Cerpen Kehidupan - Jalanan Itu Rumahku | Ana Nur Isnaini
Jalanan itu rumahku - Ana Nur Isnaini
Pim pim piiimmm. Suara gaduh yang biasa terdengar di jalan-jalan kota. Debu, asap, polusi semua bercampur aduk. Suasana menjadi pengap dan sangat panas. Sampah-sampah masih terlihat di pinggir-pinggiran jalan. Lampu merah menyala. Anak-anak itu berhamburan ke jalan. Ada yang memakai gitar kecil ada pula yang membawa tutup-tutup botol yang dirangkai sedemikian rupa sehingga bisa mengiringi lantunan lagu yang mereka nyanyikan. Berhenti dan bernyanyi di setiap pintu-pintu mobil. Belum selesai lagu mereka beberapa keping uang receh sudah di tangan. Kemudian mereka menunduk sebagai tanda terimakasih. Lampu hijau menyala, mereka segera menepi ke pinggir jalan.
Anak-anak itu berpencar dengan tujuan
masing-masing. Namanya juga anak jalanan, selalu berkelana di jalan sepanjang
hari. Dua orang anak laki-laki berkalung dagangan kecil-kecilan itu malah tidak
sesibuk anak-anak tadi. Asyik nongkrong di bangku panjang pinggir jalan itu.
Parahnya lagi keduanya sambil asyik menghisap rok*k tanpa rasa bersalah sedikit
pun. Padahal mereka masih kecil. Paling baru seusia kelas 6 SD. Bersendau gurau
keduanya dan hanya memandangi jalan. Lalu dari arah kanan mereka berjalan dengan
gesa seorang anak perempuan memakai seragam putih biru dengan tas di
punggungnya. Gayanya terlihat kumuh berjalan menghampiri kedua anak itu.
“Hehh! Kalian! Siapa yang suruh
nongkrong-nongkrong di sini!” teriaknya dan memukuli kedua anak itu.
“Apalagi ini, kalian merok*k? Dasar
bodoh! Dasar nakal! Kalian mau mati ya!” anak perempuan itu merebut rok*k dari
tangan kedua anak itu.
“Aduh, Sakit…” rintih kedua anak itu.
Anak perempuan itu mencekal lengan kedua anak itu lalu menyeretnya berjalan.
Anak-anak itu tak berhenti merintih kesakitan.
Mereka berhenti di depan sebuah bangunan
hampir hancur. Ditambal–tambal dengan bahan seadanya. Bangunan itu dijadikan
tempat tinggal oleh anak-anak jalanan itu. Rupanya anak perempuan tadi sangat
geram dengan kedua anak laki-laki itu. Matanya yang bulat mengisyaratkan kalau
ia sangat marah.
“Kenapa kalian tidak kerja?”
“Kami kerja. Kami sedang istirahat.
Capek banget muter-muter sampai terminal.”
“Cuma baru sampai terminal aja
ngaku-ngaku capek, istirahat dulu. Huh! Tidak usah manja! Kalian ini mau
enaknya saja. Capek sedikit ngeluh. Apa-apaan. Terus, siapa suruh tadi kalian
ngrok*k? Heh?” kedua anak laki-laki itu menunduk. Tidak ada yang mau angkat
bicara.
“Kenapa tidak jawab?!” anak itu diam
sejenak. “Kalian ini masih kecil. Kalian tau tidak, sih. Kalau kalian ngrok*k
sama aja kalian tu pengen mati! Tau! Darimana uang yang kamu pakai buat beli
rok*k itu? Dari hasil jualan kalian? Iya? Kan udah aku bilang, semua hasil
kalian itu ditabung! Buat nanti kalian sekolah! Bukan buat jajan! Apalagi buat
beli rok*k! Dasar kalian! selama ini dengerin omonganku tidak?” anak itu
menghela nafas sejenak. Kedua anak laki-laki itu masih tetap terdiam.
“Aku peringatkan sekali lagi. Kalau
besok kalian masih ngrok*k lagi, awas kalian! Mau ditangkap polisi? Heh?! Masuk
sana!”
Gadis yang beranjak remaja itu bernama
Putri. Ia sekarang duduk di kelas 8 SMP. Anak yang cantik tapi dengan sifatnya
yang tegas dan keras. Hanya satu harapnya saat ini, bisa melanjutkan sekolah
serta anak-anak jalanan yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu bisa
bersekolah seperti dirinya. Maka dari itu kelihatannya ia sangat keras kepada
mereka. Mereka harus maju, tak mungkin selamanya mereka hidup di jalan.
