Cerpen Inspiratif - Tembang Kematian | Muhammad Adhimas P
Pagi datang dan bersemayam seperti biasa, tentang embun yang tergelincir di daun, gelap yang perlahan mulai memudar, sampai embus angin saat suara sunyi malam mulai reda.
Gemericik air samar-samar terdengar
hingga kamarnya. Dia perlahan mulai memaksa agar bisa terjaga. Setelah
memijat-mijat matanya dengan jari telunjuk dan jempol kanan, samar-samar
pandangannya mulai menjadi jelas.
Seseorang sedang berwudu
Di remang-remang ruang kamar, tangannya
menjelajah mencari telefon genggam yang tadi malam dia simpan di samping
bantal. Masih pukul empat pagi, udara dingin masih beredar, mengancam
orang-orang untuk tetap bersembunyi di balik selimut. Setengah sadar dia
terdiam melihat layar telefon genggamnya. Tidak memedulikan lagi suara
gemericik tadi, dia kembali pada lelap yang tak bisa tertahan lagi.
Juga, suara gemericik itupun mulai
berhenti
Lantunan tembang suci sayup terdengar
dari celah-celah ruang musala. Ketika itu juga embus semilir angin membawa
sejuk kepada tiap yang sempat mendengarkan.
Selepas salat tahajud dan berzikir dia
langsung membaca lembar-lembar suci itu secara lambat. Karena umurnya yang
sudah tidak muda, suaranya mulai serak dan pelan, tetapi begitu damai ketika
dia membaca huruf demi huruf keagungan Tuhan, begitu juga jika ada yang sempat
mendengarkan, niscaya tentramlah hatinya.
Sampai puji-pujian dari pengeras suara
masjid berhenti, dia menyelesaikan bacaannya.
“Sodaqollahul adzim”
Petunjuk baca yang sedari tadi
dipakainya ditaruhnya di tengah kitab, terhimpit di lembar terkahir yang dia
baca, melipat halaman dengan menunjuk salah satu ayat.
Perlahan tangan lemah itu melepas
kacamata sederhana tanpa bingkai mewah dan bahkan salah satu lengan kacamatanya
mulai bengkok, jika dilihat saksama kacamata itu tidak simetris lagi.
Dia perlahan bangun dari duduknya,
berniat membangunkan anaknya.
Azan subuh berkumandang dari pengeras
suara masjid, menembus udara pagi hingga kepada telinga orang-orang yang masih
terlelap. Seruan agar menghabiskan sedikit waktunya untuk menghadap Tuhan dan
bermunajat, atau sekadar berkeluh-kesah.
Asshalatu khoirun minannaum
Setelah selesai seruan azan, terdengar
tembang pujian.
Lir-ilir, Lir-ilir (Bangunlah,
bangunlah)
Tandure wus sumilir (Tanaman sudah
bersemi)
Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan
pengantin baru)…
Dia masih terlelap, masih asik berkutat
dengan mimpinya. Hingga jejak langkah itu datang dan mulai mendekat.
“Bangun, sudah subuh”, dengan
menggoyang-goyangkan lengannya.
“Hmm..”
“Salat subuh dulu”, dengan suara yang
lemah.
“Iya-iya nanti, sana-sana!”, sedikit
membentaknya.
Nafasnya terembus perlahan keluar,
menyerah, Dia lalu bersiap-siap untuk berangkat ke masjid.
Sesampainya di masjid, salat sunah
qobliah ditunaikannya. Dia terdiam duduk di atas sajadah. Lemah, dia mencoba
bangkit untuk melaksanakan salat subuh ketika ikamah diserukan. Dia menarik
nafasnya dalam-dalam.
“Allahuakbar”
Namun saat sujud sebelum tahiyat
akhirnya, dia terdiam. Jemari kakinya mulai dingin, mulutnya berusaha
mengucapkan sesuatu, namun tak bersuara. Itu adalah sujud terakhirnya,
ketundukannya pada Tuhan yang segera didatanginya.
Malaikat-malaikat sedari tadi sudah
mengelilingi sambil memerhatikannya.
Jam empat pagi keesokan harinya, masih
dengan pagi yang sama, embun yang sama, dan embus angin yang sama. Gemericik
terdengar, dia teringat, kemarin dia mendengarkan gemericik yang sama. Tanpa
susah payah matanya langsung nyalang. Berusaha menjaga kesadarannya, dia
berlari ke tempat berwudu, namun tidak ada siapa-siapa di sana.
Ternyata gerimis
Air mata tergelincir di pipi lalu
bibirnya. Di pagi ini, dingin hendak menyampaikan kenangan-kenangan yang
terlalu jauh darinya. Dia segera bersiap-siap melaksanakan salat tahajud.
Setelah melaksanakan salat tahajud, dia
membuka kitab suci yang di taruh di meja kecil. Membuka halaman yang di
dalamnya terhimpit petunjuk baca. Dia sangat mengenal petunjuk baca itu. Dia
menahan air matanya untuk jatuh lagi, mengusap kedua matanya dengan telunjuk
dan jempol kanannya. Dia melihat ayat terakhir yang tertunjuk dengan lipatan di
halaman itu.
Al-An’am ayat 61
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga,
sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia
diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kamu itu tidak
melalaikan kewajibannya”.
Cerpen yang berjudul "Tembang Kematian" merupakan sebuah cerita pendek Inspiratif karangan dari seorang penulis yang bernama Muhammad Adhimas P. Kamu dapat mengikuti Facebook penulis di akun: Adhimas Muhammad.
Posting Komentar untuk "Cerpen Inspiratif - Tembang Kematian | Muhammad Adhimas P"