Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Kehidupan - Bermain Dengan Sang Kematian | Dwi Surya Ariyadi

cerpen bermain dengan sang kematian

Tak ada yang bisa menolak kematian. Saat kematian memasuki ruangan, semua kesenangan hilang. Kebahagian berganti menjadi duka. Awan hitam kegelapan menyelimuti setiap relung jiwa yang ditujunya. Dan sekali lagi tak ada yang bisa menghindarinya.

Di sebuah ruangan sang Kematian berdiri menatap mangsanya. Ekspresinya penuh kekejaman. Jubah hitam yang tersampir dibahu terus menebar aroma kengerian. Mata merahnya menatap lurus kedepan, melihat seseorang yang tak lama lagi akan berpisah dengan dunia.

“Kau tidak bisa lari lagi dariku”, seru Kematian dengan suara tinggi dan memekakkan telinga. “Waktumu telah tiba, dan sudah saatnya kau kujemput”, lanjutnya tanpa mempedulikan raut wajah ketakutan korbannya. “Persiapkan dirimu”, segera sang Kematian bergerak lebih mendekat. Angin dingin melingkupinya. “Kali ini aku berhasil mendapatkan dia”, serunya.

“Tunggu dulu”, seru laki-laki itu. Tubuhnya masih menggigil. Ia tahu ketakutan telah menyelimuti jiwanya. Namun, dengan sepercik keberanian dia berusaha melawan sang Kematian yang kini berdiri dihadapannya. Ia tahu cepat atau lambat kematian akan menemuinya. Seperti yang telah ia saksikan terhadap istri sendiri dan beberapa orang kawan dan kerabat terdekatnya. Bahkan anak laki-laki tercinta pun tak luput dari kematian. Ia berusaha melawan. Sudah cukup sang Kematian mengambil apa yang dicintainya di kehidupan ini.

“Aku menolakmu, sang Kematian”, ujar laki-laki itu. “Aku masih ingin hidup. Kau bisa lihat sendiri, tubuhku masih sehat, pikiranku masih baik, dan aku masih mampu melakukan aktifitas”, lanjutnya.

Sang Kematian menggeram. Dibentangkan jubahnya di hadapan laki-laki itu. Gelap semakin bertambah menyelimuti ruangan. “Lihatlah apa yang ada dibalik jubahku”, seru Kematian. Sesaat kemudian suasana hening mencekam dan berganti dengan jerit tangis kesedihan. Laki-laki itu melihat istrinya meronta-ronta ketakutan. Selain itu ia juga melihat anak laki-lakinya duduk menangis sambil memanggil-manggil namanya. “Papa… Papa… Papa…, aku takut sendirian disini”, suara anaknya menggema hebat di seluruh ruangan.

Raut muka laki-laki itu sontak berubah. Ia semakin ketakutan dengan badan menggigil. Seluruh kulitnya terasa dingin. Ia tak mampu menggerakkan kakinya yang sedari tadi berdiri mematung. Sesaat timbul perasaan rindu terhadap anak dan istrinya. Ia ingin sekali berjumpa dengan mereka.

“Hen… hen… henti… hentikan. Cukup hentikan”, ia berusaha bersuara. Namun kata-kata yang ingin diutarakannya tercekat dalam tenggerokan. Ia berusaha mengepalkan tangan. Berusaha meraih kembali keberanian yang kini benar-benar redup.

“Kau lihat. Tak ada yang bisa lari dariku” kata Kematian dengan suara menggema. Tangannya bersiap meraih leher laki-laki itu. “Akan kuberikan kau kedamaian”, lanjutnya. Kali ini ia dapat merasakan kulit leher laki-laki itu. Terasa sangat dingin. “Semua rasa takutmu akan segera hilang”.

“Aku menolakmu”, tiba-tiba laki-laki itu bersuara lantang. “Aku… me… menolakmu”, lanjutnya. “Aku menolak untuk mati dan aku masih ingin hidup”, sergahnya. Ia menatap tajam mata Kematian yang tiba-tiba berubah. Suasana dingin tak lagi dirasakannya. Dan ia melihat sang kematian berada dua meter didepannya. Dengan meraba lehernya. Tak satupun yang mengcengkeram leher seperti yang sebelumnya ia rasakan. Ia menarik napas panjang.

“Aku ingin membuat penawaran kepadamu”, kata laki-laki itu. Ia menatap Kematian yang berusaha menambah hawa dingin di ruangan itu. “Sebuah penawaran, bagaimana kau setuju?” tanyanya pada sang Kematian. “Penawaran apa yang kau ajukan?”, tanya balik sang kematian pada laki-laki itu. Sang Kematian segera mendesis. Ia kembali meraih jubahnya dan siap dibentangkan didepan laki-laki itu.

