Cerpen Misteri - Rumah Persinggahan | Gede Agus Andika Sani
Sosoknya masih mengembun di benak semua warga. Dari saban hari, aktifitasnya hanya mengumpulkan kamboja, menjemur dan menjual. Pak Suyasa, sudah rabun memang. Tapi tidak ada ragu bahwa ia akan tiba di rumahnya tepat sebelum malam berganti dini hari.
Sudah tiga hari jejak Pak Suyasa tidak
membekas di jalan-jalan desa. Tiada lagi jalan yang terlihat bersih. Rumput
meninggi di sudut rumah, guguran daun menutupi jalan, kelopak bunga menangis
tak terjaga. Menjelang pagi, sosok pria tua ini muncul di ujung candi desa. Ia
membawa sebuah sapu dan karung putih dekil. Sapu itu didapatnya dari
mengumpulkan sisa tulang janur dan mengikatnya dengan tali dari batang pisang.
Tali itupun ia temui di belakang gubuk yang ia bangun sepeninggalan istri
tercintanya.
Pak Suyasa akan mulai mendatangi rumah
pertama. Tangannya dengan lihai menari memungut guguran kamboja korban cuaca
tempo hari. Setelahnya, gundukan sampah dan sisa keringat akan melebur di sudut
rumah warga yang didatangi. Seperti biasa, Pak Suyasa akan pamit pergi dan
melanjutkan aktifitasnya menjajal atmosfir ke rumah kedua, rumah ketiga, dan
rumah-rumah selanjutnya hingga lututnya kaku. Atau, hingga penat di pikiran
mengalahkan semangkuk ketela hangat sarapan pagi yang ia kunyah nikmat.
Tubuhnya tak cukup kuat menahan terik matahari yang di campur pemanasan global.
Ia hanya akan memungut kamboja hingga setengah desa lebih. Lalu, berhenti di
sebuah rumah persinggahan.
Rumah itu unik. Atapnya berumbai daun
kelapa tua. Dindinganya, menua bermotif guratan alam. Sangat jelas dinding itu
dirangkai dari bambu muda yang diperintahkan meliuk dan menindih satu sama
lain. Berandanya berkekuatan polesan tanah liat merah yang di ambil dari kali
seberang desa. Beranda itu kokoh hingga sekarang. Seseorang pasti menghabiskan
beberapa tahun untuk mengkreasikan diri membangun rumah itu. Orang yang menulis
lagu balonku ada lima, orang yang menulis lagu pelangi, dan orang sama yang
menulis lagu cening putri ayu1. Rumah itu begitu kecil, lahan satu are mungkin
cukup untuk membuat tiga sampai empat rumah serupa. Kecil sekali. Rumah itu
setidaknya mengetahui kematian Pak Suyasa yang meninggalkan misteri bagi
penduduk desa.
“Ia memungut kamboja di pekaranganku,
kemarin. Wajahnya biasa saja.” Kata seorang ibu di tengah orang yang berkumpul
membicarakan Pak Suyasa.
“Aku sempat memberinya uang lebih.
Suamiku lagi gajian.” Sahut ibu lain menimpali.
Perkumpulan itu dilanjutkan hingga malam
menjemput mentari untuk ke peraduannya. Sangat banyak opini yang muncul. Ada
yang bersua Pak Suyasa meninggal di makan harimau, tersesat di hutan, terpleset
ke jurang hingga kena santet secara sengaja.
“Mungkin Pak Suyasa berada dalam rumah
persinggahannya. Menjelang senja, ia sempat menyapaku dan menawarkan segelas
air.” Kata seorang ibu pemalu di tengah polemik hilangnya Pak Suyasa.
Hanya ada beberapa orang yang acuh
kepada saran itu. Yang lain, sibuk merangkai hiperbola untuk diberitakan saat
menonton gosip artis, saat berbelanja di pasar, saat kumpul keluarga dan
saat-saat lain.
Seminggu pasca tiada kabar dari Pak
Suyasa, polemik telah mengudara melebihi gelombang radio nasional. Desa
seberang mau tidak mau ikut campur dalam masalah ini. Penyebab yang paling
populer adalah Pak Suyasa hilang karena kena santet. Mereka semua sibuk
mencari. Bukan apa, hanya memikirkan kemungkinan orang yang memiliki kemampuan
di luar nalar tersebut. Beribu nama muncul, tiada tindak lanjut.
