Cerpen Keluarga - Kesedihanku | Fairuz Zakyal Ibad
Sampai saat ini, yang menurutku telah 21
hari aku berada di sini, seingatku tak ada seorang pun dari keluargaku yang
datang menjenguk. Suamiku, anak-anakku, ayah, ibu, mertuaku, semuanya. Tak ada
satu pun yang menjengukku. Semuanya seakan alpa tentang keadaanku di sini, di
suatu tempat yang dikelilingi jeruji besi ini.
Jujur, aku masih tak habis pikir mengapa
wanita lemah sepertiku berada di sini. Yang kuingat, aku memecahkan akuarium
besar milik majikanku yang kemudian membuatnya murka, dan aku pun langsung
dipecatnya begitu saja. Tak hanya sampai di situ, esoknya saat aku tengah
bergumul bersama anak-anakku, bercanda ria bersama, aparat keamanan meringkusku
dengan paksa dan menuduhku dengan hal yang bukan-bukan. Pencuri, ya aku dituduh
mencuri perhiasan milik mantan majikanku sendiri. Aku coba menjelaskan
semuanya, bahwa ini fitnah, ini tuduhan yang salah. Tapi siapa yang akan
mendengarkanku?
Dan karena itulah, 21 hari terakhir
kulewati dengan terpaksa di tempat yang begitu pengap ini. Ya, semoga saja aku
tak salah menghitung hari-hariku, sebab aku hanya bisa menandai pergantian hari
lewat ventilasi kecil yang juga terpagari oleh besi tanpa sedikit pun tahu
sekarang hari apa, tanggal berapa, dan sebagainya. Yang kuingat, sebelum aku
meringkus tak berdaya di sini, ulang tahun ke-15 Alfi, anak sulungku tinggal
beberapa hari lagi. Dan aku, sebagai seorang ibu yang senantiasa menyayanginya,
dengan ini, telah memberikan kado yang buruk baginya, bahkan mungkin terlalu
buruk untuk ia terima.
Padahal di tahun-tahun sebelumnya, aku
tak pernah luput memberikan hadiah kecil-kecilan buat Alfi, juga buat Alfin, si
pangeran sulungku di setiap kali ulang tahun mereka berdua tiba. Kadang
mukenah, jlbab untuk Alfi, serta peci hitam dan baju koko untuk Alfin yang
kubeli di toko obralan 2 kilometer dari rumah majikanku. Tapi kini, apa yang
aku berikan untuk mereka? Ah, aku tak tahu harus berucap apa.
Dan hari ini, saat cahaya mentari baru
saja menembus celah-celah ventilasi, saat pagi masih terasa gigil sekali, aku
mendapati sepucuk surat kecil tergeletak di pojok kanan kamar baruku yang di
kelilingi jeruji besi ini.
Aku mengambilnya, perlahan membukanya,
dan kemudian membacanya dengan seksama,
Ibu, ini aku Alfi, anak Ibu. Semoga di
sana ibu tetap baik-baik saja dan tak kekurangan satu apa pun.
Saat ini aku tengah sakit, Bu. Tapi
bukan hanya ragaku yang sakit, jiwa dan perasaanku juga tengah terluka. Dalam
sekali. Dan kuharap Ibu tidak akan shok dengan ceritaku ini.
Masih dapat dengan jelas kuingat malam
itu, sehabis menunaikan shalat isya’ berjama’ah, seperti biasa aku dan Bapak
menghibur Alfin yang masih terus saja menanyakan keberadaan Ibu. Kami terus
bercanda tawa bersama di gubuk kecil kita yang begitu sederhana. Saat itu,
Alfin benar-benar terhibur dan bisa sejenak melupakan keceriaan saat bersama
Ibu. Tapi aku, yang sudah cukup mengerti semua ini, semua canda tawa itu terasa
ganjil dan selalu saja terasa tak sempurna. Bukan karena apa-apa, Ibu. Tak lain
karena tak ada Ibu di sini yang biasa mendampingi kami bercanda tawa bersama.
