Cerpen Inspiratif - Manusia-Manusia Trotoar | Muhammad Edgar Hamas
“Pak, Bu, Mbak! Tolongin ibuku, Mas!
Kumohon! Aku nggak bohong.”
Orang-orang masih saja lalu lalang melewati trotoar depan minimarket itu. Seorang gadis kecil semakin keras menangis sambil memeluk ibunya. Wajah ibunya tampak pucat. Keringat dingin mengucur deras dari wajah si gadis kecil. Sedari tadi ia berteriak meminta tolong kepada manusia yang berjalan melewati mereka berdua.
Namun tak ada yang mendengar, tak ada
yang mau peduli.
Malam semakin menyergap, menyeringai di
sudut-sudut hari. Semakin lama semakin gelap, namun gadis kecil masih saja
merengek meminta bantuan.
“Tolong! Siapa aja yang punya hati.
Ibuku sakit. Tolong, Pak, Bu!”
Suaranya sedikit demi sedikit hilang di
telan malam. Sayup-sayup terdengar gigi ibunya yang bergetar di buai dingin
dalam dekapan malam. Gadis kecil itu pingsan, sudah sedari tadi pagi ia belum
makan. Dan belum ada satupun manusia yang datang, hanya untuk sekedar bertanya
“Ada apa?”
Ibunya sudah tak membuka matanya lagi,
badannya dingin, wajahnya pucat, darahnya berhenti, jantungnya sudah tak
berdetak…
‘DIA SUDAH MENINGGAL’
Sang ibu pergi dalam keheningan malam.
Sementara gadis kecil tertidur menggigil memegang perutnya yang berbunyi,
memaksa minta diisi makanan. Hanya lampu kota yang masih terang benderang.
Semua tempat sudah gelap. Tak ada lagi manusia yang lewat, walau satupun.
Matahari bangun, dan sang bulan pergi.
Semakin meninggi, semakin panas. Manusia telah datang dari peraduannya menuju
tempat bekerja. Mancari nafkah, meraup uang.
“Hei gembel, bangun! Bangun, jangan
tinggal disini! Nanti minimarketku ngga’ didatengin orang gara-gara kamu!”
Seorang pria berperut buncit menedang
gadis kecil dan ‘mayat’ ibunya yang masih tergeletak di depan minimarket.
Tangannya bergelang rantai, menenteng kalkulator yang siap menghitung jumlah
riba hari ini. Matanya sipit, rupanya ia adalah seorang Tionghoa ketika gadis
kecil melihatnya melepas kacamata hitamnya.
“Maaf, Pak. Aku ngga’ bisa tidur di
tempat lain, kami udah ngga’ punya rumah lagi.”
“Halah, wong miskin. Kalo ngga’ punya
rumah, ngapain hidup?! Nyusahin saja kamu sama ibumu ini! Nah tuh, bangunin
ibumu! Keenakan tidur di teras minimarket, begini jadinya.”
Gadis kecil memegang tangan ibunya.
Dingin. Gadis kecil panik, ia raba wajah ibunya yang makin pucat. Seluruh
tubuhnya terasa telah ditinggalkan rohnya. Cairan bening keluar dari mata dan
hidung gadis kecil.
“Pak, tolong, Pak! Ibuku ngga’ bisa
bangun. Tolong ibuku, Pak!”
“Halah, banyak alesan. Sini! Biar aku
aja yang bangunin ibumu iki!”
Sembari mengumpat kata-kata kotor ia
melangkah, meraba tangan ibu gadis kecil yang sudah memucat dan mendingin.
Tiba-tiba pandangan mata lelaki itu terbelalak, segera ia menjauh dari ‘jasad’
ibu si gadis kecil dan berteriak sekeras-kerasnya.
“Woi, ada orang mati. Sini! Bantu aku!
Woi, woi!”
Dalam sekejap, banyak orang yang datang
menghampiri lelaki itu, dan bersama menggotong ibu gadis kecil ke sebuah mobil
pick-up, mengantarkannya menuju rumah sakit. Gadis kecil merana. Pandangannya
nanar, air matanya menetes deras, membasahi bajunya yang lusuh ditelan waktu.
“Ngga’! Ngga’ mungkin. Ibu ngga’ mungkin
meninggal. Ibu sakit. Ibu cuma sakit!”
Gadis kecil manangis semakin keras,
sesenggukan, sendirian tanpa ada seorang yang menemaninya. Orang-orang yang
berlalu lalang masih tak mau mendatanginya walau untuk sekedar bertanya “Ada
apa?”
Ini semua salah kalian semua! Aku udah
minta tolong, aku udah teriak kencang-kencang. Ibuku sakit! Tapi kenapa kalian
semua ngga’ mau nolongin?! Hei orang-orang yang jalan di trotoar! Kenapa kalian
nggak dengerin aku? Kenapa kalian ngga’ nolong ibuku?!”
