Cerpen Cinta - Peri Cintaku | Ima Husnul Khatimah
Akhirnya sampai juga, batinku. Dalam
perjalanan tadi sungguh menyebalkan. Seperti biasa, di tengah senja jalanan ibu
kota pasti ramai dipadati pengunjung. Pengunjungnya bukan sembarang pengunjung,
tapi pengunjung yang antri karena kemacetan yang sudah menjadi santapan
sehari-hari di ibu kota negara kita.
Di saat macet seperti itulah kesabaran
kita di uji. Tapi tadi adalah saat-saat di mana kesabaran benar-benar di uji.
Masalah kemacetan sudah tiap hari kudapatkan, tapi sialnya tadi selain harus
berdesak-desakan dijalanan dengan kendaraan lain aku juga harus kedinginan
karena di guyur lebatnya hujan yang sudah beberapa bulan terakhir bermukim di
Jakarta.
Tadi aku berniat hendak berteduh dulu,
tapi tidak ada pilihan. Aku sudah terlanjur berada di tengah antrian padat
pengunjung. Mau bagaimana lagi, mungkin hari ini hari sial bagiku.
Di tambah lagi rembesan air hujan yang
tergenang di jalanan menambah kejengkelanku. cipratan air dari kendaraan lain
sudah mengenai pakaianku. Uhh menyebalkan!! Ini akibat drainase yang dipenuhi
oleh sampah-sampah akibat ulah manusia yang tak bertanggung jawab, yang
seenaknya membuang sampah tidak tepat pada tempatnya.
Di titik inilah kelemahan pemerintah di
ibu kota, terlalu lamban menangani masalah sampah dan kemacetan yang semakin
parah. Sadarlah wahai pemerintah, ini hanya secercil dari sebagian kecil
wilayah di indonesia, bagaimana bila seisi negara keadaanya semua sama dengan
kondisi ibukotanya?. Bila itu terjadi, aku yakin indonesia bukan lagi negara
yang merdeka, tetapi negara yang menderita akibat ulah warga dan pemerintahnya
sendiri.
Setelah mandi, segera aku ke meja
riasku. Tiba-tiba pandanganku tertumbuk di sebuah bingkai foto kecil berukuran
3R yang terpajang di dinding kamarku. Foto itu sudah hampir 5 tahun terpajang
di situ. Foto kenangan terakhirku bersama Artha di bawah pohon. Dewa Agung
Artha Radheva Krisvana, adalah sosok cowok yang pernah mengisi hatiku selama 2
tahun lamanya. Masih terekam kuat di memoryku masa-masa indah ketika kisah itu
masih terjalin. Berawal dari kecelakaan yang tak ia sengaja hingga membuat aku
mengenal dirinya.
Waktu itu aku tengah berdiam diri di
bawah pohon dekat taman sekolah. Aku hanya duduk memandangi kupu-kupu yang
sedang hinggap di salah satu kuncup bunga mawar yang sedang mekar. Tapi
tiba-tiba.. Bruukk!! Sesuatu menimpa kepalaku. Aku tak tahu jelas bagaimana
kejadiannya. Yang pasti ketika aku sadar, ku lihat aku telah berbaring di
tempat tidur dalam ruang UKS dan seorang cowok yang berdiri disebelahku.
“Maaf ya, tadi aku gak sengaja” ucap
cowok itu padaku.
“Emang tadi kenapa?” aku masih heran
mengapa aku bisa berada di atas tempat tidur di UKS ini. Yang aku ingat tadi
aku sedang bersantai di bawah pohon tapi tiba-tiba kepalaku terasa sakit dan
semuanya menjadi gelap.
“Tadi aku gak sengaja nimpuk kamu dengan
bola basket, tapi beneran itu gak sengaja soalnya tadi aku lagi latihan trus
bolanya terpantul ke arah kamu.” Jelas cowok itu panjang lebar.
“Gak apa-apa kok”
“Aku Artha, kamu siapa?” cowok yang
ternyata bernama Artha itu menyodorkan tangannya.
“Aku Aifa” aku menjabat tangannya.
Dan percakapanpun terjadi. Dari situ aku
tahu bahwa Artha itu anggota tim basket sekolah dan dia duduk di kelas XI 2,
kelas yang bertetanggaan dengan kelasku yaitu XI 1.
