Cerpen Cinta - Cinta Dan Sahabat | Fidya Istika
Pagi ini seperti biasa aku harus menuntut kewajibanku sebagai seorang siswa. Sebenarnya hari ini aku malas sekali untuk sekolah, apalagi harus bertemu dengan Farel setelah kejadian semalam aku jadi berpikir untuk menjauhi Farel. Sebelum semuanya terlambat. Semalam aku dan Farel chat seperti biasa.
Awalnya dia sharing tentang masalah
nilainya yang akhir-akhir ini turun. Namun setelah itu dia mengalihkan topik
pembicaraan. Dia mulai bercerita tentang masalah hubungannya dengan Nisa yang
akhir-akhir ini memang kurang harmonis. Dan dia juga bilang bahwa dia sudah gak
mau lagi berhubungan sama Nisa.
“Yas, aku pengen putus sama Nisa”
“Loh kenapa?”
“Aku suka sama kamu Yas”
“Hah? Jangan bercanda”
“Aku serius Yas”
Setelah itu aku mengakhiri chatku dengan
Farel. Pikiranku menjadi kacau. Apa benar dia suka sama aku?
Kenapa harus aku sih? Aku terus bertanya
dalam hati. Aku mengingat–ngingat kejadianku dengan Farel. Memang sudah 1 bulan
ini sikapnya menjadi berubah. Dia menjadi lebih perhatian sama aku. Seperti
ketika aku sakit dia yang menjagaku di ruang UKS sampai-sampai dia tak
mengikuti pelajaran. Lalu ketika aku benar-benar butuh laptop untuk mengerjakan
tugasku karena pada saat itu laptopku rusak, dia pada saat itu yang
meminjamkannya meskipun sebenarnya hari itu hujan sedang deras-derasnya. Dan
esok harinya dia tak sekolah karena sakit. Mengingat kejadian-kejadian itu
semakin memperkuat perkataan Farel. Lalu bagaimana dengan Nisa?
“Yasmiiiiinnn” teriak seseorang yang
berjilbab itu. Aku menoleh ke arahnya dan menghentikan langkahku.
“Iya Nis ada apa?” tanyaku padanya yang
nafasnya terdengar ngos-ngosan itu.
“Sini, aku mau cerita” katanya sambil
menarik tanganku dan membawaku ke tempat yang agak sepi. Setelah sampai kami
duduk di bawah pohon rindang.
“Yasmin” dia memulai pembicaraan. Dengan
mimik muka yang terlihat sedih.
“Farel Yas, dia ahh..” kata-katanya
terpotong bersamaan dengan air mata yang mulai mengalir di pelupuk matanya.
‘ini ada apa? Apa Farel udah ngasih tau semuanya? Apa Farel udah mutusin
hubungannya sama Nisa?’ beribu pertanyaan kini memburu otak dan hatiku.
“Iya, Farel kenapa Nis” tanyaku penuh
hati-hati. Aku tak mau menyinggung perasaanya yang tengah sedih.
“Gak tau Yas, dia berubah banget sama
aku. Akhir akhir ini dia cuek banget sama aku. Kayaknya dia punya yang baru deh
Yas, aaah” Tangisnya kembali pecah. Aku tercengang. Dan bagai peluru yang
menyelup masuk kehatiku, aku merasa bersalah pada Nisa.
“Hush, kamu jangan ngomong gitu Nis,
siapa tau aja dia lagi sibuk” Aku coba menenangkannya.
“Tapi sakit Yas, didiemin terus. Aku tuh
kaya obat nyamuk tau gak sama dia, selalu gak di anggap. Kalo aku ngomong sama
dia diacuhin. Sekalinya ngejawab Cuma “Oh” “iya gitu” “wah” siapa yang engga
sakit coba Yas”. Ini jauh berbanding terbalik ketika Farel sedang berbicara
padaku dan aku mengacuhkannya. Pikiranku menerawang jauh. Sesaat aku terdiam.
“Yas, mau bantu gak? Kamu kan sahabat
aku sama dia, boleh bantuin gak bilangin ke dia kenapa dia ngejauhin aku.
Plislah kamu kan baik”.
Melihat raut wajahnya yang begitu sedih
aku pun tak menolaknya. Dan mengiyakannya. Dia tampak senang, namun tak begitu
denganku. Setelah perbincangan itu, kami kembali ke kelas masing masing.
Sembari menyusuri koridor sekolah, aku memikirkan bagaimana caranya untuk
mengungkapkan semua ini pada Farel, sementara saat ini aku sedang mencoba
menjauh dari Farel. Aku tak mau hubunganku dengan Farel menjadi semakin dekat,
dan Farel benar-benar memutuskan hubungannya dengan Nisa.
