Cerpen Kehidupan - Penjaga Keris | Wayan Widiastama
Aku hanya menunduk tak sanggup menatap dua orang didepanku. Ribuan kata bernada nasehat, rayuan, bahkan bernada ancaman keluar dari mulut mereka. Aku tatap bibir hitam mereka yang menari-nari.
“Kau mengerti anaku?” Ayah berkata
sambil menepuk pundaku.
“Paman harap kamu bersedia mengemban
tugas mulia ini”. Suara paman mencoba meyakinkanku.
“Ayah, Paman, biarkan saya berpikir
dulu.” Aku mengakhiri diamku yang hampir satu jam mendengar persentasi mereka.
“Pikirkanlah dengan baik, ini demi
dirimu dan juga keluarga kita. Ayah harap kamu mengambil keputusan yang
bijaksana”. Itu pesan ayah sebelum motor matik hitam yang mereka naiki
meninggalkan halaman kosku. Mereka, ayah dan paman datang menemuiku ke kos
membawa amanat dari keluarga besar kami di kampung. Amanat itu adalah tentang
harapan mereka agar aku bersedia menjadi penjaga keris pusaka peninggalan
leluhur kami. Mereka bilang aku adalah orang yang terpilih menjalankan tugas
itu. Jika aku menolak akan ada bencana yang menimpa keluarga kami.
Tiga hari kemudian, melalui telepon aku
sampaikan pada ayah, bahwa aku tidak mau menjadi penjaga keris. Kuliahku
memasuki semester akhir jadi aku fokus menyelesaikan tugas-tugas kuliah, tak
ada waktu untuk hal lain. Itu alasan yang kusampiakan. Padahal alasan
sebenarnya karena pikiran ilmiahku menolak mempercayai hal yang mistis seperti
itu.
1 Pesan Diterima !
Dari : Adik Q..
“Kakak, Intan anaknya Om Ketut sakit
keras,
sekarang di rawat di rumah sakit
Mungkin ini bencana karena kakak ga mau
jdi penjaga keris..
Beberapa detik kutatap sms dari adiku.
Apa mungkin seperti itu, ah tidak. Itu hanya kebetulan saja Intan sakit, dari
kecil memang dia sering sakit. Apa mungkin hal itu benar? Malam itu aku
gelisah. Sepanjang malam aku mimpi aneh. Dalam mimpiku aku didatangi seorang
pria berpakaian adat Bali, tangan kanannya memegang bungkusan kain kuning. Dari
bentuknya benda yang dipegang lelaki itu adalah keris.
Besoknya adiku sms lagi.
1 Pesan diterima !
Dari : AdikQ
Baru saja Paman di Palu nlpn. katanya
anaknya diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang jelas. kakak, cobalah
berpikir lagi, jagan biarkan keluarga kita terus dilanda bencana.
“Ahh.. persetan, masalah orang cerai
masak aku yang bersalah.”
“Tapi… Ia ini salahmu, terima saja
tugasmu!” Begitulah perang batinku
Hari-hariku berikutnya terus dihantui
keris. Tiap malam aku mimpi dikejar keris. Itu hanya mimpi, mungkin aku terlalu
memikirkan keris itu, begitu pikirku. Kabar yang aku terima dari keluarga terus
tentang bencana. Ternaknya mati, kebun karetnya kebakaran, Toko di bobol maling
dan sanak keluarga sedang sakit.
Tapi aku yakin semua takdir mereka,
bukan karena aku tidak mau menjadi penjaga keris. Mana mungkin leluhur
memberatkan keturunanya. Kalaupun benar begitu berarti leluhur itu tidak
bijaksana, melimpahkan tugas atau kesalahan pada kami yang masih hidup.
Dibenaku mulai ditumbuhi hal negatif tentang leluhurku.
Pagi itu, jam ditanganku menunjukan
pukul 07.50.
