Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Keluarga - Setitik Kenyataan Dalam Sebuah Mimpi | Intan Hanana

Setitik Kenyataan Dalam Sebuah Mimmpi

Ku jatuhkan tas besarku ke lantai. Ku rebahkan tubuhku di sofa ruang tengah. Punggung terasa pegal seperti habis membawa berkilo kilo batu. Sore ini aku benar-benar di gembleng dalam latihan karate. Sepulangnya dari latihan sialnya ban motor ku kempes entah ada yang ngejahilin atau apa, karena kutemukan paku di ban belakang motor.

Terpaksa harus mencari tukang tambal ban. Kesialanku tak berhenti sampai di situ, tukang tambal ban terdekat tutup terpaksa aku harus membawa motorku lebih jauh lagi mencari tukang tambal ban. Hari yang sangat melelahkan.

Aku terbangun jam menunjukkan pukul tujuh malam. Ah ternyata tadi aku ketiduran. Ku cium badanku uuhhh… bau. Kalau bunda tahu tentunya akan marah.

“Aya kamu baru mau mandi, jam berapa sekarang?” Tanya bunda

“Bun tadi aku ketiduran”

“Ya sudah cepat sana mandi”

“Ayo Dimas silahkan masuk”

“Dimas?” Aku berbalik badan, seorang laki-laki mungkin sekitar berumur 24 tahun, berbadan tegap dan lumayan ganteng masuk ke ruang tamu. Siapa dia? Tanyaku dalam hati.

“Hei, ngapain kamu diam di situ?” Tanya bunda

“Ehm…itu siapa bun?” Tanyaku berbisik pada bunda

“Ini Dimas teman kerja ayah dari Kalimantan, untuk sementara Dimas akan tinggal di sini”

“Hai kak Dimas…” sapaku genit

“Dimas, ini anak perempuan bunda namanya Aya”

“cantik ya” Puji kak Dimas

“Oh makasih ka, emang aku cantik he.. he”

Ka Dimas menempati kamar di sebelah kamarku. Kamar yang sudah lama tidak ditempati di sulap oleh bunda menjadi kamar yang cukup nyaman. Aku tidak tahu sebelumnya itu kamar siapa. Bunda hanya terdiam ketika aku bertanya tentang kamar itu.

“Ay, kamu sedang membersihkan kamar ya?” Tanya bunda yang melihatku membawa ember dan kain pel.

“Iya bun”

“Nanti sekalian ya bersihkan kamar Dimas “Setelah selesai membersihkan kamarku, aku ke kamar Kak Dimas. Pintunya sedikit terbuka. Namun, tidak ada orang di dalam. Aku masuk dan mulai merapihkan tempat tidur dan meja. sebuah foto yang di letakkan di atas meja mengalihkan perhatianku. Foto tersebut berbingkai cantik dan terdapat dua buah mawar yang masih segar yang di letakkan di kedua sisinya. Foto seorang perempuan, mungkin itu pacarnya Kak Dimas pikirku. Aku mengambil foto tersebut untuk melihatnya lebih jelas. Sangat harum.. harumnya seperti… aku berpikir sejenak. Harumnya seperti parfumku!

“Ini kan…” Aku terkejut ketika menyadari perempuan dalam foto itu mirip sekali dengan ku. Siapa perempuan ini? mengapa begitu mirip wajahnya dengan ku? tanyaku dalam hati.

“Sedang apa Ay?” Suara kak Dimas membuatku terkejut. Aku segera meletakkan foto itu ke tempat semula.

“Ehm, enggak ka. Maaf aku lancang masuk kemar ka Dimas tanpa Izin. Tadi aku di suruh bunda bersihin kamarnya kak Dimas” Aku jadi merasa tidak enak pada kak Dimas.

“Enggak apa-apa kok, oh iya kamu nggak ke sekolah?”

“Kak Dimas gimana sih ini kan hari Sabtu”

“Oh iya aku pikir ini hari Jumat”

Malam ini hujan turun dengan lebat membuat suasana menjadi lebih dingin dari biasanya. Di kamar aku masih memikirkan foto yang ada di kamar kak Dimas. Apa itu memang diriku? Karena penasaran aku memutuskan untuk bertanya pada kak Dimas yang saat itu sedang bermain gitar di balai depan rumah.

“Eh Aya kamu belum tidur?” Tanya Dimas. Aku menggeleng lalu duduk di sebelah kak Dimas.

“Ehmm, Kak aku mau tanya”

“Tanya apa?” Tanya Dimas sambil memainkan gitarnya.

