Cerpen Persahabatan - Maafkan Aku Sahabat | Jihan Astriningtrias
Malam yang cukup cerah. Seperti biasa Aku dan Kawan Karibku, Hanna asyik memandangi bintang-bintang. “Vera, kalau ada bintang jatuh, Apa yang kamu harapkan?” Tanya Hanna kepadaku.
Sebelumnya, aku ingin memperkenalkan
diriku. Nama ku Savera Fillyana. Bisa dipangggil Vera. Aku terlahir dikeluarga
yang berkecukupan. Aku adalah seorang gadis SMA kelas 1 (Kelas 10). Sama dengan
Hanna Kawanku. Kami sekelas sejak SMP dulu. Dan sampai sekarang, masih berkawan
baik. Aku suka menghias rambutku dengan berbagai hiasan rambut. Aku juga tipe
gadis feminim yang aku rasa cukup gaul.
Berbeda dengan Hanna. Aku rasa dia
memang feminim, namun, dia sering dibilang gadis kutu buku oleh anak-anak
dikelas. Maklum, sejak dulu, dia memang sudah gemar berteman dengan buku-buku.
Apapun bentuknya. Entah itu Novel, Majalah, Buku Pelajaran, Atau buku
pengetahuan lainnya. Pokoknya, dia adalah Si Gadis Kutu Buku sejati. Dia juga
memakai kacamata lensa tebal. Hampir disetiap aktivitas, Ia membawa sebuah buku
didalam tas, dan jika ada kesempatan, Ia akan membuka bukunya, dan membacanya.
Yah, namanya juga Si Gadis Kutu Buku.
Aku rasa, tadi Hanna meluncurkan sebuah
pertanyaan. Baiklah, harus ku jawab. “Aku berharap kita akan menjadi sahabat
selamanya, kalau kamu Hanna?” Tanya ku. Hanna menghadap ke arahku sambil
membetulkan posisi kacamatanya yang agak melorot. “Mungkin sama, tapi aku
ingin, ada sebuah perpisahan dan sedikit konflik diantara kita, aku ingin tahu,
apa kita masih bisa jadi sahabat dengan konflik itu?” Seru Hanna. Kata-kata
Hanna sebetulnya cukup membuatku terkejut.
“Apa kamu yakin menginginkannya, Han?”
Tanyaku keheranan. Hanna ternyata kurang menghiraukan pertanyaanku. Dia sedang
sibuk membaca Novel ‘The Chronicles of Narnia. The Voyage of Dawn Treader’.
“Iya, Ver, tadi kamu bicara apa?” Tanya Hanna. “Aku tanya, kamu yakin
menginginkannya, Han?” Kataku mengulang pertanyaan.
“Jelas aku yakin, apa jadinya persahabatan
tanpa konflik! Tak seru, ah! Disetiap persahabatan itu harus ada
permasalahannya, Ver.. Kalau tidak ada, dari mana kita belajar untuk hidup?
Bukannya kita bergaul untuk belajar kehidupan, ya?” Kata Hanna menjelaskan.
Tepat sekali yang Hanna bilang. Setiap persahabatan membutuhkan cobaan, agar
kita bisa belajar tentang sifat orang. “Ya, Hanna, kamu benar! Aku setuju
denganmu” Kataku menyetujui perkataan Hanna.
Hanna pun melanjutkan membaca novelnya
itu. Aku yang tak bisa berdiam diri terlalu lama, akhirnya pun membuka
percakapan lagi. “Semester satu akan segera berakhir, Han, nanti kita akan
berlibur, kamu akan liburan kemana?” Tanyaku membuka lagi pembicaraan. “Aku mau
pergi ke Pantai Lhok Nga,” Kata Hanna yang lagi-lagi membuatku terkejut. “Wah,
kamu serius mau ke Aceh?” Tanya ku seakan tidak percaya.