Tatapanku tertuju pada spanduk yang
terpasang di depan gerbang bangunan “Selamat Datang Peserta Seminar, Mengenal
Lebih Dekat Keris Bali” Aku ragu melangkah, bodoh banget aku ini. Saat Roy
meminta aku menggantikanya mengikuti seminar aku langsung mengiakan. “Kamu
gantikan aku, nanti Gus De dan Ayu menunggu disana. Teman-teman HMJ lain pada
sibuk” Begitu ocehan Roy. Sialnya aku tidak konfirmasi tentang materi seminar
itu. Ia sudahlah, tak ada salahnya aku ikut saja.
Pukul 08.35
… “keris adalah simbol laki-laki bagi
orang Bali. Zaman dulu keris dapat menunjukan tinggi rendahnya status seorang
…” Saat pembicara sedang membicarakan filosofi keris tiba-tiba hpku berbunyi.
Itu dari adiku.
“Ada apa? aku sedang mengikuti
seminar..”
“Aku dengan ayah lagi on the way ke kos
kakak”
“Ada apa lagi?”
“Ada hal penting yang mau mereka
sampaikan.”
“Ok, setengah jam lagi aku balik”
Kututup telepon dengan rasa gundah.
Di depan ku lihat pembicara sedang
menunjukan sebilah keris, memperkenalkan bagian-bagianya pada peserta seminar.
Entah dari mana datangnya tiba-tiba aku merasa merinding dan ngeri melihat
keris yang di pegang oleh Bapak itu. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak
melanjutkan mengikuti acara itu. Pada kedua temanku aku pamitan ku bilang
dengan jujur bahwa orang tuaku akan datang ke kos jadi aku harus balik sekarang
juga. Mereka mengerti dan mempersilahkanku untuk berangkat.
Kenapa keluargaku tiba-tiba datang
mencariku? Sudah lebih tiga tahun aku kuliah tak sekalipun orangtuaku datang ke
tempat kos. Yang pernah ke kosku cuma adik, itupun sudah setahun lalu. Saat itu
dia mewakili sekolahnya mengikuti sebuah lomba di kota tempat kuliahku, sebelum
pulang ia sempatkan mampir ketempatku.
Tiiiiittttt !!!!!
Aku tersentak, sebuah benda besar
tiba-tiba bergerak cepat kearahku. Pikiranku terlambat menganalisa. Saat aku
sadar benda apa itu tubuhku sudah terlambat bereaksi.
Ku sadari diriku sedang berada di sebuah
tempat yang menyerupai bioskop. Di depanku terbentang sebuah layar. Di layar
itu kulihat dua orang pria gagah, mereka dikelilingi oleh banyak orang. Dua
perempuan sambil mengendong anak kecil nampak sedih. Sepertinya dua orang itu
adalah istri dari pria-pria itu. Orang-orang itu berteriak dengan mengangkat
tangan tinggi keudara, sepertinya mereka memberi semangat pada dua pria gagah
itu. Teriakan terus menggema saat kedua pria itu berjalan, keduanya melangkah
menyusuri jalan setapak. Saat itulah aku sadar bahwa salah satu dari pria itu
mirip dengan Ayahku atau bahkan mirip denganku.
Adegan berikutnya…
Beberapa perahu layar terlihat bergerak
pelan dilautan. Kedua pria gagah terihat duduk di perahu dengan layar berwarna
kotak-kota merah, hitam, dan putih. Di depan mereka berdiri seorang pria dengan
pakaian seperti seorang raja.
Pria itu berkata “Depih, aku dengar kamu
memiliki pasukan berupa wong samar” (mahluk halus).
Pria yang mirip denganku menjawab, “Ya
Gusti Patih, saat ini hamba membawa 2000 pasukan wong samar, tuan bisa rasakan
gerak perahu-perahu kita. Keempat perahu ini bergerak lamban karena memuat 2000
pasukan wong samar itu.
“Bagus! Aku harap kita bisa pulang
dengan kemenangan tanpa ada pasukan kita yang gugur”
Bersama malam yang mulai datang, perahu
yang mengangkut pasukan itu merapat di pantai. Hujan bersama guntur dan kilat
menyambut kedatangan mereka. Pria yang di panggil sebagai gusti patih terlihat
berdiri dan mencabut keris di pinggangnya, diancungkanya keris itu keangkasa.
