Cerpen Persahabatan - Di Sebuah Bangku Semen | Ika Septi
Disebuah bangku semen - Ika Septi
KakaKiky - Lara menatap bangku semen itu dari kejauhan, bangku yang selalu menjadi singgasananya yang nyaman. Ia merasa tentram duduk di sana dalam kesendirian. Menikmati desau angin yang membelai belai wajah muramnya dan membaui wangi lembab rerumputan, ditemani sebuah novel yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan.
Suatu hari, semua itu buyar ketika ada
seseorang yang berani menduduki bangku semen yang lain di depan singgasananya.
Seseorang yang sama sekali asing baginya. Seseorang yang entah datang darimana.
Seseorang yang telah merubah singgasananya yang nyaman kembali menjadi bangku
semen seperti sedia kala.
Dia duduk disana. Bersandar di tembok
gedung sambil meluruskan kakinya yang terbalut sepatu kets merah dengan warna
yang telah memudar. Rambut gondrongnya terlihat acak acakan seperti tidak
pernah tersentuh sisir.
Sebenarnya Lara ingin pergi dari sana,
tapi egonya mendadak bagai paku paku yang menancapi sekujur kakinya dan
memaksanya untuk bertahan di sana. Mempertahankan posisi nyamannya. Lara
bergeming.
Pemuda berkets merah itu masih di sana,
dengan santai memainkan gelang persahabatannya. Sesekali menggaruk garuk
kepalanya yang mungkin tak gatal.
Lara tahu pemuda itu memandanginya, tapi
Lara tak sedikit pun ingin balik memandangnya. Lara lalu memegang novelnya erat
erat, ia tak ingin pemuda itu menganggu rutinitasnya.
Tiba tiba pemuda berkets merah itu mulai
bersuara.
“Ternyata di sini memang enak juga ya
untuk nongkrong, pantes aja kamu betah duduk berjam jam di sini.” Dia berbicara
dengan pandangan lurus ke jalanan kampus yang sepi tanpa sedikitpun menengok ke
arah Lara.
Lara meliriknya dengan lirikan kejamnya.
Memangnya siapa kamu yang telah berani
beraninya mengobservasiku.
Pemuda itu seakan tak terganggu dengan
aksi bisu Lara, ia hanya tersenyum, mengeluarkan rok*k putihnya dan mulai
menyalakannya dengan sebuah korek api merk ternama.
Lara mendengus kesal, asap rok*k selalu
menjadi musuhnya. Lara sudah cukup kenyang dengan asap knalpot bus kota dan
angkot yang setiap hari mengantarnya ke kampus, ia tak perlu mendapatkan
tambahan asap lagi dari orang yang kini duduk bersila di atas bangku semennya.
Lara berkemas dengan segera,
meninggalkan pemuda itu dengan asap rok*knya yang mulai mencemari udara
sekitarnya.
Lara merasa lega, karena siang itu ia
tidak melihat si kets merah berada di sana. Itu berarti ia tidak akan mendapat
gangguan sedikit pun dari pemuda bertubuh kurus itu. Lara melangkahkan kakinya
dengan ringan ke arah singgasananya, mendaratkan tubuhnya dengan elegan, dan
mulai membuka novelnya.
Lara menghisap jus alpukat dari sedotan
yang menyembul dari bungkusan plastiknya, sementara ada beberapa tetes air yang
membasahi halaman novelnya yang ia usap dengan segera.
Bagi Lara bangku semen itu adalah teman
baiknya, teman yang sangat mengerti dirinya. Teman yang tidak pernah berkeluh
kesah akan gaya baju, gaya rambut, bahkan gaya berbicara. Teman yang tidak
pernah mencurigai dan menyalahkannya.
Teman yang menemaninya secara tulus
bukan hanya karena menginginkan sesuatu darinya. Teman yang tidak pernah
meninggalkannya demi seseorang lainnya.
Tiba tiba telinga Lara menangkap suara
suara gaduh yang berasal dari gedung di seberang tempatnya berada. Lara
mendongakkan wajahnya, terlihat banyak orang yang mulai keluar dari gedung itu.
Rupanya ada perkuliahan sore yang telah usai. Gelak tawa dan teriakan bersahut
sahutan. Sudah lama Lara tidak mengalami hal hal seperti itu. Tawanya telah
berganti dengan kemurungan.