Sementara, beberapa orang lain coba
mendatangi rumah persinggahan Pak Suyasa. Memang aneh, Pak Suyasa bukanlah
siapa-siapa sebelum dirinya hilang di telan bumi. Tiba-tiba, ia meledak
bagaikan bakteri yang membelah ratusan kali dalam hitungan menit.
Popularitasnya lebih tinggi dari artis retasan youtube. Salah satu dari 4 orang
tersebut kebetulan seorang mantri kawakan desa. Orang ningrat. Penyuka misteri.
Mereka sampai di rumah itu tengah hari. Beristirahat di beranda dan menenggak
beberapa gelas air sembari menyusuri rumah mencari jasad Pak Suyasa. Mungkin
mereka masuk ke dalamnya.
Seperginya empat pemuda tadi, desa
semakin aneh. Empat orang itu tidak pernah kembali lagi ke rumah mereka. Istri
sang mantri menangis sejadi-jadinya mengetahui suami tercintanya bernasib bak
Pak Suyasa. Keluarga tiga orang lain juga, tiada bosan mengumbar kesedihan ke
berbagai media desa. Mungkin mereka tidak menyangka, sosok yang mereka rengkuh
berhari lalu telah tiada. Tapi, itulah hidup.
Berita tentang empat orang yang
ikut-ikutan hilang kembali menetas ke semua desa di kecamatan daerah tersebut.
Camat daerah yang awalnya hanya ngantor 3-4 jam menjadi rajin musiman. Ia sibuk
mengobrol dengan bawahannya. Tentang Pak Suyasa dan empat orang yang hilang
terkena santet. Setidaknya, itu yang semua anak buahnya serempak katakan. Entah
kapan ia merumuskan pembangunan desa yang makin semraut di terjang moderenisasi.
Atau, di serang seks bebas dan penyakit degradasi moral yang menular. Ia lebih
senang menghabiskan hari dengan bertukar kabar burung yang tidak jelas riuh
rendah dengungnya.
Beberapa warga yang penasaran memutuskan
untuk mencari Pak Suyasa, dan empat warga lain yang hilang. Kali ini, mereka
membawa senjata tradisional seperti bambu runcing, arit, dan pedang panjang.
Mungkin mereka berpikir ada sekelompok kanibal yang menghuni hutan di dekat
rumah persinggahan Pak Suyasa. Atau bahkan di rumah itu? Tim SAR mendadak ini
bergerak pada subuh hari. Menyusup, mencari kebenaran. Seorang bocah tanpa
sengaja ikut menyusup. Menjelang siang hari, bocah itu pulang seorang diri
karena di anggap masih bocah. Memang bocah.
“Mereka semua masuk ke dalam rumah kecil
itu. Aku di suruh pulang.” Ratap anak kecil itu di dekapan ibunya saat ngerumpi
dengan ibu-ibu lain.
Berita buruk kembali melanda desa.
Kelompok pemuda itu, lagi-lagi, menghilang tak berbekas. Hilang dengan
menyisakan sedih yang entah mengapa tidak lebih dari rasa penasaran warga.
Mengundang ribuan pertanyaan lain yang tidak terpecahkan logika macam manapun.
Maka sepakatlah warga desa menyebut
orang-orang tersebut hilang di dalam rumah. Sudah sangat jelas, sebelum hilang,
jejak terakhir selalu mengarah pada rumah itu. Penduduk makin kalut dan
terpaksa mendesak kepala desa untuk bergerak. Kepala desa tentu tak mau
kehilangan muka. Ia mengajak seluruh pemuda dan pria dewasa berkumpul di aula
desa pada hari minggu. Tujuannya, untuk melakukan pencarian. Hendaknya, kepala
desa berpikir tidak akan mungkin seluruh pasukan kali ini –termasuk dirinya-
akan hilang. Terlalu banyak. Tersebutlah pasukan besar tersebut bergerak
bagaiakan koloni semut yang mencari seonggok roti yang jatuh pasrah menyambut
tanah. Rumah persinggahan itu sudah di depan mata mereka. Satu demi satu orang
masuk ke dalam rumah itu. Mereka masuk tanpa bertetes ragu bak telah di cuci
otak oleh pemimpin, cara tradisional yang menguap lagi.
