Cerpen Cinta - Sang Proklamator | Yiyin Fariqah El Maula
Memang, dia bukan laki-laki gagah tampan nan rupawan, bukanlah laki-laki berotot besi seperti gajah mada, dia bukanlah sangkuriang yang dapat memindah bendungan air dalam waktu semalam sebelum matahari terbit, Tapi dialah sang Proklamator. Walau dia bukan bung karno yang dengan beraninya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Tapi bagiku, dia tetaplah sang Proklamator.
Hidup di perkampungan, suatu tempat yang
jauh dari peradaban modernitas, tidak selamanya terkesan buruk. Begitulah yang
ku rasakan. Meski faktor keluarga yang fanatik serta kehidupan pelosok desa
membuatku menjadi pribadi tabu dan kuper alias kurang pergaulan, namun tak jadi
penghalang bagiku untuk terus tersenyum ceria memperlihat jajaran gigi putihku
yang lumayan berantakan.
Sulastri, begitu orang-orang menyebutku.
Perempuan hitam manis dengan tinggi badan 150 cm pas, tak bisa di tawar lagi.
Berat badan cukup 35 Kg, anugrah yang patut di syukuri, karena aku bisa dengan
ringan membawa tubuhku terbang bersama angin yang dapat mengantarkanku setiap
hari ke hamparan luas bernama sawah. Sepanjang hidupku adalah untuk orang
tuaku, menemaninya melakukan rutinitas keluarga, dari aktivitas di dalam rumah
sampai di luar rumah. Sekolah? aku tak pernah mengenal sekolah, SD SMP SMA atau
apalah… aku tak ingin tahu itu. Karena yang pernah ku lihat di tipi, mereka
sekolah cuma buat gaya saja, buat gaul-gaulan, seragamnya saja yang apik tapi
tingkahnya tak ada beda dengan preman kampung sini. ah. Mending juga temani
bapak dan emmak di sawah. Panen padi.
“jadilah seperti padi, semakin berisi
semakin merunduk” nasehat bapak di sela kerja.
“maksudnya pak?” sambil ku seka keringat
di dahi yang sebagiannya mengalir lewan hidung rataku dan berhasil tertelan.
“yaa semakin berilmu semakin rendah
hati, bukan semakin sombong” bapak menjelaskan.
“lastri masih tak paham pak!” protesku.
Bapak mendengus.
“makanya nak, bapak suruh kamu sekolah
malah gak mau, nah liat nich… pepatah ilmu padi saja kamu tak paham”.
“biarlah pak. Lagi pula mau di bawa ke
mana banyak-banyak ilmu, apalagi cewek paling-paling nanti perginya ke dapur
juga”.
“iya kalau suamimu berilmu dan kaya,
kalau tidak..? nich kayak emmakmu, bukan Cuma ke dapur tapi ke sawah juga”.
Emmak menimpali, matanya melirik bapak sambil mencibir, tapi bapak cuek aja
tuh.
“siapa tahu entar lastri dapat suami
yang kaya emmak..” jawabku tak mau kalah.
“alaaahhh… boro-boro suami kaya, ada
yang mau aja sudah untung kamu lastri”. Bapak mulai protes.
Aku terdiam, benar juga bapak!. mana ada
laki-laki yang mau sama aku, gadis kuper yang gak ada menariknya sama sekali.
Sudah 21 usiaku, tapi sampai saat ini tak ada satupun laki-laki yang melirikku.
Masa Bodoh!! tak penting laki-laki
buatku, yang terpenting saat ini hanyalah membuat emmak dan bapakku tersenyum.
Batinku membela.
PENGUNTIT..
Dua hari belakangan ini rutinitas
belanja pagiku agak terganggu, berawal dari insiden perampokan yang mana aku
berhasil menjadi pahlawan kesiangan waktu itu. Sepasang mata tajam menatapku
aneh. tak puas menatap, dia lalu menguntitku dan terus menguntit, hampir setiap
pagi dia menunggu di perempatan masih dengan tatapannya yang aneh. Setiap aku
melintas maka dia bangkit dan menguntitku dari belakang dan saat itu pula aku
bersiap lari hingga dia kehilangan jejakku.
ENTAH. Siapa dia? Kenapa menguntitku?
Pernah aku mencoba berangkat lebih pagi
dari biasanya, berharap tak bertemu penguntit itu. Tapi NIHIL! dia masih saja
menunggu di perempatan, kali ini dia semakin kalap menguntitku. Semakin aku
lari rasanya semakin dekat dan hampir menangkapku.
“Nona Tunggu!” teriaknya yang tak ku
pedulikan. Dan dia berhasil menghadangku.
“aku hanya ingin tahu namamu”.
Langkahku terhenti. “Aku tak punya
nama!” teriakku membahana, membuat semua orang disekitarku menoleh heran.
Tapi akhirnya, aku berhasil kabur
melewati gang samping kananku.
YES! senang rasanya melihat laki-laki
itu kesal.
“LAKI-LAKI GILA” Umpatku dalam hati.
Gara-gara penguntit itu, masalah besar
terjadi dalam keluargaku. begitu cepat sekali kabar bohong itu menyebar. Hampir
seluruh penduduk kampung membicarakan kami, aku lah objeknya. Kabar tentang:
“bahwa aku akan di lamar oleh pemuda kaya dan tampan dari jakarta yang
kebetulan sedang berada di kampung ini untuk tugas, dan parahnya lagi aku
menolaknya dan mencapakkannya di jalan”. Nah… siapa lagi kalau bukan penguntit
itu. Aaaargghh… Laki-laki pembawa sial. Ini sungguh fitnah!!
