Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Kehidupan - Kebenaran Atau Fakta | Dwi Surya Ariyadi

cerpen kehidupan judul kebenaran atau fakta

Aku berjalan menaiki tangga menuju lantai dua gedung itu. Di lantai dua banyak rak-rak buku yang berbaris berhadapan dan menjulang tinggi. Beberapa diantaranya bahkan sangat tinggi untuk dijangkau, meskipun menggunakan tangga penolong. Aku mulai dari baris rak pertama. Aku perhatikan deretan buku yang tertata disana. Aku penasaran dengan buku-buku yang terletak diatas sana. Sangat tebal dan nampaknya berusia tua. Mungkin jarang dipinjam oleh pengunjung.

Ditanganku masih terdapat dua buku yang belum aku letakkan ditempatnya. Mataku terus berputar mencari lokasi pasti letak buku itu. “Sepertinya diujung sana”, kataku lirih. Aku melihat urutan dari baris buku itu. Aku segera berjalan ke bagian ujung rak buku itu.

“Ya, disini. Akhirnya ketemu”, ujarku senang. Aku segera menempatkan kedua buku tersebut. Sebelum kutinggalkan, kupastikan kembali posisinya. “Sudah cocok”. Aku segera meninggalkan rak itu dan kembali ke meja pendorong yang berisi setumpuk buku. Kuambil buku paling atas dan kuperhatikan nomornya. “Ini di lantai tiga, lebih baik kupisahkan terlebih dahulu”. Aku kembali membagi buku-buku yang tertumpuk tersebut menjadi dua bagian.

Aku ambil kembali buku yang akan dikembalikan di lantai dua. Aku menghitung buku tersebut. “Ternyata ada lima buku”, ucapku perlahan. Mataku kembali memeriksa nomor yang tertera dimasing-masing buku. Kembali kuurutkan dari buku yang bertempat di rak terdekat sampai terjauh.

Aku kembali lagi ke barisan rak buku dan kali ini berjalan lebih kedalam. Aku tempatkan kembali buku-buku tersebut ke posisinya. “Tinggal satu buku”. Aku mengambil tangga untuk membantu meletakkan buku tersebut karena posisinya berada di bagian yang tak dapat kujangkau. Perlahan kunaiki tangga tersebut. Mataku melihat ke nomor-nomor yang tertera di rak tersebut. “Ini dia”, aku berseru ketika menemukan nomor yang pas dengan buku yang aku pegang. Secara hati-hati kumasukkan buku tersebut.

Aku menarik napas panjang. “Lumayan melelahkan”, ujarku lirih. Hari ini aku sendiri yang bertugas mengembalikan buku-buku di perpustakaan ini. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Biasanya aku pulang jam sepuluh, tapi karena hari ini ada acara di ruang baca perpustakaan jadi aku harus bekerja lembur. Aku menarik kursi didekat meja petugas. Aku duduk sejenak sambil memperhatikan buku-buku yang akan aku bawa ke lantai tiga.

Mataku menatap satu buku yang tertumpuk paling bawah. Perlahan kuambil buku tersebut dan aku letakkan di mejaku. Aku melihat sampul penutup buku yang kusam berdebu. “Siapa yang meminjam buku ini”, tanyaku dalam hati. Aku bersihkan debu-debu yang menempel di buku tersebut.

Aku lihat nomor yang tertera di tepian buku. “Koleksi lantai tiga”, gumamku. Menilik tahun keluaran buku tersebut, buku yang aku pegang termasuk buku langka. Hanya kalangan tertentu saja yang memilikinya. Selain itu, buku ini jarang digunakan oleh mahasiswa. Biasanya dosen-dosen yang telah berumur yang meminjam buku itu. Itupun hanya dosen tertentu pula. Aku sendiri masih bingung mengapa buku ini bisa keluar dari raknya. Siapakah orang yang meminjamnya. Sepengetahuanku sedari pagi, aku tak melihat catatan yang menunjukkan kalau buku ini sedang dipinjam. Sedangkan jika aku melihat dari kartu yang berada di bagian belakang buku, buku itu tercatat telah dipinjam selama tiga hari.

Aku membuka halaman buku itu. Ini adalah buku sejarah yang ditulis oleh seorang sejarawan yang hidup seratus tahun yang lalu. Namun tanggal penerbitannya tercetak dua puluh tahun sesudahnya. Sebenarnya aku belum pernah membacanya. Namun ada hal menarik yang tercetak di halaman awal buku ini. Sebuah kalimat pembuka yang merupakan pesan dari sang penulis.