Sebuah kilat menyambar keris tersebut beberapa saat kemudian langit disekitar
mereka menjadi cerah, hujan, guntur dan kilat hilang entah kemana.
“Depih, saatnya kamu keluarkan pasukan
wong samarmu!“
Depih begitulah orang yang mirip denganku
dipanggil. Pria itu segera mengeluarkan keris kecil dari pingganya. Sementara
anggota pasukan yang lain tampak duduk rapi. Salah satu diantara mereka berdiri
dan mendekati Depih, dia terlihat memegang seekor ayam hitam.
Leher ayam itu putus di babat oleh keris
ditangan I Depih. Mulut pria itu komat-kamit membaca mantra. Tiba-tiba angin
berhembus kencang, suara derap seperti ribuan kuda berlari terdengar menggema.
Angin dan suara itu makin menjauh bergerak kearah daratan.
“TIDAK…!” Aku berteriak kaget kulihat
keris ditangan I Depih bertambah panjang dan ujungnya bergerak kearahku, aku
berlari keluar bioskop. Keris itu terus bertambah panjang dan mengejarku.
“Tidak, Jangan!”
“Keris, keris, jangan!” Aku berteriak
dan terus berlari, tiba-tiba aku melihat kedua orang tuaku. Sekuat tenaga aku
berlari kearah mereka.
“Dokter, dia bergerak, dia siuman!”
Kudengar sayup suara.
Ku arahkan pandanganku, selang-selang
infus menghiasi tubuhku. Kaki kananku dibalut perban. Senyum manis Andin adiku
dan tatapan cemas Ayahku langsung terpampang dihadapanku.
“Aku kenapa?” Hanya itu yang keluar dari
mulutku.
Dari cerita Ayah dan adik aku tahu,
bahwa aku mengalami kecelakaan. Bertabrakan dengan mobil saat aku kembali dari
tempat seminar. Aku mengalami luka yang parah, sudah 3 hari aku koma.
Besoknya aku ceritakan mimpiku pada
Ayah. Ayah bilang orang dalam mimpi adalah I Depih leluhur kami yang pemiliki
keris pusaka. Memang menurut cerita dia ikut berperang dan pulang membawa
kemenangan. Saat pulang itu beliau membawa beberapa keris dan benda berharga
lain, itu adalah bukti kemenangan yang diraih di medan perang.
Didepanku tergolek 3 buah keris. Satu
persatu ku pegang benda tersebut. Aku memutuskan mau menerima tugas menjaga
keris peninggalan leluhurku. Aku sadar keris ini memiliki nilai sejarah
khususnya bagi keluargaku, jadi selayaknya aku ikut menjaga benda itu. Itu
simbol prestasi yang diraih leluhurku. Mungkin zaman itu prestasi seseorang
diukur dari tingginya ilmu kesaktian yang dimiliki beda dengan sekarang. Pada
zamanya leluhurku telah di pilih oleh kerajaan untuk ikut misi penting. Kalau
mau jujur aku belum ada apa-apanya, aku belum punya prestasi yang membanggakan
keluarga. Aku telah salah meremehkan dan memandang negatif pada leluhur.
Jadilah aku penjaga keris pusaka. Setiap
15 hari sekali keris itu mesti dibersihkan. Ya masuk akal juga, biar keris
tersebut tidak berkarat. Keris itu dibuatkan tempat khusus dirumahku dan tidak
perlu membawa keris itu kemanapun aku pergi. Dulu salah satu alasanku menolak
adalah karena aku kira benda itu harus dibawa kemana-mana. Dan kuliahku
berjalan dengan wajar tidak terganggu oleh keris. Bahkan keris menjadi
inspirasiku untuk meraih prestasi.
Sepeti pamor sebilah keris, begitulah
jalan hidup manusia.
Cerpen yang berjudul "Penjaga Keris" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Wayan Widiastama. Kamu dapat mengikuti blog penulis di link berikut: akarimaji.blogspot.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Penjaga Keris | Wayan Widiastama"