Sudah hampir 10 tahun ini ia hidup di
jalan. Tak mungkin tak merasa bosan. Apalagi di lingkungan yang sulit seperti
itu. belum lagi ancaman kapanpun mereka bisa ditangkap polisi. Sebagai anak
yang paling tua, Putri bertanggung jawab. Melakukan yang seharusnya ia lakukan
pada adik-adiknya. Di tempat kecil itu ia hidup bersama 5 orang anak lainnya.
Mereka semua terhitung masih anak-anak SD.
Malam ini waktunya Putri menyiapkan
makanan seadanya. Nasi dengan lauk satu buah telur dadar yang dibagi berlima.
Sudah terbiasa kalau Putri harus makan tanpa lauk.
“Kalian itu jangan macam-macam, ya.
Kalau harus kerja, ya kerja. Nggak usah memikirkan yang lain. Nggak usah
coba-coba. Kalau harus nyemir ya nyemir aja. Kalau harus ngasong ya ngasong.
Harus jualan ya jualan. Selain apa yang aku perintahkan nggak usah melakukan
yang lain. Terutama kalian! Didit, Oni! Kalau besok kau ulangi lagi, aku nggak
peduli kalian mati di jalan! Ngerti?” nasihat Putri yang terdengar sangat tegas
bagi anak-anak. Putri cuma tidak mau anak-anak terjerumus pada hal yang tidak
baik.
“Ya…” jawab mereka serempak.
Esok paginya, mereka sudah bersiap
masing-masing. Menata barang-barang asongannya. Alat-alat semirnya. Serta
jualan kue nya. Ya, Putri tidak mengajari mereka mengamen atau mengemis seperti
anak-anak yang lain. Walaupun hasilnya tak lebih banyak, tapi itu cukup
mengajarkan mereka untuk bekerja keras. Sementara Putri sendiri sekolah dari
pagi hingga siang, setelah itu harus menjadi kuli angkut tepung di pasar.
Siang ini Putri tak mendapati Didit dan
Onni berjualan di tempat biasanya ia lewat. Di rumah mereka pun tak ada.
Tiba-tiba seorang ibu yang biasa ia temui di pasar datang.
“Put.. Didit dan Onni tadi ikut
ketangkep polisi..!!” kata ibu itu terengah-engah. Putri jadi panik. Ia
berpikir keras dan khawatir.
“Makasih, Buk.” katanya. Ia lalu lari
tanpa sempat berganti baju dahulu.
Benar saja kantor polisi penuh dengan
orang-orang jalanan. Namun Putri belum menemukan Didit dan Onni. Rupanya mereka
sedang duduk di hadapan pak polisi. Kenapa sampai ditanya-tanya.
“Apa yang kalian lakukan di tempat itu?
Kalian juga pesta di situ? Darimana kalian dapatkan?” tanya pak polisi
bertubi-tubi. Didit, Onni, bersama bandit-bandit itu. Anak-anak bandel dan
nakal yang menyebalkan.
“Kami tidak pakai nark*ba, Pak. Kami
hanya main… istirahat..” kata Didit gemetaran. Hah? Nark*ba? Jadi mereka
dituduh pesta nark*ba?.
“Tapi kalian juga merok*k! Apa hanya
itu?”
“Maaf, Pak. Jadi bapak menuduh anak ini
pesta nark*ba?” kata Putri menyela ketegangan itu.
“Kamu siapa lagi? Pergi sana kalau tidak
ada keperluan! Mengganggu saja!”
“Saya kakak mereka, Pak.”
“Oh, benarkah? Lalu kamu juga ikut dalam
pesta itu?”
“Saya sudah bilang mereka tidak pesta
nark*ba, Pak. Darimana bapak tahu kalau mereka pesta nark*ba?”
“Heh! Sudah sejak dulu tempat itu menjadi
sarang mereka. Anak-anak itu juga melihatnya sendiri. Belum puas ditambah
merok*k.” kata pak polisi menunjuk pada bandit-bandit bandel itu. Putri sungguh
jengkel. Dasar anak-anak tukang bohong. Pasti mereka mengada-ada saja untuk
mencelakai Didit dan Onni.
“Jadi bapak percaya omongan mereka?
Bukankah semua harus disertai bukti, Pak? Lalu kalau mereka benar-benar memakai
nark*ba, kenapa sampai sekarang mereka baik-baik saja? Bukankah pemakai nark*ba
selalu menjadi aneh? Mereka bukan pemakai, Pak. Anak-anak itu bohong! Mereka
menuduh orang lain, padahal mereka sendiri yang melakukannya, Pak!”