Teriakannya telah berganti dengan
kebisuan. Semuanya karena sebuah pengkhianatan dari orang orang terdekatnya.
Lara telah lama mengubur semua kebahagiaannya. Kebahagiaan yang telah
mengaburkan semua makna yang ada di dalamnya. Kebahagiaan yang lalu
menghempaskannya ke titik terendah akan sebuah arti kekecewaan.
Suara suara itu perlahan usai, Lara
kembali menekuri novelnya. Tatapan matanya hilir mudik mengikuti baris kalimat
yang tertera di sana. Tiba tiba dari sudut matanya ia melihat sepasang sepatu
kets merah berkelebat, Lara memicingkan matanya meyakinkan apa yang baru saja
dilihatnya.
Lara mengikuti kemana si kets merah
pergi. Ia berhenti di bangku semen di depannya. Alih alih kembali menekuri
novelnya, Lara diam diam mulai waspada dengan keberadaan si kets merah di sana.
“Kamu tahu, tadi aku dibantai pak Iwan
karena kamu”
Lara mengerutkan keningnya tatapannya
masih tertuju ke lembar kertas berwarna kekuningan itu. Bahkan seseorang yang
tak mengenalnya, telah menyalahkannya karena hal yang tidak diperbuatnya.
Mengapa orang orang ini begitu mudah
menuduhku.
Tanpa menunggu jawaban Lara, ia pun
melanjutkan kata katanya.
“Karena selama 30 menit jam kuliah
terakhir, kepalaku gak bisa berpaling dari jendela.” Si kets merah tertawa
lepas.
“Pemandangan di luar jendela lebih
menarik di banding tulisan tangan pak Iwan di whiteboard.” Si kets merah
melirik Lara.
Kening Lara kembali berkerut, mulutnya
terkunci rapat.
Mau apa kamu, mengapa kamu pura pura
beramah ramah denganku, aku benar benar gak butuh itu semua.
“Lagi baca apa?”
Lara menatap pemuda yang tengah mengikat
rambut gondrongnya itu sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya.
“Aku boleh tahu nama kamu?” Tanya si
kets merah lagi. Tapi Lara mengacuhkannya, ia masih tertunduk di hadapan
novelnya yang kini huruf hurufnya telah berlarian entah kemana.
“Sorry ya kalau aku banyak nanya sama
kamu.” Akhirnya si kets merah menyerah.
Ya, menyerahlah karena aku tidak akan
pernah berbicara dengan kamu barang satu kata pun.
Tak lama si kets merah mengeluarkan
sesuatu dari tas gendongnya. Sebuah buku notes yang jilidnya berupa kawat
berbentuk spiral. Ia membuka lembarannya dan mulai menuliskan sesuatu disana.
Lara diam diam memperhatikannya. Kini si kets merah memejamkan matanya,
jemarinya bergerak gerak begitu pula kakinya, seakan akan mengikuti irama musik
yang bahkan tidak ia dengarkan. Lalu ia kembali menuliskan sesuatu di buku
notes itu.
Ditengah aksi melirik diam diamnya, tiba
tiba Lara dikejutkan dengan suara benda yang terjatuh, rupanya novel yang
tadinya ada di pangkuannya kini telah tergeletak di dekat kakinya. Si kets
merah sekonyong konyong menatap Lara, dan tersenyum. Alih alih membalas
senyumnya, Lara langsung berkemas dan beranjak pergi dari tempat itu.
Ini adalah hari ketiga, dimana si kets
merah duduk di bangku semen itu. Kekerasan hati Lara untuk bertahan di bangku
semennya, telah membuatnya duduk diam di sana sepanjang sore itu. Lara tidak
akan menyerah untuk memberikan singgasananya kepada pemuda itu, tidak
sedikitpun.
“Kamu suka musik? Dengerin lagu?” Si
kets merah mengeluarkan sebuah walkman dari dalam tas gendongnya.
Ya, musik selalu membuatku merasa
nyaman.
“Kamu mau dengar demo lagu yang aku
buat?”
Ah, rupanya anak band.
“Gak banyak sih, tapi lumayan lah bisa
di bikin mini album.”
“Tapi nanti aja deh. Ada satu lagu yang
belum selesai,” lanjut si kets merah tanpa beban.
