepat.

“Ke hotel mau?”

Aku langsung mencubit lengannya, “mesum!” teriakku. Dia tertawa. Aku

menatapnya tanpa ekspresi.

“Haha.. sori sori.. just kidding,” ujarnya setelah tertawa, “hari ini jumat kan? Mau ke pasar kaget?” ujarnya menawarkan. Aku mengangkat sebelah alis heran.

“Apa asiknya?”

“Jajan!” ia menjawab singkat di sambung tawa, “laper nih, di sana pasti banyak yang jual cemilan. Emang mamamu aja yang boleh ke pasar?” Ia berkata jahil. Aku mengangguk semangat.

“Boleh boleh! Traktir ya?” Tanyaku girang. Egi memutar bola matanya kesal, tapi mengangguk juga. Aku langsung ber-yess dengan semangat.

“Ayo jalan!” Ujarku sembari berdiri lalu menarik tangan Egi hingga ikut berdiri juga. Eh, anak ini sekarang udah mulai lebih tinggi dariku, perasaan dulu waktu kelas satu dia sejajar denganku deh.

“Kenapa?” tanyanya heran. Aku nyengir.

“Kamu gak cebol lagi ya.”

Egi menyeringai, ia bersedekap dengan gaya sok keren, “haha… mana mungkin orang sekeren aku cebol? Aku hanya dalam proses mencapai tinggi yang ideal.” Ucapnya sambil terkekeh pelan. Aku mendengus.

“Tetep aja pendek! Week!”

“Eeehh…! Kurang ajar!”

Hampir saja anak itu menjitak kepalaku kalau saja aku tidak menghindar. Aku berlari menjauhinya sambil meneriakkan kata-kata konyol, membuat kami melakukan lomba lari menuju pasar.

“Wuih! Rame!” Egi berkomentar ketika kami sampai di depan pasar kaget. Beragam jenis merk motor tampak berjejer di pinggir jalan, beriringan dengan beberapa pedagang keliling yang tengah nongkrong. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan, masih terlalu terpana dengan yang namanya pasar kaget. Bukan berarti aku tidak pernah ke sini, hanya saja sudah sangat lama aku tidak jalan ke tempat ramai. Aku mencengkram ujung bawah kaos Egi.

“Kenapa?” Ia bertanya heran. Aku hanya nyengir sambil memiringkan sedikit kepalaku.

“Gak ada, Cuma takut ke pisah aja.” Aku menjawab jujur. Ia terkekeh pelan lalu merangkul leherku.

“Adududuh..” Aku meringis dan hampir kehilangan keseimbangan gara-gara tindakannya yang mendadak. Egi hanya menyeringai lebar.

“Bodoh! Kalau gitu harusnya kau memegang tanganku, bukan ujung baju!” Ujarnya jahil. Aku menggembungkan pipi kesal dan menyingkirkan lengannya yang melingkari leherku.

“Mimpi!”

Kami akhirnya menjelajahi pasar dengan tangan kiri Egi yang menggenggam erat tangan kananku. Di setiap dagangan yang kelihatannya lezat pasti membuat langkah kami terhenti. Kali ini aku dan Egi berhenti di depan pedagang yang menjual kue-kue basah. Aku mengambil sepotong getuk berwarna hijau dengan banyak parutan kelapa di atasnya.

“Berapa satu Bu?” Tanya Egi pada wanita paruh baya yang menjajakan.

“Lima ratus.” Jawab Ibu itu singkat. Egi menyerahkan selembar seribuan dan mengambil satu getuk yang sama denganku. Ia mengunyahnya dengan lahap.

“Enak juga.” Ia berkomentar singkat, “mau bawa pulang gak?” Tanyanya.

Aku mengangguk semangat, “beli aja tiga ribu.” Jawabku di sela-sela kunyahan. Setelah menerima bungkusan berisi getuk, kami kembali berjalan membelah pasar.

“Gik gik! Arum manis!” Ujarku semangat sembari menunjuk pedagang yang menjual berbungkus-bungkus besar makanan bertekstur kapas berwarna pink. Egi menatap bosan.

“Ampun deh Li, umurmu memangnya berapa? Lima tahun?” Tanyanya retorik, namun walau demikian kakinya tetap melangkah menuju jajanan yang ku tunjuk.

“Berapa satunya bang?” Tanyanya pada cowok yang mungkin sepataran anak SMA itu.

“Dua ribu dek.” Jawab pedagang itu sembari menatapku. Aku berpaling risih sembari menggenggam erat tangan Egi.

“Beli dua bang.” Ucap Egi lagi, ia melepaskan genggamannya dan melingkarkan lengannya di leherku, “cukup kan saaaay?” tanyanya menatapku.

“Eh?” Aku hanya terdiam heran, apaan sih?! Aku baru hendak melepaskan tangan Egi sebelum melihat dua orang sosok mendekat.

