Cerpen Motivasi - Perjuangan Tanpa Pandang Bulu | Sekar Arum Purbarani
Memulai hari baru dengan sebuah senyum yang tersimpul dari bibir mungilnya. Tidak salah lagi senyuman yang ikhlas dari lubuk hatinya terpancarkan lagi setelah sepekan dia terbelenggu oleh perasaan bersalahnya kepada orang-orang terkasihnya. Asih, dialah yang memulai pagi hari ini dengan senyum itu berangkat menuju sekolahnya tercinta, untuk mengisi kembali amunisinya demi meraih cita-citanya. Dia sekarang telah duduk dibangku kelas tiga SMP Kusuma Bangsa, itu berarti sebentar lagi ia akan meninggalkan sekolah tercintanya untuk ke tingkatan yang lebih atas lagi yakni SMA.
Asih, remaja yang lugu dan patuh pada
orangtuanya serta sayang dengan adik-adiknya. Namun, nasibnya tak seberuntung
teman-temannya, dia terlahir dari keluarga yang sederhana bahkan semenjak
ayahnya tak lagi bekerja di pabrik konveksi yang tak jauh dari rumahnya dan sekarang
bekerja serabutan, dia harus membantu ibunya berjualan makanan demi tetap
mengebulnya dapur mereka dan lancarnya sekolahnya juga adik pertamanya, Bimo.
Tetapi dia tak pernah merasa malu ataupun mengeluh walaupun teman-temannya
sering mengejeknya.
Asih merasa bersalah bukan karena
mengecewakan orangtuanya yang tak mau lagi berjualan melainkan ia belum mampu
memberikan hasil yang memuaskan selama latihan ujian yang diselenggarakan di
sekolah terutama pada latihan ujian di tingkat Provinsi yang kata gurunya nilai
yang diperoleh dari latihan ujian tersebut dapat menjadi gambaran bagaimana
nilai asli yang akan diperoleh nantinya seperti pada tahun-tahun sebelumnya
perkiraan itu tidak jauh beda. Hal inilah membuatnya sempat terjatuh dalam
lubang kepesimisan.
Sebelum Asih meninggalkan rumah menuju
sekolah setelah berpamitan, tiba-tiba ibunya menghentikan langkah Asih.
“Bentar nak, apa kamu yakin dengan
keadaanmu sekarang?”, tanya ibu menyelidik.
“Tenang saja Bu. Lihat! Aku tidak
apa-apa kan?”, kata Asih sambil menunjukkan ekspresi senangnya untuk meyakinkan
ibunya.
“Tapi nak, Ibu tetap merasa kurang
yakin. Apa gak sebaiknya kamu gak usah berjualan dulu supaya kamu lebih fokus
belajarnya? Nanti biar Ibu saja yang berjualan”, kata Ibu menasihati.
“Tidak usah Bu, percayalah padaku. Asih
minta maaf telah membuat ibu khawatir seperti ini. Kali ini akan Asih buktikan
pada Ibu kalo putri Ibu ini bisa”. jelas Asih pada ibunya.
“Baiklah nak, Ibu dan Ayah di sini akan
senantiasa mendoakanmu dan mendukungmu”, kata Ibu.
“Terimakasih Bu. Asih pamit.
Assalamualaikum.”, kata Asih sambil melempar senyum pada ibunya.
“Walaikumussalam warrahmatullah. Sukses
anakku!”, jawab Ibu setengah berteriak untuk menyemangati Asih yang berjalan
menuju sekolah.
Tak berapa lama Asih pun sampai di depan
gerbang, setelah menempuh perjalanannya dengan berjalan kaki. Sebelum dia
benar-benar masuk di kawasan sekolahnya, dia menyempatkan diri untuk berikrar
dalam hati untuk kali ini dia tak ingin menyia-nyiakan waktunya yang tersisa
dan menyia-nyiakan kepercayaan orangtuanya sebelum Ujian Nasional benar
berlangsung.
