Cerpen Sedih - Stuck | Ifarifah
“Huf….” Dengusku pelan. Aku sedikit bosan karena keempat temanku belum datang juga. Tapi ini kesalahanku, aku datang terlalu awal dari jam janjian kita.
Kulirik arloji dipergelangan tangan,
pukul 2 siang. Sudah 3 jam aku disini dan masih ada 1 jam lagi dari jam janjian
dengan mereka. Aku sengaja datang lebih awal dari jam janjian karena aku ingin
menikmati kesendirian.
Ku aduk pelan cappucino didepanku, kupandangi
putaran yang tercipta karena adukan sendok. Terlihat campuran milk yang dituang
diatas cappucino bercampur dengan cappucino itu sendiri, terlihat gradasi warna
yang keren, menurutku. Cappucino. Minuman favoritku. Kuangkat perlahan cangkir
dihadapanku dan kuhirup pelan isinya. Kunikmati sensasi yang tercipta dimulut
ini. Pahit dan manis berpadu menjadi satu. Ya, inilah alasanku menyukai minuman
ini. Cappucino mengajarkan keseimbangan dalam hidup. Secangkir cappucino
terdapat rasa manis dan pahit dengan takaran yang pas, begitu juga manis dan
pahit dalam hidup ini. Manis dan pahit akan datang beriringan, setiap hal manis
terjadi pasti ada kepahitan dibelakangnya begitu juga sebaliknya, setiap hal
pahit terjadi pasti kemanisan akan juga menunggu dibelakang. Karena tidak ada
kemanisan dan kepahitan yang abadi.
Setelah meletakkan kembali cangkir di
meja, mataku menatap lurus pada bagian cafe yang terbuat dari kaca tembus
pandang sehingga menampakkan langit yang sangat terang dan panas yang
menyengat. Pukul segini, matahari pasti sedang bersemangat menyinari bumi.
Namun diterangnya siang ini, aku merasa gelap. Aku seperti kesepian di
keramaian dunia ini. Merasa seperti membutuhkan seseorang walaupun banyak orang
disekelilingku. Entah, aku juga bingung mendeskripsikan hal yang kurasakan ini.
Kunci dari semua yang kurasakan adalah ‘waktu berputar kebelakang’. Impossible.
Ya sangat tidak mungkin dan aku tahu itu. Semua serasa mengambang tidak jelas,
maju dengan arah yang tidak kuketahui. Mungkin tersesat, tapi tidak tersesat.
Namun hal yang sedikit bisa kudeskripsikan seperti ‘buta arah’. Ya aku buta
arah selama 3 tahun ini.
Apa guna banyak orang disekelilingmu
kalau kau buta arah? Tapi kau tidak mau bertanya pada salah satu orang yang
ada. Kau hanya jalan, jalan dan jalan serta juga berharap agar jalan yang kau
ambil benar. Ketika kau buta arah, kau membutuhkan seseorang bukan? Tapi
seseorang dalam artianku disini seseorang yang tiba-tiba menuntunku,
menunjukkan jalan kepadaku tanpa aku pernah bilang kepadanya kalau aku buta
arah. Ya, orang seperti itulah yang kucari, tapi tidak ada lagi hingga saat
ini. Entah tidak ada atau belum ada tapi aku akan tetap berharap walau
kemungkinan terjadi hanya 1%. Namun kepercayaan kepada hal itu akan selalu ada.
Kuteguk lagi minuman dihadapanku.
Kupejamkan mata agar dapat benar-benar menikmati sensasi yang tercipta. Rasanya
begitu lezat. Perpaduan manis dan pahitnya sangat membuatku tenang.
“Hai Ze…!” Teriak seseorang. Tanpa
membuka mata aku tahu itu Diana, salah satu teman yang kutunggu.
“Tumben on time? Biasanya molor”
Tambahnya sambil menarik kursi dihadapanku.