Betapa terkejutnya Camat mendengar
seorang kepala desa dan seluruh pemudanya menghilang. Terkena santet, itulah
yang di benaknya. Langsung ia menyuruh supir pribadinya menyiapkan mobil dan
segera melaporkan ke Bupati di daerahnya. Tidak mau ambil repot, sang bupati
tidak segan-segan melaporan ke gubernur prihal santet yang meresahkan warga
tersebut. Pasalnya, warga satu kabupaten telah melupakan untuk apa mereka di
kirm Tuhan menuju dunia. Semua warga sibuk mempermasalahkan apa, mengapa,
bagaimana dan di mana. Tidak ada pikiran untuk bekerja, tidak ada pikiran untuk
sekolah, tidak ada pikiran untuk melakukan kegiatan positif. Pembangunan
menurun, sampah menumpuk, pengangguran menular bak virus influenza. Bupati
bingung, kompi bantuan dikerahkan menuju lokasi, sementara laporan tentang
hilangnya warga satu kecamatan di tempat Pak Suyasa sudah sampai di tangan
Bupati. Tidur kini merupakan harta bagi Bupati malang itu.
Tentara kompi bantuan se-kabupaten tidak
mendatangkan hasil maksimal. Semuanya hilang tak berbekas debu sekalipun.
Bupati tambah bingung dengan kehebatan tukang santet yang bisa mengalahkan
pasukan tentara bersenjata lengkap. Gubernur bertindak cepat dengan mengadakan
rapat pleno. Hampir seluruh bupati memberi keluhan serupa dari rakyatnya. Kasihan
bupati malang tersebut. Beberapa tidak sempat menghapus digit nol dari pajak
rakyat dan menyimpan di saku rapat-rapat. Beberapa lain, kehilangan momen untuk
mencari daun muda untuk di kunyah nikmat.
Bukti baru di temukan. Sebuah rumah
persinggahan di duga sebagai tempat tinggal tukang santet tersebut. Bahkan
sumber terpercaya menulis seluruh warga hilang di rumah itu. Bagaimana bisa
rumah sekecil itu menampung lusinan orang yang hilang tak berbekas?
Singkat cerita, pemerintah pusat sudah
mulai menerima laporan tentang tukang santet dan hilangnya penduduk dan Pak
Suyasa. Tim dari intelejen negara bergerak menuju lokasi. Misi memasang CCTV
diberi. Misi itu direncanakan sejak jauh-jauh hari.
“Hanya untuk memasang. Dan pergi!”
perintah kepala Intelejen kepada anak buah terbaiknya.
Dua orang anak buah tersebut menyusuri
tempat yang di tuju. Jalan-jalan kotor, tiada seorang penduduk yang ditemui.
Tanah tertutup sampah setinggi lutut. Bau kamboja kering menusuk hidung
menerbangkan sukma. Kepala BIN (Badan Intelejen Negara) duduk cemas menanti
anak buah kepercayaannya. Pucuk di cinta ulampun tiba. Kedua anak buah itu tiba
dengan selamat. Tanpa luka, tanpa cedera. Hanya saja, banyak mozaik yang
terlupa oleh mereka. Setidaknya, mereka tidak meregang nyawa.
Sangat sedikit informasi yang bisa di
korek dari dua intelejen negara yang selamat. BIN tidak tahu kenapa mereka
selamat, dan puluhan intelejen lain tidak kembali pasca misi mereka memeriksa
rumah tersebut. Apakah tukang santet tersebut sedang tidak di rumah? Apakah
beberapa orang memang tidak masuk dalam kriteria? Entah. BIN menyerah dan
melaporkan kepada jajaran kabinet kecuali presiden yang selalu sibuk setiap
hari. Setiap waktu. Setidaknya, itu keterangan dari memo singkat di depan pintu
ruangan beliau.