“Tunggu dulu, aku ingin mengajukan keringanan terhadap kematianku sendiri”, kata-laki-laki itu cepat. Ia berpikir cepat karena sudah tak ada waktu lagi. “Kau bisa mengambil nyawaku kalau kau bisa menjawab pertanyaanku dengan benar. Namun jika kau gagal, aku berhak mendapatkan keringanan untuk hidup satu tahun lagi dari sekarang. Apakah kau setuju?” lanjut laki-laki itu.

Sang Kematian menggeram. Tak ada yang bisa lari dari dirinya apapun itu. Ia telah hidup ribuan tahun dan mengenal beribu macam trik dan teka-teki. Sang Kematian merasa orang ini meremehkan dirinya. Sang Kematian tersenyum. Ia merasa kemenangan telah ditangannya. Sebelum menjawab pertanyaan laki-laki itu ia sudah merasa menang. “Apa salahnya aku sedikit bermain-main dengan dia. Toh sama saja cepat atau lambat aku akan mencabut nyawanya”, seru sang Kematian lirih. “Akan kutunjukkan siapa aku sebenarnya”, lanjutnya.

“Jadi apa pertanyaannya?”, tanya Kematian kepada laki-laki itu. “Tunggu dulu, sebelum aku mengajukan pertanyaan, apakah kau sepakat dengan penawaranku?”, kata laki-laki itu. “Aku setuju. Kita sepakat. Akan kuberikan kau waktu satu tahun untuk menikmati hidup. Aku akan kembali padamu satu tahun kemudian untuk mencabut nyawamu. Namun jika aku berhasil menjawabnya. Aku akan mencabut nyawamu sekarang juga”, seru kematian. “Baiklah kita sepakat”, timpal laki-laki itu.

“Apakah sesuatu yang dimulai tetapi tidak berakhir dan akhir dari semua permulaan?” kata laki-laki itu. Sebelumnya ia berpikir keras pertanyaan apa yang ingin ia ajukan mengingat kematian pasti telah melewati berbagai macam teknik melarikan diri dari korbannya. Ia yakin kali ini ia berhasil.

Sang kematian terdiam. Ia berpikir keras. “Sesuatu yang dimulai tetapi tidak berakhir dan akhir dari semua permulaan”, desisnya lirih. “Sesuatu permulaan pasti memiliki akhir tapi kalau semua permulaan memiliki akhir yang sama apakah itu mungkin”, gumam sang Kematian. Perhatiannya teralih. Ia tidak lagi menatap laki-laki itu dan kini sibuk memikirkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya.

“Kau menyerah”, seru laki-laki itu. Ia sedikit tersenyum. Ia merasa kemenangan telah diraihnya. “Tunggu dulu aku belum menyerah”, sergah sang Kematian. Sang Kematian berjalan ke dekat jendela ruangan itu. Ditatapnya suasana luar di sana. Pertanyaan tersebut masih menggelayut dibenaknya. “Apa jawabannya”, katanya lirih. Kali ini ia seolah-olah melupakan laki-laki itu. Suasana ruangan mulai terang.

“Aku tidak tahu jawabannya”, seru sang Kematian. Ia menyerah dan tidak berhasil menjawabnya. Ia belum pernah mendengar pertanyaan yang diajukan laki-laki itu. Serasa baru baginya.. “Jadi apa jawabannya?”, pinta sang Kematian. Ia kembali mendekati laki-laki itu.

“Kau benar-benar menyerah dan tak mampu menjawab pertanyaanku?, tanya laki-laki itu pada sang Kematian. Saat ini, ia tersenyum culas. Ia merasa hebat berhasil menipu sang Kematian. “Tapi tunggu dulu, semua ini belum berakhir’, serunya dalam hati.

“Sekarang cepat katakan padaku apa jawabannya”, desak sang Kematian. “Sebelum aku mengatakan jawaban dari pertanyaanku, aku ingin mengingatkan perjanjian kita sebelumnya”, kata laki-laki itu. “Kau tidak bisa menjawab pertanyaan yang aku ajukan jadi aku berhak hidup satu tahun lagi sebelum kau datang kembali”, lanjutnya.

“Sudah kukatakan kita telah sepakat. Jadi kuberikan kau waktu satu tahun untuk menikmati hidupmu. Aku akan mencabut nyawamu satu tahun kemudian”, ujar sang Kematian. Baginya sama saja. Mau sekarang atau besok bahkan satu tahun lagi, dia pasti datang mencabut nyawa laki-laki itu. Tak ada bedanya. Meskipun ia tidak dapat menjawab pertanyaan laki-laki itu. Namun laki-laki itu pasti akan mati.

