Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Persahabatan - Menuju Batas Kosong | Cabe Rawit

lorong kosong

"Woii jangan lari lu, bocah kurang ajar! Berhenti jangan kabur! balikin dagangan gua, itu ayam buat dagang!" teriak seorang pedagang di pasar kluweug seraya berlari sekuat tenaga mengejar dua remaja yang mencuri dagangannya tersebut.

Dengan nafas pendek serta kutang yang basah oleh keringat, pria paruh baya berperut tambun dan berambut keriting itu terus berlari. Dibawah paparan sinar matahari senja yang sangat menusuk mata, ia dengan gigih menyusuri tiap-tiap gang pasar yang sempit dan becek, melewati meja-meja di kanan kirinya seakan membuat gang itu terasa seperti rintangan olimpiade baginya.

Hiruk pikuk transaksi pasar pun seolah menjadi Sound Track pembakar semangat yang ampuh bagi pria tersebut, dengan perut tambunnya yg terus bergetar naik turun, ia berlari tak kenal lelah, dengan mata yang terus mengunci kearah dua remaja pencuri, membuat ekspresi wajahnya seperti monster.

"Plak..plak..plak..plak.., huftt..hahh..huft"

Suara langkah kaki ketiga orang tersebut membalut desahan nafas yang kian memendek dan keringat yang terus mengucur deras, membuat pengejaran itu makin terasa seperti sebuah film action.

"Huufftt .. kita mencar bon biar pak sapto bingung! gua ke gang sini, lu ke gang sana ya" ujar awang dengan cepat sambil menunjuk ke sisi yang berbeda.

"Bon! kita ketemu di tempat biasa ya di markas, jangan sampe ketangkep lu, jangan bikin repot!" Awang berteriak lantang sambil berlari.

Di usia yang baru menginjak 15 tahun, dengan tubuh kurus dan pendek itu, Awang termasuk remaja yang gesit, gerakkannya lebih gesit dari seekor kelinci sampai akhirnya ia menghilang di gang kedua dengan sangat cepat.

"Haahh cerewet, gak tau apa kalo ini perut udah nagih janji, dari pagi belum di kasih jatah, bisa lari lurus aj udah bagus" gumam Bonbon sambil menengadah keatas dan terengah-engah.

Adegan pengejaran itu memiliki tantangan tersendiri untuk Bonbon, walaupun usianya tak terpaut jauh dari Awang hanya lebih muda 2 bulan, pengejaran itu terasa sangatlah berat. Bagaimana tidak, dengan badan yg cukup besar dan sedikit gemuk, membuat nafasnya kian memendek. Namun, perlahan tapi pasti menggunakan sisa tenaganya ia pun berlari menuju gang yang sudah di tentukan.

Tiga menit kemudian terdengar desahan nafas yang sudah mencapai batasnya, pak sapto tiba di persimpangan gang tempat Awang dan Bonbon berpisah.

"Huufftt.. Okee, atur nafas dulu, huufftt.. Bocah asem, lari kemana sih, dari kemaren bikin rugi terus, liat besok kalo ketangkep gua rendam di kali belakang" sambil menunduk dengan mulut yang terbuka lebar, pak sapto yang sudah kelelahan dan menyerah pun bergumam sangat kesal. Sampai akhirnya kebisingan pasar perlahan menghapus suara gumamannya itu.

------------------------------------------------

Memori Kisah Lampau

Awang dan Bonbon merupakan sahabat kental yang telah hidup bersama sejak kecil. Dipertemukan, dipersatukan dan dibesarkan oleh takdir, membuat hubungan mereka layaknya saudara, saling membantu, peduli dan menyayangi satu sama lain tanpa ada rasa pamrih sedikitpun.

Mereka melakukkan banyak hal bersama, seolah tiada menit yang terlewatkan sendiri. Kebersamaan ini tidak terlepas dari jasa Mbok Sum, seorang wanita tua yang secara tulus merelakan hidupnya untuk mengasuh mereka.

Kisah ini terjadi 10 tahun lalu, Mbok Sum menemukan Awang yang mungil dengan wajah penuh ketakutan dan terus meneriakkan “mamah…”, ia terduduk sendirian di sudut pasar kluweug tempat Mbok Sum berjualan. Suasana ramai pasar pun perlahan meneguhkan ekspresi takut yang kian terlihat di wajah mungilnya.