“Iya, Vera,” Jawabnya singkat. “Nanti
bawakan aku oleh-oleh, ya?” Tanyaku gembira. “Bagaimana, ya, Ver… Aku tidak
yakin bisa membawakanmu oleh-oleh,” Kata Hanna agak kecewa. “Liburan sekolah
nanti, aku akan pergi ke Lhok Nga, tapi aku tidak akan kembali lagi kesini, aku
akan tinggal di Lok Ngha dan sekolah disana, karena Ayahku ada pekerjaan, dan
akan kembali sekitar 3 tahun lagi! Artinya aku sudah lulus” Kata Hanna
menjelaskan panjang lebar. “Bagaimana dengan persahabatan kita, Han?” Tanyaku,
Aku jelas tak mau persahabatan kami yang telah dibangun 3 tahun lalu, tiba-tiba
terputus begitu saja.
“Aku juga tidak tahu, Ver, itu
tergantung mood kita saja, kalau kamu masih mengingatku, kita bisa kontak dengan
telepon genggam Ayahku” Kata Hanna menjawabnya dengan bijak. Aku kagum dengan
Hanna, setiap pertanyaanku, selalu saja dijawabnya dengan bijak.
“Kau sudah selesai melihat bintangnya?”
Tanya Hanna sambil menguap. Tampaknya dia sudah mulai bosan dengan event ini.
“Emm… Memang ada apa, Han? Kamu sudah bosan?” Tanyaku. Hanna hanya membalasnya
dengan menggeleng dan menguap. “Bukan bosan, Ver, tapi aku sudah mengantuk, Jam
berapa, Ver, sekarang?” Tanya Hanna. “Pukul 21:30,” Jawabku.
“Yah, kan, sudah malam… Aku harus
pulang, kalau tidak, nanti Ayah dan Ibuku menunggu” Kata Hanna gelagapan
merapihkan novelnya yang masih terbuka dipangkuannya. “Minggu depan Ulangan
Akhir, kan?” Tanya Hanna yang ingin cepat-cepat loncat dari genting rumahku. “Iya,
Hanna, lusa belajar bersama ya?” Kataku sambil memperhatikannya mengambil
ancang-ancang menuruni tangga.
“Iya, kamu jangan lupa belajar ya, Ver,
biar kita bisa lulus ke semester 2 dengan jaminan peringkat yang bagus,” Kata
Hanna sambil menuruni anak tanggga satu persatu. “Tapi, Kalaupun aku lulus, aku
tidak mungkin bisa sekelas dengan mu lagi, Hanna, kamu sudah pergi, jadi tidak
ada lagi kawan yang bisa menemani ku melihat bintang-bintang, dong?” Kata ku
kecewa, Aku benar-benar tak percaya kawan karibku akan pergi meninggalkanku.
“Tenang saja, Vera, nanti juga kamu bisa melupakanku, dan akan bisa mendapatkan
sahabat baru lagi,” Kata Hanna bijak. Namun, kali ini kata-katanya membuatku
terharu. “Aku ingin, kepergianku meninggalkan kesan yang baik darimu, jadi, aku
ingin, kamu dapat lulus ujian akhir, supaya aku tenang meninggalkan mu disini,”
Kata Hanna melanjutkan pembicaraannya.
“Baik, aku pamit pulang dulu, ya” Kata
Hanna setelah berada dibawah. “Iya, Hati-hati dijalan, ya, Han, semoga Tuhan
memberkati mu dirumah, disekolah, dan di Lhok Nga,” Kataku sambil meneriaki
Hanna yang sudah berjalan ke arah pulang. “Iya, Ver, terimakasih ya, Atas
doanya” Kata Hanna berteriak. Akupun tersenyum. Tapi setelah itu, aku masuk
kedalam rumah dengan wajah kecewa.
Mentari pagi bersinar terang benderang.
Terbit sinarnya disambut oleh kicauan merdu burung gereja liar yang biasanya
berada diatas pohon. Aku yang masih tertidur tiba-tiba terbangun karena
tersorot sinar matahari yang begitu mencolok. “Huh, ini sudah pagi sekali ya?”
Kataku sambil menggaruk kepalaku yang sebetulnya tidak gatal. Aku menyeret
handuk dan baju mandiku ke kamar mandi. Setelah aku usai mandi, aku bergegas
lari ke arah meja makan dan segera duduk.