“Baiklah aku akan mengulang kembali perjanjian kita”, kata laki-laki itu. “Aku mengajukan sebuah pertanyaan dan kau menjawabnya. Jika kau mampu menjawab pertanyaan tersebut, kau berhak mencabut nyawaku. Namun jika tidak, aku berhak mendapatkan hidup satu tahun lagi”, lanjutnya. “Lantas apakah ada masalah dengan perjanjian kita. Semua telah jelas. Aku akan memberimu waktu satu tahun lagi. Dan setelah itu aku akan mencabut nyawamu”, timpal sang Kematian.

“Tidak ada yang salah. Tapi di perjanjian tidak disebutkan aku harus memberikan jawaban atas pertanyaanku sendiri”, ujar laki-laki itu. Ia merasa telah menang telak dari sang Kematian. Sebuah siasat telah disusun dari awal ia membuat perjanjian. Dan semuanya berjalan sesuai rencana. “Apa maksudmu?”, tanya sang Kematian tiba-tiba. Kali ini sang Kematian merasa gusar. Hawa dingin pekat mulai ia lancarkan kembali memenuhi ruangan. Ia merasa laki-laki dihadapannya sedang merencanakan sesuatu yang lebih dari sekedar permainan teka-teka sebelumnya.

“Akan aku jelaskan. Sekarang aku berhak hidup satu tahun lebih lama. Namun aku mengajukan penawaran lain kepadamu.”, ujar laki-laki itu. Ia harus buru-buru melakukannya sebelum sang Kematian sadar apa yang akan dilakukannya. “Kau menginginkan jawaban dari pertanyaanku, bukan?”, tanyanya kembali. “Kau pasti penasaran dan sangat ingin mengetahui jawaban itu”, lanjutnya.

Untuk sejenak, sang Kematian berpikir. Sebenarnya trik yang digunakan orang ini sama seperti orang-orang lain yang berusaha mempermainkan kematian. Meskipun adakalanya ia tidak mampu menjawab pertanyaan, toh orang tersebut akan mati sesuai perjanjian waktu yang telah disepakati. Namun mengajukan penawaran dua kali, itu sesuatu yang jarang terjadi bahkan tidak pernah terjadi.

Rasa penasaran masih melingkupi sang Kematian. Ia penasaran dengan jawaban dari pertanyaan sebelumnya, juga ingin mengetahui apa penawaran yang akan diberikan kepadanya. “Laki-laki itu ingin mengujiku lagi”, seru sang Kematian dalam hati. “Jadi apa penawaranmu kali ini?’, tanya sang kematian.

“Baiklah langsung saja kujelaskan. Kau boleh datang kepadaku untuk mencabut nyawaku meskipun masa satu tahun belum lewat jika kau telah mengetahui jawaban atas pertanyaan itu. Namun jika waktu satu tahun telah lewat dan kau masih belum mengetahui jawabannya, maka aku berhak mendapatkan perpanjangan waktu hingga kau tahu jawabannya. Jadi singkatnya, kau berhak mencabut nyawaku jika kau telah mengetahu jawaban pertanyaan tersebut”, kata laki-laki itu. “Bagaimana apakah kau setuju. Menurutku ini adil. Aku yakin kau mampu mencari tahu jawabannya sebelum masa tahunku habis. Dan bukankah kau diuntungkan mengenai hal ini. Bisa saja kau besok datang kembali untuk mencabut nyawaku karena telah mengetahui jawabannya’, lanjut laki-laki itu. “Jadi bagaimana? Apa kita sepakat?”, tanyanya kembali.

Sang Kematian terdiam. Ia kembali berpikir keras. Penawaran yang terdengar menguntungkan. Sang Kematian merasa apa yang diajukan oleh laki-laki itu menguntungkan dirinya. Ia bisa saja memperoleh jawaban atas pertanyaan tersebut dengan cepat. Ada banyak orang pintar di muka bumi ini. “Aku yakin bisa mendapatkan jawabannya besok”, serunya dalam hati.

“Penawaran yang cukup bagus. Kau berani sakali mengajukan hal itu kepadaku. Tidakkah kau merasa takut jika besok kau akan mati”, kata sang Kematian. “Kau merasa yakin akan kepintaranmu mengelabuiku”, lanjutnya. Sang Kematian tertawa sinis.