“Ya lo kali yang molor!” Balasku setelah
membuka mata dan meletakkan kembali cangkir digenggamanku ke meja.
“Eh ya, kemarin gue ketemu Ari trus dia
nitip salam buat lo tuh!” Ucap Diana sambil membuka buku menu dihadapannya
“Ya!” Jawabku tak acuh
Diana mengangkat salah satu tangannya
dan seorang pelayan datang kemeja kami. Diana menyebut beberapa menu, setelah
mencatat dan memastikan pesanan dengan benar sang pelayan pergi meninggalkan
kami. Setelah agak jauh, Diana buka omongan lagi.
“Lo kok cuek banget sih sama Ari? Dia
kayaknya beneran suka sama lo!”
“Dia terlalu terang-terangan Di, lo tau
kan gue gak suka orang kayak gitu!”
“Ya namanya juga usaha. Kasihan gue
ngeliat dia!” Balas Diana sambil melipat tanganya di meja
“Yang bikin dia kayak gitu kan dia
sendiri” Jawabku sambil mengaduk cappucino dihadapanku yang mungkin sudah agak
mendingin
“Zera, lo pikir dia tau kalau dia
bakalan suka sama lo? Lo pikir dia mau kayak gini, suka cewek yang sama sekali
nggak ngerespon dia? Kalau Ari punya pilihan dia bakalan milih nggak suka sama
lo, cewek yang bisanya cuma bikin sakit hati sendiri!” Jelas Diana dengan
menatapku lekat
“Hidup itu pilihan, jadi nggak mungkin
dia nggak punya pilihan Diana!” Bantahku
“Ini bukan masalah pilihan Ze, ini
masalah dipilih dan memilih. Kalau tau bakalan kayak gini, gue yakin Ari nggak
akan pernah milih lo!” Jawabnya tegas.
“Dan gue nggak pernah minta untuk
dipilih!” Balasku lebih tegas
“Lo pikir Ari yang milih? Bukan Ze, tapi
hati dia yang memilih lo!”
Aku merenungkan omongan Diana barusan.
Ya memang benar. Tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa seperti
orang jahat. Tapi di lain sisi aku masih tertutup oleh bayangan itu. Bayangan
seseorang yang ada dalam kriteria pikiranku beberapa menit yang lalu. Seseorang
yang menuntunku dengan kepeduliannya yang bisa dibilang minim tapi membuatku
sangat nyaman. Dia tiba-tiba datang dan menunjukkan jalan kepadaku tanpa aku
pernah bilang terhadapnya bahwa aku buta arah. Bayangan itu masih sangat lekat
dalam ingatanku.
“Kenapa lo diam aja? Bingung mau balas
omongan gue? Tanyanya “Ze…” Ucapan Diana terhenti ketika pelayan mengantarkan
pesanannya ke meja kami. Setelah mengucapkan terimakasih kepada pelayan
tersebut, Diana melanjutkan omongannya
“Ze, apa sih yang lo raguin dari Ari?
Menurut gue dia tulus kok!”
‘Tapi Ari beda, Ari beda dengan dia!’
Batinku. Aku memang tidak pernah menceritakan tentang seseorang itu kepada
teman-temanku. Biarlah. Mungkin yang mengetahui hanya beberapa orang di masa
laluku
“Kok nggak jawab? Ze, lo ingatkan sebuah
pepatah ‘Kita akan merasa seseorang berarti ketika orang itu pergi meninggalkan
kita’. Gue harap lo paham dengan itu!” Tambah Diana
‘That’s alright Diana! Dan gue merasakan
itu sekarang’ Batinku lagi
“Iya gue ngerti” Kata yang keluar dari
mulutku. Sampai kapan aku harus bersikap biasa saja? Sampai kapan aku bertindak
munafik? Dan sampai kapan aku tetap terhalang bayangangannya? Pertanyaan yang
tiba-tiba berkelibat diotakku.