Setelah dirasa puas sambil meghirup
udara pagi yang masih kaya akan oksigen dia pun melangkahkan kaki masuk ke
kawasan sekolah.
“Selamat Pagi, Pak!”, sapa Asih kepada
kedua satpam sekolahnya yang sedang ada di pos.
“Pagi juga, Sih!”, jawab kedua satpam
dengan tersenyum.
Di sekolah memang Asih terkenal sebagai
seorang teman yang baik dan mudah bergaul dari kacamata teman-temannya sedangkan
sebagai seorang murid, dia adalah murid yang rajin dan berprestasi. Namun,
keadaan itu tak membuatnya terlepas dari teman-temannya yang iri padanya tapi
hal itu tak membuatnya menjadi tidak percaya diri atau malah pesimis.
Dia pun melanjutkan langkah kakinya
menuju kelasnya yang berada disamping lapangan basket, tetapi saat dia tengah
melewati lapangan basket, tiba-tiba bola melayang cukup kencang dari tendangan
salah satu pemain tepat mengenai kepala Asih. Seketika Asih pun hilang
keseimbangan kemudian terjatuhlah. Terkadang lapangan basket sekolahnya dapat
beralih fungsi menjadi lapangan futsal. Pagi itu pun beberapa anak laki-laki
seangkatannya tengah asyik bermain bola sebelum masuk waktu pendalaman materi.
Pendalaman materi itu sudah merupakan program umum dari sekolah bagi siswa
kelas tiga yang hendak menghadapi UN dengan harapan hasil yang diperoleh
nantinya lebih maksimal.
Melihat Asih yang tergeletak, spontan
anak-anak yang bermain sepakbola dan beberapa teman yang menonton futsal itu
tadi menolong Asih.
“Aduh, siapa sih yang gak bisa
nendang?”, gerutu Asih kesal sambil mengusap-ngusap kepalanya tapi ia tidak
ingin menyalahkan temannya yang telah berbuat salah padanya karena dia merasa
mungkin salahnya juga karena tidak menyadari kalau lapangannya sedang ada yang
memakai.
“Kamu gakpapa? Ada yang sakit gak?”,
tanya salah seorang temannya.
“Gakpapa kok, cuman agak sakit di
sebelah sini.”, jawab Asih sambil menunjukkan kepalanya yang sakit.
Melihat ada kerumunan orang, Lissa yang
dari kelas pun heran, dia pun segera menghampiri kerumunan itu. Tak disangka
terlihat sahabatnya tengah kesakitan. Dia pun cemas dan segera menolong Asih.
“Ada apa ini? Kok kamu bisa kayak gini?
Siapa yang berani giniin kamu?”, tanya Lissa menggebu-nggebu.
“Aku gakpapa kok Lis, kamu tenang,
sekarang mending kamu bantuin aku bawain jualanku ini. Untung saja gak
kenapa-napa kalo rusak bisa hari ini aku gak jualan.”, kata Asih menenangkan
Lissa dengan menggenggam pergelangan tangan Lissa.
“Malah ngurusin jualanmu. Yaudah, nanti
aku ambilin obat dari UKS ya. Kita sekarang ke kelas aja bentar lagi juga
masuk. Awas nanti ya kalo aku tau sapa yang bikin bonyok Asih akan aku bikin
perhitungan sama dia”, jelas Lissa dengan sedikit kesal.
Lissa pun membantu Asih dengan dibantu
juga oleh beberapa teman lainnya. Sampai di kelas Asih mengucapkan terimakasih
kepada teman-temannya atas bantuan mereka. Dimata Asih, Lissa adalah sesosok
sahabat yang berarti sekali baginya karena dia selalu menjadi pelindung baginya
dari keisengan teman-temannya dan terkadang juga bisa sebagai kakak bagi Asih,
memang terkadang Lissa terlihat sedikit keras tapi itu hanya dia tujukan kepada
orang-orang yang suka mengambil hak-hak orang lain ataupun yang suka berbuat
jahat kepada orang lain. Sifat Lissalah yang membuat orang-orang segan
terhadapnya bahkan guru yang bertindak sewenang-wenang pun bisa dibuat mati
kutu oleh Lissa. Lissa tak pernah memakai fisik kalau tidak benar-benar
terdesak.
