Cerpen Cinta - Pergi Dan Tak Kembali | Triyana Aidayanthi
Shiba menyandarkan tubuhnya di bangku panjang di sebuah taman. Ia memandang amplop berwarna putih berisi kertas hasil pemeriksaannya di rumah sakit barusan. Perlahan ia merobek-robek amplop itu tanpa membukanya.
“Hidupku tak lebih hancur dari benda
yang kurobek-robek ini.” Ia berdiri lalu menginjak-nginjaknya. Sekejap sobekan
amplop itu telah berbaur dengan tanah becek di taman itu.
“Setidaknya dengan begini aku tak
membebani siapa pun.”
“Aku harus melanjutkan hidupku
seolah-olah tak ada hal buruk menimpaku!”
Shiba beranjak meninggalkan taman tempat
bermainnya semasa kecil. Roda waktu serasa melaju sangat kencang, setidaknya
setelah mengetahui hasil check-up itu.
Ia mengetuk sebuah pintu rumah bercat
coklat tua. 1, 2, 3 kali, keluarlah tuan rumahnya.
“Aku kira kau takkan datang, Kak Shi..”
katanya. Lalu ia menarik tangan Shiba masuk ke dalam rumah yang telah dipenuhi
para undangan.
“Kemarin bibi bilang kakak sedikit
deman, jadi tadi aku tak menghubungi kakak tadi, aku tak mau menganggu
istirahat kakak.” Kata gadis itu. Namanya Cilla, berselisih 3 tahun dengan
Shiba.
“Oh, ya..” Shiba memakaikan sebuah
mahkota yang dibuatnya dari akar-akar pohon dan dihiasi bunga melati di kepala
Cilla. Shiba membuatnya jauh-jauh hari sebelum ulang tahun ke-17 gadis itu.
“Bagaimana, kau suka tuan putri?”
Kedua pipi Cilla seketika memerah. Kedua
bibirnya seolah ingin melontarkan banyak hal, namun tertahan. Ia memalingkan
muka dari Shiba yang masih bertahan dengan senyum di hadapannya.
“Cilla.. Happy Sweet Seventeen
Birthday!!” kata Shiba seraya memeluk gadis itu.
“Bisakah kau hidup selamanya dihatiku?
Jika suatu saat aku meninggalkanmu?”
“Maksud kakak?”
“Cilla tau, kan? Di dunia ini tak ada
yang abadi. Semua pasti kembali kepada Sang Pencipta..” perkataan Shiba seolah
menghentikan detak jantung gadis yang sedang berada di pelukannya itu.
“Engg..gg.. sudah lupakan saja ucapanku
tadi. Harusnya kita bersenang-senang dengan mereka, bukan?” Shiba menunjuk
undangan yang tengah mengerumuni sebuah meja dengan kue tart berhias 17 lilin
di atasnya. Meski masih tak menangkap maksud perkataan Shiba sebelumnya, Cilla
mengikuti gerak langkah Shiba menghampiri teman-temannya di sana. Lanjutkanlah
seolah tak ada hal buruk yang sedang menimpa, bukankah sebaiknya begitu?
Cilla berada tepat di depan 17 cahaya
lilin dengan Shiba di sampingnya.
“Don’t forget to make a best wish,
Princess..” bisik Shiba pada gadis bak seorang putri di sampingnya itu. Cilla
menghela nafas, memejamkan matanya..
Untuk yang terjadi sedetik yang lalu,
sedetik dikemudian waktu, aku harap, Tuhan memberkati kami kekuatan tanpa batas
untuk melanjutkan sebentang kehidupan yang terhampar di hadapan kami, seolah
tak ada satu hal buruk pun yang menimpa. Batin Cilla mengucapkan. Lalu satu per
satu cahaya ke 17 lilin itu padam ditiupnya. Semua undangan kemudian
menyanyikan lagu potong kue untuknya. Tak terasa sepotong demi sepotong kue
telah dibagikan untuk para undangan.
Laju roda waktu untuk melewati senyuman
dan mendatangkan air mata memang secepat kilat. Setidaknya untuk mereka yang
sedang tertimpa hal buruk, Shiba. Pusing, pening itu kini tengah
melayang-layang di ubun-ubunnya. Memaksanya meninggalkan alam kebahagiaan
sejenak lebih awal. Shiba mendekati Cilla yang tengah asyik bercanda tawa
dengan teman-teman sekolahnya.
“Bolehkah aku bersama Tuan Putri untuk
sekejap?” katanya di hadapan teman-teman Cilla yang rata-rata adalah perempuan.
Mereka senyum-senyum dan mengangguk-angguk, lalu salah seorang teman Cilla
meletakkan tangan Cilla di atas tangan Shiba.
“Nikmatilah waktu kalian, sobat!!”
katanya. Shiba membawa Cilla menuju taman belakang yang berhubungan langsung
dengan sebuah danau. Mereka duduk di atas perahu yang terikat di pohon di
pinggir danau.
“Masih tak menangkap maksud perkataanku
beberapa waktu yang lalu?” tanya Shiba pada Cilla yang baru saja menyandarkan
kepalanya di bahu Shiba.
“Ini sebuah teka-teki untukku, Kak.