Sesampainya di kelas Farel terlihat
murung sambil memainkan ponselnya. Dari sudut mataku ini, aku melihat dia tak
begitu semangat seperti biasanya. Tak ada binar keceriaan lagi di matanya. Apa
aku penyebabnya? Entalah. Aku menghela nafas sebentar dan merilekskan pikiranku
yang mulai benar-benar bingung. Aku coba menoleh ke arahnya namun sial.
Ternyata dia juga sedang memperhatikanku. Mata kita bertemu untuk sepersekian
detik. Aku coba memalingkan wajahku darinya dan coba mengatur detak jantungku
yang kian tak menentu.
Bel pulang pun berbunyi. Aku membereskan
barang-barangku dan bergegas untuk pulang. Rasanya seharian di kelas tanpa
saling tegur sapa dan diam-diaman itu, membuatku muak untuk terus berlama-lama
berada di kelas ini. Aku pun mulai melangkahkankakiku. Namun, pada langkah
ketiga. “Yasmin” bersamaan dengan itu aku merasa tangan ini seperti ada yang
menggenggam dan aku yakin itu Farel. Dengan tanpa menoleh ke arahnya aku
melepaskan genggaman tangan itu dengan kasar.
“Apa?” kataku singkat.
“Aku mau ngomong sama kamu” pintanya.
“Ngomong apa? Via sms bisa kan? Maaf
kali ini aku gak bisa” ucapku sambil berlalu meninggalkannya.
“Yasmin, aku cinta sama kamu”. Deg
langkahku terhenti. Jantungku kembali terpacu. Untuk sesaat aku terdiam. Suara
riuhan anak anak sekelas mulai terdengar seperti backsound di film film.
“Aku cinta sama kamu Yasmin” Dia
memperjelas perkataan tadi. Suara riuhan pun semakin terdengar. Mukaku memerah
seperti udang yang baru saja di rebus.
“Terima, terima, terima” kata-kata itu
yang membuat hatiku menjadi bimbang. Aku tak menyangka Farel akan melakukan
ini, karena yang aku tahu untuk masalah ini dia begitu tertutup. Bahkan pada
saat Farel dan Nisa jadian, dia backstreet selama satu minggu sebelum akhirnya
semua orang mengetahuinya. Aku menoleh malas ke arahnya. Ada rasa senang juga
kesal. Aku kembali melanjutkan langkahku dan tak memperdulikannya dan teman
teman sekelasku. Namun saat aku mendekati pintu. Aku lihat sosok Nisa yang
tengah mengusap air matanya.
“Nisa” aku coba menghampirinya.
“Kamu jahat yas” katanya sembari pergi
meninggalkanku.
“Nisa tungguuuu” aku coba mengejarnya
namun, hasilnya nihil dia berlari begitu cepat meskipun menggunakan jilbab. Ah
sial. Ini yang aku takutin. Nisa ngejauhin aku dan gak percaya lagi sama aku
gerutuku. Dengan langkah gontai, aku melanjutkan langkahku. Dan pada saat aku
sampai di parkiran. Tiba- tiba motor Farel berhenti di depanku. Cepat sekali
dia padahal tadi masih di kelas.
“Aku anterin yah, Yas” tawarnya
“Gak” kataku dengan nada malas dan
meninggalkannya.
“Kamu kenapa sih Yas?” dia coba
mengejarku. Aku hanya diam.
“Yas, kenapa?” aku masih tetap diam.
“Yas, apa gara gara tadi? Apa salah
kalau aku punya perasaan yang lebih sama Kamu?” Pertanyaan ini yang membuat
langkahku terhenti.
“Salah Besar” jawabku dengan nada
tinggi.
“Salahnya apa Yas? Bukankah ini hak
setiap orang untuk punya perasaan ini?”.
“Banyaaak” dengan geram aku berlari dan
meninggalkannya sendiri.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju
kamarku. Aku merebahkan badanku yang amat lelah ini. Hari ini aku benar-benar
seperti pecundang. Aku benci dengan sikapku yang satu ini. Aku meraih diaryku
yang terletak di atas meja belajar. Aku mulai meluapkan semua perasaan yang aku
alami hari ini.
