Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Cinta - Mematung Sepi | Ambiwwa Novita

cerita pendek cinta galau mematung sepi

“Masih terngiang akan suara manjanya, kepintarannya, kecantikannya, dan semua hal yang istimewa itu aku sia-siakan ketika aku memilikinya, kini aku hanya mematung sepi, ditemani penyesalan yang teramat dalam, akankah dia kembali lagi?”

Senja ini, aku begitu kesepian. Entah mengapa aku merasakan kalut begini, apa mungkin karena cuacanya yang mendung. Kulihat dibalik jendela, tak ada tukang dagang makanan keliling yang melewat satupun, biasanya setiap jam segini, tukang dagangan makanan keliling itu hampir satu jam sekali pasti ada melewat, dengan menu yang berbeda. Kualihkan sepiku, ke depan televisi. Lagi-lagi di televisi, tak ada acara yang menarik hati, semua acaranya palsu. Namun, bagaimana lagi daripada aku kesepian terlalu begini, biarlah aku menikmati kepalsuan di sore hari ini, aku putuskan memilih salah satu channel yang sedang mengadakan kontes menari, semua kontestan yang menari, menarinya sesuka hati bukan dari hati, penguasaaan panggungnya kurang, mereka menari hanya untuk mereka sendiri. Kemudian pikiranku mengajakku, kepada seseorang yang sempat mengisi hari, dia kini mungkin sudah menjadi penari handal, menarinya selalu dengan hati, bukan sesuka hati, auranya terpancar mempesona, semua orang yang melihatnya menari pasti tak akan sempat berkedip mata. Aku jadi merindukan sosok Nira, sosok yang begitu istimewa. Sosok yang selalu membuatku merasa bersalah ketika aku mengingatnya lagi.

Aku berpacaran dengannya memang terhitung lama, selama dua tahun aku menjalin cerita bersama Nira. Dan selama itu pula aku menyakitinya. Aku mengenalnya, karena dikenalkan oleh temanku, Feri. Awalnya, aku tak tertarik kepadanya, karena Nira mempunyai postur tubuh yang agak gemuk, ya walaupun berkulit putih, memang dengan postur tubuh yang agak gemuk dia tetap terlihat imut namun tetap saja dia bukan kriteriaku, aku dekat dengannya juga karena menghargai Feri, abangnya Nira. Tak ada yang istimewa, saat aku di level pendekatan bersama Nira, sampai akhirnya kami jadian pun itu karena Nira yang meminta aku untuk menjadi pacarnya. Aku menerimanya dengan setengah hati, aku terpaksa menerimanya.

Setelah beberapa bulan kita jadian, aku baru bertemu dengan Nira kembali di bulan kelima, ada hal yang berubah dari penampilan Nira dan itu membuat aku takjub. Nira terlihat langsing, dan imutnya jadi keterlaluan. Aku tak tahu apa yang membuat Nira berubah total menjadi langsing.

“Aji, aku sudah cantik belum?” Suara Nira membuyarkan pikiranku

“Mhhehehe, kamu aneh! Kenapa jadi langsing begitu?” Aku menutupi rasa kagumku

“Biar kamu ga malu ngajak aku kalau jalan-jalan, terus mantan kamu pernah bilang, kalau kamu tuh suka sama cewek langsing” Nira tersenyum kemudian menatap mataku

“Dih, kamu pikir aku suka kamu berubah begini? Mana pake nanya-nanya ke mantan aku segala, cewek aneh dasar!”

Kulihat, muka Nira menjadi sedikit merah, aku tahu Nira pasti sakit hati, namun aku memang tak pernah bisa menunjukan sikap yang semestinya kepada Nira. Aku pikir, Nira akan marah dan meninggalkanku, namun ternyata tidak. Dia langsung meminta maaf dan memeluk tubuhku, aku pura-pura kaku walaupun sebenarnya aku ingin sekali memeluk Nira.

