Cerpen Cinta - Hati Munafik Yang Berbicara | Sabrianah Badaruddin
Hati Munafik Yang Berbicara - Sabrianah Badaruddin
Ketika hati berlabuh pada suatu penantian panjang, akan ada peperangan yang terjadi antara jiwa dan fikiran. Rani masih memikirkan kata-kata tersebut, tiba-tiba ia tersentak dikagetkan Aya sahabatnya.
“Siang Bolong gini ngayal aja kamu,
nanti kesambet loh!” Kata aya sambil tersenyum manis
“Hmm… biar aja. Yang jelas kalau aku
kesambet kamu jadi sasaran pertama yang akan aku jambak, hahahaha”. Canda Rani.
“Kamu ngapain sih, hobi banget ngagetin aku?” Lanjutnya
“Habis kamu juga sih, hobi banget
ngayalnya. Kamu lagi mikiran Ali yah?” Goda Aya
“Yee… siapa yang mikirin Ali, sok tau
deh!” Cibir Rani. “Mending mikirin Nabi Yusuf yang gantengnya mendunia dari
pada mikirin Ali.” Lanjut Rani dengan sangat ekspresif.
Aya hanya tertawa melihat tingkah Rani.
Malamnya, Rani menangis dikamarnya
memikirkan ucapan Aya tadi Siang. “Aku memang mikirin Dia (Ali) Ya!” ucapnya
lirih. Rani lalu memutar lagu Elyzia – Cinta Yang Tak Mungkin
Kupejamkan mata ini, Ku tertidur tanpa
lelap
Tapi ku bermimpi kau jadi milikku
Suaramu tetap bernyayi
Walau sadarku kian tak ada
Namun ku bahagia lagumu milikku
Indah senyumanmu,
Tak kan pernah bisa pudar
Makin indah dihatiku
Walau ku sadari
Cinta yang mungkin jadi
Apapun yang kau ciptakan
ku akan berjuang dapatkan
Jika kau bahagia
Aku semakin bahagia
Indahnya wajahmu
Tak kan pernah sirna
Makin terang dihatiku
Walau kusadari
Cinta yang mungkin jadi
Meski ku tak bisa memiliki dirimu…
Tak kan ku berpaling pergi
Makin ku mencintai…
Kulepas kau kekasih
Biar terbang tinggi
Cinta yang tak mungkin
Terbang tinggi
Tiba-tiba Rani menangis sejadi-jadinya
mendengar lagu tersebut, ia kembali mengingat kejadian kemarin disekolah.
FlashBack
“Ran, ke kantin yuk?” Ajak Aya.
“Ayuk!” Jawab Rani sambil menggandeng
tangan Aya menuju kantin.
“Ihh, jangan lebay deh Ran. Kayak anak
kecil aja. Jawab Aya ketus.
Rani hanya terdiam lalu mengikuti Aya
dari belakang. Seperti tidak ada kejadian yang terjadi, mereka lalu saling
bercanda. Dikantin, terlihat Ali, teman kelas Rani dan Aya telah lebih dulu
jadi penghuni kantin.
“Hay Aya?” panggil Ali.
“Hay, ngapain manggil-manggil?” Jawab
Aya ketus sambil tersenyum.
“Nggak papa, dasar cerewet!” Balas Ali.
“Ihh…” jawab Aya sambil berlalu
meninggalkan Ali.
Rani hanya mengikut dibelakang Aya.
Dalam hati, Rani sedikit sedih karena Ali tak menyapanya.
“Bukan hanya tadi kamu tak menyapaku,
selama hampir satu tahun ini pun kamu tak pernah menyapaku selain karena tugas
sekolah. Kenapa harus Aya yang kamu sapa? Kenapa bukan aku Li?” Batin Rani
sedih.
Sejak naik kelas XI, Aya dan Rani
memang sangat dekat. Namun, dalam hati
Rani tidak terlalu menyukai Aya, karena sikap dan tingkah laku Kolerik Aya yang
menurut Rani tidak sesuai dengan kepribadiannya yang Pleukmatik. Selain itu,
Aya sangat dekat dengan Ali, cowok yang Rani sukai sejak naik kelas XI.
Sehingga acap kali Rani sedih dan kecewa dengan Aya yang seringkali tak menjaga
perasaanya yang jelas-jelas mengetahui perasaan Rani terhadap Ali.