Saat itu, Mbok Sum tidak dapat menahan dorongan nurani terdalamnya sebagai seorang manusia. Perlahan ia mendekati Awang, pertanyaan demi pertanyaan pun terlontar, namun hanya kalimat sederhana dan nyaris tak terdengar yang terucap dari Awang kecil “mamah, mau pulang sama mamah” rintih awang perlahan.

Tidak lama kemudian Mbok sum mengajak Awang kecil untuk duduk di lapak jualannya, mata Mbok Sum terus terjaga pada sebuah jam kecil dan jelek yang tergantung di tiangnya, banyak sudah angka yang terlewati oleh jarum pendeknya, akan tetapi tidak ada satupun ibu yang datang menjemput Awang.

Pergejolakan batin mulai menjalari Mbok Sum, sedih, kasihan dan peduli kini mendominasi hati kecil Mbok Sum, sampai akhirnya ia memutuskan untuk membawa pulang Awang. Hari berganti hari, kabar keberadaan orang tua Awang pun tak pernah terdengar. Jarum jam terus berputar, tak disadari sudah 45 hari mereka bersama. Ikatan batin pun perlahan tercipta antara Awang dan Mbok sum.

Pada satu malam, setelah Mbok Sum menidurkan Awang disebuah balai yang terbuat dari anyaman bambu, wajah mungil Awang yang tertidur pulas itu mencuri perhatian Mbok Sum, hati nuraninya bergejolak senang hingga membuat dirinya mengambil satu keputusan berani yang nantinya akan merubah hidupnya kelak, Mbok Sum meyakinkan dirinya untuk mengasuh Awang.

Selang beberapa bulan, hal yang sama terjadi lagi saat Mbok Sum berdagang di pasar. Ya, kali ini adalah Bonbon, inilah awal takdir yang mempertemukan Bonbon dan Awang, mereka adalah korban dari orang tua yang pengecut dan tidak bertanggung jawab.

Kini meraka berdua telah tumbuh mejadi remaja mandiri dan juga tangguh, hal ini tidak terlepas dari jasa Mbok Sum, Awang dan Bonbon jadi memiliki ikatan yang tidak biasa.

--------------------------------------------------

Ketika Bonbon sampai di markas tempat perjanjian mereka, Matahari menjadi sangat pemalu, perlahan tapi pasti bersembunyi di balik gedung pencakar langit ibu kota sebelum akhirnya menghilang dan berganti peran.

Markas mereka adalah sebuah Gedung tua yang tak terpakai dan berada tepat di belakang pasar Kluweug.

"Woii bon,…kirain ketangkep lu, lama banget sih" teriak Awang memecah kesunyain gedung saat itu.

“Si gendut, kalo urusan makan aj paling jago, bisa pas banget datengnya, tau aj kalo udah mateng ayamnya" gumam Awang sambil membolak balikan ayam bakarnya.

Sambil berlari dengan terengah engah dan bercucuran keringat, Bonbon berkata " iya maaf, cerewet banget sih, gua td bantuin mbok tutup lapak dulu"

"Wiih asyik nih, makan enak malam ini kita, gak sia-sia puasa dari pagi, haha…" seketika Bonbon berkata setelah melihat ayam bakar yang ada di tangan Awang.

Bonbon pun dengan sigap mendekati dan duduk di sebelah Awang, seolah rasa capek dan Lelah akibat pengejaran tadi terbayar lunas dengan ayam yang ada didepannya.

"Yeeh, nduutt main ambil aj, do’a dulu rakus banget lu" ucap Awang sambil memukul tangan Bonbon yang hampir menyentuh ayam bakar mereka.

“Wang, bawa buat si Mbok ga” tanya Bonbon.

“Jangan ndut, nanti kita yang kena semprot, ayo gas bon kita makan enak” timpal Awang.

Setelah selesai berdoa, tanpa ragu mereka melahap dengan rakus ayam curianya tersebut.

Canda tawa mereka terus menerus memecah sepi, layaknya remaja, saling ejek pun terlontar, menciptakan keseruan yang seakan membuat iri kesunyian malam kala itu.

Cerpen yang berjudul "Menuju Batas Kosong" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis dengan nama pena Cabe Rawit. Kamu dapat mengikuti penulis melalui link berikut: https://linktr.ee/caberawiit

Posting Komentar untuk "Cerpen Persahabatan - Menuju Batas Kosong | Cabe Rawit"