Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Keluarga - Penyesalan Tak Pernah Datang Di Awal | Erni Ristyanti

penyesalan tak pernah datang di awal

“Mila! Jangan pernah masuk ke kamarku dan mencoret-coret tugasku lagi!” teriakku dari ambang pintu saat kulihat adikku, Mila mencoret-coret tugas kliping yang susah payah ku kerjakan semalam, ku lihat ekspresi wajahnya, tak pernah berubah, wajah tanpa dosa dan selalu datar. Buru-buru ku rebut tugas klipingku, oh sial! Kliping setebal 50 halaman yang awalnya bersih dan rapi kini sudah berubah 360°!

Kliping itu kini sudah penuh dengan coretan krayon warna-warni, tulisannya pun banyak yang tak nampak lagi. Dari kejauhan ku dengar suara derap kaki menaiki tangga, pasti itu mamaku, dan pasti seperti biasa akulah yang kena semprotan ceramahnya meski bukan aku yang sepenuhnya salah.

Kulihat mamaku mulai memasuki kamarku, “Ada apa ini? Fanny! Jangan membentak adikmu seperti itu!” bentaknya.

“Tap.. Tapi si bocah bodoh itu mencoret-coret tugasku ma! Tugas yang sudah susah payah ku kerjakan semalaman!” bela ku sembari menahan air mata yang akan tumpah, sungguh! Aku benci seperti ini, aku benci di nomor dua kan oleh mamaku hanya karena si bodoh itu!

“Salah kamu sendiri menaruh tugas itu di sembarang tempat! Kalau kamu langsung menaruhnya di tas, Mila tidak akan mencoret-coretnya kan! Lagi pula kamu bisa mengprint ulang! Dan lagi, jangan sebut dia si bodoh! Dia itu adik kandungmu Fanny!” bentak mamaku lebih keras dari sebelumnya dengan menekankan setiap kata-katanya sambil menarik tangan Mila.

“Ayo sayang mama antar ke kamarmu ya” ucap mamaku lembut pada Mila dengan mata masih melotot ke arahku.

Sesaat setelah mereka keluar aku langsung menutup pintu kamarku sekeras mungkin dan menangisi nasibku yang sungguh sial, aku ingin kembali pada masa-masa 7 tahun yang lalu, disaat aku menjadi anak tunggal, di saat aku tidak di nomor dua kan, disaat segalanya indah sebelum kehadiran Mila yang di vonis dokter mengidap kelainan mental, keluargaku hanya tinggal mama dan Mila, mama dan papa telah bercerai 7 tahun yang lalu. Dengan terpaksa aku pun mengambil flashdiskku dan mengprint ulang tugasku karena esok harus ku kumpulkan. Ke esokan paginya, rupannya kesialan dari semalam belum berakhir, pagi ini jam wekerku tak berbunyi, mamaku pun tak membangunkanku, ku raih handphoneku, mataku sukses membulat saat ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 06.15

“Oh Tuhan…!! Aku bisa terlambat!” teriakku. Buru-buru ku raih handuk dan bergegas mandi dan setelah siap aku segera berlari menuju sekolahku. Memang, jarak antara rumahku dan sekolah tidaklah terlalu jauh, tapi aku paling benci datang terlambat karena dengan begitu namaku akan masuk daftar murid terlambat, dan benar saja setibanya disana, gerbang sekolah sudah ditutup dan setelah ku memohon-mohon kepada satpam penjaga sekolah barulah aku di perbolehkan masuk tetapi tetap saja aku harus menuliskan namaku di buku guru BP. Setelah itu aku pun langsung berlari menuju kelasku di lantai tiga, mengingat jam pelajaran pertama adalah Matematika dengan gurunya yang sangat menyebalkan.

