Cerpen Horror - Novel Berdarah | Triyana Aidayanthi
Aku sedang duduk santai di teras rumah setelah menyelesaikan tugas bersih-bersih rumah yang diberikan orang tuaku sebelum pergi ke rumah Paman Wiko. Bibi Nur datang sambil membawa secangkir kopi panas dan meletakkannya di sampingku.
“Ini, Non, kopinya,” kata Bibi Nur.
Aku terheran-heran. Sejak kapan aku suka
ngopi dan kapan aku memesannya? Belum sempat protes, seorang tukang pos
berhenti di depan pagar rumahku. Memencet bel dan memaksaku bangun dan
menghampirinya. Saat aku sampai di sana, tukang pos itu menghilang tanpa jejak.
Aku kembali terheran-heran. Aku mengamati sekelilingku tapi aku tak menemukan
apapun.
Dengan kesal, kulangkahkan kaki memasuki
halaman rumah. Dan kudapati sepiring nasi goreng di atas meja di teras.
“Tampaknya Bibi Nur sedang hank.” Kataku
lalu masuk ke dalam, menuju lantai 2 tempat kamarku berada. Kubuka pintu kamar
namun ada sesuatu yang aneh, pintunya terkunci! Lagi-lagi aku terheran-heran.
Jelas-jelas tadi pagi pintu kubiarkan terbuka. Lalu aku pergi ke dapur untuk
mengambil kunci serep. Aku mencium bau darah segar dan sedikit amis saat masuk
ke dapur. Aku mengira Bibi Nur barusan memotong ikan atau daging dan lupa
membersihkan sisa-sisanya. Ya… aku tak memikirkan soal itu lagi. Kuambil kunci
serep kamar yang tergantung di dinding di samping kulkas.
Saat aku berjalan menaiki tangga,
kudengar jeritan seseorang dari arah kamarku. Sontak aku berlarian ke sana.
Cepat-cepat kumasukkan kunci ke lubang pintu namun pintu kamar tidak kunjung
terbuka.
“Astaga! Aku salah mengambil kunci!”
Kini terdengar seseorang mengedor-ngedor
pintu itu dengan keras.
“Non… non… bangun, Non! Sudah jam
setengah tujuh. Nanti Non terlambat!”
WAAAA… aku terperanjat bangun lalu
berlarian membuka pintu kamar.
“Bik, hari ini aku libur!!”
Aku begitu jelas melihat sang surya
tenggelam dari jendela di lantai 3 rumahku. Aku lihat sekelompok burung
berterbangan ke sana kemari. Kini langit sudah sangat gelap, tetapi mataku
masih jelas menangkap sebuah bayangan yang tengah memencet bel rumahku. Kulihat
Bik Nur membuka pintu pagar lalu berbincang-bincang dengan orang itu. Lalu ia
menerima sebuah bingkisan berukuran mirip novel. Kemudian ia masuk ke dalam
rumah.
Aku memutuskan turun ke bawah di samping
perutku yang sudah keroncongan, aku juga ingin menanyakan siapa gerangan yang
Bik Nur hampiri di depan tadi.
“Non Dhera belum tidur?” tanya Bik Nur
yang mengejutkanku. Aku lihat wajahnya begitu pucat, rambutnya terurai dan
sedikit basah.
“Ini sudah jam setengah dua belas malam,
Non.” Sambungnya.
Apa? Apa aku tidak salah dengar? Barusan
aku menyaksikan matahari terbenam, bagaimana bisa Bik Nur mengatakan ini sudah
tengah malam? Kuacuhkan omongannya lalu aku menuju dapur. Rasa lapar ini
semakin menjadi-jadi. Kubuka tudung saji, kudapati hidangan yang sepertinya
baru dimasak. Lekas kuambil piring, meletakkan satu setengah sendok nasi di
atasnya. Kuambil beberapa lauk yang ada. Lalu dengan serta-merta
kumenyantapnya. Tibalah suapan terakhir dan.. teng.. tong.. teng.. tong. Jam
dinding berbunyi. Mataku terbelalak saat kulihat jam itu menunjukkan pukul
duabelas tengah malam.
Bulu kudukku merinding. Saat aku ingin
kembali ke kamar, perutku mual-mual, seperti ingin muntah. Aku mencium bau
busuk di dapur. Kulihat ulat belatung, serangga, dan binatang menjijikan lainnya
di makanan yang santap tadi. Astaga! Makanan itu basi. Kurasakan ada sesuatu
yang bergejolak di dalam perutku dan memaksa ingin keluar. Aku memuntahkan
semua yang kumakan tadi. Sungguh menjijikan. Aku mulai merasa pusing. Saat aku
ingin duduk, aku terpeleset dan jatuh ke lantai. Kurasakan lantai itu begitu
dingin dan membuatku seperti membeku. Jantungku masih berdetak, namun sesuatu
itu keluar lagi dari mulutku. Cairan putih berbusa keluar dari mulut mungilku.