“Kenapa sih, kamu itu nggak peka banget!
Aku suka sama kamu sejak dulu. Aku sadar aku bukan Aya yang sempurna. Tapi
haruskah kamu bersikap dingin terhadapku? Haa… kenapa?” ucap Rani sedikit
marah.
Rani dan Ali memang sangat jarang
bicara, dapat terhitung jari mereka bicara. Sampai mereka ingin naik kelas XII
pun, kurang 15 kali mereka bicara. Itu pun karena tugas sekolah.
“Aya, kamu kan tau aku suka sama Ali.
Kenapa kamu nggak bisa jaga perasaan aku? Kamu selalu saja bilang mau jaga
perasaan aku, tapi kenapa kamu nggak bisa buktiin perkataan kamu? Aku tahu,
kamu pasti sadar akan hal itu.” Lanjut Rani sambil terisak.
Rani hanya bisa menangis memikirkan
perasaannya yang berkecamuk, dan tak sadar ia tertidur dalam kegelisahan yang
mengantarnya kealam mimpi.
“Rani…” teriak Aya girang memanggil Rani
yang baru datang ke kelas. “Kamu telat lagi Ran? Hahaha. Kamu mau disuruh
pulang untuk ketiga kalinya? Hahahaha.” Lanjut Aya sambil menggoda Rani. Rani
hanya melihat Aya dengan senyum terpaksa.
“Tak perlu sambil teriak kali bilangnya
Ya, bisa tidak kamu sehari aja nggak buat aku dongkol?” Batin Rani mendesah
kesal, namun tak diperlihatkannya. Ia lalu duduk di sebelah Aya, karena mereka
memang sebangku.
Rani memiliki kebiasaan terlambat sejak
masih duduk di bangku Sekolah Dasar, waktu kelas X Dia sudah dua kali
dipulangkan karena terlambat.
Bel masuk pelajaran pertamapun berbunyi,
guru-guru memasuki kelasnya masing-masing. Jam 14.00 WITA, bel pulangpun
berbunyi.
“Rani, anterin ke mall dulu ya ambil
kunci rumah. Aku lupa ambil lagi.” Bujuk Aya.
“OK,” Balas Rani. Mereka pun pulang
bersama. Di tengah perjalanan, Aya melihat Ali sedang marah-marah menendang ban
motornya.
“Ran, itu Ali kan? Kenapa ya dia? Apa
motornya mogok?” Tanya Aya.
“Kayaknya sih begitu” balas Rani
selidik.
“Samperin yuk Ran, siapa tahu aja kita
bisa bantu.” Jawab Aya cemas.
“Ya!” balas Rani sekenanya. “Aya kok
perhatian banget sih?” Batin Rani bertanya.
“Ali, kenapa? Mogok?” Tanya Aya yang
berlari kecil kearah Ali
“Hey kamu Ya, iya nih motornya mogok.
Nggak tahu kenapa, bikin dongkol aja.” Jawab Ali dengan raut kesal. Rani hanya
melihat mereka berdua tanpa mengeluarkan satu untaianpun.
“Sampai kapan sih kamu nggak mau sapa
aku? Kenapa Aya terus? Aya juga perhatian banget sama Ali. Apa dia suka juga
sama Ali? Tapi nggak mungkin, Aya kan konsisten banget nggak mau suka sama
cowok yang orang lain juga suka, apalagi cowok yang sahabatnya sendiri suka.”
Batin Rani mendesah. Tiba-tiba Ali menatap selidik kearah Rani.
“Loh, ada kamu juga ya Ran? Hmm, kamu
naik motor bukan?” Tanya Ali.
“Iya, memang ada apa?” balas Rani dengan
salah tingkah karena Ali mengajaknya bicara.
“Boleh minta tolong nggak?” Tanya Ali
dengan hati-hati.
“Boleh, mau minta tolong apaan?” balas
Rani sedikit canggung.
“Motor aku kan mogok nih, bisa pinjam
motornya nggak?” jawab Ali tanpa ragu. Kamu tenang aja, nanti aku kembaliin ke
rumahmu tanpa cacat apapun. Janji deh, suer!” lanjutnya dengan sangat
ekspresif.
Seakan tak percaya dengan apa yang baru
dia dengar, Rani terasa diremukkan hatinya oleh sebuah benda yang besar.