Sesampainya di depan kelasku, sudah terdengar suara yang sangat akrab dengan telingaku yang sedang menerangkan pelajaran. Ya siapa lagi kalau bukan guru Matematika itu. Setelah menyiapkan mental dan mengatur nafas aku mulai mengetuk pintu kelasku, “Masuk!” Selanjutnya dengan hati-hati ku putar kenop pintu dan sontak semua mata menuju ke arahku. “Fanny! Dari mana kamu? Tahu ini jam berapa? Bisa-bisanya ya terlambat…” ucapnya sambil membetulkan letak kacamatanya. “Anu… Maaf bu, tadi saya terlambat bangun..” jawabku lirih tak berani menatap tatapan matanya yang seperti singa siap menerkam mangsanya. “Yasudah duduk! Kita lanjutkan pelajaran hari ini…” jawabnya. Dan aku segera menuju ke tempat dudukku.

Setibanya dirumah, rumah terlihat sepi, “Mungkin ibu sedang mengantar anak itu ke dokter…” pikirku, aku pun langsung menuju ke kamarku, alih-alih ingin merebahkan tubuhku di kasur tapi keadaan kamarku sangat berantakan, buku-buku pelajaranku ada di sana-sini, beberapa pun terlihat sobek. Aku menghela nafas, entah sampai kapan hal ini akan berlanjut. Kadang aku merasa Tuhan tak adil padaku, mengapa Mila dengan segala kekurangannya selalu di perhatikan sedangkan aku, yang telah membawa harum nama sekolah dan mendapat beberapa piala seakan tak dianggap, dengan malas aku mulai merapikan kamarku dan mengumpulkan beberapa lembar bukuku lalu ku tempelkan lagi pada halaman-halaman yang robek. Setelah segalanya selesai, aku menuju dapur karena perutku sudah berdemo sejak tadi, ku buka tudung saji. “Hhh tak ada apapun… Selalu begini…” keluhku.

Tak lama kemudian terdengar suara mesin mobil berhenti di depan rumahku, aku pun menuju ruang tamu untuk melihat siapa yang datang dan membukakan pintu yang dari tadi sengaja kukunci. Setelahku bukakan pintu, mama bahkan tak mau melihatku, mengatakan sepatah kata pun tidak. Hal ini berlangsung sampai makan malam, kesunyian menemani keluargaku, sesekali Mira sengaja mencari perhatian kepadaku tapi tetap saja tak ku hiraukan dan keadaan kembali sunyi senyap, aku pun memutuskan kembali ke kamar dan belajar untuk olimpiade di hari esok.

Setelah kejadian malam itu, paginya aku berusaha melupakannya meski ku tahu itu sangatlah sulit, tapi bagaimana pun juga aku harus, karena bisa-bisa karena kejengkelanku pada anak itu, sia-sia sudah belajarku semalam. Dan hasil dari olimpiade antar SMP Surabaya itu, aku dinobatkan sebagai yang terbaik dari yang terbaik. Aku pun pulang dengan sejuta kebahagiaan dengan membawa sertifikat, piala dan sejumlah hadiah lainnya, aku berharap saat aku pulang nanti mama lah yang menyambutku, mengucapkan selamat dan mau memperhatikanku kembali. Tapi saat ku tiba di rumah, mama tidak ada dan hanya ada Mila yang menemuiku di depan pintu, aku pun kembali menelan sejuta ke kecewaan, setelah itu ku taruh sertifikat dan pialaku di kamar dan aku beranjak ke dapur, tapi setelah kembali ke kamarku, aku mendapati Mila sedang mencoret-coret sertifikatku, aku pun langsung merebutnya dengan berurai air mata dan memarahi anak itu, dan lagi-lagi mama tiba-tiba muncul di belakangku dan membentakku. “Fanny! Apa-apaan sih kamu!? Dia itu adik kamu! Sabar sedikit!”

“Tapi dia mencoret-coret sertifikatku ma! Bahkan buku dan tugasku banyak yang hancur karena dia! Aku cuma ingin menjunjukkan ke mama hasil kerja kerasku! Apa salah? Tapi mama nggak pernah mau perhatiin aku! Dan lagi, selalu aku yang kena marah! Kenapa sih ma? Mama nggak adil tau nggak! Apa mama sendiri nggak marah kalau di posisi aku! Kenapa mama selalu belain dia? Kenapa dia nggak MATI aja sekalian hah!” ucapku sambil berurai air mata.

