Cerpen Cinta - Cinta Akhir Sekolah | Dina Agustina
Cinta, aku mau menunggu
Apakah kamu masih mencintai pria yang
sudah bertahun-tahun tak meresponmu itu?
Ya, aku tidak pernah merasa bosan
menunggunya, aku benar-benar terpikat olehnya.
Terkadang aku terlalu egois untuk tidak
dekat dengan yang lain hanya karena menunggu dia. Bukannya sok sempurna, hati
yang kumiliki untuk dia sempurnakan, aku ingin memperjuangkannya.
“fir, kamu ada buku paket kimia?”, tanya
dimas.
“eh ada nih, sebentar ya aku ambil
dulu”.
Aku yang dari tadi memakai headset
hampir tidak sadar ada yang mengajakku berbicara.
“ini bukunya dim”.
“oke pinjam ya, nanti habis mata
pelajarannya aku kembalikan kok”
Sambil mencubit pipi kanan ku dia
langsung pergi membawa buku kimia ku. Tak lupa pula sebelum aku meminjamkannya
aku sempat memeriksa apakah ada catatan-catatan aneh di dalam buku itu.
Dimas cowo tinggi yang memiliki
kharisma, cerdas, berambut cepak, ramah, lucu, dan dia sangat memiliki jiwa
kepemimpinan. hal itu yang membuat adik kelas tergila-gila padanya saat dia
memimpin suatu kegiatan organisasi di sekolah. Dia sosok kakak kelas yang tegas
untuk urusan kepemimpinan, bahkan dia banyak mengajarkan hal untukku.
Tak terasa sudah hampir 3 tahun penuh
aku menimba ilmu di sekolah ini, tempat yang mengajarkan aku berbagai hal
termasuk cinta.
Hanya tinggal hitungan bulan aku tidak
akan menikmati masa-masa belajar di sekolah ini, semua akan kutinggalkan demi
melanjut ke jenjang yang lebih tinggi yaitu kuliah.
Berbagai kenangan akan kutinggalkan,
menghilang dengan jejak yang masih bisa ku lihat. aku pasti selalu ingat
tentang sekolah ini dan aku pasti selalu ingat dia.
Tak terasa tinggal hitungan hari lagi
kami akan menghadapi UAS setelah UTS berlalu 2 bulan yang lalu.
Proses belajar mengajar pun tidak lagi
rutin untuk dilakukan terhadap kelas 12 karena guru-guru cukup mengerti
sehingga memberikan kami sedikit waktu santai.
Aku duduk di depan kelas sambil
menjalankan playlist ku, tiba-tiba pandanganku berhenti pada satu cowo tinggi
berjaket hitam itu, ya itu dimas dan… sedang apa dia dengan andini? sepertinya
mereka sedang bicara serius. tadi memang aku melihat pacar nya andini adu mulut
dengan dimas. Ya mungkin mereka menyelesaikan masalah itu.
“woy! ngeliatin siapa sih kamu?”,
tiba-tiba shinta mengejutkanku.
“dih bikin kaget aja, itu si dimas ada
masalah apa?”
“oh itu… sedikit masalah sama pacarnya
karena dia bikin pacar nya andini cemburu padahal gak bermaksud seperti itu,
salah paham saja”
“oh gitu… besok ada tanding futsal
sekolah kita lawan methodist mau ikutan nonton gak?”
“oke, ketemu di sekolah ya pergi ke
lapangan futsal nya bareng ajak yang lain juga”
“oke. sekarang yuk temenin aku ke
kantin”
Sembari meninggalkan tempat berbincang
tadi, ternyata pandanganku tak lepas dari sosok pria berjaket hitam itu. Ya aku
terlalu penasaran dengan apa saja yang mereka bicarakan.
Ku lihat sosok itu, di tengah-tengah
lapangan futsal pria tinggi berbadan ideal dengan nomor punggung 15, iya itu
dimas.