Lama kami berbincang tak terasa bunyi
bel tanda berakhirnya jam istirahat terdengar. Akhirnya aku dan Artha berjalan
ke kelas masing-masing yang hanya dipisahkan tembok. Setelah kejadian itu aku
dan artha menjadi sering bertemu, misalnya ketika jam istirahat atau jam
pulang. Kadang kami berjalan bersama menuju gerbang sekolah saat jam pulang.
Atau saat jam istirahat tiba, kami berjalan bersama menuju kantin. Artha itu
sifatnya humoris, dia juga baik. Tak jarang lesung pipiku dia buat semakin
dalam akibat tertawa karena guyonannya yang unik dan lucu.
Secara fisikly, sosok Artha banyak yang
mengagumi terutama siswi-siswi di sekolahan. Tak jarang aku minder bila ketika
aku berjalan bersamanya, tiba-tiba seluruh fansnya datang mengerumuni dia. Aku
sudah terlalu sering jengkel akibat peristiwa itu.
Anehnya, sejak sebulan mengenal Artha
aku merasa ada yang ganjil. Tiap dekat dengan dia, aku merasa nyaman. Tiap dia
tersenyum padaku, aku merasa senang. Tiap malam aku juga selalu memikirkan dia.
Inikah yang namanya cinta? Atau ini hanya sekedar suka? Aku tak tahu pasti,
yang aku tahu bahwa ini adalah suatu perasaan yang tak jelas. Perasaan yang
lebih dari sekedar kedekatan sahabat. Perasaan antara cinta dan suka. Kubiarkan
waktu yang menjawabnya saja. Dan saat itupun tiba. Waktu itu jam istirahat
sedang berlangsung, Artha datang ke kelasku dan mengaajakku berjalan-jalan
mengitari sekolah. Kemudian, di tengah perjalanan itu, dia berhenti dan duduk
di bawah pohon.
“Fa, istirahat dulu yuk. Capek nih.”
Ucap Artha mengajakku bersantai di bawah pohon itu.
“Fa, masih ingat gak waktu aku gak
sengaja nimpuk kamu pake bola basket dulu?”
Aku mengangguk dan tersenyum mengingat
kejadian yang lalu itu.
“Fa, di bawah pohon yang mempertemukan
kita ini, aku pengen bilang sesuatu. Ehm.. Fa, mau gak kamu jadi pacar aku?”
Dan akupun membisu. Tuhan, badanku
gemetaran, badan ini rasanya panas dingin mendengar Artha mengatakan hal itu.
Dan dunia rasanya beku. Aku tak tahu harus bagaimana. Entah apa yang aku rasa.
Perasaan antara kaget, senang, grogi, ah semuanya bercampur.
“Agh, enghh… aa.. aku..”
Bibirku rasanya terkunci. Apa yang harus
kujawabkan? Jujur saja aku masih merasa ragu untuk menerimanya. Aku takut akan
menjadi bahan pembicaraan semua siswi satu sekolahan.
“Fa.. Diammu aku artikan sebagai kata
Iya. Aku sayang kamu Fa” kecupan mendarat di pipiku. Artha kemudian berlari
meninggalkanku dengan senyuman manisnya.
Aku tetap saja terdiam dibuatnya. Di
tambah lagi dia baru saja memberiku kecupan di pipi yang begitu membuat duniaku
dingin. Oh tuhan, aku sudah yakin, perasaan yang sebelumnya aku tak tahu apa,
kini aku mengetahuinya. Ini adalah cinta. Yaa ini benar cinta. Akhirnya rasaku
terbalas juga.
Kini hari-hari yang ku lalui menjadi
lebih berwarna sejak kehadiran Artha dalam hidupku. Bahagia. Tentu itu yang aku
rasa. Tuhan sungguh aku berterima kasih padamu. Sampai suatu hari, tepatnya
hari minggu. Aku mengajak Artha untuk melihat pemandangan di puncak. Sayang,
aku harus mendengar penolakan dari Artha.
“Sayang maaf ya bukannya aku nolak atau
gak mau pergi sama kamu, tapi aku harus ke Pura” ucapnya melalui telephone.
Aku jadi kaget. Pura? Mau apa dia di
pura hari minggu?
“Lho mau apa di pura?”