Dan jujur, aku begitu rindu panggilan lelucon Ibu kepadaku yang dulu membuatku
sedikit cemberut mendengarkan kalimat itu, “si gigi kelinci”. Kini aku begitu
rindu kalimat itu, Bu. Sangat-sangat rindu. Terutama saat Ibu mengucapkannya
sambil mencubit hidungku yang kata Ibu tak mancung-mancung juga. Aku rindu semua
itu, Ibu. Sungguh begitu rindu.
Kami terus bercanda tawa bersama hingga
akhirnya gigil malam membuat kami terlelap. Aku masih begitu ingat kata-kata
Bapak sesaat sebelum aku terlelap bersama kantukku,
“Fi, kamu yang sabar ya, Nak. Besok kita
jenguk Ibu di penjara. Tapi jangan bilang-bilang Alfin. Bapak gak mau adekmu
itu mengerti semua ini.” Bapak membelai rambutku seperti waktu kecil dulu. Dan
tiba-tiba aku kembali teringat dirimu, Bu. Teringat belaian lembutmu waktu aku
kecil dulu. Aku rindu semua itu.
Sebelum terlelap, aku memandangi foto
Ibu lekat-lekat dan kemudian memeluknya erat.
Aku begitu nyenyak merangkai mimpiku
malam itu, di tambah lagi dengan gigil hujan yang tak kunjung reda, membuat
tidurku semakin lelap saja. Jujur, malam itu aku memimpikanmu, Bu. Benar-benar
memimpikan Ibu kembali bercanda tawa ria di antara kami, sebelum akhirnya ada
sesuatu yang membuatku terperanjat dari tidurku. Aku merasa getaran, Ibu.
Awalnya, aku menyangka hal itu hanya perasaanku saja.
Namun lama kelamaan getaran itu semakin
keras dan terus saja menjadi. Saat itu aku mendengar suara Alfin dari kamar
sebelah yang berteriak memanggil Ibu, juga suara bapak yang bertanya-tanya apa
yang sebenarnya terjadi. Waktu itu, aku juga mendengar suara aneh dari tebing
tanah curam di belakang gubuk kecil kita. Aku merinding. Aku khawatir. Sesegera
mungkin aku membuka pintu kamar. Kulihat bapak mengahampiri Alfin, hendak
menggendongnya. Bapak menoleh padaku lantas berkata, “Alfi, cepat keluar
rumah!” bersamaan dengan suara Bapak, aku mendengar suara aneh yang seakan
menimpa gubuk kita. Kraaaak. Dan semuanya pun perlahan runtuh.
Aku berlari keluar rumah sebelum
akhirnya ada sesuatu yang menimpa kepalaku. Aku tersungkur. Kurasakan pening
yang sangat. Kuraba kepalaku, berdarah. Aku coba berdiri kembali, namun genteng
rumah kita yang jatuh satu per satu bercampur lumpur menimpaku, membuatku
tersungkur kembali. Aku sakit, tubuhku remuk. Aku merangkak dengan sisa
tenagaku. Lamat-lamat kulihat Bapak juga tertimpa kayu atap rumah. Alfin terlempar,
lepas dari gendongan Bapak. Bapak tak sadarkan diri.
Aku terus merangkak dengan sisa-sisa
tenagaku, mencoba menghampiri Alfin. Sementara itu, lumpur-lumpur semakin buas
saja meruntuhkan segalanya. Kayu-kayu atap rumah perlahan jatuh satu persatu menimpaku.
Aku tak bisa bergerak. Aku berteriak pada Alfin agar cepat keluar rumah, tapi
dia tetap saja menangis dengan terus menerus memanggil nama Ibu.
Aku terus saja berteriak, menyuruh Alfin
keluar rumah segera, sebelum akhirnya lumpur-lumpur itu membenam kami semua.