“ayo bibi bibi bibi!!! glory-glory
bibi!!!”, teriak shinta menyemangati salah satu pemain yang juga merupakan
teman dekatnya.
Ketiga temannya dari pertama kali datang
selalu ribut dan heboh, sedangkan aku? dari pertama kali memasuki lapangan
futsal hal utama yang aku lakukan hanya mencari sosok tinggi itu.
Entah apa yang membuat pandanganku tak
lepas dari sosoknya.
Dia memang sudah sering aku lihat tapi
kali ini aku sadar ternyata aku bukan sekedar kagum ataupun rasa simpati
terhadap teman seoraganisasi.
“horeeee menang!!!”, seru anak-anak. Ya
akhirnya pertandingan selesai dan sekolah ku memasuki babak final, masih ada
satu pertandingan lagi untuk menentukan ke tiga besar.
“dari tadi kamu kenapa diam aja? dari
tadi ngeliatin siapa sih?”, tiba-tiba dinda mengajakku berbicara.
“eh.. enggak kok, aku bukan ngeliatin
siapa-siapa. cowo kalau main futsal ternyata keren juga ya nda”
“ya memang iya, selama ini kamu ke mana
aja?”, ledek dinda.
Pertandingan selesai, alhasil semakin
ramai. Bahkan untuk jumpa sama pemain dari sekolah kami pun susah, akhirnya
kita kumpul lagi di sekolah.
Entah apa yang membuatku sering memperhatikan
dimas akhir-akhir ini, aku tak tahu aku hanya sekedar kagum atau lebih dari
kagum padahal hampir setiap hari kita ketemu.
“makasih ya udah nonton kita tadi,
kalian kocak teriak-teriak seperti itu ha ha ha”, kata dimas sambil menahan
tawanya.
“eh aku engga ada teriak, shinta, tari,
dinda tuh yang meneriaki kamu terus” sambungnya sambil ikut tertawa juga.
“iya deh yang penting makasih banyak ya,
lusa kita ada tanding lagi untuk masuk ke final jangan lupa ya. aku menjumpai
mereka dulu ya”, katanya sambil bergegas meninggalkan kami.
Dimas keringatan, mungkin dia butuh
istirahat dan mungkin dia terlalu bosan bicara dengan aku yang hampir tiap hari
selama 2 tahun lebih ini dia ajak ngobrol.
Terkadang ngobrol sama dia itu nyaman,
walaupun terkadang dia lebih banyak mengejek dari pada bicara serius, tapi
tetap aja itu tidak menjadi penghalangku untuk berhenti mengaguminya.
Baru terasa ketika mau tamat begini aku
baru menyadarinya kalau dia memang pria yang selama ini ada di hatiku tetapi
aku tidak pernah memastikannya.
Berawal dari kegiatan organisasi sekolah
yang kebetulan ketua pelaksana nya adalah dimas, pada saat itu dia sering
menitipkan handphone nya padaku, kemudian waktu acara makan bersama sanking
laparnya aku makan di luar terus dia kesal gitu, terus aku juga merasa bersalah
aku minta maaf dia maafin terus dia pergi gitu aja padahal handphone nya masih
sama aku.
Ya bukan hanya itu aja sih, banyak lagi
hal lain yang benar-benar membuat aku jatuh cinta terhadap pria berbadan tinggi
ideal itu.
Kadang, aku sulit membedakan mana
ketertarikan saat dan cinta beneran. Dua hal itu seakan tak punya perbedaan.
Ujian akhir sekolah pun berlalu dan
ujian nasional di depan mata. Semakin hari aku semakin tidak bisa menahan
perasaanku untuk tetap berpura-pura dan menjaga sikapku didepannya. aku tidak
berbakat untuk tidak berpura-pura suka kamu.
Siang itu ketika jam istirahat aku
sedang duduk-duduk di depan kelas dengan cewe yang kabarnya pernah dia sukain,
selain mereka memang dekat layaknya kakak adik mereka juga sekelas dan dia juga
merupakan kawan dekatku sendiri.
