Cerpen Sedih - Gerimis Merah | Arief Agoomilar
Gerimis Merah - Arief Agoomilar
KakaKiky - Langit tampak begitu temaram, sesekali suara bergemuruh menggema sayup-sayup dari balik awan, mengabarkan pada semesta bahwa rintik-rintik air hujan bisa jatuh kapan saja membasahi bumi. Angin hanya berhembus perlahan dan kicauan burung di antara rindang pepohonan seperti menghilang tanpa isyarat, tenggelam dalam wibawa alam yang tersirat dibalik redupnya matahari sore ini.
Aku mempercepat laju motorku, ancaman
dari hujan yang dapat turun sewaktu-waktu serta kesadaran bahwa diriku sudah
telat datang ke tempat perjanjian sejak hampir satu jam yang lalu membuat aku
hanya bisa pasrah pada kenyataan saja.
“Semoga hujan tidak turun.. semoga dia
masih di sana…” Gumamku berulang-ulang seperti melafalkan mantra.
Aku begitu resah, aku yang baru saja
lulus dari SMAN 3 Bandung dua minggu yang lalu ini benar-benar tidak pernah
menduga bahwa ban motorku harus pecah dua kali sore ini, pertanda apa gerangan?
Pikirku penuh tanya.
Untuk seorang pemuda yang terbiasa
mengendarai motor setiap hari menuju sekolah, aku sepenuhnya mengerti jika
kejadian pecah ban di tengah jalan merupakan hal yang lumrah dan bisa terjadi
kapan saja pada siapa saja, tetapi mengapa mesti sekarang? Mengapa harus hari
ini?
Aku bukan orang yang suka mempersalahkan
nasib, tapi mengingat bahwa hari ini mungkin adalah hari terakhirku bisa
memandangi paras cantik Samya, gadis yang telah menjadi kekasihku sejak tiga
tahun yang lalu, aku mulai berpikir betapa nasib seperti sengaja mempermainkanku
kali ini, apalagi setelah aku menyadari bahwa telepon genggam yang biasanya tak
pernah lupa kusertakan kemanapun ternyata tertinggal di kamarku.
Sekarang aku hanya bisa menggerutu dalam
hati, harapanku kini ada pada diri Samya seorang.
Semoga saja gadis itu cukup sabar
menunggu kedatanganku.
Aku tahu betul bahwa tak lama lagi Samya
akan pergi dan menetap di Perancis, tinggal bersama kedua orangtuanya yang
telah cukup lama bekerja di kedutaan besar RI di negara itu, ia akan segera meninggalkan
negara ini, membawa jauh sejuta kenangan yang telah kami lalui bersama-sama.
Aku berusaha memacu motorku lebih cepat
lagi menuju tempat pertemuan yang telah dijanjikan oleh gadis itu sebelumnya,
aku benar-benar tak sudi menyia-nyiakan sedetikpun saat-saat terakhirku bersama
gadis itu.
Tak berapa lama butir-butir air mulai
berjatuhan satu demi satu, menyisakan dingin udara menusuk-nusuk ragaku yang
tengah memacu motor dalam kecepatan tinggi. Dari balik helm aku menyaksikan
jalanan yang mulai basah dibasuh gerimis, dan tiba-tiba saja aku merasa waktu
seolah berjalan mundur, mundur, kemudian berhenti tepat pada hari ketika takdir
mempertemukanku dengan Samya untuk pertama kalinya.
Aku tak dapat membayangkan betapa bodoh
raut mukaku saat itu, ketika tanpa sadar aku mengulurkan tanganku kepadanya
untuk berjabat tangan, Samya hanya bengong sambil menatap kedua mataku, kami
bertatap-tatapan sejenak dengan tangan bertautan, tanpa sepatah katapun. Hanya
debaran jantung dan desah nafas masing-masinglah yang dapat kami dengar dan
rasakan saat itu.
Aku dan dia seperti dibekukan waktu,
hingga akhirnya sebuah teriakan menyadarkan kami berdua,
“HEH! SIAPA YANG NYURUH SALAMAN?! AYO
PUSH UP 15 KALI!!” Bentak salah seorang senior yang melihat kelakuan ganjil kami
ketika acara MOS berlangsung, Aku dan Samya segera mengambil posisi push up
sambil menahan senyum. kami seperti merasakan getaran yang sama, dalam perasaan
yang tiada terungkap lewat sepatah katapun.