Aku keracunan. Dan kini detak jantungku melemah, lalu sekejap berhenti dan tak
kunjung berdetak lagi. Aku merasa tubuhku melayang meninggalkan sebuah tubuh
tergeletak tak bernyawa di bawah meja dapur. Aku mati!
Aku tersadar di sebuah ruangan
putih-putih oleh tetesan air yang ternyata kran yang belum aku tutup sempurna
selesai aku mandi tadi. Tubuhku begitu dingin karena aku tertidur di dalam bak
mandi yang berisi air. Kuraih handuk yang tergantung di samping cermin lalu aku
keluar dari tempat itu. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur yang empuk
dihadapanku.
“Aku bermimpi lagi. Araggghh!”
“Semakin hari semakin menyeramkan!”
gumamku kesal.
“Bik Nur… kau mendengarku? Tolong
bawakan aku secangkir coklat hangat dan beberapa lembar roti ta…” belum genap
pintaku, ia sudah nongol di depanku. Aku terperanjak.
“Sarapan tiba..” katanya dengan semangat
sambil tersenyum.
“Aaah.. iya, Bik, terima kasih.”
“Oh, ya, Non, saya hampir lupa..” ia
mengeluarkan sebuah bingkisan lalu memberikannya padaku. “Ini titipan dari
teman Non Dhera.”
Segera saja kubuka bingkisan itu. Isinya
sebuah buku mirip novel bersampul merah tanpa judul, nama penulis, nama
penerbit, tahun terbit, dll. Saat kubuka halaman pertama, aku sudah disuguhkan
dengan tulisan yang tidak dapat kubaca. Halaman demi halaman kubuka, sama saja.
Namun aneh, beberapa halaman di akhir buku itu masih kosong. Saat kuperhatikan,
ada bercak-bercak merah di halaman kosong itu. Mungkin bekas tinta, pikirku.
Lalu kuletakkan buku itu di atas meja belajarku.
Kusantap sarapanku yang nikmat ini tanpa
memikirkan hal-hal aneh yang belakangan ini kualami. Masa bodoh. Mimpi dan
halusinasi yang semu, beda dengan coklat hangat dan roti tawar ini!
Aku membawa piring dan cangkir bekas
sarapanku tadi ke dapur. Bau darah segar dan amis itu kembali kucium. Aku
memanggil-manggil Bik Nur namun dia tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Kudengar suara televisi menyala di ruang
tamu. Mungkin Bibi sedang menonton, sehingga dia tidak mendengar panggilanku.
Selepas dari dapur, aku menuju ke ruang tamu. Kudapati ia duduk membelakangiku
di sofa. Rambutnya dibiarkan terurai. Ia sangat asyik menyimak sebuah berita.
Aku bersandar di tembok, tak mendekatinya. Kudengar penyiar itu menyampaikan
sebuah berita duka dari seorang novelis tenar yang meninggal saat tengah
menulis novelnya. Ia dibunuh secara misterius. Novel yang tengah ditulisnya itu
raib bersama jejak sang pembunuh. Bik Nur tiba-tiba mematikan televisi.
Kini aku berbaring di atas kasur empuk
saat semua hal aneh itu menggerayangi otakku. Sial! Harusnya liburanku ini
mengesankan bukannya mencekam seperti ini. Mataku mencari-cari sesuatu di meja
belajar. Sesuatu yang baru kusadari telah hilang dari tempatnya dan hanya
meninggalkan sebercak darah segar di sana. Kutarik nafasku perlahan lalu
kucubit lenganku. Sakit! Artinya ini bukan mimpi. Aku terperanjak dari tempat
tidurku, melompat ke sudut kamar, dan mengigil di sana. Peluh dingin mengucur
dan membasahi tubuhku. Kulihat sosok yang sama seperti di depan rumah itu
sedang duduk membelakangiku di meja belajar. Tangan kirinya memegang sebuah
pena. Ia sedang menulis di atas sesuatu. Astaga! Di atas halaman kosong buku
yang kucari-cari tadi.
“Kaukah novelis yang meninggal misterius
itu?” tanyaku dalam ketakutan yang menyeruak. Namun ia tidak menjawab, ia tetap
menggerakan pena itu. Bau darah segar dan amis itu semakin menjadi. Aku semaki
ketakutan dan sesak. Kucoba untuk bangkit membuka pintu dan keluar dari kamar
ini lalu pergi sejauh-jauhnya. Namun itu hanya khayalanku semata. Ia berdiri
lalu berbalik badan ke arahku kemudian menatapku dengan tatapan penuh benci.