Entah mengapa, tiba-tiba dia lewat terus
nyamperin tuh cewek terus dia ngelus-ngelus kepala tuh cewek. Aku yang
diam-diam cemburu gini bisa apa? Terus berusaha menyembunyikan pandanganku
untuk gak ngeliatin mereka alhasil aku ketangkap basah lagi ngeliat dia sinis,
kemudian dia juga melihat aku dengan pandangan kosong.
Kemudian dia tidak bicara apa-apa dengan
ku, ini beda, tak biasanya seperti ini.
Aku mencoba membiasakan diri sebagaimana
biasanya. tapi alhasil aku tak bisa menahan perasaanku lagi, aku semakin
canggung aku semakin yakin kalau dia itu udah tau yang sebenarnya.
Seperti pepatah “sejauh-jauhnya tupai
melompat pasti jatuh juga” nah kalo ini, sepandai-pandai nya menyembunyikan
perasaan pasti terungkap juga.
Waktu adalah uang, semakin aku tak punya
waktu untuk bercerita tentang perasaanku semakin aku akan menyesal di kemudian
hari.
Dia tak pernah tahu sejauh apa
perasaanku terhadapnya, dia juga tak pernah tahu apa yang ku pendam selama 2
tahun ini berawal pertama kali menjadi kakak kelas di kelas sebelas semua
terasa menakjubkan bila di ungkapkan, aku yang selama ini hanya teman biasa
nya, teman celotehnya tiba-tiba angin membawakan hembusan cinta mungkin dia
akan merasa risih denganku. Padahal cinta tak pernah salah.
“shin, bagaimana menurutmu jika aku
mengungkapkan rasa sama orang yang selama ini tak pernah ku duga?”
“wajar-wajar saja asal ada kode etik nya
ha ha ha memangnya siapa orang itu?”
“orang terdekat kita”
“siapa? apakah kamu yakin dia orangnya
selama ini?”
“iya, dan bodohnya setelah hampir tamat
begini aku baru menyadarnya”
“aku jadi semakin penasaran, siapa sih?”
“dimas”, tukasku dengan cepat dan
singkat kemudian langsung tak kutatap lagi pandangan shinta yang penasaran itu
karena malu.
“kenapa kamu bisa suka sama dia? jadi
selama ini dia orang yang selalu membuatmu menunggu?”
“aku juga tak pernah menyadarinya, bahkan
aku tak pernah cerita soal ini kan.”
Shinta hanya terdiam seperti ada sesuatu
yang tak ingin di ungkapkannya padaku, aku tak memaksa, aku terus bercerita
tentang apa yang terjadi selama dua tahun ini.
Semuanya terasa cepat berlalu, dan
terlalu cepat untuk diungkapkan, selain dia tak pernah membuat respon positif
terhadap sikapku tapi entahlah mungkin dia terlalu risih dengan teman yang
menjadi cinta atau dia memiliki pujaan hati lain.
Hari semakin berlalu, hari semakin tak
menjadi milikku. Yang biasa nya biasa aja tapi sekarang malah menjadi tak
biasa.
Duduk-duduk di halaman depan sekolah itu
memang menjadi hobby sepulang sekolah.
Aku menelentangkan kaki ku sambil
mendengarkan lagu mengikuti alunan musik yang melow, masih kurasakan sapaan
hangatnya, masih kurasakan cubitan nya di pipiku dan masih dapat kuterjemahkan
tawa khas nya. tiba-tiba dimas yang baru datang langsung duduk dihadapanku dan
melakukan hal yang serupa dengan ku, menelentangkan kedua kakinya.
