Cerpen Horror - In Winter | Sella Hamara
KakaKiky - Hari itu hujan turun dengan deras. Kabut menyelimuti kota itu. Hawa dingin nan mencekam mengelilinginya, membuatnya bagaikan tempat kelam yang belum terjejaki. Hujan terakhir di musim gugur yang membalut daun-daun kuning dengan rintikan air hujan.
London, Hari pertama setelah hujan.
Anak laki-laki itu begitu tampan.
Kulitnya putih pucat dengan rambut coklat muda yang membingkai wajah mungilnya.
Bibir yang biasa terukir senyum itu membiru, membuatnya semakin terlihat
tampan. Aku sangat menyukainya, apalagi ketika ia dengan wajah manisnya
memintaku untuk membelikannya permen, dan memanggilku dengan sebutan “Bibi
Cantik”.
Tapi tentu saja, aku lebih menyukainya
yang sekarang; tertidur lelap di bawah rintikan hujan yang masih gerimis,
sambil tersenyum tanpa dosa.
Jullie menutup buku diary-nya sambil
tersenyum tipis pada seseorang–seseorang yang tidak bisa melihat dunia ini
lagi. Anak laki-laki berusia tiga tahun yang berlumuran darah. Jullie terkekeh,
lalu membersihkan sebuah belati yang kotor dengan pakaian anak itu, kemudian
dengan gesit ia menggendong tubuh kecil di atas tumpukan salju itu dan
membawanya ke pinggir sungai.
Jullie melempar mayat itu ke sungai yang
airnya begitu dingin -yang mungkin akan membeku beberapa hari lagi. Selesai
dengan pekerjaannya hari ini, Jullie tersenyum lebar, lalu melangkahkan kakinya
penuh bangga ke arah sebuah pondok yang sudah berbau amis.
Aku setengah ngeri membaca diary Jullie.
Bagaimana bisa gadis itu membunuh anak yang tak berdosa dan melempar mayatnya
begitu saja. Sulit dipercaya, gadis yang menurut laporan memiliki nilai
tertinggi di kampusnya itu adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Gadis yang
terlahir nyaris sempurna bagaikan malaikat dari keluarga terhormat, melakukan
semua kegiatan keji itu.
London, Minggu pertama setelah hujan.
Aku sangat tidak menyukainya. Dia, anak
perempuan angkuh yang selalu menghentakkan kakinya ketika berjalan di depanku.
Kuakui dia cantik–mempesona bagaikan bunga yang bermekaran di musim semi. Tapi
keangkuhannya itu membuatku merasa kesal. Bahkan ia merasa tak perlu
repot-repot untuk membuka sarung tangannya ketika seorang gelandangan yang
hampir mati kedingingan lewat di hadapannya.
Sekarang, anak perempuan itu sedang
terbaring di depanku. Matanya terpejam menatap bulan dan tak ada senyuman di
wajahnya. Tak ingin berlama-lama melihatnya, kurasa aku akan langsung
membawanya ke tempat bermain.
Jullie menutup diary lusuhnya lalu
menggendong anak perempuan bergaun biru muda itu menuju sebuah taman. Taman
yang indah, jika saja tak ada tumpukan salju yang menutupi wahana permainannya.
Jullie tersenyum. Ia mengambil setumpuk
tanah dan menaburkannya di tubuh anak itu, atau lebih tepatnya, Jullie mencoba
membaluti tubuh gadis mungil itu dengan salju, seolah ia sedang membuat boneka
salju.
Membayangkan hal seperti isi diary
Jullie sambil menyeruput kopi jelas bukanlah perpaduan yang tepat. Namun
bagaimanapun juga, aku harus bersikap profesional terhadap pekerjaan yang
kuambil ini.
Menarik, Satu kata yang telah
menenggelamkanku dalam kasus-kasus pembunuhan.
London, Bulan pertama setelah hujan.
Menyenangkan sekali! Itulah yang
kurasakan bersamanya. Seharusnya aku menulis ini sebelum membawanya ke tempat
yang lebih indah. Namun, saat ini adalah pengecualian. Kurasakan jantungku
berdetak lebih cepat ketika menyentuh kulitnya yang putih bersih. Ia cantik dan
juga cerewet. Wanita terkaya di kotaku sekaligus mantan istri walikota.