Adit dan Maya.

Aku langsung memasang senyum, “kalian kok di sini?” Tanyaku basa-basi. Adit hanya tersenyum kaku dan Maya, tampaknya cewek itu ingin cepat-cepat pergi dari sini.

“Jajan.” Jawab Adit singkat, ia melirik ke arah Maya yang hanya tersenyum tipis.

“Pakai apa ke sini?” Tanya Egi. Aku menatap sepasang sejoli yang ada di depanku, tidak seperti rumahku dan Egi yang dekat dengan pasar, rumah mereka terbilang jauh dari sini.

“Naik motor.” Jawab Maya. Lagi-lagi jawaban singkat. Aku mendesah diam-diam. Kenapa suasananya canggung begini, Aku melirik Maya, yang sebenarnya merupakan temanku sejak SD dulu lalu beralih pada Adit, teman sekelas Egi di kelas 8-3.

“Ooh…” Egi bergumam pelan, aku menyikut pinggangnya dan menunjuk si penjual arum manis menggunakan daguku. Egi mengeluarkan selembar lima ribuan dan selembar seribuan lalu menyerahkannya pada si penjual, “tambah satu lagi bang.” Ucapnya sambil menarik satu bungkus arum manis yang tergantung. Ia menyodorkannya pada Maya yang hanya menatap bingung.

“Selamat atas jadiannya kalian.” Ucapnya singkat. Aku melirik sambil menaikkan sebelah alisku. “Yuk Li!” Setelahnya, Egi langsung menyeretku pergi dari sana.

Setelah merasa tidak lagi berada dalam jarak pandang Adit dan Maya, Egi langsung melepas rangkulannya di leherku. Ia mendesah keras-keras. Aku hanya menepuk pundaknya prihatin, “sabar Gik, masih banyak yang lain.” Kataku menghibur. Egi menatapku tajam.

“Kamu kok tenang gitu sih ngeliat mereka? Bukannya kamu naksir Adit ya?” Ia bertanya heran. Aku hanya mengangkat bahu sembari membuka bungkus arum manis yang baru ku beli — yang Egi beli tepatnya.

“Taraf sukaku kayanya ga cukup kuat untuk membuatku merasa cemburu melihat mereka.” Jawabku santai. Egi merampas bungkus arum manis di tanganku dan memakannya dalam jumlah besar.

“EGIIIIIIIIII…!!” Teriakku sambil merebut kembali arum manis di tangannya, “ampun deh! Ngambek sih ngambek, tapi jangan ngabisin makanan orang!”

Egi menjitak kepalaku secara spontan yang langsung membuatku meringis kesakitan, “halah! Aku juga yang beli pun!” Ia berujar kesal. Aku hanya cengengesan gak jelas, “pulang yuk, dah mau maghrib!” Ucapnya setelah melihat langit yang semakin gelap. Aku mengangguk dan mengikuti Egi dari belakang, berjalan menuju rumah dalam diam.

“Thank’s Gik!” Ucapku begitu kami sampai di depan pintu rumah—rumahku. Egi hanya mengangguk-angguk, tapi aku tau kalau pikirannya ada di tempat lain. Aku menjewer telinga kanannya hingga ia meringis, “akhirnya sadar juga.” Gumamku yang langsung mendapat jitakan di kepala.

“Emangnya gua kerasukan apa?” Teriaknya kesal. Aku hanya terkekeh pelan.

“Ya kali-kali aja… apa feromon Maya sekuat itu ya? Sampai-sampai seorang Egi bisa kehilangan fokus?” Ujarku jahil. Egi menatapku penasaran.

“Memangnya seorang Egi itu seperti apa?”

“Hm.. menyebalkan, gampang ngambek, sok kegantengan, sok jenius, s—aw!”

“Makanya, jangan menjelek-jelekkan seorang Egi.” Ucap Egi bangga, setelah kembali menjitakku. Aku kembali memanyunkan bibir kesal.

“Kamu tau? Aku tidak bodoh karena kurang belajar, tapi karena kepalaku selalu kamu jitak!” Ucapku kesal. Egi hanya tertawa renyah.

“Ya udah, masuk sana! Jangan lupa sholat.” Ucapnya mengingatkan. Aku hanya mengangguk-angguk. Setelah itu Egi berjalan pergi ke rumahnya yang berada di sebelah TK di depan rumahku. Aku menghela nafas dan menutup pintu.

Sebenarnya aku dan Egi ini apa ya? Aku mengangkat bahu dan berjalan menuju kamar, terserah deh! Makin dipikirin malah makin pusing.

Cerpen yang berjudul "Aku, Egi, Dan Pasar Kaget" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Kamichama Demeter.

Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Aku, Egi, Dan Pasar Kaget | Kamichama Demeter"