Cerpen Horror - Misteri Kado Sebuah Boneka | Csintia Maharani
Kado ulang tahun menumpuk rapi di atas meja. Di sampingnya sudah siap kue tart dilingkari dua puluh satu lilin. Hari ini ulang tahunku. Dari jumlah lilin yang disematkan pada kue tart, pasti sudah dapat mengira umurku kini dua puluh satu tahun. Bukan umur yang muda lagi, namun juga bukanlah umur yang sudah tua. Karena aku masih bisa berkarya dan melakukan sesuatu untuk keluarga, nusa, dan bangsa.
Pukul tujuh malam pesta ulang tahunku
dimulai. Kawan-kawan dengan membawa kado masing-masing sudah datang sejak tadi.
Di sinilah kami berada, di ruang tamu yang berukuran tujuh kali enam meter ini.
Ruang yang cukup luas untuk menampung kurang lebih dua puluh orang yang
meramaikan pesta ulang tahunku.
Suasananya cukup meriah, dentuman lagu
pop membahana ke seluruh sudut ruangan. Ayah, ibu, dan kedua adik perempuanku
ikut meramaikan pesta ini. Lampu-lampu hias berwarna-warni menambah gemerlapnya
malam. Pesta ulang tahun yang meriah. Kami bersenda gurau. Dan… tibalah saat
aku harus meniup lingkaran lilin di atas kue tart.
“Selamat ulang tahun kami ucapkan…”
Iringan lagu membuat hasratku terus membuncah ingin segera meniup lingkaran
lilin kecil itu.
“… Selamat panjang umur dan bahagia!
Tiup lilinya… tiup lilinnya, tiup lilinnya… sekarang juga…”
Aku berdo’a di dalam hati sebelum ku
tiup lilin. Dan inilah saatnya!
“Sekarang juga… sekarang… jugaaa… !“
Pet…
Seketika lampu mati serentak setelah
lilin ku tiup. Sontak semua berteriak, tak terkecuali aku. Bagaimana tidak
kaget, jika tiba-tiba saja ruangan sebelumnya begitu terang dengan gemerlapnya
lampu pesta seketika padam, begitu pula dengan lilin yang ku tiup.
“Ayah cek sekring di luar dulu…” ujar
ayahku sedikit cemas.
“Wah gelap banget nih…” ujar Ayna, salah
satu temanku. Kawan-kawan lain mengiyakan.
“Iya, nih… nakutin!”
Tak ingin kawan-kawanku kecewa, aku
menyusul ayah yang sibuk mengecek sekring di depan. “Aku susul ayah dulu, ya!
Siapa tahu butuh bantuanku.”
Adik perempuanku menarik tanganku.
“Jangan, Mbak. Biar aku saja. Kan, mbak sedang ulang tahun. Jadi, mbak diam
saja disini.”
Aku menyetujui usulnya. Dan, aku kini
menemani kawan-kawanku yang mulai ribut sendiri. Lima menit berlalu, ayah dan
adikku belum juga kembali. Kami terpaksa, menyalakan kembali lilin-lilin di kue
tartku, agar ada sedikit cahaya yang melegakan pupil mata kami.
Puk!
Ada yang menepuk pundak kiriku. Sontak
aku menoleh. Heran, tidak ada siapa-siapa. Aku agak merinding karena suasana
yang gelap gulita. Aku merapat pada Inna yang duduk di samping kananku. Tak
lama kemudian, ayah dan ibuku datang membawa nyala api dari korek api.
“Sekringnya terbakar, enggak bisa dibetulkan.
Biar ayah panggil tukang listrik saja.”
“Aduh, kalau panggil tukang listrik,
masih lama, dong?” Aku agak sedih. Mengapa ulang tahunku jadi begini?
Salah satu kawanku, Hendra, mengusulkan,
“Bagaimana kalau kita rayakan ulang tahunmu dengan suasana lilin saja?”