Siapa juga yang mau dengerin demo musik
kamu.
Kini si kets merah mulai mengoceh
tentang musik yang ia sukai, event musik yang ia hadiri dan teman teman band
yang telah mengkhianatinya demi sebuah popularitas.
Hmm.. pengkhianatan memang selalu
menyakitkan bukan?
Diantara ocehan si kets merah yang
mengalir deras bagai pipa PDAM yang bocor, mata Lara menangkap dua sosok yang
tengah berjalan santai di kejauhan. Mantan sahabat dan mantan pacarnya. Mereka
terlihat sangat bahagia seakan dunia hanya milik mereka berdua.
Dulu Lara sangat mempercayai Resti
sahabatnya, semua hal selalu ia ceritakan kepada gadis berparas ayu itu. Tapi
ternyata, semua kepercayaan yang telah ia sematkan di dada Resti itu telah
dibalas dengan kepahitan. Resti yang selama ini selalu manis di depannya,
mendadak berubah menjadi racun yang mematikan. Ya, mematikan kebahagiaannya.
Mematikan semua pengharapan akan sebuah hubungan antara dua anak manusia. Rega
sama saja, ia tak ubahnya hanyalah seonggok daging tanpa perasaan. Hati Lara
hancur berkeping keping ketika mengetahui Rega menyatakan cintanya kepada Resti
di belakang gedung kuliah mereka, bahkan sebelum ada kata berpisah di antara
mereka berdua. Dan Resti? Tentu saja Resti menyambutnya, karena itulah yang
memang diinginkannya. Sejak peristiwa itu, tidak ada lagi keceriaan yang
tersisa dalam diri Lara. Lara yang dulu sangat terbuka kini mulai menutup
dirinya, dan selalu mencurigai setiap orang yang ingin mendekatinya. Baginya
semua orang sama saja, berusaha dekat bila mereka menginginkan sesuatu darinya.
Lara menggigit bibirnya, sementara si
kets merah memandangi dua orang yang sedang berjalan di kejauhan lalu menatap
wajah Lara yang terlihat kusut masai.
Lara kesal, mengapa si kets merah selalu
datang setelah ia duduk nyaman di singgasananya. Mengapa ia tidak datang
sebelum dirinya, sehingga ia bisa mengacuhkan tempat itu dan melenggang pulang.
Bila si kets merah ada di sana sebelum dirinya, setidaknya bangku semen itu tidak
akan terlihat menarik lagi.
Tidak seperti biasanya, kini Si kets
merah duduk diam bagai patung Ganesha. Lara diam diam melirik wajah yang kini
terlihat muram itu. Angin menyibakkan rambut gondrongnya yang terlihat lebih
rapi dari biasanya, Lara sejenak membeku ketika melihat sebuah memar kebiruan
di sekitar pelipis matanya. Terlihat pula luka mengering di sudut bibirnya. Si
kets merah terlihat sangat kacau. Refleks Lara menutup mulutnya segera, lalu
memalingkan kembali wajahnya ke hadapan balon balon berisi kata kata di dalam
komik yang sedang ia baca.
Sejenak Lara ingin tahu apa yang terjadi
dengan si kets merah, tapi apa untungnya. Dia bukanlah temannya, bahkan
sebentuk nama pun tak ada. Dia hanyalah orang asing yang sama sekali Lara tak
harapkan keberadaannya. Kalau pun dia babak belur dikeroyok masa atau karena
hal lainnya, apa pedulinya.
Hari ini ada yang tak biasa dengan si
kets merah, dia telah duduk disana, menumpukan dagunya di kedua kakinya yang
tertekuk. Alih alih melangkahkan kaki menuju singgasananya, Lara terpaku di
balik pohon besar yang melindungi tubuh kecilnya.
Matanya memperhatikan si kets merah
dengan seksama. Banyak pertanyaan yang muncul di kepala Lara, mengapa si kets
merah menduluinya duduk disana. Mengapa wajahnya kembali tak seceria biasanya,
dan banyak mengapa lainnya. Tapi mengapa dia jadi bertanya tanya tentangnya.
Lara mengibaskan seekor semut yang merayapi tangannya. Lalu beranjak dari balik
pohon besar itu untuk kemudian pulang.