“Foto yang dikamar Kak Dimas…”

“Oh, Foto itu” Dimas tersenyum “Itu foto adik perempuanku namanya Tanaya, 16 tahun, Cantik”. Aku bengong mendengar perkataannya barusan. Bukan wajahnya saja yang mirip. Nama dan usia pun sama!. Apa dia saudara kembarku? mana mungkin?

“Sekarang adik kak Dimas ada di mana? di Kalimantan?” Dimas berhenti memainkan gitar. Ia terdiam sejenak

“Kami sudah berbeda dunia sekarang” Jawab kak Dimas datar

“Maksud ka Dimas, ia sudah meninggal?” Tanyaku. Dimas tak menjawab. Ia terus memandangi ku.

“Sudah malam lebih baik kamu tidur” Ia mengalihkan pertanyaanku. Sepertinya pertanyaanku barusan membuatnya sedih “Oh iya besok kan hari minggu bagaimana kalau besok pagi kita lari pagi bareng?” Tanyaku

“Boleh…” Jawab kak Dimas sedikit bersemangat.

Jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku dan Kak Dimas tengah melakukan pemanasan. Setelah selesai kami mulai berlari kecil menuju taman kota. Aku sangat menyukai udara pagi di hari Minggu. Begitu sejuk dan sedikit kendaraan yang lalu lalang. Di sepanjang perjalanan kak Dimas terus memandangiku. Apa dia naksir aku? Mungkin.

“Hai Ay”. Sapa Ririn teman satu kelasku yang juga sedang lari pagi bersama adik dan kakaknya.

“Kamu bilang gak punya kakak” Ia menghampiri kami.

“Memang aku nggak punya kakak memangnya kenapa?”

“Itu siapa dong” Ririn melirik ke arah Kak Dimas

“Oh itu teman ayahku. Dia menginap semalam di rumah”

“Lho aku kira itu kakak kamu habisnya mirip banget sih ya sudah aku duluan ya”.

Satu jam sudah kita berlari. Aku mengajak Kak Dimas istirahat sembari sarapan bubur di tempat langgananku.

“Mang, buburnya dua ya, biasa yang satu jangan pakai kacang”.

“Sip” Kata mang Karto sambil membersihkan sebuah mangkuk. Tak menunggu lama dua mangkuk bubur tersaji di meja.” “Silahkan neng” Mang Karto melihat Kak Dimas. “Tumben neng lari sama kakaknya biasanya sendiri”

“Kakak? Ini bukan kakakku, ini temanya ayah”

“Wah tapi kok wajahnya mirip, asli loh kalian berdua seperti saudara kandung” Masa sih aku mirip sama Kak Dimas? Terserahlah mereka mau bilang aku mirip sama Kak Dimas. Mungkin memang ada sedikit mirip pikirku.

“Kak Dimas, besok kan hari ulang tahunku” Kak Dimas terdiam lalu memandangiku. Matanya berkaca-kaca. Ada apa sih dengan dia? seperti ada yang aneh… semenjak tadi tak satupun kata yang keluar dari mulutnya. Setiap aku bicara dia hanya mengangguk dan tersenyum. Satu lagi ia juga selalu memandangiku.

Matahari sudah mulai naik. Cahayanya pun makin terasa. Kami memutuskan untuk kembali ke rumah. Di tengah perjalanan penyakit cerobohku muncul. Aku tersandung batu hingga kaki ku terkilir.

“Aduh sakit” Rintihku

“Kamu kenapa Ay?” Tanya Kak Dimas khawatir

“Kakiku sepertinya terkilir” Jawabku sambil terus memegangi kakiku yang terasa sakit. Kak Dimas memeriksa kakiku.

“ya sudah kamu naik ke punggung ku” Akhirnya aku meneruskan perjalanan dengan di gendong Kak Dimas.

“Kak Dimas capek ya” Tanyaku

“Nggak kok, kak Dimas malah senang”

“Maksudnya Kak Dimas senang kakiku terkilir?” Tanyaku sinis

“Bukan begitu maksudku, aku senang karena bisa menggendongmu” Aku tersenyum. Jangan-jangan Kak Dimas memang naksir aku. Aku melihat Kak Dimas seperi menghapus air matanya beberapa kali.

“Kak Dimas kenapa?”

“Aku bahagia. Sangat bahagia” Jawabnya sambil menghapus kembali air matanya. Aku semakin tak mengerti dengannya.

Aku akui hari ini aku sangat senang bisa bersamanya. entah kenapa muncul sebuah perasaan di hatiku tapi bukan… bukan cinta atau suka. Melainkan sebuah perasaan antara adik dan kakak. Perasaan itu semakin menguat. Akupun tak tahu mengapa.