Aku meronta. Aku menerjang sekuat tenaga. Menerjang dan terus menerjang untuk
mencari sedikit udara untuk bernafas di antara lumpur yang menguburku
hidup-hidup. Aku terus meronta dan aku berhasil. Aku mengambil nafas panjang-panjang.
Kurasakan lumpur telah memasuki tenggorokanku, hidung, telinga, semuanya. Aku
kibas-kibaskan kepalaku, terasa pening sekali.
Perlahan aku mencoba untuk membuka mata
meski teramat perih. Lamat-lamat kulihat dua tangan menjulur ke atas dan masih
bergerak. Tangan itu begitu mungil. Tangan Alfin. Aku kembali meronta, Ibu.
Kembali menerjang, berusaha menghampirinya yang kira-kira lima meter dariku.
Namun lumpur-lumpur yang membelotku membuatku tak berdaya. Aku menangis. Aku
berteriak dan terus menerjang tanpa daya. Hingga akhirnya kusaksikan dengan
mata kepalaku sendiri, dua tangan itu semakin lemah, lunglai, dan akhirnya tak
bergerak lagi. Aku menangis, Bu. Aku berteriak sekuat teraga. Aku kemudian tak
sadarkan diri karena kusaksikan semua itu dengan mata kepalaku sendiri.
Kukira aku telah mati, Bu. Saat kubuka
mata, semuanya putih. Aku menyangka telah berada di dunia lain yang tak
kukenal. Namun setelah kubuka mata lebar-lebar dan kuedarkan pandangan,
orang-orang itu menghampiriku dengan wajah iba. Pak Amir bersama istrinya yang
baik hati, Bu Tuti, Mbak Ida, dan banyak dari tetangga-tetangga kita. Saat itu
aku baru sadar, aku belum mati. Aku di rumah sakit. Saat kutanya perihal bapak
dan Alfin, mereka semua berkasak-kusuk sebentar, lalu menyuruhku untuk
bersabar.
Aku selalu bertanya-tanya sendiri di
hatiku sebelum akhirnya Bu Tuti memberiku sebuah jawaban. Dia mengelus-ngelus
kepalaku sambil berucap,
“Kamu yang sabar, Nak. Alfin dan Bapakmu
telah tiada…”
Aku masih begitu hafal kata-kata itu
hingga kini. Kata-kata yang membuatku terkesiap dan menangis, menyesali semua
apa yang terjadi. Bukan hanya itu yang membuatku terluka. Di saat Bu Tuti
mengelus-elus kepalaku, aku teringat satu hal, saat Bapak juga mengelus-elus
kepalaku sebelum aku terlelap di malam itu. Rencana akan menjenguk Ibu tanpa
diketahui Alfin. Itulah yang semakin membuatku terpukul hingga kini.
Dan kini, kutullis surat ini untuk Ibu.
Aku harap, Ibu tidak akan shok mendengar semua kisahku ini. Bu, saat ini aku
ingin menjadi seperti anak kecil lagi. Aku rindu belaian lembut Ibu yang
mengelus pelan kepalaku. Aku meindukanmu, Bu. Sangat-sangat rindu.
Salam rindu dari anakmu yang tinggal
seorang diri ini,
Alfi.
Ada yang sakit di dadaku. Perih sekali.
Semakin perih. Dan aku tak kuat lagi menahan sakit ini. Semuanya seakan
berputar di sekelilingku. Aku tersungkur, namun dada ini masih saja sakit,
semakin perih. Semuanya semakin cepat saja berputar. Semuanya seakan buram,
terus memburam. Dan akhinya, gelap.
Cerpen yang berjudul "Kesedihanku" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Fairuz Zakyal Ibad. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di akun berikut: Fairuz Zakyal Ibad.
Posting Komentar untuk "Cerpen Keluarga - Kesedihanku | Fairuz Zakyal Ibad"