“Vera, kok semalam kamu tidur mukanya
murung begitu?” Tanya Ibuku. “Iya, Bu, Kata Hanna, nanti semester dua dia akan
pindah ke Aceh, dan tidak akan kembali lagi kesini, dia bilang, dia baru akan
kembali nanti, 3 tahun yang akan datang, saat pekerjaan Ayahnya sudah selesai,
Bu,” Kataku dengan wajah yang benar-benar ditekuk. “Hanya masalah itu? Membuat
kamu murung? Itu masalah mudah, nanti juga banyak yang mau menemani kamu melihat
bintang-bintang, untuk menggantikan Hanna” Kata Ibuku yang bermaksud menghibur.
“Tapi, Bu, Aku kan sama Hanna sudah sangat lama berteman, jadi bagaimana
rasanya jika terpisah, apalagi ini, yang satu di Bogor, yang satunya lagi di
Aceh” Kata ku.
Aku berangkat ke sekolah dengan diantar
mobil Ayah. Aku hanya terdiam dimobil. Akhirnya, sampai juga ke sekolahku. Aku
pun keluar dari mobil. Nampak Hanna sedang menenteng sepeda birunya.
“Hanna!” Panggilku. Hanna pun menengok.
“Hey, kamu sudah sampai, Vera?” Tanya Hanna. “Iya, kita jadi belajar bersama
kan?” Tanyaku kepada Hanna. Hanna hanya mengangguk senang. Mungkin benar kata
Ibu, dia sedang memikirkan Lhok Nga, bukan aku.
Kami berdua pun masuk ke kelas
bersama-sama.
KRINGGG… KRINGGG… KRINGGG… Bunyi bel tanda
pelajaran pertama dimulai. Jam pelajaran pertama dikelas kami adalah Biologi.
Bu Donnyta, Guru Biology masuk dengan menggandeng seorang anak yang terlihat
tomboy. Dia dikuncir satu, dengan kalung berliontin peace. Dan tas yang
berwarna hitam. Entah kenapa, aku benci sekali melihatnya. Dia sepertinya
mempunyai perangai yang tidak baik. Dia lebih terlihat seperti preman
dibandingkan pelajar.
“Anak-anak, kenalkan, dia adalah siswa
baru dikelas kita, Ayo, perkenalkan diri kamu,” Kata Bu Donnyta mempersilahkan
dia memperkenalkan diri. “Hai, nama aku Darrel Rachellie, kalian bisa panggil
aku Darrel, aku nggak suka sama anak yang suka mengatur, tapi nggak memakai
aturan! Aku harap, kalian suka berteman sama aku” Kata Darrel, nama anak baru
itu.
“Hah, namanya saja yang girly, anaknya
mah preman abis” Kataku menggerutu. Hanna memperhatikanku bingung. “Kok kamu
begitu sih?” Tanya Hanna. “Itu loh, Han, aku kurang suka sama dia! Dia terlalu
kayak preman kataku, lihat! Pakaiannya, penampilannya… Pokoknya kayak anak
brandal deh” Kataku menyempaikan pendapat. “Tapi kan, Ver, kita nggak boleh
memandang orang dari fisiknya atau dari penampilannya?” Raut wajah Hanna
menandakan dia heran dengan sikapku. “Iya, tapi aku nggak suka aja sama dia,
dan aku yakin kok, nggak akan ada yang mau berteman sama dia!” Kataku menjawab
dengan panjang lebar.
Ibu Donnyta mempersilahkan Darrel duduk
dibelakang kursiku dan Hanna. Aku benar-benar kesal, “Kenapa dia harus duduk
disitu?” Tanyaku didalam hati. Tak ku sangka, Hanna langsung menegur Darrel.
“Hai, Darrel! Kenalin yah, aku Hanna, yang ini Vera” Kata Hanna menegur Darrel.
“Hanna, kenapa sih, kamu tegur dia? Aku nggak suka!” Kataku. Aku fikir aku
terlalu mengatur Hanna. “Kok kamu malah marah-marah sih? Suka-suka aku dong,
mau berteman dengan siapa, kok jadi kamu yang ngatur?” Kata Hanna dengan nada
marah. Kami akhirnya menyudahi perang diantara kami begitu sadar bahwa ini
masih jam pelajaran.