“Ungkaplah fakta bukan kebenaran”,

Aku memperhatikan baik-baik kalimat itu. Sepertinya aku pernah mendengarnya. “Ya, sepertinya aku pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat itu”, kataku tiba-tiba. Jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Aku sadar aku pernah bertemu bahkan mengenal seseorang yang mengucapkan kalimat yang sama. “Yang perlu dilakukan adalah manunjukkan sebuah fakta bukan kebenaran”. Suara itu terngiang di kepalaku. “Mungkinkah dia?”, aku bertanya dalam hati.

Seseorang segera menghampiriku. “Bisa minta tolong”, katanya. Ia seorang laki-laki yang berusia sekitar empat puluhan. Perawakannya tidak berbeda jauh denganku hanya dia lebih kurus sedikit. Aku segera beranjak dari kursiku dan menghampirinya. “Tentu”, jawabku.

“Aku membutuhkan buku ini”, katanya seraya menyodorkan selembar kertas yang berisi judul dan nomor buku. Segera kuperiksa ketersediaan buku tersebut dan melihat dimana letaknya. “Buku ini terletak di lantai tiga dan termasuk koleksi khusus perpustakaan”, kataku kepadanya. “Bisakah saya melihat identitas Anda karena tidak untuk pengunjung umum”, lanjutku.

“Bisakah saudara menolong saya. Saya bukan salah satu civitas disini”, katanya. Aku segera memperhatikan dirinya. Dari penampilan aku tahu kalau dia merupakan orang terpelajar. “Sekali lagi Minta maaf. Anda tidak diperkenankan meminjam buku itu”, sergahku. Sebenarnya aku penasaran dengan dirinya. Roman mukanya tidak asing bagiku. Tapi, entahlah, mungkin hanya bayanganku saja.

 

“Tolonglah, aku mohon. Aku sangat membutuhkan buku itu. Buku itu adalah salah satu sumber karyaku. Bisakah saudara menolongku”, pintanya. “Sekali lagi mohon maaf, saya tidak bisa membantu. Namun kalau boleh saya tahu untuk apakah saudara meminjam buku itu”, tanyaku padanya. Sebenarnya aku tak tega melihatnya.

Ada satu hal yang menarik ketika aku mengetahui bahwa dia ingin sekali meminjam buku itu. Buku itu adalah salah satu buku cukup fenomenal menurutku. Dibandingkan dengan karya-karya lain yang sejenis dan ditulis dimasanya, buku tersebut memiliki sesuatu yang berbeda. Aku sendiri belum pernah melihatnya. Aku mengetahuinya dari dosenku ketika beliau mengajar sebuah mata kuliah dan salah satu sumber yang diajarkan di kelas berasal dari buku itu. Beliau berkata bahwa hanya buku tersebut yang memberikan gambaran secara menyeluruh dan seimbang tentang kejadian pemberontakan seratus tahun yang lalu.

Dan sekarang ada sesorang yang sangat berkeinginan meminjam buku tersebut. Rasa ingin tahuku tiba-tiba muncul. Siapa sebenarnya orang ini? Namun sudahlah saat ini aku tetap berpegang pada peraturan yaitu tidak diperkenankan meminjamkan koleksi khusus kepada orang luar.

“Tolonglah Tuan, ini penting sekali”, pintanya. Wajahnya menunjukkan kegelisahan. Ia segera meraih tanganku. “Tolong Tuan, jika Anda bersedia membantuku akan kuberikan sebuah buku bagus untuk Anda. Buku itu sangat popular dan Anda pasti menyukainya”, katanya sambil memegang tanganku lebih erat. Aku berpikir sejenak mengenai tawarannya. Kalau memang seperti apa yang dia janjikan dengan senang hati aku bersedia membantunya.

“Anda benar-benar akan memberikan sebuah buku padaku” tanyaku padanya. Aku menatap wajahnya lekat-lekat. “Aku bersedia membantu. Tapi tidak sekarang. Datanglah pukul sepuluh malam ketika perpustakaan telah tutup. Aku akan meminjamkan buku yang Anda inginkan dengan catatan hanya dibaca di lantai tiga tidak boleh keluar dari perpustakaan ini”, kataku. Matanya segera berbinar. “Terima kasih, terimakasih, Anda sangat baik sekali. Aku akan kembali nanti jam sepuluh”, jawabnya.

“Jadi mengapa Anda sangat tertarik dengan buku ini”, kataku sambil meletakkan buku tebal berdebu dihadapannya. Aku menarik kursi dan duduk didepannya. “Anda pernah membacanya?”, tanyanya. Tanpa berbicara aku menggelengkan kepala. “Jika telah membacanya, Anda pasti mengerti”, katanya.