‘Aku juga ngerti kok sama perasaan kamu
Rel, aku juga sadar kalau aku juga punya rasa yang sama kaya kamu. Tapi, kamu
harus berpikir ulang Rel, ada seseorang yang masih jadi milik kamu. Seseorang
yang sayang banget sama kamu. Rel, aku cuma gak mau jadi perusak dalam hubungan
kalian. Aku juga gak mau nyakitin perasaan Nisa yang udah bener-bener sayang
sama kamu. Kamu tau kan Rel, aku sama dia tuh deket banget. Bisa di bilang kita
sahabatan. Aku cuma gak mau dia ngejauhin aku dan persahabatan ini jadi hancur.
Aku tau Rel, kalo ini memang berat. Memilih antara cinta dan sahabat. Tapi, aku
tetep sayang sama kamu Rel, meski gak ada kata ‘Pacaran’ dalam hubungan kita.
Aku harap kamu ngerti Rel.’
Ku tutup sahabat bisuku itu. Tanpa
terasa bulir bulir air mata jatuh di pelupuk mataku dan membajiri pipiku.
Setetes demi setetes air itu membasahi cover sahabatku itu. Aku menangis?
Menangisi Farel dan menyesali perasaan ini. Perasaan yang tak ku duga
datangnya. Dari sebuah chat yang biasa saja, menjadi chat yang luar biasa
bagiku. Entah kenapa, semakin kita sering chat aku merasa ada perasaan aneh
yang mengganjal di hatiku. Perasaan yang ku elak datangnya. Ah Farel… aku coba
menghapus air mata ini dan melirik handphone yang sudah berdering sedari tadi.
Banjir dengan misscall dan sms dari Farel.
“yas, lagi apa?” “yas, kenapa ga di
bales?” “yas, marah?” “Yas, angkat telponnya” mungkin itulah segelintir pesan
yang Farel kirimkan. Sebenarnya hati ini ingin sekali membalasnya mengatakan
“aku lagi dilema” namun tidak dengan jariku. Rasanya jariku enggan untuk
mengetik satu kata pun. Aku pun meletakannya kembali dan mengabaikan semua
pesan darinya. Hingga akhirnya aku terlelap.
Cahaya mentari mulai menyelinap di balik
celah-celah gordengku. Aku pun terbangun. Dan meraih ponselku. Ini memang
kebiasaanku setiap bangun tidur pasti barang mungil ini yang ku cari. Dan saat
aku membukanya.
Banyak sms dari Farel. “Yas, kenapa ga
di bales terus?” “Yassmiiinn” “Masih marah gara gara yang tadi”. Ah aku bingung
untuk membalas pesannya yang mana dulu. Aku putuskan untuk tak membalasnya.
Toh, itu sms yang tadi malam. Namun tiba tiba, ada satu pesan masuk. Dari Nisa,
dengan penuh rasa penasaran aku pun membukanya.
Yas, mungkin kamu kanget kenapa aku sms
sepagi ini. Aku cuma mau ngucapin makasih yang sebesar besarnya karena selama
ini kamu selalu menjadi tempat curhat bagi aku, mungkin juga Farel. Tapi, Yas,
aku gak nyangka. Kalo kamu itu nusuk dari belakang. Kamu cinta Farel juga kan?
Jujur aja Yas, semua orang juga udah tau. Oke. Bukan maksud aku buat ngancurin
mood kamu pagi ini. Tapi, satu hal yang aku sesali dari kamu Yas, kamu itu gak
jujur.
Deg, seketika keringat dingin membasahi
tubuhku. Rasa bersalah kini menghantui perasaanku. Apa aku harus jujur pada
Nisa jika aku memang mencintai Farel? Atau aku tetap berpura pura dalam
perasaan yang menyesakkan dada ini? Ah entalah. Farel, ya Farel tokoh utama
dari sandiwara ini. Dengan cepat aku mengetik pesan singkat untuknya.
Rel, kita ketemu di taman kompleks
sekarang, ada hal penting.
Tanpa menunggu balasan darinya aku pun
melesat cepat menuju taman kompleks dengan sepeda motorku ini. Akhirnya aku
sampai di taman, setelah menunggu beberapa detik sosok yang ku tunggu-tunggu pun
datang.
“Udah lama nunggu, maaf yah” Ucapnya
dengan senyum tipis. Lalu dia duduk disampingku.
“Ah, udahlah. Kamu putus sama Nisa kan
Rel?” tanpa berpikir panjang aku pun melontarkan kata-kata itu. Dia terlihat
kanget.
“Kok diam?”Lanjutku.
“Iya, memangnya salah Yas?” dia balik
bertanya.
“Salah besar Rel” kataku dengan nada
tinggi.
“Salah? Salah kenapa Yas, bukannya itu
hak semua orang?” tanyanya dengan suara yang agak tinggi.