 

Kebodohanku didepannya selalu terjadi berulang-ulang, namun hebatnya Nira selalu kuat menghadapiku. Pernah suatu hari, aku memintanya untuk melihat pertunjukan teaterku. Sehabis acara teater, aku menghampiri Nira. Karena, Nira pasti akan memujiku habis-habisan. Dan betul saja, Nira memujiku habis-habisan. Aku begitu merasa bangga, sampai-sampai aku menyakiti hatinya kembali, aku mengenalkan satu-satu pemain teater di sanggarku, aku mencari cara bagaimana membuat Nira panas hati, aku mengenalkannya pada Sandra, aku memuji Sandra di depan Nira, karena memang Sandra adalah pemain teater perempuan terbagus di sanggarku, dia pandai membaca puisi, dan penguasaan panggungnya begitu mengagumkan. Namun, Nira masih tersenyum, dia hanya mengangguk-anggukan kepala ketika aku jelaskan betapa hebatnya Sandra. Aku ingin sekali, membuat Nira marah dan mengucapkan selamat tinggal kepadaku, namun belum ada jurus terjitu yang bisa membuat Nira pergi dariku.

Keesokan harinya, aku mengajak Nira untuk mengunjungi rumahku. Aku mengajak Nira, tanpa Nira tahu dirumahku, sudah ada teman-temanku, aku mengajaknya hanya untuk melihat aku dan teman-temanku berdiskusi, aku biarkan dia sendirian di ruang tengah.

“Ji, cewe lu kenapa dianggurin?” Celetuk Gusti

“Ga papalah, dia ko yang maksa gue buat ngajak dia kerumah, padahal gue uda ngomong gue gak bisa berduaan ama dia, ada temen-temen gue mau diskusi, eh dia tetep maksa!”

“hahahahhaha, udah ga nahan kali!” teman-temanku tertawa begitu puas menertawakan Nira.

Kemudian Gusti, menunjuk ke arah pintu ruang tamu, ternyata ada Nira. Aku sudah hancurkan nama baiknya, aku sudah luluh lantahkan harga dirinya, dia mendengar apa yang aku bicarakan ternyata, namun Nira masih tersenyum walau aku lihat Nira matanya berkaca-kaca.

“Hai, semuanya! Aku pulang duluan ya, ada keperluan nih!” Nira pamit dengan senyuman

Teman-temanku hanya diam, hanya Gusti yang menganggukan kepala. Aku tak menahannya pergi, kubiarkan dia berlalu. Setelah kejadian itu, Nira tak pernah memberiku kabar, awalnya aku bahagia, karena aku bisa terlepas dari dirinya, namun dadaku tiba-tiba menyempit, bayangannya selalu menghampiri. Namun, egoku menguasai kembali, angkuhku datang lagi, kubiarkan Nira sakit hati sendirian, nanti juga dia yang datang sendiri. Sudah, dua minggu Nira menghilang, dan aku tak mau menanyakan kabar duluan, walaupun sebenarnya aku khawatir. Suatu pagi di hari Senin, aku melihat Gusti membawa Koran, dia sepertinya ingin menunjukan sesuatu kepadaku.

“Ji, ini Ji! Puisi cewe lu, sumpah keren banget!”

“Cewe gue?”

“Iya! Nira Sandya Kiara kan namanya?”

“Iya, coba liat puisinya!”

Aku terpana membaca puisi Nira, betapa hebatnya Nira! Di puisi itu aku mulai menyadari betapa jahatnya diriku, kepadanya. Namun, seperti biasa aku tutupi kagumku dengan sikap angkuhku.

“Lah, biasa! Anak TK juga bisa bikin yang beginian, anak-anak sanggar juga bahkan bisa lebih bagus dari ini”

Gusti hanya diam, mungkin dia aneh melihat tingkahku. Gusti pun berlalu, masih dengan memegang halaman Koran yang memuat puisi Nira. Lagi-lagi aku merasa menyesal namun pura-pura tak merasa. Aku pun memutuskan untuk menemuinya, karena entah kenapa aku ingin sekali melihatnya.

“Hai, Aji!” Nira menyambutku dengan begitu hangat, seolah-olah tak pernah terjadi masalah diantara kami.