Oleh karena itu, Lissa sering dikirim
setiap ada lomba debat ataupun lomba-lomba yang bertemakan kemanusiaan. Dan
tidak mengecewakan dia selalu meraih juara dalam setiap perlombaan yang dia
ikuti. Lain halnya dengan Asih dia lebih berbakat dalam bidang keilmuan dan
seni, mereka berdua sama-sama hebatnya. Walaupun Asih dan Lissa berbeda tetapi
mereka saling melengkapi, mereka telah lama bersama dari kecil, hanya saja
kondisi ekonomi keluarga Lissa lebih tercukupi dibanding Asih. Tetap hal itu
tidak membuat persahabatan mereka pupus begitu saja. Lissa adalah orang yang
manis dan pintar sehingga wajar saja banyak orang yang mengaguminya tapi karena
sifatnya yang tidak begitu menghiraukan perasaan seseorang terhadapnya yang
membuat Lissa susah untuk ditaklukan hatinya oleh seorang laki-laki sampai saat
ini.
Setelah Asih mendapat pengobatan dari
Lissa, terdengar bunyi bel masuk untuk pendalaman materi atau lebih sering
disingkat PM. Ditengah pendalaman materi, sesekali mereka berbincang.
“Gimana dah mendingan kan?”, tanya
Lissa.
“Udah kok, malahan udah gak terasa tadi
juga gak begitu keras kok kenanya”, jawab Asih menjelaskan.
“Ya tapi tetep aja sakit kan? Gak bisa
dibiarin hal kayak gini, ya untungnya kamu gakpapa kalo seumpama kamu tadi
terus pingsan bakalan makin panjang urusannya. Awas kalo nanti aku tau siapa yang
nendang bola tadi, aku suruh dia minta maaf ke kamu sampai kamu mau maafin dia
terus janji buat lebih hati-hati lagi”, jelas Lissa pada Asih.
“Gak perlu, lagian salahku juga tadi
yang gak sadar kalo lagi buat futsal. Udahlah lupain aja mending kita fokus aja
buat ujian yang tinggal mengitung hari”, jawab Asih.
“Okedeh kalo itu maumu. Eh iya,
ngomong-ngomong ini dah tinggal 49 hari lagi kita bener-bener UN, jadi inget
drama korea yang tempo hari udah tamat aku tonton. Judulnya 49 hari, seru gak
kalo kira-kira aku bikin 49 hari kita? Itung-itung buat bahan tulisanku”, tanya
Lissa dengan semangat. “Tapi aku bakalan warnai hari-hariku itu dengan
cerita-cerita indah menjalani UN bukan sebaliknya terus itu lebih asyik kalo
sama kamu, gimana? Setuju gak?”, lanjutnya.
“Aku dukung aja ide-idemu yang terkadang
gak tau dari mana datangnya”, jawab Asih dengan nada yang menyindir.
“Iih kok kamu bilang gitu sih. Tapi
okedeh, makasi supportnya”, jawab Lissa dengan memeluk erat Asih. Teman-teman
di belakang mereka pun melihat tingkah laku mereka dengan keheranan. Tetapi
mereka tak menghiraukannya.
Suasana kelas pun kembali serius, murid-murid
pun fokus mendengarkan penjelasan guru dan mengikuti pelajaran dengan baik
sampai waktu istirahat tiba.
Murid-murid pun dengan sigap keluar
untuk menikmati waktu istirahatnya yang dirasa sangat berarti dimasa-masa harus
dihadapkan dengan soal-soal dan materi seperti ini. Asih dan Lissa pun bukan
pergi ke kantin melainkan menjajakan jualannya Asih ke kelas-kelas terlebih
dahulu. Ketika sampai di kelas 9A yang ada di pojok lorong terkuaklah kembali
insiden pagi hari tadi.