Lara menghentikan langkah lebarnya tiba
tiba ketika ia kembali melihat si kets merah lagi lagi telah mendahuluinya
duduk di bangku semen itu. Mengapa selalu saja ada orang yang membuatnya kesal.
Mengapa ia tidak mencari bangku semen
lainnya. Mengapa ia harus duduk di sana. Lara menendangi kerikil di jalanan
kampus dan berjalan memutar untuk ke luar melalaui gerbang belakang.
Genap dua hari ini Lara dapat bernafas
lega, karena tidak ada tanda tanda si kets merah di sekitaran bangku semennya.
Dengan langkah ringan ia menghampiri bangku yang berada di depan jalan masuk
gedung yang tidak pernah dipakai itu. Lara duduk dengan rapi dan mulai
mengeluarkan perlengkapan perangnya. Setelah hampir satu jam disana, tiba tiba
ia merasakan sebuah kesunyian yang sangat. Lara memandangi bangku semen di
seberangnya. Dia tidak muncul. Alih alih merasa lega, Lara malah merasa ada
sesuatu yang hilang. Tapi cepat cepat Lara menepiskan semua pikiran anehnya.
Bukankah ini yang diinginkannya, sebuah ketenangan.
Tiba tiba Lara menangkap sebuah wewangian
yang sangat tajam, seolah olah ada botol parfum yang hinggap di cuping
hidungnya. Lara mengembang kempiskan hidung tak mancungnya, wewangian beraroma
kayu kayuan ini selalu mengingatkannya kepada Rega. Lara langsung menekan
hidungnya dengan kuat, sementara matanya mulai mencari darimana aroma itu
berasal. Sepasang manusia, lelaki dan perempuan kini telah berdiri di
hadapannya. Lalu sekonyong konyong mereka duduk di bangku yang biasanya
ditempati oleh si kets merah.
Ada apa ini, mengapa mendadak banyak
orang yang menginginkan bangku itu, bagai kursi di parlemen saja.
Sebelum Lara berhasil memecahkan misteri
akan orang orang itu, si lelaki mulai angkat bicara.
“Kamu Lara?”
Lara mengangguk ragu, matanya menatap
laki laki itu tanpa berkedip.
Dia tahu namaku, what a surprise!
“Damon dirawat di rumah sakit.” Lelaki
bergaya pecinta alam itu merapatkan kedua tangannya, ujung kuku dengan potongan
sempurna menyentuh hidungnya yang lancip.
Lara menatap lelaki dan perempuan itu
silih berganti sambil mengerutkan keningnya tanda tak mengerti.
“Damon?” Lara bertanya dengan lirih.
“Iya, Damon, teman Dinda, teman kamu.”
Perempuan yang ditunjuk sebagai Dinda itu menganggukan kepalanya membenarkan
kata kata si lelaki.
“Maaf, tapi seingatku sampai detik ini
aku gak punya teman bernama Damon.”
Lelaki itu menatap Lara tak percaya,
lalu berganti menatap Dinda seakan ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan
yang berkumpul di kepalanya.
“Jangan becanda ah, aku sering liat
kalian duduk di sini kok.” Dinda menunjuk tempat yang mereka tempati sekarang.
“Oh, dia.” Gumam Lara mulai menyadari
ketidakpeduliannya.
“Iya, dia, Damon, kamu kenal kan?” Dinda
bertanya dengan tak sabar.
Lara mengangguk samar.
Mengenal? Bahkan namanya saja ia tak
tahu, dan ia memang tidak mau tahu.
“Aku Gorga kakaknya Damon, dan ini
Dinda.”
Mereka lalu berjabat tangan.
“Maaf kalo Kami menganggu ketentraman
kamu, kami hanya ingin ngobrol sama kamu.”
Ngobrol? Jadi kita sekarang sudah akrab?
“Akhir akhir ini Damon menjadi sangat
tertutup, ah, tapi ini semua memang salahku.” Gorga menutup wajahnya dengan
kedua belah telapak tangannya.
“Ini semua bukan salah kamu.”
“Ini salahku Din, karena akhir akhir ini
aku sibuk dengan diriku sendiri.”
“Dia itu sudah besar, sudah seharusnya
bisa urus dirinya sendiri dan gak bergantung lagi sama kamu.” Dinda membelai
lengan Gorga lembut.