KRINGGG… KRINGGG… KRINGGG… Bunyi bel
tanda istirahat.
“Hanna, ke kantin yuk?!” Ajak ku dengan
baik. “Maaf, Vera, aku mau disini aja sama Darrel, kamu ke kantin duluan aja!”
Kata Hanna menolakku. Sejujurnya, aku sangat kesal dengan Hanna. Tapi biarlah.
Aku pun memutuskan untuk pergi sendiri, tanpa sengaja Blackberry ku tertinggal
dimeja.
Aku kembali dari kantin. Aku dapati
Blackberry ku tergeletak di atas meja dengan keadaan hancur. Tentu, aku
menyalahkan Darrel. “Darrel, kamu yah, yang merusak handphone aku?” Tanyaku
dengan nada menuduh. “Bukan, Bukan Darrel Vera, tapi aku, tadi aku mau balik
badan, aku tidak tahu kalau ada handphone mu disini, jadi tersenggol lalu jatuh
dan pecah” Terang Hanna kepadaku.
Aku tidak percaya dengan Hanna. “Oh, aku
tahu, pasti kamu sengaja membanting handphone aku, karena kamu nggak suka aku
melarang kamu berteman dengan Darrel, kan?” Tanyaku. “Aku tidak pernah sejahat
itu, untuk apa aku melakukannya, Vera?” Kata Hanna menjelaskan kepadaku. Tapi
tetap, aku tidak percaya dengan penjelasan Hanna. “Aku kecewa denganmu, Hanna,
pergi saja kamu ke Lhok Nga! Aku tidak peduli!” Kataku. Mungkin aku kelewat
kesal.
“Ya sudah!” Kata Hanna kesal.
Benar-benar tidak dapat ku percaya. Semenjak kejadian ini, kami berdua tidak
pernah bertegur sapa dan berbicara. Bahkan, Hanna pindah tempat duduk. Ini
semakin mempersulit kami untuk bertegur sapa. Apa kata-kataku yang kemarin
terlalu menyinggung perasaannya?
Benar-benar dua sahabat yang hubungannya
terputus hanya karena ‘Blackberry’. Tak ku sangka, permusuhan kami ini bertahan
sangat lama, sampai Ulangan Akhir usai pun, kami tak kunjung berbaikkan.
Jangankan untuk berbaikkan, bertegur sapa saja, kami tidak pernah. Sekarang,
Hanna lebih suka bermain dengan Darrel dan bukunya. Sedangkan aku, tak punya
kawan untuk melihat bintang lagi. Bahkan, saat ingin belajar bersama pun, Hanna
tidak datang kerumahku.
TENG… TENG… TENG… Yah, waktunya.
Pembagian raport pun dimulai. Seperti biasa, Hanna lah yang mendapatkan juara
pertama dikelas. Dan aku, hanya masuk sepuluh besar. Yang tak kusangka, Darrel
mendapatkan juara 3.
Pulang dari pembagian raport, aku
terlihat lemas. Jelas, hanya dapat peringkat 10 besar. Tak ku sangka, tiba-tiba
Hanna menghampiriku. “Aku pamit ke Lhok Nga, doakan tak ada apa-apa selama
perjalananku, ya?” Kata Hanna dengan nada yang tidak ceria. Aku hanya
mengangguk. Ternyata, harapan kami tidak dikabulkan. Ternyata, kami memang
dinasibkan tidak mempunyai kesan yang baik di kepergian Hanna ke Lhok Nga.
Hanna sudah dalam perjalanan ke Aceh.
Semoga dia selamat sampai tujuannya. Aku tak akan menemukan sahabat sebaik dia
lagi. Harapan dia benar-benar dikabulkan Tuhan. Ada perpisahan, dan ada
konflik. Untunglah, itu bukan perpisahan untuk selamanya.