Aku baru sampai pada hitungan sepuluh
kali push-up ketika langit tiba-tiba menghadiahi bumi dengan rintik-rintik air
yang jatuh perlahan dan lambat laun semakin menderas bersama guntur yang
bersahut-sahutan.
Dan lagi, tanpa sadar aku menarik tangan
Samya, membawanya berteduh di emperan kelas, bersama puluhan senior dan siswa
baru lainnya yang juga tak ingin basah oleh hujan di pagi hari yang dingin itu.
Kemudian semua terjadi seperti sebelumnya, Aku hanya terdiam di sebelah Samya
yang tampak gelisah dalam keheningan yang diciptakan oleh kami berdua, tiada sepatah
katapun terucap dari bibirku dan tiada sedikitpun kami berdua saling mengenal,
namun sudah dua kali aku menyentuh jemari Samya dan gadis itu tidak kuasa
menolaknya.
Sunyi baru beranjak di antara kami
beberapa hari kemudian, ketika aku tanpa sengaja berpapasan dengan Samya di
koridor kelas, kali ini aku tak mau dibodohi oleh perasaanku sendiri, maka
tanpa basa-basi aku berusaha memulai percakapan, aku tak ingin semuanya
berakhir beku seperti hari kemarin, hampa tanpa kata-kata.
“Hmm.. eh.. gini.. kenalin, a.. aku
Zein…” Ujarku terbata-bata, tidak biasanya aku merasa kikuk dalam sebuah
perkenalan, tapi entah mengapa, kali ini semua terasa lain.
Samya hanya memandangku sejenak dengan
senyum mengembang, kemudian Samya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya:
selembar kertas dan sebatang pulpen.
‘AKU SAMYA, SENENG DEH BISA KENALAN SAMA
KAMU’
Tulis gadis itu di atas selembar kertas.
Aku terpaku dengan pandangan bingung,
Sesombong inikah dia? Apa dia tak sudi
berbicara denganku? Betapa angkuhnya! Batinku kesal.
Seakan mampu membaca isi hatiku,
buru-buru Samya menulis sebaris kalimat lagi di bawah kalimat sebelumnya,
‘MAAF YA.. BUKANNYA SOMBONG, TAPI
BEGINILAH KEADAANKU!’
Setelah membaca kalimat tersebut Aku
seperti membeku di atas kakiku, aku tatap matanya lekat-lekat seolah Samya
adalah seorang pembohong besar.
Tiba-tiba Samya mengangguk, dia seperti
memahami tatapan penuh tanya dariku yang membutuhkan pembenaran dari kalimat
yang ia tulis barusan.
Dan aku pun tercekat dengan mata
terbelalak tak percaya setelah aku yakin dengan kejujuran yang dipancarkan dari
sepasang mata indah gadis itu.
Gadis ini… tak dapat berkata-kata?
Roda-roda motor kesayanganku masih gagah
membelah gerimis yang kian menderas, aku benar-benar berusaha secepat mungkin
menemui Samya yang tentu sudah sedari tadi menungguku di tepi sebuah danau
kecil di belakang taman dekat sekolah, tempat yang begitu banyak menyimpan
kenangan kami berdua.
Sesekali padatnya kendaraan yang
memenuhi ruas-ruas jalan memaksaku untuk sedikit melambatkan motor, dalam hati
aku mengumpat, aku tidak bisa membiarkan Samya menunggu lebih lama, tidak baik
membiarkan seorang wanita menunggu sendirian di sore hari yang muram seperti
ini.
Masih segar dalam ingatanku bagaimana
Samya amat membenci kemacetan, meski gadis itu tiada dapat mengucap sepatah
katapun karena pita suaranya telah lama dirusak oleh penyakit Laryngitis parah
yang mampu melumpuhkan saraf-saraf lisannya, namun aku dapat merasakan
ketidaksukaan gadis itu pada padatnya jalan lewat desahan nafas panjang yang
berulang-ulang setiap kali kuantar ia pulang ke rumahnya dengan motor
kesayanganku.
Jika sudah begitu, aku hanya bisa
menghibur Samya dengan mengajaknya bicara mengenai apa pun yang sekiranya dapat
menarik perhatian gadis itu, dan Samya hanya perlu merespon dengan anggukan
atau gelengan kepala saja.