“Aku tahu itu hak semua orang. Tapi kamu
tahu kan Rel, kalau aku sama Nisa itu sahabatan. Harusnya kamu ngerti Rel,
kenapa aku bisa semarah ini sama kamu. Aku cuma gak mau nyakitin hati Nisa, dia
terlalu baik untuk disakitin. Rel, dia tuh bener-bener sayang sama kamu. Kamu
tahu Rel, setiap malem dia sms aku. Dia selalu nangis, gara gara siapa Rel?
Gara-gara kamu” Jelasku.
Farel hanya diam.
“Sekarang apa yang kamu mau Yas?”
tanyanya dengan pasrah.
“Aku mau kamu balikan lagi sama Nisa,
dan bilang kalau kejadian tempo hari itu cuma pura-pura”
“Itu susah Yas dan gak mungkin”
“Susah kenapa?” tanyaku dengan sinis
“Aku gak mau ngebohongin Nisa, Yas. Kamu
emang bener kalau dia itu bener-bener baik. Tapi kalau aku nurutin kata kamu
dengan pura-pura masih cinta sama Nisa bukannya itu malah bikin Nisa
bener-bener sakit. Aku gak mau jadi pecundang Yas” jelasnya. Aku jadi makin
bingung. Kata-kata Farel memang ada benarnya.
“Aku tahu kalian sahabatan. Aku juga
tahu kalau Nisa sering cerita masalah aku sama dia ke kamu. Aku juga tahu Yas,
sebenernya kamu sakit”
“Sakit? Aku gak sakit Rel” ucapku
memotong pembicaraannya.
“Lalu apa artinya tulisan itu Yas”
“Tulisan? Tulisan apa Rel?” tanyaku
setengah bingung.
“Tulisan di diary kamu Yas. Aku tahu
semuanya dari situ.” Aku pun memandangnya dengan sinis. Mata Farel begitu
sendu. Sebenarnya aku merasa kasian pada farel tapi rasa kesal ini jauh lebih
besar daripada rasa kasian.
“Kamu baca diary aku?” tanyaku dengan
nada tinggi.
“Maaf Yas, aku gak sengaja. Waktu itu…”
Aku mulai berlari sebelum Farel
menyelesaikan kalimatnya. Aku tak sanggup mendengar ucapan Farel lagi. Dan aku
menyesali kecerobohanku meletakkan benda yang menjadi privasiku ini di
sembarang tempat. Kenapa aku bisa seceroboh ini. Harusnya aku tak meletakkannya
di sembarang tempat. Dan kenapa Farel harus membacanya. Aah. Aku terus memaki
diriku sendiri atas kecerobohan ini.
Hari ini aku tak bersemangat untuk
sekolah. Pikiranku masih tak mampu untuk berpikir jernih. Dengan langkah gontai
aku menuju ke kantin. Aku tak mau ke kelas dan melihat muka Farel. Setibanya di
kantin aku duduk di deretan bangku ke tiga dan mulai menikmati secangkir susu
hangat yang mungkin dapat membuat moodku membaik. Namun, pandanganku tertuju
pada lelaki berambut cepak berhidung mancung itu. Ya, Farel. Sial kenapa dia
ada di sini gumamku. Dengan cepat aku pun mulai meninggalkan kantin dan
berjalan menuju kelas. Ketika aku sedang berjalan menuju kelas aku lihat Nisa
sedang duduk sendiri di depan kelasnya dengan mata yang kosong. Aku coba
menghampirinya. Tiba-tiba Nisa menoleh ke arahku aku pun mengembangkan senyum
padanya. Namun sayang, dia segera mengalihkan pandangannya dan masuk ke
kelasnya. Dengan cepat senyumku pun memudar. Aku kembali melanjutkan langkahku.
Sesampainya di kelas suasana begitu gaduh.
“Eh, ada yang baru di tembak nih” ujar
Deva ketika aku mulai duduk di bangkuku.
“Iya nih. Di terima gak yah? Haha”
tambah Rizki di selingi tertawa. Semua anak kelas pun melirik ke arahku.
“Apa-apaan sih kalian. Kemarin itu cuma
pura-pura” ucapku dengan nada tinggi. Aku tak kuat lagi menahan rasa kesal ini.
Mereka pun seketika diam. Dan pada saat yang bersamaan Farel sudah memasuki
kelas. Aku yang menyadari keberadaannya ini kembali duduk.
“Beneran Rel yang hari sabtu itu cuma
pura-pura?” Tanya Ryan teman sebangku Farel. Aku dengan seksama mempertajam
pendengaranku agar dapat mendengar percakapan mereka berdua.