“Kamu gakpapa kan, Sih? Maaf tadi aku
gak liat kalo ada kamu disitu jadi aku terlalu semangat menendangnya.”, kata
Arsad.
“Gakpapa kok, santai aja hanya saja aku
sedikit kesal tadi pada orang yang menendang bola sembarangan, untuk itu aku
juga minta maaf”, kata Asih.
“Oh begitu baiklah, berarti sekarang
kita gak marahan lagi ya? Makasih juga atas pemberian maafmu. Oh ya
ngomong-ngomong kamu jual apa?”, tanya Arsad pada Asih dengan perasaan lega.
Namun, sebelum sempat menjawab
pertanyaan Arsad, Lissa pun sudah menghampiri mereka dan memberitahu info yang
baru saja didapatkannya.
“Eh Sih, ini dia orang yang tadi nendang
bolanya gak bener sampe kena kepala kamu tuh. Makanya kalo maen ati-ati dong!”,
jelas Lissa bersulut-sulut sambil menunjuk ke arah Arsad.
“Iya Lis, aku udah tau. Lagian dia juga
dah minta maaf ke aku kok. Aku juga udah minta maaf padanya, terus sekarang
kita gak punya masalah lagi. Yaudah yuk mending kita keluar, bentar lagi juga
mau bel”, jawab Asih malu dihadapan Arsad melihat tingkah Lissa yang terlihat
masih kesal. Untuk itu Asih mengajak Lissa keluar supaya tidak terjadi hal yang
tak diharapkannya.
Asih dan Lissa pun keluar dari kelas 9A
sedangkan Arsad belum sempat mendapat jawaban dari Asih, mereka sudah keluar.
Tetapi Arsad pun masih ingin mendapat jawaban dari Asih yang tertunda itu.
“Tapi Sih, dia harus dikasih pelajaran
juga, aku belum puas mengeluarkan kejengkelanku padanya. Setelah aku tau kalo
dia yang bikin kamu kayak gini makin sebel aku, kamu tau kan dia kayak gimana,
sombongnya minta ampun mentang-mentang banyak fansnya gitu.”, jelas Lissa
dengan kesal.
“Iya aku tau tapi kenapa sih harus
diperpanjang lagian aku sama dia udah gak ada masalah. Udah inget katanya kamu
mau bikin 49 hari kita berwarna terang kan? Masa cuman gara-gara kamu kesel
sama dia terus ngrusak planning kita?”, kata Asih sambil menenagkan Lissa.
“Betul juga. Ayo kita bikin hari-hari
kita yang tersisa ini lebih bewarna. Dan jangan lupa sama tujuan kita selama
ini lulus dengan hasil yang memuaskan dan bersih”, kata Lissa kembali
bersemangat.
Sejak hari itulah Asih memulai
hari-harinya dengan lebih semangat dan jarang sekali dia memperlihatkan wajah
murungnya lagi, ia telah bertekad untuk tidak lagi berlarut-larut dalam
penyesalan karena semua itu tidak lepas dari usaha yang telah ia lakukan dan
ridho Allah SWT. Dia selalu mengingat kata-kata dari guru mengajinya bahwa
‘Allah memberi ujian kepada hambanya tidak lain adalah untuk mengangkat derajat
hambanya tersebut’ Untuk itu Asih tidak akan lagi berprasangka buruk kepada
siapapun bahkan dia lebih percaya diri sekarang.
Tak lupa hari-hari menuju UN, Asih
jalani dengan senyuman yang selalu merekah dari bibirnya. Lambat laun dia telah
mampu membagi waktu dengan baik, dia tetap membantu ibunya berjualan tapi hal
itu tidak menggannggu proses belajarnya. Ia lewati hari demi hari bersama Lissa
sementara Asih mewarnai harinya dengan lebih banyak belajar soal dan membuat
target-target yang ingin diraihnya lain halnya dengan Lissa, sahabatnya ini
tetap menjalankan obsesinya yakni membuat karya tulisnya ’49 Days’ versi
dirinya, memang Lissa punya cita-cita sampingan sebagai penulis selain sebagai
anggota DPR yang bisa menyalurkan aspirasi rakyatnya kelak.
