Cerpen Fantasi - Five Island | Saw-Truth
Jaka menyeka bulir-bulir keringat di keningnya sambil duduk di bawah salah satu Rock Mushroom yang menjulang di sekitar puncak Brahma. Rock Mushroom adalah bebatuan vulkanis yang tercipta dari lava yang menyembur dari retakan kulit gunung. Semburan itu membeku sesaat setelah mencapai puncak semburannya.
Lingkungan Brahma begitu dingin, karena
itu lava panas yang menyembur akan segera membeku karena perbedaan suhu yang
drastis, dan kemudian menciptakan topografi Brahma yang memang terkenal
menakjubkan.
“Jaka..!”, sebuah suara yang Jaka sangat
kenal (karena suara itu yang terus mengganggu telinga Jaka selama perjalanan
ini) memanggil namanya.
Jaka berdiri.
“Di sini..!”, teriaknya lantang. Agaknya
duduk selama beberapa menit tadi telah me-refresh tenaganya yang habis terkuras
selama pendakian.
Artha, adik sekaligus fotografer Jaka
nampak terengah menghampiri tempat ia duduk.
Gadis berambut kuncir itu melepaskan MPC
(Multi-Picture-Capturer, alat semacam kamera yang diintegrasikan ke syaraf
mata, dan bekerja dengan refleks alami tubuh) dari mata kirinya dan duduk
disamping Jaka.
Artha mendongak ke atas, menatap payung
Rock Mushroom yang berdiameter sekitar 30 meter itu. Batuan vulkanis berbentuk
jamur payung itu benar-benar berguna untuk pendaki macam mereka.
“Dapat berapa gambar?”, tanya Jaka
sambil menawarkan sebotol air.
Artha tak langsung menjawab, mulutnya
masih sibuk meneguk setengah botol air yang diberikan Jaka.
“umm..
Mungkin sekitar 600-an gambar..
Memori MPC-ku tinggal 75 terabytes
sepertinya..”, jawab Artha seraya menyeka air yang berleleran di bibirnya.
Jaka berdiri. Tangannya meraih tas
punggung dan mengambil sebuah Binoculars biasa dari sana. Dari balik teropong
pengukur jarak itu mata Jaka mengamati puncak kepundan Brahma yang terus
mengepulkan asap abu-abu.
“Masih jauh?”, tanya Artha yang sudah
berdiri disampingnya.
“Yahh..
Kurasa cukup jauh bagi kita untuk
menghabiskan beberapa botol air lagi.”.
Narada terbangun dari ranjangnya dengan
terengah dan peluh membasahi seluruh tubuhnya.
Segera suara-suara berfrekuensi rendah
mirip transmisi radio memenuhi telinganya.
“K-Keris Garudayana..!”, bibir keringnya
yang menghitam itu nampak komat kamit. Wajahnya dilumuri ekspresi kecemasan.
Pria tua itu segera melonjak dari tempat
tidurnya bak disengat aliran listrik.
Jubah hitam disambarnya. Dengan tergesa
dia berlari keluar dari rumah -atau gubuknya- yang terletak dibalik gunung
Brahma, tersembunyi diantara belantara bebatuan.
Dengan napas yang tersisa Narada bersiul
kuat-kuat. Panggilan itu lantas di jawab kepakan dan lengkingan mengerikan dari
atas langit. Detik berikutnya makhluk berbentuk campuran serigala dan kelelawar
mendarat dengan anggun disampingnya.
“Antar aku ke kepundan.”.
“Jaka..
Menurutmu nggak apa kita menerobos
kesini?”, celetuk Artha.
“Hei, kenapa baru protes sekarang? Kita
sudah sejauh ini. Apa kau mau menyerah gitu aja?”,
“Iya sih. Tapi..
Aku merasakan firasat buruk tentang
ini..”.
Jaka terdiam. Dia tahu dia tak bisa
meremehkan begitu saja firasat Artha. Pengalamannya mengajarkan bahwa firasat
adik perempuannya itulah yang seringkali menyelamatkannya dari bahaya.