Pada saat-saat seperti ini, meski ia tak
dapat menanggapi celotehku dengan kata-kata, tapi aku mampu merasakan bahwa
wanita itu menjadi lebih tenang, dan aku semakin merasa bahwa aku mampu
menghangatkan hatinya dengan ketulusan yang mungkin tak akan pernah ia temukan
lagi dikemudian hari.
Seusai jalanan kembali lancar, aku tentu
akan berhenti berceloteh, dan Samya pun akan mengencangkan pelukannya pada
pinggangku, membuat darahku seakan berdesir begitu kencang diantara perasaan
bahagia yang membuncah, tumpah ruah memenuhi relung-relung hatiku yang
terdalam.
Dari situlah aku menyadari, keputusanku
untuk menjalin kasih dengan Samya tidaklah salah sama sekali, biarpun cemoohan
dan komentar miring selalu saja terdengar dari mulut para penggunjing, namun
tak sekalipun aku terpengaruh, karena di depan cinta semua suara-suara
pengganggu yang mempermasalahkan ketidaksempurnaan Samya itu memang seperti tak
ada artinya. Menguap begitu saja.
Kini aku menatap jalan dengan mata
berembun.
Semuanya terlihat begitu memilukan
sekarang, kenyataan bahwa kekasihku tercinta akan segera pergi ke tempat yang
teramat jauh membuat dadaku menyesak hebat, kiranya inilah yang aku sebut
sebagai kekhawatiran yang datang dari keberadaaan cinta.
Aku tidak bisa menepis ketakutan yang
terus membayangiku sejak Samya mengatakan rencananya untuk tinggal bersama
kedua orangtuanya di jantung kota Paris, Perancis. Aku takut jarak akan
mengaburkan kasih sayang kami perlahan-lahan, karena jarak bisa berarti
kehidupan, dan kehidupan memang tak pernah terlepas dari jarak, maka bagaimana
sepasang anak adam dapat mencintai satu sama lain dengan jarak yang merintangi
kehidupan mereka berdua? Cinta tentu akan terasa hambar tanpa pertemuan.
Aku bisa saja berjanji untuk menunggu
Samya kembali, entah kapan. Tapi itu semua pasti tak akan semudah membalikan
telapak tangan, bukankah kesetiaan sama beratnya seperti pengorbanan? Aku tidak
ingin Samya terbebani dengan janji-janjinya, karena aku tahu janji adalah
hutang, dan hutang haruslah ditebus dikemudian hari, bagaimana jika suatu hari
aku atau dia menemukan orang lain yang pantas untuk kami cintai?
Sejujurnya aku tak pernah menginginkan
hal itu terjadi: kami berpisah dan menemukan cinta kami masing-masing. Karena
aku hanya menginginkan Samya seorang! Hanya gadis itu!
Aku ingin merasakan kebahagiaan bersama
ia dengan segala kekurangannya, bagiku ketidaksempurnaannya bukanlah sebuah
masalah, lagipula bukankah tak ada seorangpun di dunia ini yang mencapai
derajat kesempurnaan? Lantas apa gunanya pula aku mempermasalahkan kesempurnaannya?
Dibalik semua pikiranku yang mengawang,
aku masih saja menyesali keterlambatanku hari ini,
Pertemuan hari ini sesungguhnya sudah
aku nantikan sejak peristiwa menyedihkan dua minggu yang lalu, tepat pada hari
perayaan kelulusan SMA ku dan Samya.
Saat itu, ditengah hiruk pikuk euforia
siswa yang berhamburan setelah acara kelulusan, Samya menarik tanganku menjauhi
kerumunan yang bising, menuju danau kecil di belakang taman dekat sekolah, di
sana Samya menumpahkan tangisnya dalam rengkuhan tanganku yang masih tidak
mengerti, barulah setelah Samya memandang sedih kepadaku dengan airmata yang
tertahan di pelupuk matanya, aku menyadari bahwa gadis ini sedang
mengisyaratkan sebuah perpisahan yang teramat menyakitkan.
“Jadi.. sebulan lagi kamu akan pergi
menyusul kedua orangtuamu? tinggal di perancis?” Tanyaku setelah Samya
menunjukan email dari Ibunya di Perancis sana lewat telepon genggam miliknya,
kami berdua kini tengah duduk berdampingan di pinggir danau tersebut.