“Hai!” Aku menjawabnya dengan datar.

“Ada apa Ji, kamu ko tumben kesini?”

“Ga, papa! Aku iseng aja main kesini, mana Feri?”

“Dih, ko malah nyari yang ga ada!” Nira memasang bibir cemberut, sungguh ingin sekali kucubit bibirnya, Nira begitu terlihat cantik dari waktu ke waktu. Nira menyandarkan kepalanya dibahuku, sambil bercerita tentang isi hatinya.

“Aji, aku begitu menyanyangimu sungguh!” Nira masih meletakkan kepalanya dibahuku.

“Jangan keterlaluan mencintaiku, Nir! Aku masih belum begitu menaruh hati kepadamu”

“Iya, aku tahu. Aku masih belum mampun menaklukan hatimu, aku memang bukan siapa-siapa, aku memang bukan apa-apa untukmu, aku tak hebat sepertimu, tak seperti orang-orang disekitarmu” Nira mengangkat kepalanya dari bahuku dan menundukan kepalanya, aku tahu Nira pasti ingin menangis, namun dia menahannya.

“Nira, sudahlah jangan menangis!”

“Maaf, Aji! Jika, kamu tak menyukaiku saat menangis, mengapa kamu begitu rajin menyakiti hatiku?”

“Ya, sudahlah! Nir, aku ga mau lihat kamu nangis lagi, mungkin kamu harus bisa tanpa aku, aku juga ga mau nyakitin kamu lagi”

“Aku sudah menyangka, kamu pasti akan seperti ini! Namun, aku meminta permohonan kepadamu untuk yang terakhir kali, bisakah kamu besok melihat pertunjukanku di alun-alun kota?”

“Pertunjukan apa? Besok aku akan membantu Sandra untuk pementasan monolognya. Kalau sempat aku akan menontonmu”

“Besok, aku akan menari tarian daerah, lihat saja besok!”

“Sejak kapan, kamu bisa menari?”

“Sejak, aku mengenalmu.. Ji! aku belajar menulis, menari, dan membaca puisi. Tujuanku sebenarnya hanya ingin membuatmu bangga, tapi nyatanya aku tidak bisa hehehe” Nira tertawa sambil menangis, aku hanya terdiam melihat Nira.

Aku pergi meninggalkannya yang masih terluka karena sikap diriku yang memang begitu tak punya hati. Keesokan harinya, aku diam-diam menonton pertunjukannya di alun-alun kota, aku tak menyangka, ternyata Nira begitu gemulai menari, auranya begitu terlihat.

Tiba-tiba Gusti menepuk bahuku, dan membuyarkan kekagumanku.

“Suatu hari, dia akan menjadi setan dikepalamu, membuatmu menyesal sampai kamu mati”

“Ngomong apa sih ?”

“Dia terlalu istimewa, malah kamu sia-siain Ji!”

“Ah, kamu tahu apa?!”

Memang aku, begitu menyesali. Mengapa aku begitu keterlaluan kepada Nira, aku memang tak pernah mau jatuh cinta kepada siapapun, karena setahuku wanita itu racun, Papaku saja menderita karena wanita, sehingga sampai saat ini, aku tak mau jatuh cinta, sampai-sampai aku menyia-nyiakan makhluk istimewa semacam, Nira!..

Lamunanku pun berhenti, saat Presenter mnyebutkan nama bintang tamu yang menguasai banyak macam tarian daerah, pikiranku kembali kepada Nira. Dan ternyata benar, Nira lah bintang tamunya. Sepiku pun semakin merajai, aku semakin menyesal, mengapa harus aku lepaskan wanita seiistimewa itu, kulihatnya menari, dia menari bukan hanya ditelevisi, namun dia terus menari-nari di kepalaku sampai saat ini.

Cerpen yang berjudul "Mematung Sepi" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Ambiwwa Novita. Kamu dapat mengikuti blog penulis di link berikut: Ambiwwgerimis.blogspot.com.

Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Mematung Sepi | Ambiwwa Novita"