Cerpen Cinta - Aku, Lenteraku, Dan Mataharinya | Siti Mas’ulah
Aku, Lenteraku, dan Mataharinya - Siti Mas’ulah
Aku terdampar di pojok taman, terduduk lemah bersanding dengan para bunga yang ceria dan rerumputan yang asyik menari, di sebuah kursi panjang aku menengadah ke lengit mencoba mencari-cari sesuatu yang hilang, langit tak lagi putih, bahkan ia seakan pucat dan muram, mungkin karena sang surya terlalu lama meninggalkannya, hingga ia tak lagi mampu ceria. Begitukah keadaannya saat ini, Keadaan seorang gadis bernama Yassirli Amriyyah, yang telah kurampas panutan hidupnya. Muram dan tak lagi memiliki gairah untuk hidup karena mataharinya telah kalah oleh pekatnya mendung. Aku tak kuasa melanjutkannya, langit benar-benar mengingatkan aku pada Sherly.
Kupalingkan wajah ku dari langit dan
coba kembali menilik bumi, ternyata bumi tak jauh beda dengan langit, kudapati
dedaunan yang telah meninggalkan ranting dan berserakan di tanah
terombang-ambing oleh angin, daun-daun kering itu tak lagi sanggup untuk setia
pada ranting, mungkinkh jodoh dedaunan dan ranting telah habis? Adakah nasib ku
dan Wildan sama dengan mereka. Tuhan menjodohkan kami untuk saling mengenal
tapi tidak untuk bersatu. Entahlah aku tak tahu, seperti apa rupaku kali ini,
sekoyak apa hatiku dan sedalam apa belati menusuk menoreh jantungku. Aku sakit,
tapi benarkah aku harus mendzalimi diriku?
Ah… kenapa rasa itu masih saja ada,
kenapa harus nama itu lagi, tak bisakah otak dan hatiku berdamai dengan ku
meski hanya sejenak saja, kenapa harus Wildan, kenapa nama itu tak pernah
musnah dari fikiranku, kenapa susah sekali menghapus nama itu dari memoriku,
Tuhan… kenapa tak Kau ciptakan tombol delete di otak ku agar aku dengan mudah
menghapus nama itu. Semua tanya itu tak kutemukan jawabnya.
Kembali kejadian dua bulan yang lalu
berkelebat di depan mataku
Aku terduduk lemah pada sebuah kursi
yang membentang di ruang tamu, kaki ku seakan tak lagi mampu menopang tubuhku,
dadaku sesak, serasah tertindih beban berat yang kasat mata, dan butiran-butiran
kristal mulai meluncur dari kelopak mataku, tangan ku gemetaran sambil tetap
memegang kertas merah jambu yang baru saja aku eja huruf demi huruf yang
terjajar di sana. Aku hampir tak percaya dengan apa yang baru saja aku baca,
kata demi kata yang terangkai dalam kertas itu seperti sembilu yang mencakar
hatiku. Wildan yang baru saja menjadi lentera dalam hidup ku ternyata matahari
bagi seorang gadis bernama “Yassirli Amriyah.” Sherly melayangkan petir yang
berwujud secarik kertas ke rumahku untuk meminta kembali mataharinya yang tanpa
sengaja telah aku ambil.
Aku tak menyangka betapa jahatnya aku
telah tega merampas kehidupan orang lain hanya demi keegoisanku, masihkah aku
pantas disebut sebagia manusia? Aku memang tak tahu bahwa Muhammad Wildanuril
Ilmi, calon tunanganku, ternyata memiliki hubungan dengan seorang gadis bernama
Yassirli Amriyah. Tapi tetap saja aku telah merampas sesuatu yang bukan
milikku.
Hal yang paling ditakutkan oleh seorang
isteri adalah kehilangan imamnya, tapi yang terjadi padaku ternyata, aku harus
kehilangan calon tunanganku, seseorang yang ku anggap sebagai calon imam,
seseorang yang kan membimbing aku mengayuh biduk menuju pulau indah sang Maha
Cinta.
