Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Kehidupan - Metamorfosa Malaikat Tanpa Sayap | Ambiwwa Novita

Metamorfosa Malaikat Tanpa Sayap

Langit biru dan awan putih ketika pagi adalah alasan kuat mengapa aku masih bertahan hidup di bumi, aku berjalan di atas terjalnya dunia, dan berbicara di antara ribuan orang tuli, termasuk Ibu Bapakku sendiri, mereka tak pernah mendengarkan apa yang aku utarakan, aku memohon ribu ampun kepada Illahi Robbi, aku tak menyesali di turunkan ke dunia ini, aku tak menyesal mempunyai orang tua seperti mereka, namun aku lelah selalu tercap sok tahu dan terpojok salah.

“Bu… Bu!”

“Iya Pak”

“Tanah kita laku, bu! Tanah kita jadi di beli para pengusaha buat apartemen”

“Wah, rezeki nomplok tuh Pak!”

“Iya Bu, sawah kita rata sekarang! Tanahnya jadi uang bu, uang!”

Terdengar suara mereka tertawa puas dengan rezeki yang menurutku tak pantas untuk disyukuri seketika temperatur badanku menjadi panas sekaligus menggigil, aku bergidik ketakutan mendengar kebahagian mereka. Menurutku, mereka sangat keterlaluan, aku tak mampu menahan emosiku, aku bangkit dari kamar, dan buyarkan tawa mereka.

“Bu, Pak! Kenapa harus jual sawah?”

“Halah! Kamu tahu apa! Toh nanti kamu juga kebagian, malah kayanya bakal dihabisin buat kepentingan kamu, kamu ga usah banyak nanya!”

“Iya, Mas! Ini rezeki nomplok buat kita, katanya kamu mau jadi dokter!”

“Bu, Pak! Sawah di Indonesia, makin jarang. Ibu sama Bapak tega ngeikhlasin ratusan hektar sawah yang dulu di tanam eyang kakung buat kesejahteraan hidup, kenapa malah di jual buat keserakahan?”

“Halah, sudah! Kamu ga punya hak ngomong gitu, bibirmu belajar lagi, ga sopan nasehatin orang tua!”

Aku hanya menundukan kepala, dan memutuskan mengakhiri perdebatan

Aku kembali kedalam kamar, langit mendung semakin menghamili kesedihanku, aku sedih mengapa sawahnya harus di jual, mengapa tanah yang aku harapkan nantinya akan ku olah menjadi lahan untuk pangan seribu umat yang membutuhkan, kini sudah musnah, rata sudah oleh tanah. Aku kemudian berkhayal, andaikan aku punya tongkat ajaib, aku sudah buat semua lahan kosong jadi sawah atau mesjid saja, dari pada jadi apartemen atau villa, yang kebanyakan di huni oleh mereka-mereka yang tak berbuat benar, ah Ibu! ah Bapak! Kenapa dengan semudah itu Ibu dan Bapak berikan sawahnya?.

“Dimas! Kemari sini!”

Dengan langkah gontai dan kepala menunduk aku mencari di mana suara ayahku, aku menghampirinya dengan tersenyum tak ikhlas.

“Iya, Pak! Ada apa?”

“Kamu jadi kuliah ke mana?”

“Ga tau pak!”

“Ko, ga tau? Gimana sih sampeyan!”

“Saya sepertinya ingin ke luar rumah, mencari pengalaman, saya ga mau kuliah dulu pak! Biar saya kuliah dari hasil uang saya sendiri”

Ku lihat bola mata Ayahku sudah seperti hampir keluar, aku berharap dia tak akan memarahiku, tapi sepertinya tak akan mungkin, dia pasti akan melayangkan tangannya atau akan menghujaniku dengan kata-kata menyakitkan, aku tarik nafas untuk menyiapkan kekuatan.

“Dasar, bocah! Mau di taruh di mana muka bapamu? Ga kuliah? Mau jadi apa?”

“Yang pasti ga jadi orang serakah kayak Bapak!”

“Maksudmu apa, Mas?”

