Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Keluarga - Air Mata Terakhir | Daniel Satria Sutrisno

cerpen keluarga sedih air mata terakhir

Sudah setahun berjalan aku terbaring tak berdaya di tempat ini, tepatnya di ruang perawatan sebuah rumah sakit.

Aku bahkan tak tau lagi kapan air mata ku yang pertama mulai mengalir membahasi pipi ini, mata yang tadinya hanya berlinangan air mata saja kini telah lama melebam bengkak.

Semenjak penyakit mulai menggerogiti tubuhku kaki ku mulai lumpuh tak dapat berjalan, setiap hari hanya larut dalam malam-malam kesedihan.

Seakan masih hangat dalam ingatan ku kejadian yang membuka lembar derita ku. berawal di sebuah persimpangan jalan, ku lihat sosok yang tidak asing bagi ku senyumannya selalu membekas dalam hati ku.

Di setiap waktu tak pernah ku tinggalkan dirinya sendiri karena itulah janji ku padanya yaitu kan selalu di sisinya, menjaganya tiap waktunya.

Orang itu adalah lina adik ku seorang yang sangat kusayangi meskipun ia harus selalu ku bimbing dan ku jaga itu adalah hal yang sewajarnya, kebutaan yang di alaminya sejak lahirlah yang membuat lina tak boleh lepas dari pengawasan ku.

Aku selalu mengajak lina jalan setiap sore, di saat itu ia selalu meminta ku tuk berdiri bersanya di sebuah persimpangan jalan untuk sekedar menunggu hal yang selalu rutin kami lakukan.

“Tit tut tit tut!” rina langsung melompat gembira ketika suara yang tak asing lagi di telinganya.

“kakak ayo buruan es tangkainya udah datang tu”

“Ia lin, sabar masnya masih layanin orang tu”

“kak ros ngak asik ah!”

“Iya de kaka beliin es tangkainya lina tapi lina tunggu disini ya!”

“iya kak buruan, nanti keburu habis lagi”

“hihihi..! Beres lin”

Seharusnya tak ku tinggalkan lina sendiri, saat kedua es yang telah ku genggam kini hanya tergeletak di pinggir jalan.

Saat itu orang mulai berkumpul ramai, tinggallah aku menangisi sosok yang ku sayangi itu tapi sudah terlambat, lina berjalan sendiri tanpa sadar di tengah jalan suara kelakson mobil sedan putihlah suara terakhir yang ia dengar saat itu, meskipun ambulance datang lebih cepat tapi ternyata sang malaikat mautlah yang telah sampai pertama tuk menjeputnya.

Penyesalanpun tinggal penyesalan, aku terus menuduh diri ku sendiri mulai saat itu, air mata pun menjadi jata ku di malam hari kesedihan menjadi sahabat setia ku di pagi sampai menutup hari.

Meski papa mama telah mengiklaskan kepergian lina, tapi tdk denganku.

Perlahan kesedihan ini mulai tak ada akhirnya sehingga untuk makanpun jarang, penyakit-penyakit mulai berdatangan memelukku dalam kesedihan ini, sengsara ku bertambah berat badanku menurun drastis, hingga sering sakit-sakitan.

Papa mama kini bertambah sedih karna harus menerima keadaan ku.

Mereka terus menasehati ku agar berhenti bersedih, sahabat-sahabatk terdekatku kian bergilir menguatkanku, tapi seakan mata ku tak bisa mengenali mereka lagi hanya bayangan tak jelas yang ku lihat.

Dokter mengfonis aku kena kangker mata, dan harus secepatnya di oprasi atau nyawa ku tak bisa di tolong.

Sebenarnya sudah lama sekali aku ingin keluar dari penderitaan ini, hanya mimpi-mimpi indah bersama lina yang terus menghantui setiap malam, namun di saat terbangun aku mulai menitikan air mata tapi rasanya seperti ingin mengeluarkan batu saja.

Hingga tiba di suatu malam mata ini sudah tak sanggup menahan sakit.

Mama yang berada di samping ku panik lalu dokter segera datang, dokter bilang mata kananku sudah harus di oprasi karna mulai menjalar ke otak, mama hanya bisa mengangguk saja, sedangkan papa bingung.

Aku di larikan secepatnya melewati para pasien lain, kemudian hanya sebuah ruangan yang begitu terang di susul semarak suara cemas, mungkin itu suara dari para dokter yang ada.

“Dok, kita harus segera membiusnya”

“Aku mengerti ambilkan suntikkannya”

terasa sesaat ada sesuatu yang terasa agak sakit di lengan, tapi perlahan aku mulai merasa melayang, rasa sakit di mata perlahan memudar, seiring detakkan alat yang terus berbunyi mengikuti jantung kemudian menghilang.

“Kak! Kakak ros mengapa terus bersedih?”

terdengar suara halus di telinga, saat mata ku buka.

“Oh lina! Benarkah itu kamu? Akhirnya kakak bisa bertemu lina”

“kak jangan cemas kak aku seneng kok di sini, kakak juga harus lekas sembuh, supaya lina nggak sedih lagi”

“sembuh? Apa maksud lina”

Lina hanya tersenyum manis pada ku lalu berkata, “kakak harus kembali, papa mama udah nunggu. lina pamit dulu ya kak, lina udah di jemput tu sama Tuhan”

“apa lina, apa yang kamu bicarakan”

dalam sekejap semua menjadi gelap terdengar hanya suara tangisan sedih di telinga”

Aku masih tak tau apa yang terjadi pada ku mungkin aku sudah mati, apakah ini rasanya telah tiada.

Setahun berlalu, hanya tertera sebuah nama di sebuah batu nisan. Terlihat 3 orang dengan seikat bunga di tangan salah seorang gadis untuk segera di taruh di samping batu nisan itu.

“Lin, kak ros membawa seikat bunga untuk mu, dan tahu ngak? Kak ros sekarang sudah sembuh sepenuhnya, karna kak ros tau kamu sudah bahagia di sana jadi tak ada alasan untuk terus menangis, dan air mata kak ros sudah menjadi air mata terahir”

Cerpen yang berjudul "Air Mata Terakhir" merupakan sebuah cerita pendek percintaan karangan dari seorang penulis yang bernama Daniel Satria Sutrisno. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di akun Daniel Satria.

Posting Komentar untuk "Cerpen Keluarga - Air Mata Terakhir | Daniel Satria Sutrisno"