Gadis kecil berlari kencang, tak tahu
kemana. Ia terus pergi menjauh dari keramaian. Kebenciannya berubah menjadi
dendam kesumat.
Gadis kecil yang malang, ia terus
mengejar ketidakpastian. Sendiri tanpa ibunya yang menemani, tanpa seorangpun
yang memberinya harapan.
Namun ia menghentikan langkahnya yang
mungil di sebuah jembatan panjang dekat sungai Bengawan Solo. Ia tatap air
sungai yang mengalir deras membawa pasir-pasir kecil dan kerikil yang berserak
tanpa bentuk. Ia teringat kenangan indah bersama ibunya. Belum percaya ia,
bahwa ibunya telah meninggalkannya ‘untuk selamanya’. Ia lihat wajahnya di air
yang deras mengalir, ia bayangkan jika dirinya mengikuti aliran air itu.
Mungkinkah ia bisa bertemu ibunya lagi? Ia terus bergumam dalam hati.
“Mungkin, Bu! Aku mau ketemu ibu lagi,
aku mau nyusul ibu bersama air sungai ini, aku ngga’ mau hidup sendiri, Bu!”
Ia menangis lagi, kali in ia ingat
manusia-manusia tak mempunyai hati yang membiarkan ia dan ibunya berteriak
meminta tolong, dan tak ada satupun yang menolong mereka.
“Bu, sebelum aku menyusul ibu, akan
kubuat mereka yang menelantarkan kita sengsara. Akan kubuat mereka terlempar ke
neraka! Aku ngga’ mau mereka hidup tenang, Bu! Aku mau mereka merasakan apa
yang ibu rasakan!”
Sore. Belum juga manusia-manusia itu
pulang ke peraduannya. Masih banyak yang berlalu lalang. Adzan maghrib
berkumandang, namun tak juga digubris. Sama seperti teriakan gadis kecil yang
meminta tolong. Tak ada satupun manusia yang terketuk hatinya.
Gadis kecil baru saja mendapat uang dari
seorang ibu berjilbab yang melihatnya tidur di dekat jembatan. Gadis kecil di
beri makan dan minum yang mengobati laparnya sejak kemarin. Ia beranjak,
berjalan menuju warung untuk membeli sesuatu. Malam ini gadis kecil ingin semua
manusia yang menelantarkannya dan ibunya merasakan kepahitan yang sama. Ia
membeli minyak tanah dah korek api dari warung yang ia lalui, lalu berjalan
kembali ke depan minimarket yang mengusir dia dan ibunya.
Apa yang akan dia lakukan?
Pandangannya kosong, namun hatinya terbakar,
marah meluap di dadanya. Menukik tajam sampai terbias dalam langkah-langkahnya
yang gontai.
Masih memegang minyak tanah dan korek
api yang sedari tadi ia bawa. Ia mencari celah untuk berbuat laku amarah. Dari
kejauhan terlihat pemilik minimarket menghisap rokok sembari menghitung uang
riba hasil jualannya siang tadi. Dilihatnya lagi manusia-manusia buta hati yang
tak peduli dengan nyawa manusia-manusia kecil, di pegang erat korek api dan
minyak tanah itu.
“Nyawa itu harus diganti! Aku gak bisa
diam!”
Namun sayup-sayup angin hilir mudik,
sedang mentari tertunduk pada malam hanyut. Mega merah sangar berani memancar,
mistis. Gadis kecil merasakan dekapan angin lembut. Tak terasa ia melangkah
ringan ke sebuah sebuah tempat. Sesekali ia buka matanya. Langit magrib itu
bersinar, turun secercah cahaya lembut yang gagah. Sayap-sayapnya lebar, putih
bersih, lalu hinggap di menara sebuah masjid. Nampak seseorang bapak tua
berjubah serba putih, samar-samar memanggil.
“Tinggalkan amarahmu, gadis kecil…
Disini adalah jawaban.” Bapak tua itu memanggil gadis kecil menuju menara
masjid. Wajahnya samar, namun suaranya bijak bestari.
Langkah gadis kecil itu terhenti di
sebuah pelataran masjid yang damai. Ia mengambil wudhu, tanpa sadar. Lalu ia
ambil mukena di sudutnya sembari mengucap nama Tuhannya. Minyak dan korek api
yang di pegangnya ia buang ke tempat sampah. Ia shalat 3 rakaat magrib bersama
“Bapak Tua” yang samar dalam penglihatannya, sejuk, damai, tenang.
Dan gadis kecil itu tak sadarkan diri,
merajut semesta mimpi.
Pertama kali ia membuka mata, sebuah
sungai terlihat di depannya. Ia terkejut. Di sekelilingnya istana-istana
mutiara yang megah berjejer, menara-menaranya menjulang langit, harum semerbak
menyebar dari dahan pohon yang hijau, sejuk.
“Engkau temukan jawabannya, gadis
kecil?” Seorang Bapak Tua menepuk pundaknya. Gadis kecil itu terkejut.