Samya merebahkan kepalanya ke pundakku,
ia mengangguk pelan dengan kepala bergetar menahan tangis, Samya mengerti betul
betapa aku mencintainya tanpa syarat, karena selama dua tahun kami menjalin
kasih, tak sekalipun aku membuat ia bersedih apalagi menangis, begitupun
sebaliknya.
Aku betul-betul memahami apa yang Samya
rasakan meski tanpa kata-kata, dan kali ini Samya seakan tak ingin membuatku
memperburuk perasaanku sendiri, maka sekuat mungkin Samya terlihat seperti
mencoba menahan airmatanya mengalir, mungkin ia ingin menangis sepuasnya di dalam
kamarnya nanti, sebab sekarang ia hanya ingin mendengarkan suaraku yang selalu
menenangkan hatinya.
Aku mengambil sebuah kerikil dan
melemparnya ke tengah danau, sebisa mungkin kutepis kesedihanku dengan
memandangi riak air yang meluas perlahan, untuk saat ini aku tak kuasa menatap
kedua mata Samya yang telah bertahun-tahun menemaniku dalam kedamaian tanpa
cela, kedamaian yang mungkin tak semua orang bisa menemukannya. Samya memang
cantik meski ia tak mampu berbicara, tapi aku tahu bukan itu yang membuat
diriku bertahan selama ini, kecantikan memang patut dikagumi, namun tentu
terlalu hina jika kita mengukur cinta dari kecantikan yang hanya bersifat
sementara.
Aku sendiri sebenarnya tak begitu paham
perihal apa yang membuatku bisa mencintai Samya sedemikian rupa.
Aku mencintai Samya karena cinta, cuma
itu yang ada di pikiranku.
Kami berdua menghabiskan hari itu dalam
sunyi tanpa suara di pinggir danau tempat aku menyatakan cintaku kepada Samya
tiga tahun silam, kami berdua terpekur menyelami perasaan masing-masing, larut
dalam diam yang membingungkan, diam yang menggores perih sanubari kami berdua.
Di atas sana langit seperti membaca isi
hati kami, arak-arakan awan yang berseri lambat laun menggelap dan menjelma
menjadi mendung yang mengundang hujan.
Tiba-tiba Aku berdiri, mengagetkan Samya
yang tengah bersandar di bahuku.
Untuk sejenak aku menatap tajam ke arah
Samya, ia tertegun, dan seketika gelombang keputusasaan itu pun pecah, mengalir
begitu saja dari mulutku.
“Jadi begini akhirnya? Ini yang kamu
mau?! Pergi begitu saja?!” ujarku ketus dengan mata memerah, entah karena marah
atau sedih.
Samya terperanjat, baru kali ini aku
berbicara dengan nada tinggi seperti itu di depannya.
“Kenapa kau harus pergi sekarang!?
Tidakkah aku berarti untukmu walaupun hanya sedikit?!” lanjutku dengan intonasi
yang menghakimi dan menusuk.
Samya yang tak mampu berkata-kata hanya
terisak sambil berusaha meraih tanganku, tapi aku mengelak, dan aku pun pergi
meninggalkan Samya di tepian danau itu sendirian, dengan sebaris kalimat
terakhir yang tentu melukai perasaan Samya:
“Aku menyesal! Aku menyesali pertemuan
kita! Jika tahu akan begini, lebih baik kuakhiri hubungan kita sejak dulu!!”
Kemudian gerimis pun datang membasahi
sore yang kelabu itu, menemani benci menghampiri kami dalam cinta yang terluka
oleh dilema.
Motor itu masih melaju membelah genangan
air yang mulai bermunculan di sepanjang jalan, membawa sejuta harapan untuk
bertemu dengan kekasihku yang tentu sudah sedari tadi menunggu.
Kini embun di mataku telah berubah
seluruhnya menjadi airmata, pedih selalu datang setiap kali aku mengingat apa
yang kuucapkan kepada Samya waktu itu.
Aku hancur oleh kata-kataku sendiri,
karena sebenarnya aku tak pernah menyesali pertemuan dengan gadis itu, sungguh
tak pernah meski hanya sedetik! Tapi kata adalah pedang, yang mampu menusuk
siapapun tepat ke arah jantungnya, dan inilah yang disesali sedalam-dalamnya
olehku.