Bisakah kakak tak berlama-lama membuat hatiku bertanya-tanya?” kata Cilla
sambil merapikan rambut ikal coklatnya yang ditiup angin.
Shiba memberikan selembar kertas yang
terlipat kepada Cilla. Gadis itu menerimanya tanpa bertanya lalu membukanya
tanpa ragu. Ia baca satu persatu kalimat yang tercantum di kertas itu.
“Apakah ini hadiah ulang tahun untukku,
Kak?” tanya Cilla lirih.
Setetes demi setetes air matanya jatuh
membasahi kertas yang dipegangnya itu. Shiba menyeka air mata gadis itu dengan
ibu jarinya. Cilla menahan paksa agar air itu berhenti mengalir di pipinya.
Memaksa hatinya untuk menerima sebuah kenyataan pahit di hari bahagianya itu.
“Aku sengaja menyembunyikan ini dari
semua orang karena aku tak mau mereka merasa terbebani, itu saja, tak lebih.”
Suara Shiba tak sehalus tadi kepada Cilla. Ia mulai acuh dengan gadis itu.
“Mengapa kakak tau berusaha
mengobatinya?”
“Mengobatinya? Percuma saja!! Hanya
buang-buang uang, tenaga, dan waktu.”
“Kakak berubah! Bukan Kak Shi seperti
yang aku kenal dulu!”
“Sudahlah.. umurku tak lama lagi. Ini
adalah terakhir kalinya kita bertemu dan bersama. Apa pesan terakhirmu untukku,
Cilla?”
Cilla melepas mahkota yang di kepalanya
lalu meletakkanya di samping Shiba. Shiba meraihnya lalu membuangnya ke tengah
danau. Cilla tak dapat menahan air matanya lagi. Ia bangun dan berlari
meninggalkan Shiba sambil menangis. Shiba tetap diam, tak beranjak untuk
mengejar gadis yang dicintainya itu. Ia mengambil kayuh yang tertancap di
samping perahu lalu mengayuh perahu menuju rumahnya di seberang.
Sesampainya di sana, hanya lampu di
gerbangnya saja yang menyala. Shiba mengetuk pintu namun ternyata pintu tak dikunci.
Ia langsung masuk tanpa menyapa. Ia menaiki tangga menuju kamarnya, berjalan
sedikit gontai.
“Hosh..!! hosh!! Jangan sekarang..”
“Biarkan aku berbaring dulu…”
Ia dobrak pintu kamarnya. Ia masih
ingat, sebelum pergi ke rumah sakit, ia kunci pintu kamarnya, lalu ia
meletakkan kunci kamarnya itu di dapur. Pintu kamar terbuka dan ia segera
mendekati tempat tidurnya.
“Baiklah.. di tempat yang teramat sangat
berantakan ini, kusampaikan pada malaikat yang bertugas mencabut nyawaku..”
nafasnya mulai tersendat-sendat.
“Ambillah apa yang kau perlukan, lalu
berilah apa yang kuinginkan..” Shiba menarik sisa nafasnya dalam-dalam..
“Sekian dan terima kasih.” Laju roda
waktu seketika berhenti. Ia pergi dan tak akan kembali.
Shiba terbang menuju kumpulan awan putih
di langit paling atas. Sesampainya di sana ia melihat sebuah tempat seperti
sebuah desa. Ia mengintip dari celah di pintu gerbang. Bangunan di kanannya
berwarna putih dan di kirinya berwarna hitam. Penghuni bangunan putih itu
tampak sangat bahagia dan penghuni bangunan hitam sebaliknya. Melarat,
tersiksa, sungguh mengerikan! Ketika Shiba hendak memasuki gerbang, seseorang
yang menghuni sebuah bangunan kecil mirip post satpam, mengintrogasinya.
“Siapa namamu, anak muda?” tanyanya.
“Shiba, Pak.”
“Kamu meninggal karena apa?”
“Sakit, Pak.”
“Sakit apa?”
“Kanker hati, Pak.”
“Oh, ya?”
“Ya, Pak.?”
“Baiklah, silahkan masuk.” Lalu gerbang
itu terbuka dengan sendirinya. Namun yang ada di hadapannya hanya hamparan
bangunan hitam-hitam. Jerit, tangis terdengar sangat jelas. Hawa sejuk
tiba-tiba mendadak panas menyengat. Membakar kulit Shiba.
“Aku tidak masuk surga, ya?” gumamnya.
“Tidak. Karena kau begitu menyianyiakan
segala yang diberikanNya padamu semasa hidup. Kau sama sekali tak berjuang
untuk mempertahankan satu hal pun. Sekarang nikmatilah tempat tinggal barumu!”
sebuah suara entah darimana sumbernya menjawab segala pertanyaan hati Shiba.
Dengan tertatih-tatih Shiba menapaki jalan menuju ujung Neraka.
“Lanjutkan! Seolah-olah tak ada satu hal
buruk pun yang sedang menimpa.” Gumamnya dengan lirih.
Cerpen yang berjudul "Pergi Dan Tak Kembali" merupakan sebuah cerita pendek kehidupan karangan dari seorang penulis yang bernama Triyana Aidayanthi. Kamu dapat mengikuti twitter penulis di akun @_triyanaa.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Pergi Dan Tak Kembali | Triyana Aidayanthi"