Dan akhirnya kami saling berhadapan dan
kedua telapak kaki kami saling bertemu, suatu kejanggalan tiba-tiba aku tak
bernyali untuk mengajaknya berbicara dan dia pun mengalami hal yang sama
padaku. Sorot mata nya tak lagi biasa terhadapku, kamu berdua saling curi
pandang dan aku semakin tak berani untuk memulai bicara.
Ini seperti keegoisan, tak ada yang
ingin memulai. Semuanya menjadi terasa aneh. Diam, senyap, tak ada suara antara
aku dengan dia. Yang ada hanya dia dengan teman-teman ku.
Semakin hari aku semakin gelisah apa
yang harus kulakukan dihadapannya, aku juga semakin merasa bersalah karena
telah merusak hubungan pertemanan ini. Dia yang tak tahu seberapa lama aku
memendamnya dan dia yang tak pernah inginkan aku. Mungkin Aku harus segera
mengungkapkannya.
Hari ini adalah hari perpisahan kelas 12
tahun ajaran 2011/2013 acara ini dilaksanakan tepatnya 3 hari sebelum
pelaksanaan Ujian Nasional.
“selamat pagi fira, cantik sekali hari
ini tampil feminim” tiba-tiba shinta mengejutkanku dari belakang.
“kamu baru sekali ini memuji aku, kamu
juga lebih cantik dari aku loh”
Fira asifha seorang gadis yang bukan
tomboy namun juga bukan feminim baru sekali ini dirinya disebut feminim karena
tidak pernah memakai short dress.
“dimas udah datang belum shin?”
“udah, dia ganteng sekali hari ini, aku
saja hampir terpikat olehnya”
Sambil tersenyum menatapku shinta juga
menyinggul siku tanganku.
Tak lama sebelum acara di mulai, semua
kelas 12 baris berpasang-pasangan untuk memasuki gedung acara. Tanpa ku duga,
semuanya terasa menyakitkan ketika dimas lewat hadapanku bergandengan tangan
dengan cewe yang waktu itu kepala nya di elus-elus dihadapanku, Arista dewi.
Semakin suasana nya hening, semakin
tetes air mata ingin membasahi pipiku, tetapi hati menguatkanku untuk tetap
tegar pada saat itu, berusaha tersenyum mengabaikan kesedihan, berusaha menjaga
pandangan agar tak terlihat, walaupun tak semudah yang dibayangkan tetapi tak
sesulit yang terlihat.
Ku lihat sosok tinggi itu di sudut
panggung, aku ingin sekali berbicara dengannya, akhirnya dengan sekuat hatiku
kuberanikan diri.
“kamu liat shinta gak dim?”
“aku gak tau, tadi dia sama aku tapi
setelah itu dia menghilang. ”
“hem ya udah deh, kamu mau ke mana?”
“aku nyari arista, aku mau menyatakan
cinta kepadanya” bisiknya sambil tersenyum.
“kamu yakin? wah semoga lancar ya” aku
berusaha menutupi segalanya, aku berusaha menutupi rasa yang ada.
“yakin dong, makasih banyak ya” sambil
melontarkan senyumnya kemudian dia tinggalkanku yang sedang menangis di dalam
hati.
Semua sibuk dengan urusan masing-masing,
tatapan ku dan tatapannya yang selalu bertemu ternyata tidak berguna, aku
selalu menyangka bahwa itu petanda kalau dia merasakan hal yang sama padaku.
Untuk saat-saat yang seperti ini sangat
di sayangkan kalau tidak ada pengabadian, foto bareng dimas misalnya. Tapi dia
mengesalkan, dia memanggilku tak ingin mengajak berfoto melainkan menyuruhku untuk
mengambil gambarnya.
Aku terdiam di penghujung acara, saat
doa dia berada disampingku sempat ku sentuh jemarinya secara tidak sengaja,
namun kamu hanya tertawa kecil dan pergi tanpa tau betapa senangnya aku dapat
menyentuh jemarimu.