“Kalau dia bisa mengurus dirinya
sendiri, dia gak akan berakhir di rumah sakit seperti sekarang ini.”
“Aku gak tau darimana dia mendapatkan
obat obatan itu, bahkan aku gak tau darimana ia memperoleh memar itu. Mungkin
lagi lagi perbuatan papa, dan bila benar, aku memang sudah keterlaluan.
mengacuhkan adikku sendiri demi hubungan yang belum jelas mau dibawa kemana.”
Memar itu.
“Kamu anggap hubungan kita gak jelas,
iya? Kenapa kamu jadi nyalahin hubungan kita, aku gak suka.”
“Kita sudah membuat komitmen, Damon
sahabatku, tapi aku rela jauh jauh dari dia demi kamu.” lanjut Dinda berapi
api.
Hmm, manusia manusia ini sama saja.
“Aku gak nyalahin apa yang terjadi
dengan kita, hanya saja ini menjadi sangat kebetulan.”
“Gak ada yang namanya kebetulan.” Dinda
membuang mukanya.
“Ehem.” Lara berdehem dengan kerasnya,
menyadarkan mereka yang tengah asik beradu argumen. Wajah keduanya langsung
bersemu merah tanda ada rasa malu yang berkelebat.
“Aku menemukan ini di kamar Damon.”
Gorga menyerahkan sebentuk kaset yang baru saja ia ambil dari tangan Dinda.
Lara memandangi kaset yang kini ada di
genggamannya. Di cover kaset itu ada sebuah tulisan tangan yang huruf hurufnya
melengkung lengkung sempurna. Ada empat huruf yang membentuk kata Lara di sana.
“Ada nama kamu di covernya.”
“Ah, ini mungkin judul lagu, bukan
ditujukan untukku, mana mungkin dia tau namaku, kami belum pernah berkenalan.”
Lara berkata dengan ringan.
“Apa?” dua orang di hadapan Lara berseru
bebarengan dengan wajah yang terkejut.
“Tapi aku sering liat Damon tertawa dan
berbicara dengan kamu disini.” Dinda meyakinkan dirinya.
“Ah, kamu berhalusinasi.” Nada suara
Lara terdengar ketus.
“Aku gak tau cerita tentang kamu sama
Damon, tapi aku yakin yang dia tulis itu adalah nama kamu.” Gorga terlihat
sangat serius.
“Coba deh buka covernya.” Perintah
Gorga.
Dengan pelan, Lara membuka kaset itu dan
mengeluarkan covernya yang terdiri dari kertas yang dilipat-lipat. Di atas
kertas berwarna khaki itu ada sebuah goresan pinsil yang membentuk sebuah
lukisan yang indah. Lara memicingkan matanya, ia melihat gambar seorang gadis
tengah duduk bersila di atas bangku dengan sebuah buku di pangkuannya. Lara
memperhatikan gambar itu lalu melayangkan pandangannya ke arah gedung, pohon,
pagar tanaman, ini…
“Jelas banget itu kamu.” Dinda menyela.
“Ah, ini bisa siapa saja, gak cuma aku
yang sering duduk di sini kok.” Lara berkelit, tapi matanya masih asik menatap
lukisan mungil itu.
“Cuma kamu Ra, kelasku ada di seberang
sana. Hanya kamu yang selalu duduk di sini, aku tahu pasti.” Dinda meyakinkan
Lara dan dirinya sendiri.
“Lara, kemarin aku temukan Damon di
dalam kamarnya dalam keadaan tak sadarkan diri.”
“Aku juga menemukan obat obatan yang
entah jenis apa dalam gengaman tangannya. Kata dokter, tadi malam dia sudah
sadar, tapi ketika kami datang, dia gak mau membuka matanya sedikitpun.”
“Aku bingung sekali, Mama menangis
seharian disana, tapi Damon masih tidak mau membuka matanya.”
“Ketika aku membereskan kamarnya, aku
tertarik dengan kaset itu. Aku buka covernya dan mulai mendengarkan isinya.”
“Lalu aku tunjukan kepada Dinda,
ternyata gayung bersambut. Dinda meyakinkanku bahwa kaset ini adalah tentang
kamu.”
“Ya, kebetulan aku sering memperhatikan
kalian, aku pikir Damon telah mendapatkan seorang teman, sahabat?”