Aku memperhatikan dia membuka halaman demi halaman. Matanya tertuju ke setiap tulisan yang tertera disana. Aku hanya terdiam memperhatikan gerak-geriknya. Kubiarkan dia berkonsentrasi dengan pekerjaannya karena waktu yang tersedia hanya dua jam sebelum tengah malam.

Karena bosan menunggu, aku berbalik ke mejaku. Kuperiksa kembali berkas-berkas hari ini untuk memastikan tak ada kesalahan. Aku ambil sebuah novel yang terletak diatas meja. Sambil menunggu laki-laki itu selesai, akan kuhabiskan waktu membaca novel ini.

“Sudah jam berapa ini”, tiba-tiba aku teringat kalau sekarang telah larut malam. Kuletakkan kembali novel yang baru saja kubaca. Aku bangkit dari tempat duduk dan melihat kearah pojok ruangan tempat laki-laki itu membaca buku. “Dimana dia?”, aku berseru. Aku tak melihatnya. Segera aku menuju ke meja tersebut. “Dia tidak disini”. Aku melihat buku yang baru saja selesai dibaca. Masih tergeletak diatas meja. Buku tersebut terbuka. Kuambil buku tersebut dan aku kembalikan ke raknya.

“Kemana dia?”, tanyaku. Mataku memandang sekeliling ruangan. Kutelusuri tiap baris rak dan meja. Aku tak menemukan orang itu. Aku melihat jam dinding, sudah pukul dua belas. Perasaan bingung dan gelisah segera menghantuiku. Aku takut orang itu mengambil sesuatu dari perpustakaan. Segera kutinggalkan ruangan lantai tiga setelah kupastikan tak seorang pun disana termasuk di kamar mandi. Aku kunci ruangan tersebut dan aku melangkah turun menuju lantai dua..

Aku segera menelusuri kembali rak-rak di lantai dua. Sebenarnya lantai dua telah aku kunci sebelumnya tapi untuk lebih meyakinkan, lebih baik aku periksa sekali lagi. Aku masuk ke ruangan tersebut. Suasana gelap menyelimuti ruangan. Aku nyalakan lampu utama dan segera aku berjalan memeriksa tiap-tiap sudut ruangan. “Tidak ada”, pikirku. “Apa mungkin dia udah keluar tanpa sepengetahuanku”, pikirku. Aku kembali cemas. Suasana malam mulai menggelayut. Lampu ruangan segera kumatikan dan ruangan aku kunci kembali.

“Jadi Anda adalah seorang sejarawan”, tanyaku untuk lebih memastikannya. Laki-laki itu mengangguk. “Ya benar. Aku menulis peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau untuk dapat diketahui generasi di masa mendatang”, katanya. “Anda tahu bagaimana susahnya menulis sebuah sejarah secara lengkap. Ada banyak rintangan dan hambatan yang tidak hanya dari sisi konteks sejarah yang bersangkutan. Namun sebagai sebuah ilmu sejarah harus ditulis dengan obyektif. Apapun kondisinya”, katanya.

Laki-laki itu kembali menatap buku tebal didepannya. “Dalam sejarah, tidak harus membuktikan sebuah kebenaran sebuah peristiwa tetapi lebih mengedepankan fakta. Apa gunanya kebenaran tetapi tidak terdapat fakta didalamnya. Itu bukan sejarah tetapi ‘cerita’. Jadi temukan fakta bukan kebenaran. Ungkaplah fakta bukan kebenaran”, katanya panjang lebar tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

“Tapi bagaimana kalau fakta yang ada menimbulkan goncangan bagi masyarakat. Fakta sejarah berkebalikan dengan apa yang selama ini dipersepsikan”, tanyaku dengan penasaran. “Itulah seninya. Mana yang Anda pilih kebenaran atau fakta. Dalam persidangan fakta yang diajukan bukan kebenaran. Sang pencuri merasa benar karena mencuri dari seseorang yang jahat. Hal itu benar menurutnya tapi faktanya apakah yakin kalau korban pencuri adalah jahat”, katanya.

Aku terdiam dan menunggu lanjutan kata-kata darinya. Ia memulai kembali pembicaraannya, “Biarkan aku jelaskan lebih sederhana. Mana yang lebih dulu keluar ayam atau telur. Ini adalah pertanyaan klasik. Faktanya ayam berasal dari telur. Faktanya telur juga berasal dari ayam. Keduanya adalah fakta. Lalu mana yang benar. Anda tidak harus mengatakan kedua benar. Kebenaran adalah persepsi individu hasil olah otak dan indera. Kalau saya katakan ruangan ini terasa dingin. Apakah Anda begitu saja menerimanya?. Benar ruangan ini dingin menurut otak dan indera yang saya miliki tapi tidak dengan Anda. Untuk lebih jelas, faktanya suhu ruangan 18o C. Apakah itu dingin atau tidak serahkan pada persepsi masing-masing”.