Aku tak mengerti dengan semua ini terlebih tatapan penuh kebencian itu. Aku
sama sekali tak mengenalnya. Di tengah kekalutan itu, ia mendekatiku lalu
mencekik leherku. Aku memberontak, namun percuma saja, aku tak mampu melawan.
Nafasku sudah putus-putus.
“Aku akan sangat senang bila kau mati di
tanganku. Hahahahaha….” ucapnya dengan keras. Dengan sisa tenagaku, kukepalkan
tangan lalu kuayukan dan tepat mengenai pelipisnya. Dia roboh sembari mengerang
kesakitan. Dengan sisa tenagaku ini aku mencoba bangkit, meraih gagang pintu
yang ternyata tidak terkunci. Aku berjalan terseok-seok menuruni tangga.
Kulihat Bik Nur sedang berdiri ke arahku. Bukan! Bukan! Itu buka Bik Nur,
melainkan sesosok hantu wanita berpakaian serba putih. Kini aku bagai telur di
ujung tanduk.
“Ya, Tuhan, tolonglah hambaMu ini!”
pintaku. “Aku tak ingin mati muda.” Tambahku. Namun, memang nasibku sedang
sial. Sosok yang mencekikku tadi kini sudah dibelakangku dan hantu wanita itu
sedang menaiki tangga. Kupejamkan mataku, aku pasrah.
Tenagaku sudah habis dan aku tergeletak
begitu saja di lantai. Aku merasakan tubuhku diseret menuju sebuah tempat yang
panas, pengap, sesak, dan penuh bau darah yang amis. Sungguh menjijikan.
Kudengar jelas kedua makhluk lain itu sedang bercakap-cakap. Yang mencekikku
tadi ternyata adalah seseorang yang kukalahkan dalam sebuah kompetisi menulis
saat itu. Ia telah membunuh 9 orang finalis termasuk dirinya sendiri, dan
sekarang adalah giliranku. Aku sadar, inilah maksud halaman kosong di akhir
buku tersebut. Ternyata ia bermaksud menuliskan kisah pembunuhan tragis
terhadapku beserta 9 finalis lainnya termasuk dirinya.
Aku memaksa mataku untuk terbuka. Aku
ingin melihat dunia untuk yang terakhir kalinya. Lalu sebuah benda menembus
jantungku dan menghentikannya berdetak seketika. Kurasakan diriku melayang ke
suatu tempat yang sejuk, pemandangannya indah. Di sana aku bertemu dengan 8
finalis lainnya. Mereka menyapaku dengan hangat seolah kami telah lama bersama.
Inikah surga? Batinku.
“Dhera….” teriak seorang wanita dari
halaman rumahku yang berhasil membuyarkan lamunanku.
“Dhera, anakku….” teriak seorang lelaki
di belakangnya, kemudian mereka berdua berlari ke arahku. Aku berdiri bermaksud
untuk menyambut mereka, tapi mereka tak berhenti di depanku, melainkan masuk ke
dalam rumah. Kulihat mereka bersimpuh di depan tubuh seorang gadis sebayaku
yang tengah beristirahat berbalut kain.
“Papa, Mama, aku di sini..!” teriakku.
Namun mereka tak menoleh ke arahku, malah semakin menangisi jasad itu. Aku
terheran-heran. Siapa gerangan jasad itu? Mengapa papa dan mama begitu terlihat
kehilangan?
Aku kembali ke tempat dudukku, menikmati
coklat hangat dan beberapa lembar roti tawar buatan Bik Nur ditimpali dengan
sebuah surat kabar. Pagi yang indah.
Kubuka koran yang masih terlipat itu
lalu kubaca halaman pertama.
“Novel berdarah karangan seorang novelis
tenar yang belum lama ini meninggal secara misterius, dikabarkan kembali
memakan korban. Dhera, seorang siswi SMA yang juga seorang penulis, ditemukan
meregang nyawa di gudang rumahnya. Sebuah buku mirip novel berdarah ditemukan
di samping jasad korban.” Usai membaca separagraf berita itu,
“Dhera…” seorang wanita cantik bersayap
memanggilku. Mengulurkan tangannya kepadaku. Kugenggam tangan yang membawaku
terbang ke langit biru itu.
“Selamat tinggal, Ma, Pa, aku akan
sangat merindukan kalian.” Ucapku sambil melambaikan tangan.
Cerpen Cinta yang berjudul "Novel Berdarah" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Triyana Aidayanthi. Kamu dapat mengunjungi dan mengikuti twitter penulis di akun: @_triyanaa.
Posting Komentar untuk "Cerpen Horror - Novel Berdarah | Triyana Aidayanthi"