DPR mengadakan rapat pleno membahas hal
ini. Seminggu penuh rapat itu di gelar, berbagai media meliput pasrah pasca
berkurangnya penduduk negara kecil ini secara signifikan. Semua menghilang di
rumah persinggahan itu. Kena santet? Setidaknya itu pemikiran yang coba di
dukung kaum mayoritas. Rapat tersebut mendapatkan kesimpulan mencengangkan.
Untuk menjaga kestabilan negara, maka akan di bentuk undang-undang santet.
Betul-betul kontroversional. Setidaknya kalimat dalam pasal tersebut pasti
sangat tangguh dan tegas. Hal yang tak terdefinisi kini coba diinterprestasi,
bak manusia yang coba menjelaskan Tuhan dalam rangkaian not-not kalimat liris.
Berbagai ahli coba menguji keetisan
undang-undang santet tanpa menghiraukan jumlah penduduk yang terus berkurang.
Jalan-jalan menuju desa Pak Suyasa akan sangat ramai pada jam tertentu.
Rombongan warga bermacam kendaraan melintas. Tak kembali, seorangpun. Padahal
desa itu adalah desa paling ujung, bak gang buntu di tengah semraut ibu kota.
CCTV menunjukkan sangat banyak orang masuk ke rumah itu. Mereka antri untuk
mengobati penasaran yang sudah menembus batas realitas di otak. Tidak jelas
apakah CCTV berbohong, akan tetapi tidak ada sebutir debupun yang keluar dari
rumah persinggahan kecil itu. Rumah itu kosong, bahkan. Bisa di lihat dari
rongga dinding bambu yang agaknya di buat dengan tergesa. Rumah itu bak
menampung penduduk satu negara. Apakah rumah itu memiliki jalan rahasia?
Kemanakah orang-orang yang telah memasuki rumah itu? Apakah ada suatu tempat di
balik tembok bambu keropos itu? Entahlah. Yang terlihat hanya laut luas dan
tebing dalam. Rumah itu terletak di atas tebing yang di hantam lautan ganas
berhias pemandangan sawah di sekitar rumah uzur itu.
Jam sudah menunjukkan lunch time.
Presiden keluar dari peraduannya. Ruang sumpek yang pengap. Betapa bingungnya
ia karena semua staffnya tidak ada di tempat. Tidak satupun. Nomor orang-orang
kepercayaannya tidak aktif. Berada di luar jangkauan. Ia melangkah ke luar
istana yang khusus dibuatkan untuknya. Gedung DPR hendak ia datangi.
Terkejutlah presiden mendapati jalan yang lengang, suasana yang sepi, dan
kondisi yang begitu tenang. Sangat berkebalikan dari hari normal. Dipercepatnya
langkah hingga di gedung DPR. Ia menemukan sebuah surat yang ditujukan
kepadanya. Surat tersebut menyatakan bahwa semua anggota DPR menjalankan studi
banding ke sebuah desa di ujung pedalaman sana. Sangat jauh. Ia tahu desa
tersebut sangat indah, asri dan terkenal seantero jagat. Iapun mengerti kode
anak buahnya yang bermaksud plesiran. Mungkin hobi.
Sudah dua jam sang presiden duduk
mematung di depan gedung DPR yang kosong. Menunggu manusia menyapanya. Terbalik
dari hari-hari sebelumnya. Tiada pesan dan kesan dari orang-orang yang biasanya
berebut melindungi dirinya dan tikus-tikus berdasi peliharaannya. Sang presiden
terhenyak dan berkata sendiri.
“Betapa bodohnya aku. Mana mungkin ini
kenyataan, aku pasti sedang bermimpi.” Secepatnya ia mengambil sedikit kulit
pipi dengan kuku panjang yang belum sempat di potong oleh anak buahnya.
Ia merenggut dan mencubit pipinya.
Kemudian, ia berteriak keras di negara sunyi itu.
“Awwwwwww! Sakit!”
Cerpen yang berjudul "Rumah Persinggahan" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Gede Agus Andika Sani. Kamu dapat mengikuti blog penulis di link berikut: babibubebong.blogspot.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Misteri - Rumah Persinggahan | Gede Agus Andika Sani"