“Jawaban apa? Aku gak ngerti?” jawabnya
lembut.
“Bukan kamu yang membalasnya… Tuhanmu
Yang Maha Penyayang mendengar rintihanmu adik kecil… Dan sekarang Dia-lah yang
akan memperingatkan manusia-manusia itu… Dan kamu, tenanglah disini!”
Bapak tua itu berjalan menuju sebuah
istana. Ia mengajak gadis kecil menengok kesana, melihat sekeliling tempat yang
asing itu. Sesekali gadis kecil melihat ke segala arah sebuah pohon besar yang
manaungi ratusan istana emas, dahan-dahannya menutupi langit.
Tiba-tiba gadis kecil bertanya, “Apa
yang akan Tuhan lakukan sekarang? Akankah Dia membinasakan manusia-manusia itu,
padahal setahuku Dia Maha Lembut dan Penyayang.”
“Ikuti aku, dan lihatlah kesana!” Bapak
Tua menunjukkan tanggannya ke arah sebuah layar luas, lalu suara rintihan
terdengar, kemudian tawa girang samar tereka. Di perlihatkan pada gadis kecil
semua peristiwa.
“Itu teman-temanmu, mereka semua sama
sepertimu lapar, tak punya rumah, mereka menangis merintih meminta bantuan. Tak
ada satu pun yang mengganjal perut mereka, ibu-ibu mengemis di trotoar
mengharap selembar seribu-an datang dari orang bermobil mewah atau pejalan kaki
berdasi yang angkuh.”
Kemudian peristiwa demi peristiwa
terganti diperlihatkan tawa serakah penguasa mungkar yang menindas gadis kecil
dan teman-temannya.
“Kau lihat adik kecil, lelaki gemuk yang
mengusirmu dan ibumu. Lihatlah manusia-manusia yang tidak lagi peduli dan tak
memanusiakan manusia-manusia, pemimpin-pemimpin negerimu yang tak peduli
denganmu dan teman-temanmu.
Aku tahu, Tuhan kita maha penyayang,
namun Dia tidak suka dengan orang-orang zalim itu. Maka Dia, Allah… Allah
memberikan peringatan kepada mereka, agar mereka sadar! Agar mereka mengerti!
Bukan korek dan minyak tanahmu yang akan menghukum mereka… tapi…”
“Tapi apa?” tanya gadis kecil
kebingungan. Sebelum bapak tua itu menjawab, tiba-tiba langit redup. Seakan mau
runtuh. Dari salah satu sudut langit muncul pasukan malaikat berjubah hitam
garang dan wajahnya penuh amarah. Mereka turun menembus langit dan meruntuhkan
istana-istana mutiara, menumbangkan, meluluhlantahkan segalanya. Mereka terbang
melesat cepat menuju suatu tempat, suatu tempat…
TEMPAT YANG TELAH DI TENTUKAN!!
Gadis kecil berlari, pandangannya kabur,
tubuhnya lemas, Ia bingung mau lari kemana. Sayup-sayup sang bapak tua berkata
“Tanah akan tergoncang, lautan akan
meluap, gunung-gunung akan lepas dari daratan!”
Lalu sang bapak tua pergi menjauh,
semakin jauh, tak lagi terlihat. Gadis kecil hilang arah, hilang kesadaran dan
semua menjadi gelap.
Daratan rata meronta-ronta. Gadis kecil
bangun dari mimpi panjangannya meraba cahaya dari keruntuhan masjid. Ia bingung
dengan apa yang terjadi, namun keingintahuannya memaksa kakinya melangkah
menuju keluar. Dari kejauhan orang-orang berseragam Palang Merah berteriak,
”Kesana! Ada orang yang masih hidup!” Beberapa petugas tim SAR berlari menuju
gadis kecil .
“Apa yang terjadi, Pak?! Ada apa?!” ,
gadis kecil ketakutan. Mereka tak menghiraukan pertanyaannya. Langsung
menggendong gadis kecil ke sebuah helikopter untuk dibawa ke pusat pertolongan.
“Tadi malam sebuah bencana besar melanda
kota ini, hanya di sini.” Salah seorang co-pilot nampak berbincang.
“Mungkin Tuhan telah memperingatkan
seseorang.” Salah seorang menyahut, sambil melihat gadis kecil.
Si gadis kecil terbingung bingung karena
orang yang ia lihat sama seperti sang bapak tua yang ada di mimpinya.
“Bagaimana gadis kecil, kau dan korek
apimu, atau Tuhanmu dengan ribuan malaikatnya?”
Ia tersenyum datar.
Cerpen yang berjudul "Manusia-Manusia Trotoar" merupakan sebuah cerita pendek Inspiratif karangan dari seorang penulis yang bernama Muhammad Edgar Hamas. Kamu dapat mengikuti Facebook penulis di akun: Muhammad Edgar Hamas.
Posting Komentar untuk "Cerpen Inspiratif - Manusia-Manusia Trotoar | Muhammad Edgar Hamas"