Wanita itu sudah berumur, namun, masih
berparas cantik dan memiliki kulit putih nan lembut. Kulit itulah yang
membuatku jatuh cinta padanya. Jadi, kuputuskan untuk mengambil kulit itu
dengan hati-hati. Tak akan kubiarkan milikku tergores.
Kurasa cukup sampai disini aku membaca
diary Jullie Jackson yang mengerikan itu. Hari sudah semakin larut, dan aku
sudah sangat lelah seharian ini, jadi kuputuskan untuk menutup buku bersampul
coklat kusam itu dan bersiap-siap untuk pulang.
Koridor yang kulewati sangat sepi,
bahkan suara langkah kakiku yang pelan dapat terdengar jelas. Lampu-lampu
ruangan di sebelah kanan dan kiriku sudah dimatikan, hanya lampu neon di
langit-langit koridor yang masih menyala walaupun sedikit redup.
Aku melempar tas kerja dengan asal ke
jok belakang mobil, lantas menghembuskan nafas dengan keras, berharap malam ini
cepat terlewati. Tapi –oh Tuhan! Ponselku tertinggal di atas meja kerja. Tanpa
ponsel itu, sulit bagiku untuk menyuruh Andrea-adikku, untuk membukakan pintu
gerbang rumah kami.
Dengan gesit, aku kembali ke kantorku.
Kantor yang sekarang sedang memancarkan aura kesuraman bagaikan pemakaman.
Koridor masih terasa sepi seperti tadi, namun aku merasa ada yang aneh. Seolah
seseorang baru saja menjejaki koridor dan meninggalkan jejaknya.
Seketika pikiran tentang Jullie
merasukiku. Psikopat itu belum juga tertangkap oleh polisi. Mungkin untuk saat
ini, ia sedang meneguk sebotol anggur dengan wajah tanpa beban, seakan merasa
tak perlu bertanggung jawab dengan apa yang telah ia lakukan.
Kuraih ponselku dan menepis segala
pikiran tentang Jullie Jackson. Aku melangkah keluar dengan perlahan, namun
tiba-tiba seluruh lampu koridor mati. Aku dapat merasakan seseorang berjalan
mendekatiku. Kulihat siluet bayangan tubuhnya yang terpantul karena sinar bulan
begitu terang malam ini. Sebuah benda mengkilap terlihat jelas di tangan
kanannya. Aku hanya bisa menahan nafas ketika menyadari bahwa benda yang
dibawanya itu adalah sebilah belati.
Kupejamkan mataku dan berharap semua ini
hanyalah mimpi buruk, dan aku harus segera bangun, lalu semua akan baik-baik
saja.
“Rose, itu kau?” tanya sebuah suara yang
sangat kukenali. Aku membuka mataku dan mendapati Anna tersenyum padaku. “Kau
baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja.” Ujarku
tersenyum mencoba membalas senyuman Anna.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Mengambil ponsel.” Jawabku. “Kau
sendiri? Bukankah kau masih dalam masa cuti?”
Anna tersenyum tulus. “Aku menunggumu.”
“Menungguku?”
“Ya. Aku menunggumu.” Kini senyum tulus
Anna mendadak berganti menjadi senyum jahat yang belum pernah kulihat dari
seorang Anna Albert. Ia tersenyum miring, lantas mengeluarkan sesuatu dibalik
jaketnya. Aku menahan nafasku untuk yang kedua kalinya malam ini ketika kulihat
benda itu nyata, bukan dari alam bawah sadarku.
“Kau pikir aku akan membiarkan saksi
mata hidup dan menyelidiku kasusku? Jawabannya tentu saja tidak.” Anna
melangkah maju. “Tidakkah kau berpikir, bagaimana kau bisa membayangkan seluruh
kejadian itu hanya dengan membaca diaryku?”
Tap
“Kau ada di sana, Rose. Kau selalu
berada di sisiku ketika aku melakukan itu semua. Kau adalah saksi matanya,
Rosalie, tapi aku takut, jika orang-orang salah paham, kau akan dianggap
penjahat yang telah menjalin kerja sama denganku.”