“Hei! Dia bohong, Pak!” bantah anak-anak
bandel itu sempoyongan.
“Apa? Kalian yang bohong! Sudah
jelas-jelas kalian yang biasa memakai! Lihat, Pak! Mereka jadi gila seperti
itu.”
“Heh! Pembohong, Pak. Dia itu yang
tukang tuduh!”
“Sudah! Sudah!” bentak pak polisi
menggebrak meja. “Ini kantor polisi! Jangan buat keributan!” sejenak kemudian
semua menjadi diam.
“Baiklah. Nanti kalian akan ikut di
penampungan.”
“Mereka berdua juga, Pak?”
“Tentu saja!”
“Tapi mereka bukan pengamen atau
pengemis seperti yang lain, Pak. Mereka jualan. Bukan pengemis, Pak.” protes
Putri.
“Sama saja. Mereka anak jalanan yang
bandel. Anak kecil sudah merok*k. Tunggu saja kalian akan dipindahkan nanti.”
Polisi itu beranjak pergi. Pusing rupanya menghadapi anak-anak itu.
“Pak, saya mohon. Mereka adik saya,
Pak.” Putri menahan tangan pak polisi itu. kemudian ia bersimpuh. Didit dan
Onni yang sedari tadi hanya diam karena takut, jadi terkejut. “Jangan bawa
mereka, Pak. Saya akan bertanggung jawab atas mereka. Saya akan menghukum
mereka kalau mereka berani nakal lagi, berani merok*k lagi, Pak. Saya mohon
percaya pada saya, Pak. Saya sekolah, Pak. Lihat seragam saya. Bapak percaya
pada saya.” Tak disangka-sangka Putri meneteskan airmata. Polisi itu mengamati
seragam yang dipakai Putri.
Didit dan Onni berjalan lambat-lambat.
Melangkah mengikuti Putri yang sedari tadi diam. Mereka berdua menunduk tak
bisa bicara apapun. Wajah mereka yang lusuh, baju mereka yang lusuh terkena
debu membuat mereka semakin menyedihkan. Tiba-tiba Putri berbalik matanya
menyorot tajam pada kedua anak itu.
“Kalian ini bandel banget, sih. Aku
harus gimana supaya kalian itu ngerti.” Putri menahan amarahnya. Berlari masuk
ke dalam rumah yang jauh dari sederhana itu.
Putri masih terdiam malam ini. Besok
libur, jadi Putri sedikit tidak peduli dengan pelajaran. Duduk memandang langit
melepas lelahnya hari ini di bangku kecil depan rumah. Didit dan Onni dengan
takut-takut mendekati Putri duduk di sampingnya. Putri berpaling masih tak mau
melihat mereka.
“Maaf, Kak. Kami salah. Kak Putri boleh
menghukum kami.” akhirnya Didit bicara.
“Iya, Kak. Kami bandel. Kami takut
sampai membuat kak Putri menangis. Kami akan bekerja keras mulai sekarang. Kami
akan rajin jualan. Kami juga bisa bantu kak Putri di pasar. Kami ingin sekolah
juga.” tambah Onni meyakinkan. Putri berbalik ke arah mereka.
“Kakak? Baru kali ini aku mendengar
kalian memanggilku seperti itu.”
“Kami adiknya kak Putri, kan?” Putri
hanya mengacak-acak rambut kedua anak itu. Didit dan Onni gembira rupanya berhasil
minta maaf pada Putri.
Hari ini wajah Putri berbinar-binar. Ia
melangkah senang dengan bawaan di tangannya. Anak-anak menyambutnya dengan
heran. Menanyakan apa yang ia bawa. Seragam sekolah rupanya. Anak-anak bahagia
kegirangan. Mereka senang rupanya sebentar lagi bisa sekolah.
Mulai hari ini, jadwal mereka berubah.
Pagi sampai siang mereka sekolah, baru siang harinya mereka kembali bekerja.
Putri bisa tersenyum bahagia. Ya, semua pasti tidak ada yang mustahil. Kini apa
yang ia inginkan yang dulu ia kira sebatas angan belaka bisa terwujud. Jika
kita mau, kita pasti bisa.
Cerpen yang berjudul "Jalanan Itu Rumahku" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Ana Nur Isnaini. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di Ana Nur Isnaini.
Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Jalanan Itu Rumahku | Ana Nur Isnaini"