Aku mendengarkan penjelasan dengan tak mengerti. Sebagian kata-katanya agak sulit dicerna. “Lalu apa yang Anda lakukan dengan buku itu”, tanyaku sambil menunjuk buku yang telah dibuka tiga per empat bagiannya. “Buku ini akan menunjukkan padamu sebuah fakta sejarah. Bukan kebenaran yang selama ini dipahami oleh banyak orang”, jawabnya sambil tersenyum.

Ia selesai membaca buku itu dan meletakkan kembali catatan yang telah disalin ke dalam tasnya. “Sudah jam dua belas. Sesuai perjanjian. Aku telah selesai dengan pekerjaanku. Terimakasih untuk bantuan Anda”, katanya. “Oh ya, boleh aku minta alamat Anda. Seperti yang telah kujanjikan, aku akan mengirim sebuah buku untuk Anda. Kuharap Anda menyukainya”, pintanya. Aku mengambil selembar kertas kecil dan menulis alamat rumahku. “Ini alamatku”, kataku sambil menyodorkan kertas kepadanya. “Sekali lagi terima kasih”, ia mengambil kertas di tanganku dan segera menuju pintu keluar.

“Ingat apa yang aku katakan. Yang perlu dilakukan adalah manunjukkan sebuah fakta bukan kebenaran”, teriaknya sebelum menutup pintu ruangan ini. Aku masih termangu melihatnya pergi. Orang yang unik, pikirku. Sampai saat ini aku belum tahu siapa namanya. Setiap aku tanyakan ia selalu mengelak. Ia berkilah, ada saat ketika nama hanya sebuah bias untuk melihat sebuah fakta sehingga mengaburkan kebenaran yang akan dicerna. Segera kukembalikan buku tebal itu dan kumatikan lampu ruangan.

Aku baca penulis buku tebal itu. Kalimat pembuka itu jelas-jelas seperti kata laki-laki itu. “Tunggu sebentar”, tiba-tiba aku teringat sesuatu. aku segera beranjak dan menuju lantai tiga. Aku tahu pasti akan kutemukan jawabannya disana. Aku tiba di lantai tiga dan segera menuju rak baris kedua dari depan. “Disini”, seruku. Aku segera mengambil sebuah tangga.

Sebuah buku yang terletak paling atas dari rak itu kuambil. Ini adalah sebuah buku memoar lama. Debu-debu tercetak disampulnya. Segera kubersihkan buku itu. Dengan hati-hati buku tebal itu kuletakkan di atas meja.

Aku membuka daftar isi. Kutemukan halaman yang kuinginkan. Halaman itu berisi gambar-gambar jaman dahulu. Diperkirakan pengambilan gambar tersbut berlangsung seratus tahun yang lalu, ketika sebuah pemberontakan besar terjadi di negeri ini yang melibatkan banyak tokoh-tokoh penting. Hingga kini, kesimpangsiuran fakta dan kebenaran peristiwa itu masih sering terjadi.

Aku melihat foto-foto pelaku pemberontakan dan korbannya. Selain itu ada ilustrasi yang menggambarkan bagaimana kelompok pemberontak menyiksa dengan kejam dan sadis para petinggi negara tersebut. Kulihat tahun ilustrasi tersebut lima tahun sesudah peristiwa itu terjadi. Kembali aku membuka halaman berikutnya. Lagi-lagi gambar, foto, dan ilustrasi tentang pemberontakan tersebut yang kudapatkan.

Aku membuka halaman terakhir bab itu. “Ini”, aku terkejut. Sebuah foto hitam putih tertera disana. aku lihat kembali foto itu lebih dekat. “Benar tidak salah lagi”, kataku. Aku perhatikan bentuk wajah, hidung, mata, dan gaya rambutnya. Juga foto kedua disampingnya dengan orang yang sama namun berbeda cara berpakaian. “Mungkinkah dia”, aku bertanya dalam hati.

“Apakah dia benar-benar laki-laki itu. Dia nyata atau sekadar ilusiku saja”. Pikiranku berkecamuk. “Jelas-jelas dia memegang tanganku kemarin”, ucapku dalam hati. “Jadi dia orang yang menulis buku sejarah itu”.

Cerpen yang berjudul "Kebenaran Atau Fakta" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Dwi Surya Ariyadi. Kamu dapat mengikuti Facebook penulis di akun: D Surya Ariyadi.

Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Kebenaran Atau Fakta | Dwi Surya Ariyadi"