Ku tatap cappucino dihadapanku. Isinya
tersisa satu tegukan lagi. Ku raih cangkir yang berisi minuman bewarna cokelat
itu dan kuteguk hingga bersih. Ku tatap cangkir kosong digenggaman. Apa aku
harus membuka diri untuk Ari? Tapi Ari berbeda dengannya. Sangat beda. Dia yang
dingin dan cuek tapi memiliki tatapan yang lembut dan hangat. Sedangkan Ari
yang slengekan, terlalu easy going dan yang paling membuatku sedikit risih dia
terlalu mencolok dalam mengejar sesuatu. Sangat bertolak belakang dengan dia.
Kini hanya hening yang tercipta antara
aku dan Diana. Diana tampak asyik dengan handphonenya. Tak lama, terlihat Disty
dan Irene –kedua temanku yang lain- hendak memasuki cafe. Ku lambaikan tangan
kepada mereka, otomatis Diana menoleh kebelakang dan ikut melambai.
“Hei guys, lo berdua tau gak, tadi gue
ketemu Kak Andre sama Sharen jalan. Kayaknya mereka beneran pacaran deh” Ucap
Irene dengan sangat excited sambil menarik kursi disebelah kananku
‘Dasar ratu gosip’ Batinku kesal.
Kulirik kedua temanku yang lain, mereka terlihat sama excitednya mendengar cerita
Irene. Aku hanya dapat menghela napas.
Pagi yang indah dengan langit yang
cerah. Kuhirup udara pagi dalam-dalam agar dapat merasakan kesejukannya. Ku
tatap batu nisan dihadapanku ‘DEKHAN ZEYN TOMHADI’ dengan tanggal wafat 30
Maret 2010. Ya inilah dia, seseorang yang mampu mengubah hidupku. Namun dia
juga yang mengembalikanku pada titik nol. Dia meninggal 3 tahun yang lalu
karena penyakit yang dideritanya dari kecil, Jantung koroner. Aku melepaskan
beberapa bunga dari genggaman. Rasanya damai. Sangat damai.
“Hai apa kabar? Lo baik-baik aja kan?
Kalo gue sih masih sama. Masih stuck. Gue nggak tau harus ngapain. Ini semua
karena elo, Dekhan. Lo masih sangat melekat di pikiran gue. Gue masih belum
bisa membuka untuk orang lain. Sampai kapan gue akan kayak gini?” Gumamku pelan
dengan tanpa sadar airmata membasahi pipiku. “Semakin gue berusaha ngelupain lo
semakin membuat gue gila. Dekhan, kapan gue bisa nemu orang kayak lo lagi?
Dimana gue bisa nemuin reinkarnasi lo? Beritau gue Dekhan!”
Angin berhembus membelai wajah dan
rambutku. “How to let go??!!!?” Teriakku kencang menembus kecerahan pagi ini.
Tiba-tiba beberapa bunga bertaburan dihadapanku. Aku terkejut, refleks
kudongakkan kepala. Keterkejutanku bertambah ketika mengetahui orang yang
menabur bunga itu. Ari!
“Ngapain lo?” Tanyaku ketus sambil
berdiri
“Salah?” Tanyanya balik
“Salah!” Jawabku tegas “Lo ngikutin
gue?” Tanyaku lagi
“Berarti salah gue mengunjungi sepupu
gue?”
Sepupu? Apa maksudnya? Siapa yang dia
maksud disini?
“Ya, Dekhan itu sepupu gue!” Tambahnya
seperti bisa membaca pikiranku
Semua semakin tidak ku mengerti. Dekhan
dan Ari sepupuan? Entah, semua serasa runyam dikepalaku. Jika benar, mengapa
dunia sesempit ini?
“Gak mungkin! Lo bohong kan?” Tanyaku
memastikan
“Apa untungnya gue bohong, Zera?”
Jawabnya yang lagi-lagi dengan pertanyaan
“Kenapa lo nggak pernah cerita?”