“Benar kata Hendra, Mila!” Serentak yang
lainnya menyetujui usulan Hendra.
Sebenarnya, aku tidak ingin kondisinya
menjadi seperti ini, tapi bagaimana lagi? Tak ada yang menyangka kalau ulang
tahunku kini menjadi gelap.
“Ya, sudah kalau begitu, kita potong kue
nya, yuk!” sahutku.
Ibu berdiri. “Oke, ibu carikan lilin
yang lebih banyak lagi di dapur.” Ia kemudian beranjak menuju dapur.
Pukul 00.30 WIB tengah malam. Listrik
sudah bisa dinyalakan dan kawan-kawanku sudah pulang semua. Saatnya aku membuka
kado dari kawan-kawanku. Dua puluh orang dengan lima belas kado yang berbeda.
Di antara mereka ada yang berpatungan sehingga kado tidak sebanyak jumlah orang
yang hadir. Tak apalah, yang penting kawan-kawanku sudah berkenan hadir.
Satu persatu aku membuka kado. Ada yang
menghadiahkan jam tangan, tas, bantal lucu, hingga boneka yang memiliki tatapan
dingin dan… menyeramkan!
Rambutnya ikal berwarna pirang, kusut,
dan sangat kumal. Bajunya juga kumal. Memang, benar kainnya berwarna-warni,
tapi warnanya sudah memudar bahkan kekuning-kuningan.
Kedua tangannya terbuat dari plastik, sepertinya
agak rapuh. Sedikit saja aku tekan pasti tanganya patah. Kedua tangan dan kaki
boneka itu dapat digerak-gerakkan dan ditekuk. Sehingga mampu didudukkan pada
kursi atau sekedar disandarkan pada dinding.
Ih… belum lagi wajahnya yang bak hantu!
Mukanya pucat kekuning-kuningan tapi bibirnya merah mencolok. Tersenyum tegas
dan mengerikan. Seolah-olah penuh kelicikan. Kelopak matanya mampu terbuka dan
tertutup seraya badannya terguncang. Bulu matanya lentik panjang, hitam, dan
sedikit tajam.
Aih… matanya berwarna biru dan bulat!
Jika ia membuka matanya lebar-lebar, seakan mendelik ke arahku. Seperti ingin
mencengkeramku.
Aku bergidik, tengah malam sendirian di
kamar. Aku membuka kado terakhir itu. Awalnya aku heran karena bungkus kado itu
berwarna merah legam tetapi berkilau saat terpantul cahaya. Bentuknya persegi
panjang dengan pita berwarna hitam tersemat di keempat sisinya.
Kuselidiki siapa yang memberi hadiah
ini, aku melihat-lihat seluruh sisi dan sudut kotak kado itu. Mencari kartu
ucapan. Ah, ada kartu ucapannya!
“Selamat ulang tahun Mila. Hari ini
adalah harimu! Kau akan mendapatkan keinginanmu.”
Tapi… tak ada namanya. Siapa, sih?
Kemudian, aku mengumpulkan semua kartu
ucapan yang kuperoleh. Kuingat-ingat siapa saja yang hadir malam ini, lalu
kucocokkan. Tapi, tak ada yang terlewat. Semua yang hadir, semua itulah yang
hadir pada kartu ucapan.
Lalu, dari siapa kado tadi?
Lelah berpikir, akhirnya aku memutuskan
untuk menaruh boneka itu ke kotaknya dan kuletakkan di kolong tempat tidurku,
sedangkan kado-kado yang lain aku rapikan di atas meja belajarku.
Lelah mulai merambat relung tulang
belakangku. Mataku pun juga terasa berat dan ingin sekali terpejam. Entah
berapa menit kemudian, akhirnya mataku terpejam dengan nyaman.
Kakiku bergerak-gerak? Ada apa? Apa
sudah pagi?
“Nanti dululah… capek, nih!” gerutuku
dengan mata masih tertutup.