Luapan kalimat penuh emosi itu hanya
berlaku selama dua belas jam bagiku, malam itu juga kuhubungi telepon genggam
Samya, ia mungkin tak bisa menjawab, tapi setidaknya aku berharap agar gadis
itu mau mendengarkan permohonan maafku yang tulus dan penuh penyesalan, meski
hanya sekilas.
TUUUT..
klak!
Berhasil! Samya mengangkatnya! batinku
girang.
Tanpa basa-basi, dan bahkan tanpa sempat
mengucap ‘halo’ ku segera menyampaikan kata-kata maaf dengan lirih.
“Samya? Aku harap kamu masih mau
mendengarkan! Aku minta maaf maaf sayang, aku menyesali kata-kataku!” seruku
cepat, tanpa jeda.
“Kau tahu? Tak sedetikpun aku pernah
menyesali pertemuan kita, itu hanya luapan emosi sesaat, cinta.. kata-kata yang
tak kuucap dari dalam hatiku!” lanjutku dengan nada menyesal.
“Aku mencintaimu! Tak pernah sekalipun..”
TUUUUUT..
Sambungan telepon itu ditutup dari
seberang sana.
Aku terduduk seketika, lemas menghampiri
kedua kakiku, aku tergugu dalam perih penyesalan.
Aku memeluk lututku dengan wajah
tertelungkup, dalam sesal kucoba memahami, Samya adalah seorang wanita, dan tak
ada yang mampu melukai hati seorang wanita lebih dari sebaris kata-kata
menyakitkan yang diucapkan oleh orang laki-laki yang paling mereka kasihi.
Aku seharusnya sadar bahwa Samya
samasekali tak menginginkan perpisahan ini, sama seperti diriku, namun semuanya
telah terlambat, kecuali waktu dapat diputar, mungkin aku masih punya
kesempatan memperbaiki ini semua.
Dalam gundah, akhirnya kulakukan sesuatu
yang sebenarnya terasa begitu asing dalam hidupku.
Aku menangis, tanpa suara.
Aku hampir sampai ke tempat pertemuan,
dan harapan itu pun semakin menguat seiring dengan jarak yang kian menghilang.
Aku menepi sejenak di pinggir jalan,
membuka helm dan menghapus airmata yang sedikit mengaburkan pandanganku, aku
tak ingin terlihat cengeng di hadapan Samya, terlebih ketika dua hari yang lalu
sms yang aku nantikan dari gadis itu akhirnya masuk ke inbox telepon genggamku.
Aku tunggu kamu di tempat terakhir kita
ketemu, lusa jam 4 sore. Kita bicarakan masalah kita di sana.
Begitulah pesan singkat yang datang dari
Samya, pesan singkat yang aku rasa lebih berharga dari apapun juga di dunia
ini.
Samya memang seperti tak memberikan
pintu maaf untukku, tapi tak pernah sedikitpun aku letih untuk meminta maaf
kepadanya, aku terus berusaha agar kata maaf itu dapat terdengar bukan hanya ke
telinga gadis itu, tapi juga ke dalam ruang-ruang hatinya.
Aku terus menerus mengirimkan pesan
permintaan maaf, email penuh kata-kata cinta, dan berusaha menelepon Samya tiap
3 jam sekali sepanjang siang, meski tak sekalipun Samya membalas pesanku
ataupun mengangkat panggilan telepon dariku, tapi semangatku tak pernah surut.
Tak akan pernah.
Aku juga berkali-kali datang ke
rumahnya, meski selalu saja aku pulang dengan tangan hampa tanpa sesuatupun
selain jawaban yang terus-menerus sama dari satpam penjaga rumah gadis itu:
“Maaf mas, non Samya gak mau ketemu sama
mas, katanya mendingan mas pulang aja..”
Aku tidak peduli! Aku tak akan menyerah!
Aku membutuhkan maaf dari wanita terkasihku itu atau aku akan tenggelam
selamanya dalam penyesalan, lagipula Samya yang aku kenal bukanlah wanita
dengan hati sekeras batu yang tak mengenal makna kata maaf, jadi aku masih
merasa yakin dan percaya bahwa lama-kelamaan hatinya akan melunak.