Sudah hampir satu tahun lamanya. Tapi
Hanna tidak ada kabar. Ternyata dia benar-benar melupakanku. Mungkin aku tidak
penting lagi untuknya. Semester pertama dikelas dua pun sudah hampir selesai,
benar-benar tidak ada kontak antara Hanna denganku, Andai saja dia menelponku,
aku ingin memberitahu bahwa blackberry ku hanya rusak ringan.. Aku sangat
merindukannya. Selama satu tahun ini, aku malah jadi senang berkawan dengan
Darrel. Suka melihat bintang bersama, dan melakukan hal yang biasanya ku
lakukan bersama Hanna.
“Darrel, Ini sudah bulan Desember. Apa
Hanna pernah punya kontak denganmu, Rel?” Tanyaku kepada Darrel sambil memandangi
bintang-bintang dilangit. “Dia pernah mengontakku sekali, lewat telepon… Tapi
setelah itu, kami tidak pernah kontak lagi,” Kata Darrel menjelaskan. “Hufft,
andai saja.. Dimalam minggu ini, dia menelpon ku. Maka aku akan sangat senang,”
Kataku mengutarakan perasaanku kepada Darrel. Darrel hanya mengangguk.
“Sudah dulu, ya, Vera! Aku sudah
mengantuk! Besok kan hari Minggu, jadi kita bisa main lagi besok, nanti aku
akan kesini deh” Kata Darrel. “Jadi sekarang kamu mau pulang?” Tanyaku. Darrel
hanya mengangguk dengan uapan yang lumayan besar. “Ya sudah, hati-hati dijalan
ya, Rel” Kataku. Darrel melambaikan tangannya ke arahku. Akupun masuk ke kamar.
Aku pun mengeluarkan diary ku. Dan
menulis diary.
Sabtu, 25 Desember 2004
Dear diary, hari ini aku merasa ada yang
mengganjal. Aku ingin sekali bertemu dengan Hanna. Entah kenapa, aku merasa
sangat merindukannya. Dan aku punya firasat, tak akan lagi bertemu dengannya.
Ada apa dengan Hanna? Apa dia sedang sakit? Ah, mungkin ini hanya perasaanku.
Tuhan, bintang, bulan, jaga Hanna ya?
Aku pun menutup diary ku dan bergegas
memejamkan mataku.
Mentari pagi berkilau menyambutku. Kali
ini aku bangun sangat siang. Aku baru bangun pukul 09:05. Aku pergi keruang
keluarga. Ku dapati remote televisi disana. Akupun duduk dan menyetel televisi
hitam ku. Tepat disuatu acara berita.
Permirsa, gempa bumi yang terjadi di
Aceh tadi pagi pukul 08:00 ternyata menyebabkan tsunami yang besar.
Diperkirakan, tsunami kali ini adalah tsunami terbesar di Indonesia selama
sejarah. Ribuan orang tewas dalam peristiwa mengenaskan ini. Para peneliti
sampai sekarang masih menyimpulkan bahwa daerah yang paling banyak memakan
korban adalah daerah Ule Lhee, Peukanabaru, Lhok Nga, Banda Aceh dan beberapa
daerah di sekitar pantai Aceh lainnya. Diperkirakan, Hanya sebagian kecil orang
yang berasal dari daerah-daerah tersebut yang dapat selamat. Saya, Marcellie
Darmanti, dari Bandar Udara Bilang Bintang, Nagroe Aceh Darussalam melaporkan.
Apa? Aceh? Lhok Nga? Tsunami besar?
Hanna? Apa dia sudah meninggalkanku? Sudah meninggalkan kenangan persahabatan
kami? Dia tak mungkin bisa menyelamatkan diri, pasti Ia meninggalkan
kacamatanya. Dia tidak mungkin dapat melihat dengan mata rabun jauh -9,25.
Pasti dia sudah diterkam lintingan air besar dari arah utara Aceh itu. Apalagi,
Lhok Nga itu kan daerah pantai? Dan dataran rendah. Ya Tuhan… Tak sadar, aku
menitihkan air mataku.
Sekarang, aku tahu kenapa firasatku
semalam tidak enak. Aku tahu kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya.