“Aduh maaf sayang, aku lupa bilangin
kamu dari awal kalau aku umat hindu. Ya udah ya sayang, aku lagi buru-buru”
Telephone telah dia tutup. Sedang aku
masih terdiam. Pikiranku belum dapat mencerna perkataan Artha barusan. Hindu?
Ternyata Artha itu umat hindu? Entah mengapa perkataannya itu bagai petir yang
menyambar hatiku di pagi hari. Entah mengapa kata-kata itu membuatku terus
terdiam, padahal pikiranku saja kosong melompong. Aku tak tahu apa yang sedang
kupikirkan. Pikiranku rasanya tak jelas.
Dua tahun sudah hubunganku berjalan
dengan Artha. Suatu sore, hari itu adalah sehari sebelum pengumuman kelulusan,
aku dan Artha datang ke sekolah sekedar untuk jalan-jalan. Artha mengajakku
duduk di bawah pohon tempat di mana aku dan ia bertemu sekaligus tempat aku dan
dia menjalin cinta. Sambil berfoto-foto kami juga ngobrol-ngobrol.
“Fa, kamu bisa gak melihatku dekat
dengan cewek lain?” pertanyaan itu tiba-tiba ia lontarkan, dan membuat aku
terkaget. Aku diam, tak tahu harus menjawab apa.
“Fa, kamu marah ya aku nanya gitu?
Sayang maaf”
Aku kemudian tersenyum dan berkata
“Sayang, kalau cewek itu bisa buat kamu bahagia, kenapa tidak? Aku malah senang
melihatmu bahagia walau bukan denganku”
“Fa, misalnya kita gak jodoh gimana?”
lagi-lagi pertanyaan yang sebenarnya mengiris hatiku kembali dia katakan.
“Gak masalah, jodoh udah di atur sama
yang di atas kok” senyumanku kali ini rasanya lebih berat dari yang sebelumnya.
“Aifa, aku mau kamu tahu kalau aku
sayang sama kamu, bagaimanapun itu aku tetap sayang sama kamu. Sebelumnya aku
minta maaf Fa kalau ini membuatmu tersakiti. Ini bukan mauku, aku juga gak bisa
mengatakan tidak terhadap hal ini. Sayang, orangtuaku ingin aku mengakhiri
hubungan denganmu karena keyakinan kita berbeda. Dan aku akan pulang ke Bali
untuk meneruskan hidupku. Aifa, aku sayang kamu”
Hal yang sudah lama aku duga akhirnya
menjadi kenyataan juga. Dan kata pisahpun terucap.
Kembali aku terbisu. Hanya linangan
airmata yang mampu ku keluarkan. Tak sepatah katapun ku ucapkan setelah
mendengar perkataan Artha. Aku lihat Artha berlari meninggalkan ku sendiri dengan
mulut terkunci dan derasan hujan dimataku. Seketika itu juga aku ingin waktu
berhenti. Keterpurukan mendalam menimpaku.
Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang
berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta
takkan bisa pergi
Lirik lagu Marcell Siahaan yang berjudul
Peri cintaku merupakan perumpamaan kisah cintaku. Liriknya begitu menembus
dalam hatiku. Kini Peri Cintaku yang dulu mewarnai hidupku telah pergi. Membuat
hari-hariku tak berwarna lagi. Hari-hariku sepeninggalnya Peri Cintaku akan
hampa seperti sebelum kehadirannya dulu. Kini terjawab sudah semua tanda tanya
yang tak jelas dalam firasatku. Karena benteng yang begitu tinggi menjadi
pemisah antara aku dan dia, hingga kisah cinta yang telah terbangun harus rubuh
dan berakhir sampai di sini. Keyakinan yang memisahkanku dengan Artha selalu
membuatku bertanya-tanya, Adilkah ini?
Keesokan harinya saat pengumuman
kelulusan, aku tak melihaht Artha. Kudengar kabar bahwa memang dia telah pindah
di Bali. Sejak saat itu aku mengurung diri. Kamar menjadi istanaku. Makanpun
aku tak nafsu. Sampai aku harus di opname di rumah sakit untuk beberapa minggu.
Setelah keluar dari rumah sakit, teman-teman dan keluargaku terus saja
menghiburku. Membantuku untuk mengembalikan senyumku, tapi itu percuma. Sampai
suatu waktu, hatiku rasanya terbuka akan kenyataan. Kini artha hidup dengan
kehidupannya, dia telah tiada dalam kehidupanku. Aku harus kuat akan hal itu.