Dan semua usahaku itu akhirnya
benar-benar terbayar lunas melalui sebaris pesan singkat yang dikirimkan oleh
Samya dua hari yang lalu, setelah dua minggu perjuanganku yang tanpa lelah,
Samya akhirnya mengajakku untuk bertemu! Sungguh sebuah ajakan yang melapangkan
dadaku selapang-lapangnya.
Meski aku tahu Samya akan segera pergi,
meski kelak jarak separuh putaran dunia akan memisahkan kami berdua, namun
apabila perpisahan itu datang tanpa adanya dendam dan luka yang menggantung
perasaan kami, maka aku tentu dapat merelakannya perlahan-lahan.
Kini aku telah sampai dan bergegas turun
dari motorku, aku sama sekali tak peduli akan bisingnya dentuman klakson dan
suara dari orang-orang di seberang jalan sana yang begitu riuh entah karena
apa, dengan setengah berlari aku masuk dan menyusuri taman hingga akhirnya
tampaklah sebentuk danau kecil tempat aku dan Samya biasa menghabiskan waktu
ketika jenuhnya dunia mengusik ketentraman kami berdua.
Aku mencari-cari gadis itu, wanita yang
aku kasihi, namun tak ada siapapun di sana, hanya rintik gerimis dan keheningan
saja yang tampak begitu jelas di mataku.
Mungkin Samya sedang berteduh di taman,
menghindari gerimis. Pikirku menduga-duga.
“SAMYA!? SAMYA!!?” teriakku sambil
menelusuri setiap jengkal tempat di taman dan di pinggiran danau tersebut.
Tetapi nihil, tak ada seorangpun disana.
Samya pastilah terlambat batinku yakin.
Aku tak pernah meragukan komitmen Samya
pada janji yang ia buat sendiri, gadis itu memang tak pernah mengingkari
janjinya, tak pernah walau hanya sekali.
Akhirnya kuputuskan untuk duduk dan
menunggu saja di tepian danau, membiarkan gerimis menggerayangi tubuhku sedikit
demi sedikit, dan dengan menyungging seulas senyum di bibir, aku mengenang
kembali masa-masa indahku bersama Samya, kekasihku yang sebentar lagi akan pergi
jauh meninggalkan kisah ini.
Aku masih menunggu Samya dengan sabar,
dengan cinta dan kasih sayang yang membumbung setinggi langit, berharap gadis
itu segera datang dan menganggukan kepalanya ketika kuucap kata maaf untuk
kemudian berpisah tanpa penyesalan sedikitpun, tanpa luka ataupun dendam
tersisa di hati kami berdua.
Aku akan terus menanti dan menanti,
Dalam penantian yang sesungguhnya
sia-sia.
Beberapa menit yang lalu, di pinggir
danau kecil itu..
Aku melirik arlojiku dengan gelisah,
sesekali tatapanku mengawang jauh ke arah langit, mencemaskan mendung yang
nampak semakin tebal menutupi langit.
Aku menggerutu dalam hati, mengutuk
waktu yang seakan berjalan melambat sore hari ini.
Aku memang sengaja datang sedikit lebih
awal ke tempat pertemuan yang telah kujanjikan kepada Zein sebelumnya, karena
aku benar-benar merindukannya dan aku tak mau membuat pria itu menunggu, tetapi
rupanya datang lebih cepat itu bukan ide yang bagus, karena penantian seperti
ini justru malah membuatku semakin gelisah, sebab aku ingin segera menemui Zein!
Aku akui bahwa Zein memang telah melukai
hatiku dengan kata-katanya yang menyakitkan, tapi sejujurnya, tak sedikitpun
cintaku kepadanya berkurang atau memudar, aku tahu jika semua ucapan itu tidak
datang dari seorang Zein yang aku kenal, lelaki dengan hati seputih salju.
Ucapan itu lahir dari emosi, yang
tercipta akibat rasa ketakutan akan kehilangan, dan aku menghargai itu, aku
menghargai kemarahan Zein meski aku juga tak bisa begitu saja memaafkannya.
Tetapi begitulah hati wanita,
kegigihannya untuk mendapatkan maaf dariku pelan-pelan telah mencairkan luka
yang telah mengeras dalam perasaan ini, membuatku tak kuasa untuk memendam
kemarahan lebih lama terhadap kekasihku itu, kekasih yang rela berjuang untuk
mempertahankan diriku yang tidak sempurna.