“Ya, aku yakin. Datanglah padaku jika kau mengetahui jawaban itu. akan kuulangi pertanyaanku agar kau tida lupa. Apakah sesuatu yang dimulai tetapi tidak berakhir dan akhir dari semua permulaan?”, ujar laki-laki itu. ia yakin sang Kematian tidak mengetahui jawabannya, meskipun bertanya pada siapapun. Ia merasa dirinyalah yang pertama kali mengajukan pertanyaan tersebut karena pertanyaan itu baru terlintas ketika sang Kematian telah mencengkeram lehernya.

Sang Kematian berbalik badan dan mendekati laki-laki itu. Langkahnya perlahan, tapi selimut kegelapan mulai melingkupi ruangan. Udara dingin mulai bertambah pekat. “Tunggu dulu apa yang kau lakukan?”, tanya laki-laki tiba-tiba. Ia terkejut dan ketakutan mulai menyeruak dari dalam jiwanya. “Tunggu sebentar bukankah kita telah sepakat”, lanjutnya. Sang kematian tepat berada dihadapannya. Hawa menusuk keluar dari pandangannya menuju relung jiwa laki-laki itu.

“Kau tahu. Aku selalu menepati janji dan tidak pernah mengingkarinya”, kata sang Kematian dengan lirih tepat ditelinga laki-laki itu. “Aku adalah sang Kematian. Selalu mengikuti setiap permainan yang diajukan oleh sang korban”, lanjut sang Kematian. “Aku telah mengikuti permainanmu. Dan kita telah sepakat”, tambahnya.

“Ap… apa… apa maksudmu?”, tanya laki-laki itu dengan terbata-bata. Ia merasa telinganya beku akibat suara sang Kematian yang didengarnya. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Seluruh kulitnya kaku tak berasa. Ia tak bisa merasakan apapun. “Tu… tu… tu… tunggu dulu. Aku… aku… tak mengerti maksudmu”, lanjutnya. Kali ini ia merasa telah kehabisan suara.

Tiba-tiba mata sang Kematian telah beradu pandang dengan mata laki-laki itu. Tusukan tajam tersirat dari pandangan Kematian. Sang Kematian tersenyum lebar. “Baiklah waktumu telah tiba”, seru sang Kematian. “Aku merasa hanya kau satu-satunya manusia yang berani bermain denganku melebihi perkiraanku. Kau manusia yang menyenangkan. Aku menyukaimu”, ujar sang Kematian. Kali ini ia memutari laki-laki itu. Sang Kematian menambah tingkat ketakutannya dengan terus bergerak memutar mengelilingi laki-laki itu. Angin beliung timbul di sekujur tubuh laki=laki tersebut.

Namun laki-laki itu tetap berdiri mematung. Ia tak goyah dengan kumpulan angin yang semakin besar disekelilingnya. Ia melihat sang Kematian dihadapannya namun merasa sisi kanan dan kirinya juga berdiri sang Kematian. Tubuhnya benar-benar tak bisa digerakkan, tetapi ia masih mampu untuk melihat dan mendengar apa yang terjadi di ruangan itu.

“Sekarang akan aku tunjukkan kepadamu”, suara sang Kematian tiba-tiba menggelegar. “Akulah sang Kematian. Aku awal dari ketidakakhiran. Semua kehidupan akan berakhir dengan kematian. Akulah jawaban dari pertanyaanmu. Dan tiba saatnya kau berpisah dari kehidupanmu di bumi ini”, suara keras memekakkan telinga disusul dengan dengan suara petir menggelegar. “Seperti yang sudah kukatakan kepadamu. Tak ada yang bisa lari dariku. Semua akan berakhir ditanganku”, lagi-lagi suara menggelegar keluar dari mulut sang kematian. “Kau telah bermain-main dengan kematianmu sendiri. Dan kau salah langkah. Kau ceroboh. Kau tak sadar kalau kematian bukan untuk main-main. Sekarang akan kutunjukkan akibat dari permainanmu”.

Tangan sang Kematian telah mencengkeram leher laki-laki itu. Warna biru keungungan telah menyelimuti kulitnya. Laki-laki itu tak lagi merasakan tubuh dibawah lehernya. Ia mendengar tangisan orang-orang yang dikenalnya dulu. Orang-orang yang telah meninggal sebelum dirinya. “Papa… Papa… Papa… cepatlah kemari, ayo kita main”, terdengar suara anak kecil memanggil-manggil dirinya. “Cepatlah kemari, Pa! aku ingin bermain denganmu”, suara itu semakin jelas ditelinganya. “Tunggu Papa, anakku. Aku akan kesana”.

Cerpen yang berjudul "Bermain Dengan Sang Kematian" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis dengan nama pena Dwi Surya Ariyadi.

Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Bermain Dengan Sang Kematian | Dwi Surya Ariyadi"