“Kamu yakin, Ar?”, tanya Jaka. Mencoba
meyakinkan Artha. Walau lebih seperti menenangkan diri sendiri.
“Yakin, Jaka..”, tambah Artha. Menatap
mata hijau Jaka, mencoba meyakinkan kakaknya, walau ia sendiri tak tahu pasti
apa yang sebenarnya menanti di puncak sana.
Jaka memandang puncak Brahma yang
tinggal beberapa ratus kaki menurutnya. Merasa sayang jika perjalanan yang
mendekati akhir ini mesti ia batalkan. Banyak yang sudah ia pertaruhkan demi
mengungkap sakralisme puncak Brahma. Padahal sejauh yang ia selidiki, Brahma
memiliki tenaga endogen cukup besar, yakni tenaga vulkanis dari dorongan lava
gunung Brahma. Namun, telah terlalu lama mengakar dalam pikiran para penduduk
Eastern Java, bahwa puncak Brahma adalah tempat yang winingit. Tempat para
dewa. Tak seorangpun memiliki akses ke tempat itu. Siapapun. Dengan alasan
apapun.
“Aaaahh..!”, suara lengkingan Artha
menerpa belakang kepala Jaka. Jaka menoleh ke belakang.
Artha menunjuk ke langit dengan ekspresi
yang ganjil. Matanya menyiratkan kengerian.
Mata Jaka segera mengejar ke arah yang
ditunjuk Artha. Bulu romanya mendadak meremang. Matanya terbelalak.
Sesosok kakek tua menatap tajam mereka
dengan mata semerah darah. Dia menaiki serigala yang seakan-akan memiliki sayap
kelelawar di kaki depannya.
Tangan Jaka meraih tangan Artha secara
refleks.
Artha kaget karena tiba-tiba ditarik
Jaka dengan tenaga tak biasa.
Artha merasakan cengkraman di lengannya
menguat, dan entah karena alasan apa, Jaka malah menarik Artha ke arah puncak.
“kak Jaka..!
Kakak kenapa?!”, tanya Artha panik.
Jaka tak menjawab. Artha menatap Jaka
ngeri. Aura Jaka berbeda dari biasanya, dan Artha hampir menangis karena
gelapnya aura itu.
“Kembali, Anak muda!”, teriak parau
orang tua yang menghadang mereka itu. Dengan sigap tunggangan orang tua itu
menyusul Artha dan Jaka secepat kilat.
Jaka bergeming. Tak mempedulikan baik
teriakan orang tua yang mengejarnya maupun kepanikan adiknya yang hampir
menangis di belakangnya.
Puncak Brahma tinggal beberapa meter,
Jaka mendadak berhenti. Dia menengok ke belakang.
Artha terjatuh. Dia baru tersadar mata
kanan Jaka telah berubah merah. Pola-pola mirip kobaran api kecil berwarna
hitam juga mulai menghiasi wajah kanannya.
Telunjuk Jaka terangkat perlahan ke arah
orang tua itu.
Dan tanpa kendali dari penunggangnya,
serigala-kelelawar itu mendarat di depan Jaka. Menghormat pada Jaka dengan
menekuk satu kaki depannya.
Tindakan liar itu membuat sang
penunggang tersungkur di depan Jaka.
“Berani-beraninya kau, Narada..”, ujar
Jaka parau, suaranya mendadak turun beberapa oktaf dan memberat.
“Pesuruh rendahan macam dirimu hendak
mencegahku terhadap Garudayana?”.
Narada mendongak. Matanya tak asing
dengan aura yang pernah ia lihat tiga setengah abad lalu itu.
“Sat-Satya Gatotkaca..?”.
Cerpen yang berjudul "Five Island" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis dengan nama pena Saw-Truth. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di akun: faiz romdhoni.
Posting Komentar untuk "Cerpen Fantasi - Five Island | Saw-Truth"