“sekalinya ngajak bicara dia hanya mau pimjam motor? Itupun karena motornya
mogok!” batin Rani. Ia lalu menganggukkan kepalanya tanda setuju. Tanpa
bertanya untuk kedua kalinya, Ali lalu meminta kunci motor Rani.
“Ran, aku ikut Ali ya, soalnya aku
buru-buru nih!” kata Aya
“Ya…” Rani hanya berkata satu kata.
“lengkap sudah, dia baru nyapa aku
karena lagi butuh. Tapi apa harus juga bareng Aya pulangnya? Tanpa memikirkan
aku pulangnya bagaimana! Waw, perfect!” batin Rani.
Aya dan Ali berlalu meninggalkan Rani
sendirian. Rani tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi memaksa keluar,
namun ia masih dapat menahannya. Rani lalu memberhentikan kendaraan umum, dan
setelah sampai dirumahnya ia lalu berlari menuju kamarnya. Dikamarnya, Rani
menangis sejadinya. Setelah hampir satu jam air matanya tumpah di kasurnya tiba-tiba
terdengar suara klakson motornya. Rani lalu bergegas ke kamar mandi membenahi
dirinya, lalu bersegera menghampiri Ali.
“Maaf lama!” kata Rani mengagetkan Ali.
“Oh, nggak papa kok! Btw, thank’s ya
motornya?” balas Ali.
“Ya, sama-sama. Terus kamu pulangnya
naik apa?” Selidik Rani dengan nada yang masih sangat canggung.
“Tuh diluar udah ada jemputan, aku
duluan ya?” jawab Ali sambil berlalu pergi.
Rani menatap kepergian Ali dengan
tatapan kosong sampai tak terlihat lagi. Ia lalu kembali menuju kekamarnya.
Didalam kamar, Rani bertanya kepada dirinya “Apa aku terlalu bodoh mencintai
orang yang sama sekali tak menganggapku ada? Bicarapun dia seolah enggan.
Mengapa aku harus menyukainya? Mengapa aku harus menitipkan perasaanku
untuknya? Apakah hatiku terlalu munafik menyimpan rasa untuknya?” Rani hanya
bisa mengeluarkan semua sejuta hantaman dalam hatinya dengan tanya yang tak ada
jawabnya.
Gelap fajar dengan hembusan angin yang
sejuk menemani kegelisaan Rani. Dia tampak tegar dan tersenyum melihat langit
senja. “Aku akan mulai menjadi langit senja, yang menemani setiap peristiwa
yang ada dimuka bumi, mengiringi setiap langkah makhluk ciptaan Sang Khalik
melewati seluruh lika-liku kehidupannya, dan selalu tersenyum malu menampakkan
warna elok ketika makhluk tengah merasakan indahnya memadu binar-binar hati.”
Gumam Rani lembut dengan senyum penuh makna. “Apa aku bisa seperti langit?”
lanjutnya.
Flashback
Dikelas, seperti biasanya suasana penuh
kegirangan, ada yang berkumpul membicarakan topik yang mereka sukai, ada yang
sedang asyik menggambar, ada yang asyik main gitar dan bernyayi bersama-sama,
dan ada yang sibuk mengerjakan tugas sekolah. Begitu halnya dengan Ali, ia
tengah sibuk menyiapkan coklat untuk diberikan kepada wanita yang akan dijadikan
pengisi hatinya.
“Aya,?” mengahampiri Aya yang tengah
asyik bergosip dengan temannya.
“Iya, kenapa Li?” jawab Aya sekenanya.
“Boleh ngomong bentar nggak? Please,
boleh ya?” Bujuk Ali.
“Hmm, maksa nih kayaknya. Ok deh! Ayuk,
mau ngomong apaan sih?” Tanya Aya penasaran. Tanpa sempat membalas pertanyaan
Aya, Ali langsung menarik pergelangan tangan Aya dan sedikit berlari kearah
tengah kelas.
“Ya… aku suka sama kamu! Udah lama aku
mendam perasaan ini, sejak kita kelas X aku dah suka sama kamu. Kamu mau nggak
jadi pengisi relung hatiku?” kata Ali penuh harap.
Tanpa mereka sadari, Rani yang saat itu
telah berdiri di depan pintu kelas, pulang dari perpustakaan melihat apa yang
dilakukan Ali.
“Apa? Ali nembak Aya? Dia suka Aya sejak
kelas X? Aku nggak percaya ini, mengapa dia harus suka sama sahabatku sendiri?”