Aku hanya bisa terdiam dan mencoba
mencerna kata-katanya. Aku ada di sana? Bagaimana bisa? Dan Anna adalah
psikopat itu, Jullie Jackson? Oh astaga, ini bukanlah lelucon yang
menyenangkan.
Aku mulai berjalan mundur ketika Anna
semakin mendekatiku. Kini aku terpojok. Di belakangku terdapat dinding marmer
yang dingin, dan di depanku, Anna terus memangkas jarak di antara kami. Aku
menutup mataku, kurasakan sesuatu telah menusuk bahuku. Pandanganku mengabur.
Hal terakhir yang kulihat adalah Anna yang menangis dengan tangan bergetar
memegang sebilah belati yang telah ternodai dengan darahku. Aku hanya bisa
tersenyum melihatnya. Senyuman tulus terakhirku untuknya.
Pelan-pelan, sebelum mataku terpejam,
semua ingatan itu berputar di kepalaku, seolah menertawakanku yang baru
menyadari segalanya.
London, Hari pertama setelah hujan.
Aku hanya bisa terdiam melihat Anna yang
sedang tersenyum menatap anak laki-laki yang terbaring di hadapannya. Anna
mengambil sebilah belati, lalu menusukkannya ke perut kecil Daniel, nama anak
itu.
“Aku baik ‘kan? Aku sudah membebaskannya
dari Ibu tirinya yang keji itu. Bukankah yang kulakukan ini mulia?” tanya Anna
dengan senyum berbinar, membuatku juga ikut tersenyum lebar melihatnya.
“Ya, sangat mulia, Anna. Kau memang yang
terbaik.”
Setengah jam kemudian, aku menemani Anna
menulis diary-nya, kemudian kami keluar dari pondok dengan Anna yang
menggendong Daniel menuju pinggir sungai. Bersama, kami mengantarkan kepergian
Daniel ke tempat yang lebih baik. Lega sekali mengetahui bahwa bocah lelaki itu
tak akan tersiksa lagi.
London, Minggu pertama setelah hujan.
Aku benar-benar setuju dengan Anna. Anak
perempuan di depan kami memang sangat angkuh. Bahkan wajahnya masih bisa
menengadah menatap langit dengan perut yang sudah terbuai isinya.
“Aku mual, Anna. Sebaiknya kita buang
saja dia.” Ujarku menutup hidung karena bau amis darah anak itu begitu
menyengat.
“Tunggu sebentar lagi, aku masih ingin
bermain dengannya.” Balas Anna tersenyum manis. Anna membawa anak itu ke taman
yang telah tertutupi salju, lalu mulai menguburkan mayatnya di sana.
Sayangnya boneka salju yang dibuat Anna
untuk anak itu, terlihat berantakan.
London, Bulan pertama setelah hujan.
“Kulitnya lembut sekali, Anna, seperti
kain sutra yang sering dipakai Bibi Irene.” Pujiku saat menyentuh kulit manusia
yang sedang dijahit menjadi syal oleh Anna.
Anna terkekeh. “Kau benar! Entah kenapa
walikota tua itu mencampakkan kulit cantik ini.”
Aku memberi senyum kecil. “Walikota
memang pria rubah berselera rendah.” Ujarku dengan nada sinis, membuat Anna
tertawa keras. “Hm, Anna, apa kau sudah menulis diary hari ini?”
“Belum, aku akan menulisnya nanti
malam.”
“Begitu, ya. Bagaimana dengan nama penanya?
Kau sudah menentukannya?”
“Tentu saja. Untuk diary-ku, aku akan
menggunakan nama ‘Jullie Jackson’.”
“Nama yang bagus.”
Anna berdiri dengan linglung. Ia menyeka
air matanya, dan melempar belati kesayangannya ke samping tubuh Rose. Anna
tersenyum getir, lalu membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi dari tempat itu.
Sebelum benar-benar menghilang ditelan gelapnya malam, Anna membisikkan satu
kalimat terakhir untuk mayat Rose yang masih tersenyum hingga akhir hayatnya.
Maafkan aku…
Cerpen yang berjudul "In Winter" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Sella Hamara.
Posting Komentar untuk "Cerpen Horror - In Winter | Sella Hamara"