Sampai H-7 menuju UN tiba, saat itu Asih
dan Lissa tengah serius belajar di perpustakaan seusai pulang sekolah. Arsad
yang datang dari arah pintu masuk, menghampiri mereka.
“Permisi, apa aku boleh gabung sama
kalian? Tempat lainnya penuh?”, tanya Arsad pada mereka.
Lissa pun merasa tidak senang dengan
kehadiran Arsad, dia pun balik bertanya, “Eh mau ngapain kesini? Penuh gimana
tuh meja deket penjaga perpus masih kosong?”
“Iya tapi disana kurang terang, lagian
aku juga ingin belajar bersama kalian. Ada soal-soal yang ingin aku tanyakan,
nih?”, jelas Arsad pada Lissa.
“Tapi ya tetep saja…”, kata Lissa, saat
ia tengah bicara tiba-tiba Asih pun memotongnya.
“Sudahlah Lis, maksud dia baik kok
lagian kita kan harus berbagi dengan orang lain, dia kan juga punya hak disini.
Kamu lupa dengan misimu?”, tanya Asih menyudutkan.
“Baiklah, kamu boleh duduk disini asalkan
kamu gak bikin kami gak bisa belajar. Awas kau!”, jelas Lissa sedikit
mengancam.
“Siap boss!”, jawab Arsad dengan sikap
hormat.
Diskusi pun berjalan dengan sendirinya.
Mereka terlihat menikmati waktu belajar hari itu, tak ada hal-hal yang
dikhawatirkan Lissa tadi terjadi. Sampai perpustakaan mau tutup pun mereka
masih asyik membahas soal-soal yang masih perlu mereka pelajari. Sehingga
penjaga perpustakaan pun sedikit ketus menyuruh mereka segera mengakhiri
belajar bersama waktu itu karena hari semakin larut. Akhirnya mereka pun mau
tak mau harus mengakhirinya sampai disitu dan mereka membuat jadwal untuk
melakukan belajar bersama lagi sampai UN pun tiba.
“Yaudah, sampai jumpa besok ya. Oh ya
makasih banyak untuk hari ini. Kalian memang baik, tak seperti sangkaan
temen-temen lain. Eh iya makasih juga ya Lis, dah ngijinin aku gabung sama
kalian. Entahlah kalo tadi aku gak minta ajar sama kalian, bisa mati berdiri
aku dirumah karna gak tau cara nyelesain soal-soal tadi, kalo di tempat les
lebih sering aku gunakan untuk tidur jadi ya percuma saja”, jelas Arsad panjang
dan lebar.
“Iya sama-sama. Sori tadi aku sempet
emosi sama kamu. Okelah kamu boleh gabung sama kita kapanpun kamu mau dengan
syarat kamu bener-bener mau belajar bukan yang lain”, terang Lissa.
Akhirnya mereka pun berpisah di depan
gerbang, pulang ke rumah masing-masing dengan saling melempar senyum. Mereka
menjalani sepekan menuju UN dengan belajar bersama secara kondusif, dari
situlah keakraban Asih dan Lissa dengan Arsad terjalin, sekarang Lissa pun
perlahan-lahan menghilangkan prasangka buruknya terhadap Arsad dan mulai
melihat sisi baik dari teman lelakinya itu.
Sampai saat yang ditunggu pun tiba.
Ujian Nasional sekarang sudah di depan mata, mereka harus berperang melawan
kepesimisan diri mereka masing-masing dan maju ke medan perang dengan segala
amunisi yang telah mereka siapkan jauh-jauh hari. Asih tak lupa sebelum berangkat
ke sekolah tadi meminta doa restu kepada orangtuanya terutama ibunya dan juga
meminta doa dari adik-adiknya. Di sekolah pun semua guru dan karyawan beserta
murid sebelumnya telah menyelenggarakan doa bersama dan sebelum UN dimulai,
kepala sekolah menyempatkan untuk memberikan pidatonya.