Batin Aya bertanya.
“Ali… apa kamu serius dengan ucapanmu?”
Tanya Aya dengan masih tak percaya.
“Aku sangat serius Ya, aku udah nggak
bisa mendam perasaan ini terlalu lama. Aku su… Bukan, tapi cinta sama Kamu! Aku
suka sama sifat egois kamu, sifat ceria kamu, sifat cerewet kamu, pokoknya aku
suka semua yang ada pada kamu.” Balas Ali dengan penuh ekspresif.
“Sebenarnya, aku juga suka sama kamu Li,
tapi…” belum sempat Aya melanjutkan, Rani telah memotong pembicaraannya.
“Tapi, dia belum dapat restu dari Aku
Li, hahaha. Ya, sekarang aku restui hubungan kalian. Buruan terima Ali.” Kata
Rani dengan girang namun Batinnya sangat pedih. “Aku dukung kalian, teman-teman
juga. Iya kan temen-temenku?” Lanjutnya
“Iya, setuju!” jawab teman kelasnya
serentak. “sudah Ya, terimas aja, kasihan tuh Ali sampai keringat dingin gitu.
Hahaha” lanjut salah satu dari mereka.
“Tapi…” Aya langsung menarik tangan Rani
kearah luar kelas. “Ran, kamu suka kan sama Ali?” bisik Aya.
“Ah, aku suka sama Ali? Ya nggak lah
Ayaku sayang. Mana mungkin aku suka sama dia, iya sih dulu aku suka, tapi itu
udah lama banget. Udah pada jamannnya manusia purba. Hahahaha.” Jawab Rani
dengan Ketawa yang sangat dipaksakan.
“Bener…?” selidik Aya.
“Yaiyalah!” jawab Rani tegas dengan raut
meyakinkan. Rani lalu menarik tangan Aya kembali ke tengah Kelas dan teriak
“Temen-temen, Aya nerima Ali jadi pacarnya. Beri selamat yukk!” Lanjut Rani
dengan sangat ekspresif.
Akhirnya Aya dan Ali resmi pacaran, Rani
tak kuasa menahan air matanya namun ia masih mampu menahannya. Akhirnya Bel
pulangpun berbunyi.
“Aya, sory ya. Bukannya aku nggak mau
anterin kamu pulang. Tapi, berhubung ada pasangan baru, jadi motorku nggak
nerima boncengan yang udah berpasangan. Hahaha.” Canda Rani
“ye… jahat kamu Ran!” Cibir Aya.
“hahaha… Yaudah deh, aku balik duluan
ya?” tanpa sempat mendengar balasan Aya, Rani berlalu meninggalkan Aya dan Ali.
Rani lalu berlari menuju motor dan langsung mengemudikan motor dan
mengendarainya dengan kecapatan 60 km/jam. Ia menangis sejadinya dimotor dengan
kecepatan diatas normal. Rani mengendarai motor tanpa arah, ia belum mau pulang
kerumah. Setelah hampir satu jam mengendarai motor tanpa tujuan, Rani lalu
pulang kerumah. Sesampainya dirumah, ia lalu berlari kekamarnya dan melanjutkan
meratapi dirinya.
“Aku sekarang mengerti semuanya” ucapnya
terbata. Rani tak dapat mengeluarkan untaian apapun dari mulut maupun batinnya.
Ia merasakan pedih yang sangat sakit.
“Ya Allah, terima kasih atas semua
cobaan yang Engkau berikan kepadaku. Pada akhirnya, semua ini pasti ada
hikmahnya. Aku memang belum waktunya mencintai orang lain, karena sesungguhnya
cinta yang aku miliki memang diciptakan hanya untuk memberikan seutuhnya
terhadapMU. Terima kasih Aya, terima kasih Ali, kini aku telah dapat melunakkan
munafiknya hatiku. Akan kujadikan pelajaran yang berharga untuk diriku. Semoga
kalian berbahagia.” Doa Rani, ia lalu melanjutkan memandang langit senja.
Cerpen yang berjudul "Hati Munafik Yang Berbicara" merupakan sebuah cerita pendek kehidupan karangan dari seorang penulis yang bernama Sabrianah Badaruddin. Kamu dapat mengunjungi blog penulis di link berikut: https://rhynasb.blogspot.com
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Hati Munafik Yang Berbicara | Sabrianah Badaruddin"