Aku hanya terdiam, sempat menyesali kata-kataku tadi namun memang kenyataannya begitu, teringat akan cerita eyang kakung ketika mempertahankan sawahnya jaman dulu, supaya tidak di minta upeti oleh para penjajah, eyang kakung mati-matian membela tanahnya, sekarang dengan gampangnya Bapak menjual tanah dengan cuma-cuma. Aku melihat ayahku masih melihat kedua bola mataku dengan tajam, sepertinya dia menahan emosinya.

“Ya, sudahlah! Jika kamu memang sudah merasa jadi manusia paling benar, silahkan kamu keluar dari sini, anggap saja aku bukan Bapakmu lagi”

“Pak!”

“Sudah sana, pergi!”

Tertegunku dibuatnya, tak menyangka ayahku akan berucap seperti itu, aku pikir dia akan menyikapi keberontakanku dengan bijaksana, layaknya seorang orang tua. Namun, yang aku dapatkan layaknya seperti perlakuan untuk anak-anak durhaka, padahal maksudku bukan untuk menyakiti hatinya, aku hanya kecewa dengan sikapnya. Kulihat Ibu, memandangiku dari pintu dia mengedipkan matanya, tak bisa disembunyikan air matanya, aku langsung pamit dari depan Bapak, tak lupa memohon maaf terlebih dahulu walaupun Bapak tak acuhkan salam terakhirku, aku kemudian mengemas baju sambil menahan rasa sakit hati yang terlalu.

“Mas, coba saja kalau kamu gak melawan!”. Aku hanya diam, kupikir Ibu akan membelaku, namun nyatanya tidak. Memang, dia tak rela untuk kutinggalkan, namun aku tak punya nilai apa-apa dibandingkan suaminya, aku pamit kepada Ibu dan memohon doa restu, aku pergi dari rumah dengan langkah lemas layaknya manusia tak bertulang, terlantunkan syair-syair kepedihan menjerit dari dalam tanah.

Kulangkahkan kakiku, sudah jauh dari rumah. Kenanganku di masa kecil, ketika di asuh Ibu Bapak membuat langkahku semakin lemas, tak terasa aku sudah bertemu senja, adzan maghrib sudah berkumandang, aku harus segera menghadap-Nya. Jalanan sangat ramai, sangat susah sekali untukku menyebrang, ketika jalanan mulai lenggang aku mencoba menyebrang jalan, tiba-tiba motor besar bermotif melaju dengan kencang dan hampir menyerapet tubuhku, bukannya minta maaf, orang itu malah mencaciku!

“Ya Allah, Negeri macam apa ini, isinya manusia-manusia yang membuat panas jiwa saja!”

Aku berjalan menuju arah Masjid dengan masih mengusap dada, aku kemudian melaksanakan ritual khusuku, setelah itu aku curahkan semua isi hatiku kepada-Nya. Dadaku mendadak menyempit ketika aku mengucap Ibu dan Bapak dalam lantunan doaku, aku lemah ketika mengingat mereka. Ingin rasanya kembali menuju rumah, dan mencium kaki Ibu Bapak namun rasanya tak mungkin, mereka tak akan mungkin menerimaku, harapanku menjadi dokter musnah sudah, impianku untuk membagikan hasil panen tahun ini kepada orang tak punya di hari ulang-tahunku pun lenyap sudah. Aku menangis tersedu-sedu, menunduk dan menahan sesak di dada.

Waktu terus berlalu, tak terasa sudah lima tahun aku meninggalkan rumah, aku kini sudah menjadi wirausaha, sekaligus guru sukarela di kolong bawah tanah, tak mudah memang untukku dapatkan pekerjaan, sempat aku ditawari jadi pengemis oleh seorang makelar, ketika kulangkahkan kakiku di Jakarta, namun aku tak sudi, lebih baik aku menjadi kuli kasar dari pada harus meminta-minta.