Sebelum Asih dan Lissa memasuki ruang
ujian, Arsad menghampiri mereka dan memberikan semangat kepada mereka begitu
juga sebaliknya. Akhirnya mereka pun harus berjuang secara mandiri untuk
menaklukkan UNnya kali ini.
Tak terasa empat hari Ujian Nasional
telah mereka lewati, saat bunyi bel selesai ujian terdengar pada mata pelajaran
terakhir, di tengah lapangan terdengar sorak-sorai dari murid-murid kelas tiga
SMP yang meluapkan ekspresi kelegaannya telah menyelesaikan tugas akhirnya di
SMP. Asih dan Lissa pun turut serta dalam keramaian tersebut.
Hari demi hari seusai UN pun mereka
lewati sambil berharap-harap cemas akan hasil yang akan mereka peroleh. Setelah
UN selesai, murid-murid kelas tiga dibebastugaskan hanya saja mereka tetap
datang ke sekolah untuk mendapat info-info terbaru. Sedangkan Asih dan Lissa
pun mengalami perbincangan yang cukup serius untuk menentukan SMA yang ingin
mereka masuki. Ternyata Asih harus menerima kenyataan yang tak pernah dia
harapkan, Lissa berencana untuk melanjutkan sekolahnya di luar kota karena
mengikuti ayahnya yang dipindahtugaskan ke Jakarta. Mendengar cerita Lissa tak
bisa dipungkiri Asih pun meneteskan air mata karena dia harus berpisah dengan
sahabat karibnya. Selama ini mereka selalu bersama dimana pun mereka berada.
Semenjak hari dimana Lissa menceritakan
kenyataan pahit pada Asih, mereka jadi jarang bertemu sekarang. Itu bukan
karena mereka sedang berselisih melainkan Lissa dan keluarganya sedang sibuk
mempersiapkan kepindahannya. Dan Asih pun sibuk mengurus beasiswa yang dia
dapatkan dari sebuah lembaga yang memberikan beasiswa kepada siswa yang
berprestasi.
Setelah menunggu kurang lebih sebulan,
hari pengumuman kelulusan pun tiba. Semua murid kelas tiga ditempatkan di
lapangan dengan harap-harap cemas. Sementara wali murid berada di aula untuk
menerima hasil UN anaknya, satu per satu wali murid keluar dari aula
menghampiri anaknya dan memperlihatkan hasil yang anaknya peroleh. Sebelumnya
telah diumumkan terlebih dahulu kalau di SMP Kusuma Bangsa semua siswa lulus
dan nilai tertinggi di sekolah hanya saja belum disebutkan siapa pemilik nilai
tertinggi tersebut.
Di lapangan tersebut terlihat
pemandangan yang penuh dengan macam-macam perasaan yang terekspresikan, ada
yang menangis, senang, kalem, kecewa, dan sebagainya. Arsad pun telah
memperoleh hasilnya, dia berbagi suka pada teman-temannya yang memperoleh hasil
yang maksimal atas usaha mereka. Sedangkan, di sudut lapangan basket Lissa dan
Asih masih dengan wajah tegang dan sedari tadi terus berkomat-kamit membaca doa
menanti orangtuanya menghampiri mereka untuk menunjukkan hasil yang
didapatkannya.
Arsad pun menghampiri Asih dan Lissa.
Dia pun mengucapkan rasa terimakasihnya pada kedua sahabat ini yang telah
membantunya berhasil meraih hasil yang bagus di UN itu. Dan, Arsad berharap
hubungan diantara mereka masih dapat berjalan baik walaupun mereka sudah tidak
akan satu sekolah lagi. Di tengah perbincangan hangat itu, terlihat orangtua
Asih dan Lissa datang menghampiri mereka. Saat itu suasana menjadi terasa
tegang kala Asih dan Lissa harus membuka sendiri hasil usaha mereka. Dan dengan
perasaan yang campur aduk mereka berdua membuka amplop putih itu bersama-sama,
tak lupa mereka mengucap bacaan basmallah dan pelan-pelan mereka membuka surat
yang ada di dalamnya. Tiba-tiba perubahan ekspresi mereka terlihat dari
wajahnya dan spontan mereka bersujud syukur. Yah, tak salah lagi mereka lulus
dengan nilai terbaik yang mereka peroleh. Seketika, Lissa memeluk Asih tetapi
disitu tangis kebahagiaan pun pecah. Mereka saling memeluk erat, sedangkan
orangtua mereka dan Arsad hanya dapat memandang dengan wajah penuh senyuman.