Mungkin, karena jika aku bertemu dengannya semalam, itu akan jadi pertemuan
terakhir kami. Dan aku yakin itu akan sangat berkesan. Kenapa kita harus
meninggalkan kesan tak baik? Hanna pergi jauh meninggalkan ku. Bukan sekedar
hanya ke Lhok Nga, tapi ke surga sana. Tempat yang sangat jauh.
Tiba-tiba… TING NONG… TING NONG… Bel
rumah ku berbunyi. Ku bukakan pintunya. Ku dapati Darrel sedang berdiri. “Kamu
sudah tahu tentang Aceh, Vera?” Tanya Nya ketika aku membukakan pintu. Aku
hanya mengangguk lemas. “Mungkin Hanna sudah pergi, dia ingin kita tabah
menerima kepergiannya!” Kata Darrel. Aku tak bisa menghentikkan air mataku. Aku
hanya bisa menangis, tidak mungkin Si Gadis Kutu Buku yang dulu ku kenal sangat
humoris, ceria dan bersemangat, tiba-tiba meninggalkan kami begitu saja.
“Masuk, Rel” Kataku mempersilahkannya
masuk. Aku benar-benar membendung kepedihan. Hanna, kenapa kamu harus pergi?
“Sudah lah, Vera, belum tentu dia pergi, sebagian kecil yang selamat, bukan
berarti Hanna tak selamat, kan?” Tanya Darrel menenangkanku yang sedang shock
berat dengan peristiwa Aceh itu.
Akhirnya, Aku dan Darrel pun bermain
dengan perasaan tidak tenang, Channel yang tidak menayangkan acara berita pun
kami ganti. Setiap perkembangan dari Aceh sana kami dengar jelas. Kami juga
ingin tahu bagaimana keadaan Hanna. Tepat saat aku sedang menekan tombol remote
televisi, sekelebat ku lihat Tim Penyelamat sedang menggotong anak seumuran
kami. “Yah, Hanna! Dia Hanna, tidak salah lagi!” Kataku kepada Darrel. Pembawa
acara televisi pun mewawancarai orang yang tadi menggotong Hanna.
“Pak, bagaimana keadaan gadis ini?”
Tanya Si Pembawa Acara. “Dia sudah meninggal, kami prediksikan kepalanya
membentur sisi-sisi bangunan, bahkan, denyut jantung dan denyut nadinya pun
sudah tidak ada lagi, Medis pun sudah mengatakan bahwa gadis yang berasal dari
Lhok Nga Utara ini sudah meninggal dunia,” Kata Tim Penyelamat tadi.
“Semuanya sudah jelas, Darrel.. Hanna
sudah meninggal, dia meninggalkan kita berdua, tanpa pamit” Kataku sambil
menitihkan air mata. Darrel yang terlihat sangar pun terlihat meneteskan air
matanya. Tampaknya dia juga sedih dengan kepergian Hanna.
@@@
3 haripun berlalu. Peristiwa mengenaskan
yang menimpa Hanna di Aceh pada hari Minggu lalu ternyata tinggallah kenangan.
Namun, Aku masih sangat menyesali kepergian Hanna. Aku melamun di pekarangan
rumahku. Tiba-tiba, berdiri didepan pagar rumahku seorang yang berseragam
oranye, berkombinasikan warna hitam. Bersepatu dan berhelm. Aku beranjak dari
tempatku duduk. Aku pun menghampiri gerbang dan membuka kan pintu gerbangnya.
“Ada apa, Mas?” Tanyaku. “Savera
Fillyana nya ada?” Tanya Petugas tersebut, yah, dia adalah seorang tukang pos.
“Iya, kebetulan saya sendiri” Kataku. “Ini Mba, ada surat dari Aceh, surat ini
dikirim satu hari sebelum bencana tsunami di Aceh terjadi” Kata Tukang Pos
tersebut. Hatiku amat senang mendengarnya. Sebetulnya, aku terharu juga. Dengan
sigap, ku ambil surat itu. “Terimakasih, ya, Pak!” Kataku sambil mengambil
surat yang ada ditangan tukang pos tersebut. “Sama-sama, Mba” Kata Tukang Pos
siap mengendarai motornya.
Tak sabar, ku buka surat itu. Yah, tidak
salah lagi, surat dari Hanna.