Besok adalah hari istimewaku. Besok orang-orang akan datang kerumahku. Hmm senangnya. Aku melamun di kamar. Lamunanku buyar ketika mendengar suara ketukan pintu. Setelah ku buka ternyata kak Dimas. Penampilannya begitu rapih dengan dua buah koper besar yang dibawanya. Sama seperti pertama kali ia datang ke rumah.

“Kak Dimas mau ke mana?” tanyaku

“Kak Dimas mau pamit sama kamu”

“Pamit? Kak Dimas mau pergi ke mana? ke Kalimantan? Kenapa tidak besok pagi saja? kenapa malam-malam begini?”.

“Aku harus pergi sekarang Ay”

“Tapi… kita masih bisa bertemu lagi kan?” Kak Dimas menggeleng “Aku nggak akan kembali lagi Ay”

“Kalau begitu aku minta nomor Hp kakak, email, facebook atau twitter biar kita bisa tetap komunikasi” entah kenapa aku tak rela kalau Kak Dimas pergi

“Ay aku akan pergi ke tempat yang jauh dan tak akan pernah kembali. Aku senang bisa bertemu denganmu. Kau adalah adik kecilku yang manis” Ucapnya sambil membelai rambutku

“Happy birthday” Ucapnya sambil memegang tanganku dan memberikan sebuah kalung berliontin hati” Walaupun ulang tahunmu masih besok, tapi aku harus memberikannya sekarang. Maaf, besok aku tidak bisa hadir di acara ulang tahunmu, meskipun aku ingin, sangat ingin” Aku tak bisa berkata apa-apa. Hatiku terasa sedih sekali. Ia mulai melangkah pergi.

“Aku mohon kak Dimas jangan pergi, kak Dimas…!!!” Aku terbangun dan mendapati diriku masih mengenakan seragam sekolah. Aku berteriak memangil kak Dimas. Berlari menuju kamarnya, tetapi keadaan kamar itu sama seperti dulu.

“Aya kamu belum mandi juga? gimana sih kamu ini pulang ekskul bukannya lansung mandi malah tidur di sofa” Aku masih belum percaya, Kak Dimas… jadi semua ini hanya mimpi?

“Tanaya, kamu kenapa?” Tanya Bunda menghampiriku. Aku terdiam, aku merasakan ada sesuatu di tangan ku. Perlahan aku membuka genggaman tanganku. Sebuah kalung!! Kalung dengan liontin hati. Aku membuka liontin hati tersebut dan terdapat sebuah foto anak laki-laki berusia sekitar 8 tahun. Siapa anak laki laki ini?.

“Ini kan…” Bunda termenung lama melihat foto anak dalam liontin tersebut seperti sedang mengingat sesuatu. Tetesan bulir bening itu mulai berjatuhan membasahi pipinya.

“Dimas..” Ujarnya lirih

“Bunda kenal sama anak itu?”. Tanyaku penasaran

“Ya, Bunda kenal ini Dimas almarhum kakakmu” Jawabnya sambil menghapus air mata. Aku terdiam antara percaya dan tak percaya juga antara mimpi dan kenyataan. Ada apa sebenarnya ini? teriakku dalam hati.

“Ia meninggal karena kecelakaan tepat satu hari sebelum kamu lahir, Dimas ingin sekali melihatmu lahir, melihat adiknya. Setiap malam ia selalu bertanya kapan kamu lahir dan kapan ia bisa bertemu denganmu. “Dan kalung ini…” Bunda semakin tak kuat menahan tangisnya “kalung ini ia beli dari uangnya sendiri. Ia sangat senang lalu meletakan fotonya di dalamnya dan ia juga ingin meletakan fotomu di sebelah fotonya dalam liontin hati ini. Maaf kan bunda yang baru cerita sekarang Ay”

Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya air mata yang keluar. Jadi kak Dimas adalah kakak kandungku yang sudah meninggal. Aku pun tak mengerti mengapa ayah dan bunda tidak pernah menceritakan bahwa sebenarnya aku mempunyai seorang kakak yang sudah meninggal.

“Kak hari ini ulang tahunku. Terima kasih atas hadiah yang Kakak berikan kepadaku. Aku akan meletakkan fotoku dalam liontin ini” Untuk pertama kalinya aku berziarah ke makam kak Dimas tepat di hari lahirku.

Cerpen yang berjudul "Setitik Kenyataan Dalam Sebuah Mimpi" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Intan Hanana. Kamu dapat mengikuti blog penulis di link berikut: hananazahra.blogspot.com.

Posting Komentar untuk "Cerpen Keluarga - Setitik Kenyataan Dalam Sebuah Mimpi | Intan Hanana"