Aku harus membuktikan perkataanku bahwa aku akan bahagia bila melihatnya
bahagia. Walau kini sosoknya tak lagi mewarnai hidupku, tapi kenangan akan
dirinya akan selalu tersimpan di memoryku. Ya aku harus tegar! Perjalananku
masih panjang. Sampai saat ini aku sudah terbisa tanpa Artha. Meskipun hatiku
sampai saat ini belum terisi, tapi aku yakin suatu saat nanti akan ada sosok
yang hadir dalam hidupku sebagai pengganti Artha, sosok yang akan mewarnai
kehidupanku kelak.
Mentari telah hadir kembali untuk
melaksanakan tugasnya menyinari bumi. Diiringi siulan burung yang bernyanyi
beserta rerumputan segar yang menari-nari. Hari ini adalah hari wisudaku. Tak
terasa aku akan menjadi sarjana dengan gelar sarjana kedokteran. Rasanya senang
sekali telah berhasil mewujudkan cita-citaku yang telah kuimpi-impikan sejak
kecil untuk menjadi seorang dokter. Dan hari ini gelar dokter tersebut akan
menjadi titel yang melengkapi papan namaku nantinya. Di gedung tempat acara
tersebut berlangsung aku bersama ibu dan ayahku menunggu detik-detik
pelepasanku dari gelar mahasiswa menjadi seorang sarjana.
Acara tersebut berlangsung dengan
lancar. Ibuku sempat meneteskan air mata menyaksikan saat penyematan topi
sarjanaku oleh rektor kampusku. Setelah acara selesai, aku dan keluargaku
berniat untuk pulang. Tapi saat kami hendak masuk ke dalam mobil, sosok pria
bertopi yang wajahnya tak tampak menghalangi jalan kami. Ayahku marah dan
hampir saja memukul pria itu, tapi tiba-tiba pria itu melepas topinya, dan..
“Aifa..” pria itu adalah Artha.
Sungguh aku tak menyangka. Kembali aku
merasa bisu. Artha? Ya Allah, benarkah dia Artha? Benarkah ini bukan mimpi
semata? Aku tak tahu harus bagaimana. Kedua orangtuaku juga terdiam.
“Aifa aku ingin melamarmu. Aku ingin
menikahimu, dalam islam. Aku sudah sah menjadi muslim sayang. Kini kita bisa
bersama”
Dan petirpun menyambarku. Petir yang
begitu menggetarkan hatiku. Pikiranku tentu tak dapat mencerna apa yang sedang
terjadi dan apa yang barusan diucapkan Artha. Beribu tanda tanya tentu masih
menghiasi kepalaku. Tidak!! Ini pasti mimpi! Ya aku yakin ini mimpi. Rasaya
kepalaku berat sekali, dan semua kaburr, gelap…
Ketika terbangun, aku melihat aku sudah
berada di atas tempat tidurku di rumah. Apa yang terjadi barusan? Pasti tadi
hanya mimpi, yaah hanya mimpi. Tapi bila itu mimpi, mengapa saat ini aku masih
mengenakan seragam wisudaku? Bagaimana dengan Artha? Tak mungkin bila ia hadir
kembali stelah hampir 5 tahun lamanya dia meninggalkanku. Aku terus saja
bertanya kebingungan dalam hatiku.
“Nak, apa kau sudah merasa baikan?”
tanya ibu yang baru masuk ke dalam kamarku.
“Apa yang terjadi bu? Aku tidak
mengerti. Ada apa sebenarnya?”
Ibu masuk, dan ternyata ada Artha di
belakangnya. Oh tuhan ini benar-benar bukan mimpi. Perasaanku tiba-tiba campur
aduk, senang, sedih, marah, bahagia, dan tidak menentu.
“Fa.. boleh aku jelaskan semuanya?” ucap
Artha sambil duduk di pinggiran ranjangku. Aku hanya terdiam, aku masih tak
sanggup berkata-kata.
“Fa, 5 tahun aku meninggalkanmu dan
kemudian kembali padamu, itu bukan tanpa alasan. Tapi selama 5 tahun ini aku
harus kuliah di Australia, aku gak mungkin membiarkanmu menungguku begitu lama.