Secara keadaan, jarak aku ke kamu tidak
jauh tetapi jarak hati aku ke kamu yang membuat jauh, ada perbedaan yang aku
rasakan namun kamu tak merasakan dan susahnya jadi aku yang tak bisa menahan
perasaanku membuat semuanya berubah, kamu tak seperti dulu lagi yang suka bercanda.
Sungguh, di situasi seperti ini ingin
kuteteskan air mataku tapi itu tidak menjadi kemungkinan bagiku karena ini
bukan tempat yang tepat untuk melakukannya.
Ku tanya diriku sendiri, bolehkah anak
gadis umur 17 tahun ini takut kehilangan kesempatannya untuk mengungkapkan
perasaannya? Terkadang aku aku terlalu memaksakan kehendakku untuk tetap
berdiri kokoh dan menjadi seorang gadis yang optimis untuk mendapatkan
cintanya.
Sore yang mendung tetapi tak kunjung
hujan ini membawaku ke dalam kegalauan, aku semakin tak kuasa menahan rasa
cemburu ku. Bagaimana mungkin aku tak merasakan hebatnya gencaran jantungku
saat mendengar bahwa dia akan menyatakan cinta kepada wanita yang sama sekali
tak pernah ku duga? Haruskah aku menjadi seseorang yang egois untuk melarangnya
menyatakan cinta kepada gadis pujaan hatinya?
Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan
di kursi pojok ini, dengan dia yang bercinta dan dengan aku yang sedang menahan
emosiku melihat mereka bersendu gurau, tertawa seolah tak ada yang tersakiti,
dan bercanda seolah tak ada yang tak senang. Langit semakin tak acuh, sesuai
dengan isi hatiku. Kurasakan langkah-langkahnya kearahku, kurasakan sapaan
hangatnya kearahku, tanpa kusadari, dia sedang berada disampingku sekarang.
“gambar kita berdua belum ada” Dia
menatapku sambil tersenyum kemudian dipanggilnya seseorang untuk mengambil
gambar aku dan dia. Ku lihat temannya menyembunyikan senyumannya melihat kami
berdua berfoto.
Mungkin sesuatu yang aku anggap suatu
kesenangan merupakan suatu keterbiasaan untuknya, itu karena dia tak mengerti
arti sikap yang telah berubah, yang benar saja aku benar-benar mencintainya.
“dim, aku boleh bicara sesuatu?”
“kamu mau bicara apa? Ya bolehlah”
“tapi kamu jangan kaget ya?”
Dia semakin bingung dan sedikit canggung
spertinya dia tahu apa yang akan kukatakan. Kuberanikan diriku, ku tarik nafas
ku sejenak untuk memulainya.
“apakah kamu tidak merasakan perubahan
sikapku terhadapmu belakangan ini?”
“rasakan”
“aku minta maaf ya kalau sudah membuatmu
tak nyaman”
“apa yang salah? kenapa kamu minta
maaf?”
“kamu ingat? Saat pertama kali kita
menjadi teman?”
“ya aku ingat, saat pertemuan kita di
suatu organisasi kan. Lalu mengapa dengan pertemuan itu?”
aku bagaikan kaktus yang memeluk dirinya
sendiri, merasakan cinta sendiri, merasakan sakitnya sendiri.
“dari situ aku mulai mengagumimu
semenjak itu, kurasa itu hal yang biasa tetapi semakin lama aku sadar itu tak
hanya sekedar kagum. Jadi selama 2 tahun ini menyimpan perasaan yang tak pernah
kamu tahu, aku minta maaf sudah membuatmu tak nyaman dengan sikapku… ”
“hah? kamu… serius?”
Dia hanya terdiam menatapku yang tak
berani menatapnya. Perlahan mataku mulai berkaca-kaca.
“kamu tidak usah menjawab aku, kamu
hanya perlu mendengar semua pengakuanku yang selama ini berpura-pura. Aku tak
perlu jawaban, aku hanya perlu pengertian kalau kamu sudah tahu tolong jaga
perasaannku.”