“Karena gue juga baru tahu kalau cewek
yang dimaksud Dekhan dulu itu elo!” Balasnya dengan mata menatap batu nisan
Dekhan. “Gue baru tau 2 hari yang lalu, saat gue diminta tante gue yang tak
lain mamanya Dekhan untuk ngebantu dia mindahin barang-barang ke gudang”
Tambahnya dengan mengeluarkan selembar foto dari saku kemejanya. Foto itu.
Fotoku bersama Dekhan saat kami berada di taman favoritku.
“Dan dibalik foto ini terdapat sebuah
tulisan” Sambungnya lagi sambil membalik foto itu
You’re my angel, Zeravania!
Aku terdiam melihat tulisan itu. Tidak
tahu harus berkomentar apa. Ku alihkan pandanganku ke tumpukan tanah yang
menimbun jasad orang yang sangat berarti bagiku. Mengapa secepat ini lo
ninggalin gue, Dekhan?
“Hubungan gue sama Dekhan dulu sangat
dekat, bahkan banyak yang mengira kami saudara kandung. Dan selera gue hampir
sama dengannya… tak terkecuali masalah cewek!” Ucap Ari lagi sambil
menyunggingkan senyum dibibirnya
“Tapi lo beda 180° dari Dekhan!” Balasku
tegas
“Dekhan tetap Dekhan dan gue tetap gue. Gue
nggak akan berubah untuk jadi seperti Dekhan, meskipun demi elo. Gue akan tetap
jadi Ari dan gue punya cara sendiri, Zera!”
“Tapi…”
“Biarkan Dekhan tetap jadi masa lalu lo,
gue nggak bermaksud maksa lo nglupain dia tapi gue Cuma mengingatkan kalau masa
depan lo masih panjang. Sebaiknya lo mencoba beralih menghadap depan!”
“Tapi itu nggak semudah yang lo
pikirin!”
“Dan itu tidak sesusah yang lo pikir!
Diri lo sendiri yang memberi sugesti bahwa itu susah sehingga lo selama ini
hanya menoleh kebalakang! Ingat Ze, berjalan dengan menoleh kebelakang itu
bahaya!” Ucap Ari dengan emosi
“Trus gue harus membuka hati buat lo?
Itu kan yang lo mau ha?” Balasku dengan emosi juga
“Gue nggak minta lo nerima gue ataupun
suka sama gue, gue Cuma minta lo menghadap depan. Itu saja cukup buat gue!”
Jawabnya
“Entahlah”
“Gue siap ngebantu lo, Zera!”
Aneh. Kenapa aku bisa secepat ini
percaya dengan Ari? Namun kata–kata yang diucapkannya sangat menenangkan. Dan
lebih aneh lagi sepertinya aku merasa sedikit nyaman didekat cowok ini.
“Mulailah hari lo dengan lebih baik Ze!”
Ucap Ari lagi dengan menatapku lekat. “Mau nemenin gue nongkrong sebentar? Kalo
lo nggak keberatan” Tambahnya dengan nada canggung. Sedikit aneh ditelingaku
dan membuatku menahan tawa
“Oke untuk kali ini. Tapi traktir
cappucino?”
“Ok, why not?” Jawabnya dengan
tersenyum.
Pandanganku beralih ke batu nisan
Dekhan. “Bye Dekhan!” Ucapku pelan. Kata ‘bye’ disini berarti selamat tinggal
dari semuanya, karena aku ingin menghadap kedepan dan mencoba memperbaiki agar
tidak buta arah lagi. Buta arah 3 tahun ini sudah cukup membuatku tersiksa. Aku
tidak mau menghabiskan waktuku hanya dengan buta arah. Tapi Dekhan akan selalu
ada. He is a beautiful memories ever.
Cerpen yang berjudul "Stuck" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Ifarifah. Kamu dapat mengikuti blog penulis di link berikut: itsnafarifah.blogspot.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Sedih - Stuck | Ifarifah"