“Sungguh mak, lastri tak kenal laki-laki
itu, dia yang terus mengikuti lastri”. Aku membela di depan emmak dan bapak.
“Hati-hati lastri, jaman sekarang gak
gampang cari laki-laki seperti bapakmu yang bisa nerima keadaan kita apa
adanya.” Emmak menasehati tanpa memperdulikan pembelaanku.
“Mak, siapa juga yang mau sama laki-laki
itu, kenal saja tidak “ elakku.
“Lagi pula mana ada orang kaya mau sama
orang kampung, kayak gak ada gadis lain saja. Paling-paling mau dijadikan
pembantu, lastri”. Bapak menambahkan.
“PEMBANTU?”
Cess. Mendengarnya. Entah kenapa hatiku
tiba-tiba sakit. Benarkah aku gadis kampung yang hanya pantas menjadi pembantu
seperti penuturan bapak!.
Hhh, orang kaya. Apa selalu begitu
mereka memandang kami.
“mak, lastri mau pinjam pisau!”
“Mau kemana kamu lastri?”
“lastri mau bertemu penguntit itu,
lastri mau kasih dia pelajaran”.
“aduuhh, jangan nak! nanti kamu di
penjara”.
“gak mungkin mak, lastri Cuma mau
nakut-akutin aja, biar dia gak ganggu lastri lagi”.
“jangan lama-lama, mak mau masak gak ada
pisau lagi”
Kali ini kesabaranku benar-benar telah
habis, akan ku buktikan pada laki-laki itu bahwa dia tak bisa seenaknya saja
mempermainkanku. Akan ku buktikan bahwa aku gadis desa yang tidak selayaknya di
remehkan.
Untung saja dia masih menungguku di
perempatan, melihatku dia langsung mendekat. Namun langkahnya terhenti saat ku
julurkan pisau dapur ke arahnya.
Laki-laki itu tersenyum. “lastri, aku
bukan penjahat seperti yang kau bayangkan, aku hanya ingin menjadi temanmu”.
Dari mana dia tahu namaku?.
“Dasar penguntit, apa sih mau kamu?
beraninya main belakang! ayo kalau kamu berani datangi orang tuaku, kalau orang
tuaku mengizinkan boleh kau jadi temanku”.
Sekali lagi laki-laki itu tersenyum.
Membuatku kesal namun juga salting (salah tingkah). Muak sekali ku lihat senyum
miringnya itu. Membuatku ingin segera berlalu dan tak ingin menatap wajahnya
lagi.
Kemana laki-laki itu?. tumben saja hari
ini dia tak di perempatan. Aha… mungkin dia jera dengan ancamanku, mana berani
dia menghadap bapak yang terkenal garang sekampung ini. BAGUS!!. Hmm… hari ini
aku bisa santai pulang ke rumah.
“Lastri! sini”. Sambut emmak sesampaiku
di rumah.
“Ada apa mak?”
“Tuh. Lihat siapa yang di kursi bicara
sama bapakmu”.
Ku ikuti petunjuk emmak, di kursi itu
ada bapak dengan… PENGUNTIT itu!
“ngapain penguntit itu kerumah kita
mak?”
“mana mak tahu, sudah dari tadi.
Kayaknya pembicaraannya serius. Tuh lihat bapakmu sampai ngawinkan alisnya
begitu, coba kita nguping saja!”.
Pembicaraan serius..? sepertinya begitu.
Ku segera pasang telinga tajam.
Pembicaraan antara seorang pemuda dengan
seorang bapak yang memiliki anak perempuan. Sedikit demi sedikit ku dengar
pembicaraan lirih namun tegang antara bapak dan laki-laki itu.
Tentang… lamaran. Hhh, ada gelisah dalam
hatiku.
“kok bisa kamu suka sama anak saya? Dia
jelek, kurus, kecil, dak bisa masak, dia dak bisa apa-apa!”. Bapak bertanya
heran.
“ma’af pak, saya benar-benar menyukai
dek lastri. hatinya cantik, perangainya baik. Saya bukannya mencari pembantu
pak, tapi saya butuh dek lastri untuk menjadi teman hidup saya, menjadi ibu
yang baik untuk anak-anak kami kelak”. Laki-laki itu meyakinkan.
“Lastri tak pernah sekolah, dia bodoh!”
“saya yang akan mengajarinya pak,
semampu saya!”. jawabnya mantap.
Sepertinya bapak tak mampu berkata lagi.
Tak ada alasan bagi bapak untuk menolak lamaran Hayat. Bapak hanya diam,
sementara alis tebalnya telah menyatu menyusun kekuatan seolah hendak menerkam.
Bapak sedang berfikir keras.
Dan aku… Entah kenapa hatiku senang
sekali mendengarnya. Tak henti do’aku semoga bapak menerima lamaran itu.
Satu jam lebih kebisuan terjadi,
akhirnya bapak angkat suara.
“Baiklah!, aku terima lamaranmu untuk
anakku”.
Bibirku tak hentinya tersenyum, bapak
menerima lamaran itu. Dan tak pernah ku merasa sebahagia ini. Bunga-bunga
bermekaran memenuhi ruang hatiku.
Hmm, Hayat Azizy. Dia bukan bung karno
yang dengan gagah berani memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari penjajah.
Tapi dialah Bung Hayat, sang Proklamator yang telah memerdekakan hatiku, yang
dengan gagah berani memproklamirkan di depan bapak, bahwa aku “SULASTRI”, juga
layak untuk di cintai.
Cerpen yang berjudul "Sang Proklamator" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Yiyin Fariqah El Maula. Kamu dapat mengikuti penulis melalui facebook berikut: Sun Laanilaa Nya
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Sang Proklamator | Yiyin Fariqah El Maula"