Dia hanya terus diam, diam, dan diam.
Hujan pun akhirnya turun membasahi jalanan di depan gedung. Sepanjang waktu
kami hanya diam dan aku sendiri semakin tak bisa menahan perasaanku bahkan aku
berusaha menyembunyikan air mata yang tertahan ini, ternyata aku tidak berbakat
untuk pura-pura tidak menahan air mataku.
Waktu terus berjalan, angin terus
berhembus, aku semakin gelisah apa yang terjadi setelah aku mengungkapkan
perasaanku. Apakah dia akan mengejarku dan berkata dia memiliki perasaan yang
sama denganku atau dia mengejarku untuk berkata “maaf aku suka arista, bukan
kamu” kalimat itu terlalu tajam untuk masuk ke hatiku.
Seiring berjalannya waktu, aku tak
pernah lagi berbicara dengannya setelah kejadian “aku mencintainya” kemarin.
Aku mulai melupakan kamu yang jauh, dan kita mulai terpisah jauh karena demi
pencapaian masing-masing. Seharusnya yang permanen “kita” bukan “aku” dan
“kamu” yang terpisah.
Sesuatu yang sudah terungkapkan walaupun
hasilnya tak seperti yang diharapkan akan lega jika seseorang itu punya niat
untuk tidak membohongi perasaannya lagi.
Hawa di kawasan ini yang membawa cinta,
suatu angin yang menyampaikan perasaan, dan sesuatu jejak yang meningglkan
kenangan. Ya aku ingat tentang 7 tahun yang lalu saat pertama kali kita kenal,
dekat sebagai teman dan kita bertemu lagi di masa depan kita masing-masing dan
di tempat ini lagi, tempat pertama kali aku mengagumimu yang ku anggap hanya
sekedar kagum.
Aku memakai kemeja putihku dengan
berstatus sebagai penulis dan kamu memakai seragam mu dengan berstatus polisi.
masa depan kita mempertemukan kita kembali, di tempat yang sederhana ini namun
ini merupakan awal yang luar biasa untukku.
“hai fir, kamu apa kabar?”
“hai juga dim, alhamdulillah kabar aku
baik. kamu?”
“sama seperti kamu. Apa yang kamu
rasakan stelah 5 tahun kita tak bertemu?
“haruskah aku menjawabnya?”
“tidak perlu, aku sudah tahu ha ha ha”
“ya kamu ga berubah dari dulu. Sudah
sejauh apa hubunganmu dengan arista?”
“tidak sejauh apa-apa, kamu kira waktu
itu aku nembak dia di terima gitu?”
Aku terdiam dan mentapnya dengan
bingung, tanpa memikirkan apa-apa lagi aku terus berusaha meyakinkan apa
maksudnya.
“aku di tolak, aku suka sama dia tetapi
ku pikir dia memiliki hal yang sama ternyata tidak”
“hah…”
“kamu, sejauh apa sekarang perasaanmu
dengan pria beberapa tahun yang lalu itu apakah masih dia yang ada dihatimu?
apakah masih dia yang kamu perjuangkan?”
ucapnya sambil tertawa kecil. Aku tak
menjawab, aku hanya tersenyum kecil dan langsung tak menatapnya. Apakah aku
salah jika masih memperjuangkanmu, meskipun aku tak bilang?
Di awan-awan aku kembali dibawanya
terbang, menerawang segala yang di langit aku kembali dibawakan terbang oleh
cintanya. Aku kembali, kembali seperti saat pertama kali jatuh cinta, jelas aku
sedang menikmati senyumnya saat ini. Kami di peretemukan kembali di tempat ini
dengan sukses.
Cerpen yang berjudul "Cinta Akhir Sekolah" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Dina Agustina. Kamu dapat mengikuti penulis melalui facebook berikut: Dinasaurus
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Cinta Akhir Sekolah | Dina Agustina"