Detik berganti detik dan menit berganti
menit.
Waktu terus bergulir hingga akhirnya aku
menyadari, Zein terlambat!
Awalnya aku sedikit kecewa, namun kucoba
memaksakan diri untuk menunggu Zein sedikit lebih lama, dan biarpun dingin
menyergap tubuhku lewat gerimis yang mulai turun dari langit, aku mencoba untuk
tak peduli.
Sudah hampir satu jam aku menunggunya,
Karena merasa suntuk dan dingin, aku
yang sedari tadi meringkuk sendirian di tepian danau itu pun melangkah pergi,
aku tak berniat untuk pulang, aku hanya ingin pergi sebentar ke toko bunga
tepat di seberang gerbang sekolah dan membeli beberapa tangkai bunga mawar
untuk Zein, aku mungkin terlalu kejam karena mendiamkan ia selama hampir dua
minggu, jadi aku bertekad untuk minta maaf padanya lewat bunga-bunga.
Aku baru saja keluar dari toko bunga itu
dengan beberapa tangkai mawar putih ketika tanpa sengaja kulihat sebuah motor
bebek berwarna hitam melaju cepat menuju ke arah taman dari kejauhan,
Itu motor Zein! Dia akhirnya datang!
Sorakku dalam hati.
Kerinduanku tiba-tiba memuncak dan
segala di sekelilingku seperti lenyap begitu saja, di mataku kini hanya ada ia!
hanya Zein seorang! Bahkan meskipun lelaki itu masih melaju di atas sepeda
motor dengan helm yang menutupi wajahnya, namun aku bisa merasakan debaran
jantungku meninggi, meluapkan rindu yang telah aku tahan-tahan selama ini.
Tanpa sadar aku berlari menerobos jalan,
hendak berteriak memanggil nama kekasihku itu, aku sepenuhnya lupa bahwa aku
tak mampu berbicara! Tak ayal, Kata-kataku tercekat begitu saja di tenggorokan
dan seketika aku pun tersadar bahwa kata-kata bukanlah bagian dari kehidupanku.
Tetapi sebelum sempat aku menyesali
kebodohan diriku sendiri, tiba-tiba kudengar suara dentuman klakson membahana,
memecah keheningan dan rintik suara hujan, kemudian dalam sekejap kurasakan
sebuah mobil berkecepatan tinggi menabrakku dari arah belakang, melempar
tubuhku dengan keras di atas aspal yang basah bersama dengan tangkai-tangkai
mawar yang patah.
Samar-samar, di antara gerimis yang
memerah dan bisingnya teriakan panik orang-orang di sekitar tempat itu, aku
menyaksikan lelaki yang kucintai berlari memasuki taman, menuju danau tempat
dimana kami seharusnya saling berpeluk di bawah langit yang kelabu, menikmati
sore hari ini dengan kebahagiaan seperti hari-hari yang telah kita lalui
sebelumnya.
Aku ingin sekali memanggil nama Zein
walau hanya satu kali, aku ingin ia tahu bahwa aku telah memaafkannya, aku juga
ingin ia tahu bahwa aku memiliki sebuah kabar gembira.
Ya, sebuah kabar gembira, kabar gembira yang
tertuju untuk kami berdua.
Tiga hari yang lalu, lewat sebuah email,
kedua orangtuaku mengabarkan bahwa aku tak perlu lagi menyusul mereka ke
perancis, karena tiba-tiba mereka dipindahtugaskan ke kantor pusat kementerian
luar negeri di Jakarta.
Aku melonjak girang mendengar kabar itu,
sirna sudah segala risau dan bayangan tentang sakitnya perpisahan yang selama
ini menghantuiku.
Namun ternyata semua itu sia-sia, karena
saat ini, dengan nafas putus-putus dan pandangan yang kian mengabur, aku tahu,
bahwa aku akan segera terpisah dari Zein lebih jauh daripada apa yang pernah
aku bayangkan sebelumnya.
Benar-benar jauh.
Jauh.. jauh sekali…
Cerpen yang berjudul "Gerimis Merah" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Arief Agoomilar.
Posting Komentar untuk "Cerpen Sedih - Gerimis Merah | Arief Agoomilar"