Ditengah pelukan mereka, Asih setengah
berbisik dan menahan isak tangisnya, “Lis, akhirnya aku dapat membuktikan pada diriku
sendiri kalo aku masih mampu membanggakan orang-orang terkasihku. Alhamdulillah
atas izin Allah Ta‘ala aku mampu menjadi yang terbaik. Aku tak menyangka dapat
mematahkan anggapan orang-orang terhadapku selama ini. Terimakasih Lissa,
sekali lagi terimakasih Lis atas bantuanmu padaku”, lanjutnya.
Disitu pun Lissa paham dengan maksud
Asih, dia pun semakin erat memeluk Asih. Lissa pun lantas mengucapkan selamat
pada Asih begitu pun Arsad dan teman-teman lainnya yang entah siapa yang
mengomando, mereka datang mengerumini Asih. Asihlah peraih nilai tertinggi di
sekolahnya itu berarti dia berhak mendapatkan beasiswa dari sekolahnya yang
telah Kepala Sekolah janjikan sewaktu berpidato sebelum UN lalu. Namun, Lissa
juga masuk dalam 5 besar peraih nilai UN terbaik dia pun juga mendapatkan
hadiah pula ditambah ia juga mendapatkan hadiah dari lomba debatnya ditingkat
provinsi lalu. Asih dan Lissa saling memberikan selamat dan kenang-kenangan
terakhir baginya sebelum mereka akan jarang untuk betatap muka. Disitu pulalah
mereka saling berjanji untuk tetap bertanya kabar melalui surat dan tidak akan
melupakan kenangan indah yang mereka alami dan juga 49 hari yang mereka buat.
Untuk itu karya tulis yang Lissa buatlah menjadi kenang-kenangan terakhir
sebelum berpisah sedangkan Asih memberikan sebuah album foto yang dia buat
sendiri yang isinya foto-foto dari mereka kecil dulu sampai sekarang.
Tak lupa Asih mengucapkan rasa
terimakasihnya pada para guru dan karyawan yang selama ini telah berperan
banyak dalam kesuksesan yang Asih raih saat ini. Asih pun menghampiri ibunya
dengan wajah berseri-seri kemudian memeluk dan mencium pipi kanan ibunya.
“Terimakasih Bu, atas kepercayaan dan
doa yang tiada pernah terputus untukku selama ini”, kata Asih dengan memeluk
Ibunya.
“Sama-sama nak, Ayah pasti bangga
mengetahui hal ini dan Ibu bangga sekali padamu. Semoga adikmu kelak juga dapat
dimudahkan jalannya juga”, jawab ibunya.
“Iya Bu, Amin”, jawab Asih dengan senyum
yang tersimpul dari bibirnya.
Hari pengumuman kelulusan itu sekaligus
menjadi hari terakhir Asih bertatap muka dengan sahabat tercintanya, Lissa. Dan
sejak itulah harapan baru di keluarga Asih terlahir kembali. Asih mampu
melanjutkan sekolahnya ke SMA yang dia cita-citakan dengan beasiswa satu tahun
penuh yang dia peroleh dari sebuah lembaga ditambah beasiswa dari SMPnya itu
sehingga mampu meringankan tanggungan orangtuanya.
Cerpen yang berjudul "Perjuangan Tanpa Pandang Bulu" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Sekar Arum Purbarani. Kamu dapat mengikuti blog penulis di link: sekar-soetopo.blogspot.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Motivasi - Perjuangan Tanpa Pandang Bulu | Sekar Arum Purbarani"