“Plak!” mama menampar keras pipi kananku. “Jangan pernah doain hal buruk Fanny! Apalagi MATI buat adik kamu ngerti! Bukannya mama nggak perhatian ke kamu, tapi dia lebih butuh perhatian mama! Apa kamu mau kaya dia gitu, IYA?” jawabnya.

“OH!” jawabku ketus dan langsung membanting pintu kamarku.

Tak lama aku mulai terlelap dengan memeluk boneka tedy bear pemberian papa dulu disertai buliran kristal bening masih membasahi pipiku. Ke esokan paginya aku berangkat ke sekolah seperti biasa, dan di sini jauh lebih menyenangkan dari pada di rumah, sejak aku memasuki kelasku, guru-guru dan para murid memberikan selamat kepadaku, bukan cacian dan bentakan seperti di rumah. Tapi saat ku pulang ke rumah, ku lihat rumahku ramai oleh orang-orang dan terpasang bendera kuning di depan rumahku. “Oh Tuhan, cobaan apa lagi ini…” gumamku. Pikiranku mulai kacau saat di ruang tamu ku lihat mayat gadis kecil tertutup kain kafan. Ku hampiri mamaku “Ma… Ini nggak beneran kan… Mama… Maaf, tadi malem aku nggak maksud buat doain…” ucapku lirih. Memang, sebenci apapun aku ke dia, tetap saja ia adikku dan aku tak pernah serius mendoakannya seperti itu. Mamaku langsung memelukku. “Iya sayang mama ngerti, maaf juga ya kelakuan mama semalam… Alasan mama lebih perhatian ke Mila itu karena dokter memvonis dia kena kanker otak dan sudah stadium akhir… Bukan berarti Tuhan itu nggak adil loh sayang… Tapi semua ini cuma cobaan yang maha kuasa…” jawabnya. Tangisku mulai pecah saat mendengar jawaban dari mama, aku bahkan tak mengetahui adikku sendiri mengidap kanker yang sudah sangat parah, aku terlalu jahat dan egois padanya dan tidak pernah mempedulikan perasaannya. Berharap dia bisa bangun kembali dan mengulang hari-hariku bersamanya pasti aku akan bersikap baik padanya di beberapa hari menuju kematian. Tapi itu hanyalah hal yang tak mungkin.

Mama menyerahkan sertifikatku yang telah di coret-coret Mila dulu. “Mama baru lihat kemarin di belakang sertifikat kamu kalau dia menggambar kita, kebersamaan kita…” ucapnya. Aku meraih sertifikat itu, ternyata disana ada gambarku, mama dan dia ada ditengahnya. Tampak sebaris tulisan yang tidak rapi, “Kakak, Mila sayang sama kakak, Mila cuma mau kakak temenin Mila main, tapi kalau Mila udah nggak ada, tolong jagain mama ya, Mila tau kakak pasti bisa kok, jangan buat mama susah dan nangis lagi ya… Mila minta maaf kalau selama ini Mila nggak jadi adik yang baik buat kakak, Mila udah jadi si bodoh yang selalu nyusahin kakak, maafin Mila ya kak. Mila sayang kakak selalu?” setelah ku membacanya inginku berteriak dan memintanya kembali, namun itu suatu hal yang tak mungkin. “Mila maafkan kakak…!!!” ucapku lirih dan menyesali segalanya yang telah terjadi.

“Salah satu hal yang tidak dapat di daur ulang di dunia ini adalah waktu yang telah terbuang. Jadi pastikanlah kamu menggunakan setiap waktumu dengan baik.”

Cerpen yang berjudul "Penyesalan Tak Pernah Datang Di Awal" merupakan sebuah cerita pendek kehidupan karangan dari seorang penulis yang bernama Erni Ristyanti. Kamu dapat mengikuti Facebook penulis di akun Ristyanti Erni.

Posting Komentar untuk "Cerpen Keluarga - Penyesalan Tak Pernah Datang Di Awal | Erni Ristyanti"