Teman? Sahabat? Semua sudah hilang dalam
kamus hidupku.
“Mungkin kehadiran kamu akan membantu
pemulihannya, aku berharap sekali kamu mau datang melihatnya.” Gorga kini
tersenyum dengan tulus.
“Ini tempat dimana Damon dirawat.” Dinda
menyerahkan secarik kertas yang berisi nama ruangan dan bangsal.
“Kami tunggu kamu disana ya.” Gorga
menyalami Lara lalu mengajak Dinda pergi dari tempat itu.
Lara memandangi kaset itu,
membolak-balikannya dengan gelisah. Lukisan itu begitu Indah, ukurannya yang
kecil tidak menghilangkan segala detailnya. Akhirnya Lara pun menyerah, mengeluarkan
walkman yang selalu ia bawa dari tas gendongnya, memasukan kaset itu dengan
hati hati dan mulai mendengarkan.
Sebuah suara yang jernih muncul setelah
intro dari petikan gitar yang terdengar melow.
Lara,
Duduk sendiri
Mengais sepi
Merajam hari
Lara,
Aku disini
Berteman sunyi
Mencari diri
Lara,
Diam membisu
Meretas kalbu
Menuai rindu
Lara,
Aku menunggu
Satu kata darimu
Hilangkan raguku
Lara,
Hidup ini tak sempurna
Biarkan apa adanya
Kita hadapi bersama
Lara hati ini, sadar kau tak lagi di
sini.
Buang curigamu, aku hanya ingin menjadi
temanmu.
Lara berulang ulang memutar lagu itu,
lagi dan lagi. Bulir bulir bening keluar satu persatu membasahi pipinya yang
tirus. Air mata yang telah lama ia lupakan, karena sebuah keangkuhan. Air mata
yang telah dianggapnya sebagai sebuah kelemahan. Lara yang sebelumnya telah
merobek robek semua rasa percaya di dalam hatinya, kini mulai berusaha
mengumpulkan serpihan rasa itu dan mencoba membangunnya kembali. Isi kaset di tangannya
telah merubah segalanya. Lara menghapus air matanya cepat cepat, membaca kertas
yang Dinda berikan kepadanya lalu menengok jam tangannya, ia pun melangkah
pergi.
Lara menatap wajah itu, baru kali ini
Lara benar benar melihat wajahnya dengan jelas. Cairan infus jatuh satu persatu
seirama dengan detakan jantungnya. Aroma rumah sakit sedikit menganggu hidung
Lara. Ia sama sekali tidak menyukai semua hal yang ada di dalam sebuah rumah
sakit karena tempat itu telah merenggut kebahagiaannya. Kebahagiaan seorang
anak akan kehadiran ibunya. Lara menatap wajah pemuda di hadapannya yang
matanya masih terpejam. Memar di pelipisnya sudah mulai memudar.
Mengapa hatiku selalu diselimuti
kecurigaan.
Semua lirik lagu yang pemuda itu
nyanyikan kembali menari nari dalam kepalanya. Akhirnya Lara pun memutuskan.
“Hai, namaku Lara.” Lara berbicara
dengan lirih seakan enggan mengganggu kedamaian pemuda di hadapannya.
“Selama ini aku merasa bahwa kamu akan
merebut bangku itu dariku.”
“Aku merasa terancam oleh kehadiran kamu
di sana. Akulah orang pertama yang menemukan tempat itu, mengapa kamu harus
ikut duduk disana, padahal masih banyak bangku bangku lain yang lebih nyaman
untuk diduduki.”
“Bangku itu adalah temanku, dan aku gak
ingin ada orang yang menjauhkannya dariku.”
Lara menatap dia yang matanya masih saja
terpejam.
“Aku telah memutuskan bahwa aku tidak
ingin mempunyai teman lagi, teman sungguhan hanya membuatku merasa tidak
nyaman.”
“Toh tanpa mereka, hidupku terasa lebih
sempurna.” Lara menyibakkan helai rambut yang menganggu pipinya.
“Tapi hari ini, kamu telah membuat
segalanya berubah.”
Lara meletakkan kaset itu ke atas meja
kecil di samping tempat tidur Damon.
“Aku balikin kaset kamu, cepat sembuh
ya.” Lara berbalik dan melangkahkan kakinya menuju pintu.