“Zahwa, Tolong dengerin aku , Aku
mencintai kamu Zahwa, percaya sama aku…”
“Maaf Wil, aku butuh waktu untuk sendiri
agar bisa berfikir jernih”
“Tapi bulan depan pertungan kita, Zahwa…
aku mohon fikirkan lagi rencana kepergianmu”
“Aku harus pergi, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”
Aku berlalu pergi meninggalkan Wildan
yang masih mematung di depan rumahku, kaki ku seakan membatu tapi aku berusaha
kuat untuk beranjak dari hadapannya. Aku sendiri tak mengerti aku pergi untuk
apa, apakah benar untuk menenangakan diri seperti yang ku katakan pada Wildan, atau
aku pergi untuk berlari, berlari dari kenyataan bahwa Wildan ternyata bukan
milikku. Semua mimpi indah yang kami rajut bersama ternyata tercerai-berai
hanya dengan secarik kertas yang menyuarakan kebenaran.
Kuseka air mata yang mulai membanjiri
pipiku dengan kerudung putihku. Allah… Satu bulan aku telah menjauh dari dia
tapi ternyata belum ada yang berubah, perasaanku masih tetap saja sama seperti
dulu, aku masih terus berharap bahwa surat merah jambu itu dan serentetan
kejadian yang menimpa aku dan Wildan hanyalah mimpi. Tapi tidak, aku tidak
boleh lemah, aku sama sekali tidak memiliki hak atas Muhammad Wildanuril Ilmi,
dia milik Yassirli Amriyah bukan Zahwa Aulia Syahiroh.
Hatiku bergetar hebat, saat aku melihat
mobil Wildan, seutas senyum kuhadirkan tuk menyambutnya, tapi senyum itu pudar
tatkala aku melihat seorang gadis berjubah cream turun dari mobil wildan, gadis
itu cantik, anggun dan modis, itukah Yassirli Amriyah, kejadian satu bulan yang
lalu hampir saja terulang kembali, aku hampir saja terduduk lunglai seperti
waktu itu.
Untunglah aku bisa lebih menguasai diri,
kupejamkan mata sejenak sekedar menenangkan diri, kembali kusuguhkan senyumku,
agar mereka berdua tak menyadari betapa dahsyat pergolakan batin yang sedang
aku alami. Semakin lama mereka semakin dekat, dekat, dekat dan…
Ya Allah… kuatkan hamba-Mu yang lemah
ini, jangan biarkan aku tenggelam dalam permainan syaitan, Bismillah… aku
ikhlaskan Muhammad Wildanuril Ilmi untuk Yassirli Amriyah.
“Assalamu’alaikum… Zahwa”
Suara itu menarik paksa aku dari lamunan
panjangku.
“Wa’alaikum Salam, Wil”
“Bagaimana kabar kamu Zahwa?”
“Alhamdulillah, sehat Wil, kamu?”
“Alhamdulillah aku juga sehat, Zahwa
kenalkan ini Sherly, Sherly kenalkan ini Zahwa”
Kualihkan pandangan ku yang sedari tadi
mengamati Wildan ke arah gadis cantik yang kini telah duduk di sampingnya,
kudapati seuntai senyum yang benar-benar tulus tak ada sedikitpun guratan
keterpaksaan di sana. Aku mulai merasakan nyeri di dadaku, bahkan dalam hal
senyum pun aku kalah dengan dia, senyum yang ia suguhkan jauh berbeda dengan
senyum yang aku berikan untuk menyambutnya, senyum yang dipenuhi rasa
keterpaksaan.
Dia tetap tersenyum padaku meski aku
belum bisa merespon aku masih sibuk menenangkan hatiku yang semakin bergejolak,
aku seakan tak mampu menyembunyikan sakit yang ada di rongga dadaku. Dengan
tetap menyungging senyum Sherly mengulurkan tangannya.
“Sherly” Suara indahnya memecah
keheningan
“Zahwa” Ucapku masih sedikit terbata.
Allah aku sadar, aku tiada memiliki daya
upaya, aku hanya mampu berencana tapi semua terserah kepada-Mu jua. Aku yakin
Engkaulah yang paling tahu mana yang terbaik untukku, jika memang Wildan adalah
jodoh Sherly, bantulah hamba agar dapat mengikhlaskannya.
Cerpen yang berjudul "Aku, Lenteraku, dan Mataharinya" merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Siti Mas’ulah.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Aku, Lenteraku, Dan Mataharinya | Siti Mas’ulah"