Dear My True Best Fiend, Savera Fillyana
At Bogor City
Lhok Nga, Aceh, 25 Desember 2004
Vera, maaf, aku baru bisa menghubungi mu
sekarang. Aku baru mengirimkan mu surat sekarang karena baru sekarang aku
mempunyai waktu luang untuk menulis dan mengirimkan surat ku ke kantor pos.
Maklum lah, disini aku sangat banyak kegiatan dan jarak antara rumahku dengan
kantor pos sangat jauh. Aku tidak bisa menghubungi mu lewat telepon karena aku
pikir Blackberry mu yang kemarin masih rusak. Jadi, aku yakin, kamu tidak bisa
ku hubungi lewat telepon. Disini juga jarang ada sinyal. Jadi, aku susah
menghubungi mu dengan telepon rumah.
Vera, aku ingin minta maaf, karena
beberapa hari sebelum aku pergi ke sini, aku agak menjauh darimu. Tapi itu
semua aku lakukan supaya kamu tidak terlalu kehilangan aku saat aku pergi
kesini. Aku ingin membuat kamu berpikir seolah-olah aku ini tidak begitu
penting untukmu. Dan masalah Blackberry mu itu, kapan-kapan aku ganti, ya!
Soalnya, disini selain sekolah aku juga kerja sambilan. Meskipun hasilnya nggak
seberapa, tapi aku yakin kok, kalau aku kumpulkan terus, lama-lama akan cukup
untuk mengganti telepon genggam mu itu.
Aku mengirim surat ini, karena aku
yakin… Sampai sekarang, kamu masih marah sama aku soal Blackberry dan Darrel.
Aku Cuma mau bilang ke kamu, aku sangat menyesal karena telah menyenggol
Blackberry-mu sampai jadi hancur dan rusak. Aku juga mau menyampaikan, kalau
aku itu, sayaaaa….ng banget sama kamu. Aku ingin, persahabatan kita bisa sampai
tua nanti. Tapi rasanya nggak mungkin, kamu sangat marah dan pasti membenciku.
Tapi, meskipun begitu… Aku akan tetap sayang sama kamu kayak dulu, waktu kita
masih bersahabat.
N.B. Balas ya, kalau kamu membaca surat
ini, tapi kalau tidak mau dibaca, dibakar saja, anggap saja tidak penting.
Salam Sahabat,
Hanna Cempaka Risa
Setelah membaca surat ini, aku pun
menangis, aku tak menyangka kalau Hanna masih mengingatku, bahkan masih
menyayangiku. Aku kira dia benar-benar marah dengan tuduhan yang kutujukan
padanya tentang Backberry itu. Oh, Tuhan… Aku sungguh menyesal, sahabat sebaik
dia, yang sama sekali tidak punya rasa dendam ataupun rasa benci kepada orang
yang telah dengan jahat memfitnahnya. Tuhan, kenapa aku harus sebodoh ini?
Masalah Darrel… Kenapa dulu aku harus
membuat Darrel menjadi masalah? Kenapa? Tega-teganya aku menuduh orang yang
sangat sayang padaku, yang masih menganggapku sahabat. Aku benci dengan diriku
sendiri. Kenapa aku sebodoh ini Ya Tuhan? Kenapa engkau baru membuat hati ini
terketuk saat dia sudah meninggalkan ku, meninggalkan dunia ini?
Tuhan, jika waktu dapat diulang… Aku ingin
mengulang waktu. Aku ingin merubah semuanya. Aku akan larang dia pergi ke Lhok
Nga sana. Aku ingin mengatakan pada nya, bahwa Blackberryku hanya rusak ringan
dan tidak perlu diganti. Aku tidak ingin melarangnya berkawan dengan Darrel.
Aku ingin mengatakan bahwa aku juga masih sangat menyayanginya. Aku akan
katakan, betapa berharganya seorang ‘Hanna’ bagiku. Dan yang paling ingin aku
katakan padanya adalah ‘Maafkan aku, Sahabat…’
Posting Komentar untuk "Cerpen Persahabatan - Maafkan Aku Sahabat | Jihan Astriningtrias"