“Engga. Kemarin itu serius”. Deg.
Jawaban Farel benar-benar membuat aku semakin kesal. Kenapa dia harus bilang
kalau kejadian hari sabtu itu serius? Batinku.
Setelah kejadian itu hubungan aku, Farel
dan Nisa semakin memburuk. Kami tak pernah saling sapa lagi seperti dulu.
Setiap aku bertemu dengan Nisa dia selalu melempar pandangan yang penuh
kebencian. Begitu pun dengan Farel, aku tak mau melihat mukanya meskipun kami
sekelas. Sebenarnya aku ingin semuanya seperti dulu. Tapi rasanya tak mungkin.
Meskipun aku telah meminta maaf pada Nisa beberapa kali, namun dia tak
meresponnya. Akupun semakin bingung harus menjelaskannya bagaimana.
Hari ini aku merasa kepalaku begitu
pusing, dan aku memutuskan untuk pergi ke ruang UKS karena tak mungkin aku
mengikuti pelajaran dengan keadaan seperti ini. Ketika tiba di UKS aku melihat
Nisa sedang berbaring di kasur dengan selimut yang membalut tubuhnya. Aku pun
menghampirinya.
“Kamu kenapa Nis?” tanyaku. Nisa menoleh
lalu membuang mukanya di balik selimut itu. Aku tahu pasti Nisa merasa kesal
dengan kehadiranku ini. Aku pun membiarkannya. Karena jika dipikirkan kepalaku
malah semakin pusing. Akhirnya akupun membaringkan tubuhku di samping kasur
yang di tempati Nisa. Dan tak lama aku pun terlelap. Hampir 1 jam aku tertidur
dan ketika bangun aku mendengar ada suara tangisan di sampingku. Aku yakin itu
pasti Nisa.
“Kamu kenapa nangis Nis?”. dia menoleh
ke arahku dan langsung memelukku. Tangisnya kembali pecah. Aku pun menjadi
semakin heran.
“Maafin aku Yas” ucapnya dengan terisak.
“Maaf untuk apa?” tanyaku heran sembari
melepaskan pelukannya itu.
“Aku harusnya gak ngejauhin kamu Yas.
Dan aku juga gak berhak buat benci sama kamu. Kamu itu benar-benar baik Yas.
Dan tak seharusnya persahabatan ini rusak gara-gara masalah ini. Aku udah tahu
semuanya dan Farel yang menceritakannya.” Jelasnya dengan sesekali menyusap air
matanya.
“Maksud kamu?”
“Iya Yas, aku tahu Farel sering cerita
tentang masalahnya dengan ke kamu. Begitupun sebaliknya. Dan Farel juga cerita
kalau dia udah gak mau ngelanjutin hubungannya sama aku. Dan dia udah mulai
suka sama kamu sejak 1 bulan yang lalu. Sebenarnya aku sangat marah ketika
Farel mengucapkan hal itu, tapi aku berpikir ulang, tak seharusnya aku
menghalangi dan tetap memaksa farel untuk tetap jadi pacar aku sementara
dihatinya sudah tak ada namaku lagi. Dan sekarang aku mulai sadar Yas, aku
harus merelakan Farel buat kamu”
Aku pun terdiam mendengarkan
penjelasannya itu. Tanpa terasa aku menangis, aku tak menyangka jika Nisa akan
berbaik hati seperti ini merelakan cintanya untuk sahabatnya.
“Kamu kenapa nangis Yasmin?” kini dia
balik bertanya.
“Aku gak nyangka kamu bakalan sebaik dan
setegar ini Nis” Nisa hanya tersenyum.
“Oh iya ada yang nungguin kamu bangun
tuh dari tadi?” ujarnya tiba-tiba.
“Siapa?” tanyaku heran. Nisa menunjukan
jari ke arah pintu ruang UKS. Mataku pun tertuju pada lelaki berpostur tinggi
itu. Dia Farel. Farel menoleh ke arahku dengan senyum yang mengembang aku pun
membalasnya.
Setelah kejadian itu aku dan Farel pun
resmi menjadi sepasang kekasih. Hubungan kami memang tak begitu romantis, tapi
aku nyaman dengannya. Nisa juga sepertinya sudah move on dari Farel, karena
saat ini dia sedang suka pada Eza, teman dekatnya semasa kecil.
Cerpen yang berjudul "Cinta Dan Sahabat" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Fidya Istika. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di akun berikut: Fidya Istika.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Cinta Dan Sahabat | Fidya Istika"