Awal aku bekerja, aku begitu menemui banyak kesulitan, sekalinya sudah hampir keterima, aku harus memberikan uang jaminan, hampir aku frustasi dengan isi manusia di dunia ini keserakahan akan uang begitu keterlaluan, namun Allah memberikan aku rezeki, ketika aku melamar ke sebuah toko, aku di terima dengan cuma-cuma. Memang, bukan toko besar namun lumayanlah dari pada aku mati kelaparan. Pemilik toko bernama Pa Asep, beliau sudah sangat tua, dia menjaga toko seorang diri karena istrinya dan anak-anaknya meninggal karena kecelakaan pesawat sehingga dia begitu senang ketika aku melamar pekerjaan, dia menerimaku dengan begitu antusias, beliau sangat baik sekali kepadaku, sampai akhirnya beliau wafat dia memberikanku amanah untuk menjaga tokonya. Aku pun memegang teguh amananhnya dengan sungguh-sungguh, kuteruskan bisnisnya dan betapa bahagianya aku, aku ternyata mampu mengelola toko ini. Kini aku sudah harus kembali ke rumah, apapaun penolakan yang terjadi nanti, aku harus segera pulang ke rumah. Sepanjang jalan, aku mengingat wajah marah Bapak dulu, aku takut namun aku harus siap hadapi apapun. Sesampai di halaman rumah, ku lihat rumahku seperti sudah lama tak terurus, kulihat di pojokan gerbang bertuliskan bahwa rumah ini di jual, aku semakin kaget dan menghubungi nomor telepon yang tertera.

“Halo!”

“Ini siapa?”

“Saya yang akan membeli rumah ini, bisakah sekarang kita bertemu?”

Yang mengangkat ternyata ibuku, dia sudah lupa akan suaraku. Tak lama menunggu, kira-kira hanya setengah jam kulihat Ibu berjalan dengan gontai, ku lihat keriputnya semakin jelas, dia menghampiriku, kemudian dia terdiam lalu memelukku.

“Nak! Ini anak ibu kan? Masih mau kan jadi anak iBu? Maafkan Ibu!”

“Sudah bu, sudah! Harusnya dimas yang minta maaf”

Percakapan pun terjadi antara diriku dan Ibu, Ibu tak henti-hentinya menangis. Ternyata, uang yang didapatkan ibu dan bapak dari hasil menjual tanah, musnah di curi orang, setelah itu Bapak terkena serangan jantung, Ibu sudah kehabisan uang untuk mengobati bapak, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menjual rumah sejak satu tahun yang lalu, namun belum juga laku sambil menunggu yang membeli rumah, mereka pun berpindah menuju rumah gubuk yang biasa mereka pakai untuk tempat menyimpan beras. Ibu mengajakku menemui Bapak, aku tak kuasa menangis saat bertemu dengan Bapak, aku memeluknya dan kemudian mengajaknya pindah kembali kerumah lama kami. Saatnya kini aku berbakti, Bapak sudah tak bisa bicara, dia hanya mengusap kepalaku, aku memeluknya lagi.

Kehidupan keduaku di mulai lagi, aku mulai membeli sawah di desa sebelah, aku bangun kembali impianku, aku kerahkan para pemuda yang tak bekerja untuk mengurusi toko di Jakarta, kemudian sawah dan ladang jagungku tumbuh dengan subur, aku juga kerahkan para ibu-ibu rumah tangga untuk bekerja membuat kerajinan dari hasil sulaman, aku alihkan anak-anak kolong jembatan yang sempat kuajar ke sekolah yang benar-benar akan memberikan mereka ijazah, bukan hanya sekedar pengetahuan saja. Kini kesehatan Bapak berangsung-angsur membaik, rumahku kini dipenuhi cinta tak ada lagi keserakahan. Aku, Ibu, dan Bapak kini sama-sama menyadari akan semua kesalahan yang dulu. Sujud syukurku kepada Allah, memang benar setelah kesulitan itu aka nada kemudahan, rasa syukurpun menuntunku untuk lebih belajar lagi akan arti kesabaran dan kehidupan.

Cerpen yang berjudul "Metamorfosa Malaikat Tanpa Sayap" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Ambiwwa Novita. Kamu dapat mengikuti penulis melalui blog berikut: Ambiwwgerimis.blogspot.com

Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Metamorfosa Malaikat Tanpa Sayap | Ambiwwa Novita"