Namun, guncangan di kakiku semakin
keras. Kurasakan tangan yang menyentuh kakiku terasa dingin. Pasti baru saja
cuci tangan. Ah! Membuatku terpaksa untuk bangun karena sentuhan dinginnya.
Mataku terbuka, tapi tak kuhiraukan ia
yang membangunkanku. Namun, tiba-tiba jempol kakiku ditarik! Begitu keras
hingga persendian tulang jempolku berbunyi. Seketika itu aku marah.
“Kira-kira, dong, kalau mau bangunin!”
aku mengangkat badanku dan hendak melihat siapa diantara anggota keluarga yang
membangunkanku dengan keji seperti itu.
Jempolku terasa linu. Sambil terus
melihat sekeliling kamarku yang remang-remang karena hanya lampu tidur saja
yang menyala. Aku menoleh ke arah jam dinding. “Ya, ampun! Ini masih jam satu
kurang lima menit! Kenapa membangunkanku jam segini, sih?! Nggak tahu apa, aku
capek! Baru setengah jam aku tidur sudah dibangunin. Ada apa sih?!”
Tak ada yang menyahut, juga tidak tampak
seorang pun di kamarku. Aku sedikit merinding. Sedangkan jempol kakiku juga
masih terasa sangat ngilu. Aku memutuskan untuk tidur lagi, meski sebenarnya
aku tidak akan bisa tidur lagi.
Benar saja, insomnia menjalar di
tubuhku. Badanku seakan tidak ingin melemas, juga mataku seperti diganjal
korek. Kantuk pun rasanya sudah hilang. Aku menutupi kepalaku dengan selimut.
Tapi… ah, itu mungkin hanya mimpi dan
halusinasiku saja. Tapi mengapa rasa ngilu di jempolku masih terasa? Ini bukan
mimpi!
Hah, selimutku ditarik! Ya tuhan,
lindungilah aku!
Seketika berhenti! Namun, aku tetap tak
ingin membuka selimutku. Karena aku yakin, tidak ada orang lain di kamarku.
Karena pintu kamarku pun tak berbunyi pertanda tidak ada seseorang pun yang
masuk.
“Apa-apaan ini?!” jeritku seraya melihat
lengan kiriku penuh dengan goresan yang dalam dan darah yang bercucuran.
Darahnya tidak banyak, namun sudah mengering. Selain itu, lebam yang membiru di
sekitar lukanya. Warna kulitku menjadi kekuning-kuningan karena pucat.
Pagi ini, aku bangun karena merasakan
perih di lenganku, ternyata memang lenganku yang tersayat. Ayah, ibu, dan
adik-adikku bergegas masuk dan menjerit melihatku. Mereka sangat terkejut
melihatku.
“Astaga, Mila!” ibuku
menggeleng-gelenggkan kepala, seakan tidak percaya melihatku. Ia menangis dan
menjauhiku.
“Mbak… kenapa Mbak berubah seperti ini?”
“Berubah?”
Adikku memberikan cermin padaku.
Seketika aku melihat wajahku, dan aku berubah! Aku menjadi… seperti boneka yang
kudapat tadi malam! Lengkap dengan lipstik merah menyala di bibirku!
Aku segera menoleh mencari kado yang
semalam kutaruh di kolong tempat tidur. Ternyata kotaknya terbuka dan tidak ada
isinya. Ke mana boneka itu?
Aku menangis! Aku tampak muda! Sangat
muda!! Bahkan nyaris seperti gadis kecil berwujud boneka. Apa ini jawaban atas
doaku semalam? Bahwa kuingin tetap muda seperti gadis kecil. Dan kini…?
Cerpen yang berjudul "Misteri Kado Sebuah Boneka" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Csintia Maharani.
Posting Komentar untuk "Cerpen Horror - Misteri Kado Sebuah Boneka | Csintia Maharani"