Tapi langkahnya terhenti, ketika ada
sebuah suara berbicara lirih di belakangnya.
“Kalo aku sudah sembuh, maukah kamu
mulai berbincang denganku di bangku itu?”
Mendadak tubuh Lara menjadi kaku ketika
mendengar kalimat itu, ia berhenti di ambang pintu.
“Hai Lara, aku Damon. Maafkan aku bila
aku lebih dulu tau nama kamu.”
Belum usai keterkejutan Lara akan suara
itu, kini ia lebih dikejutkan lagi dengan sosok yang telah berdiri di sampingnya
dan tengah mengulurkan tangan yang masih ditempeli selang infus itu kepadanya.
“Kita belum berkenalan.” Damon mengajak
Lara berjabat tangan dan lalu sekonyong konyong menariknya untuk di dudukan di
kursi kecil di samping tempat tidurnya.
“Kamu tadi kan…” Lara tercekat.
“Belum sadar?”
Lara menganggukan kepalanya pelan.
“Sekarang sudah, karena sadar dan gak
sadar itu ada waktunya.” Damon tersenyum kocak.
“Ini sengaja aku buat untuk kamu, siapa
yang kasih ke kamu?” Damon mengacungkan kaset demo itu.
“Yang pasti bukan jatuh dari langit.”
Damon mengerutkan keningnya.
“Kakak ya?”
Lara mengangguk sambil masih memandangi
pemuda yang ada di hadapannya yang anehnya terlihat sangat segar bugar itu.
“Kakak memang selalu ada untukku, gak
sepantasnya aku meragukannya, gak seharusnya aku ngetes dia dengan berbuat
sembrono, aku begitu picik.”
Lara mengerutkan keningnya.
“Ketika seorang Ayah tidak mampu membuat
anaknya merasa nyaman, maka ia mencari perlindungan di bawah ketiak kakak
tertuanya.” Tatapan Damon menerawang jauh.
“Tapi, setiap orang punya kehidupan lain
untuk dijalani, begitu juga kak Gorga.”
“Kakak mulai sibuk dengan organisasi
barunya, kuliahnya, bisnis kecil kecilannya, Dinda, dan aku? Aku sibuk merasa
sendiri.” Damon tertawa.
“Kali itu aku benar benar merasa
sendiri, dan kesendirian itu nyaris membuatku gila.”
“Lalu aku mulai melihat kamu di sana,
duduk diam sambil membaca buku, sendiri tapi terlihat sangat damai.”
Lara tersenyum, baru kali ini ia rela
menarik ujung bibirnya ke kiri dan ke kanan.
“Maafkan aku bila aku menganggu, aku
hanya ingin merasakan kedamaian yang kamu rasakan disana.”
Lara kembali tersenyum sambil memainkan
tali tasnya.
“Saat itu aku seakan menemukan teman,
walaupun mungkin kamu gak mau berteman denganku.”
“Maaf juga ya kalo aku bawel, bercerita
ngalor ngidul padahal kamu pasti gak mau denger ceritaku. Setidaknya orang
orang yang melihatku masih menganggap aku waras bicara dengan seorang gadis
bukan dengan seonggok gitar, walaupun sama sama gak didenger juga sih.” Damon
tertawa lepas.
“Hari itu kamu gak datang, entah kenapa,
mungkin kamu gak suka dengan kehadiranku di sana.”
“Kabar baiknya hari yang murung itu
menghasilkan ini.” Damon meletakkan kaset bikinannya itu ke atas pangkuan Lara.
“Hari selanjutnya kamu gak datang lagi,
hari yang kacau dan kekacauanku itu akhirnya membawaku kesini.”
“Lara, sekarang kita berteman kan?”
Lara menganggukan kepalanya.
“Cepat sembuh ya, bangku itu menunggu
kehadiran kamu.”
Begitu pun aku.
Lara kembali memandangi bangku semen
itu, seseorang bersepatu kets merah kini telah duduk di sana dan melambaikan
tangan kepadanya. Lara sadar bahwa bangku semen itu telah memberinya sebuah
pelajaran tentang arti sebuah pertemanan yang sebenarnya.
Cerpen yang berjudul "Di Sebuah Bangku Semen" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Ika Septi.
Posting Komentar untuk "Cerpen Persahabatan - Di Sebuah Bangku Semen | Ika Septi"