Jadi ku putuskan untuk berbohong, tapi sebelumnya aku memang berniat untuk
menjadi muslim sejak mengenalmu. Sejak kau ajarkan aku tentang islam, di situ
sepertinya pintu hatiku begitu terpikat pada islam. Hingga aku putuskan,
selepas dari kuliah, aku akan menjadi muslim dan akan melamarmu. Would you
marry me honey?”
Rasanya aku tak sanggup lagi menahan air
mata yang sejujurnya dari tadi telah terbendung ini. Hujanpun mengalir deras di
pipiku. Hujan kebahagiaan. Sungguh aku merasa bahagia mendengar penjelasannya.
Sekarang aku telah yakin ini bukan mimpi. Tapi, masih terbersit rasa keraguan
di hatiku.
“Ta.. tapi, bagaimana dengan orang
tuamu?” pertanyaan itu yang sedari tadi juga membendung di pikiranku.
“Orangtuaku sudah mengikhlaskan aku
berpindah keyakinan. Kini, aku hanya minta jawabanmu tentang pertanyaanku tadi”
Jujur, aku masih bingung dengan semua
ini. Kupalingkan wajahku pada ibu yang duduk di meja riasku, ibu hanya
tersenyum dan mengangguk.
“Iya, aku mau”
Akhirnya pernikahan kamipun berlangsung.
Orang tua artha juga datang dan menjadi saksi dipernikahan kami walau kini telah
berbeda keyakinan dengan anaknya. Tapi tergambar jelas di raut wajah kedua
orang tua artha bahwa mereka tampak bahagia melihat anaknya mempersuntingku.
Terimakasih Tuhan, aku yakin inilah jawaban atas segala penantianku dan balasan
dari segala cobaan yang dulu telah Kau berikan.
Kini seminggu sudah rumah tanggaku dan
Artha berjalan. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Aku tak tahu apa
itu. Suatu firasat yang hendak menyampaikan sesuatu. Hari ini adalah hari
minggu, Artha meminta ijin untuk keluar membeli sesuatu di Mall, tanpa rasa
curiga aku ijinkan. Sampai larut malam, ia tak kembali juga. Aku sangat cemas
dan gelisah. Sudah ku coba menghubungi nomer telephonenya, tapi tak aktif.
Kutanyakan pada orangtuaku, teman-teman, sampai client-client yang akrab
dengannya. Dan hasilnya nihil.
Tepat jam 12 malam, kedua orang tuaku
tiba-tiba datang kerumahku dan mengajakku terbang ke Bali. Ada apa ini? Aku
makin cemas saja. Berulang kali aku bertanya pada kedua orang tuaku ada apa?
Mengapa? Tapi bibir mereka terkunci rapat. Segala firasat yang tidak-tidak
terus menghantuiku. Rasa cemasku begitu menggunung, penasaran,tentu itu juga
yang kurasakan. Dalam perjalanan di pesawat, firasat buruk terus mendominasi
dalam pikiranku. Hingga 20 menit kemudian, saat sampai di bandara, aku merasa
firasat ini makin menjadi-jadi. Beri aku petunjuk Tuhan, apa yang telah terjadi
sebenarnya.
Ayah dan ibu membawaku ke rumah yang aku
tak tahu rumah siapa. Berkibar kain kuning depan rumah yang tampak mewah itu.
Aku makin penasaran dibuatnya, siapa gerangan pemilik rumah itu? Siapa gerangan
yang meninggal dunia di rumah itu? Mengapa ayah dan ibu mengajakku ke rumah
yang tengah berduka ini?. Ketika memasuki pagar rumah tersebut, kecemasan
hatiku makin meluap-luap. Ayah membunyikan bel rumah itu, dan seseorang yang
tampaknya adalah pembantu yang membukanya. Ayah di sambut seseorang, wajah
orang itu tak asing dimataku. Tapi aku lupa siapa Orang itu merangkul ayah.
Sedang seorang wanita datang lalu memeluk ibu. Aku makin heran.. Saat wajahku
ku palingkan pada dinding rumah tersebut, mataku tertumbuk pada sebuah foto
berukuran besar yang dikalungi bunga.
Dan duniaku pun beku. Kulihat foto itu
adalah foto Artha, disamping foto itu ada karangan buka berduka cita yang
tertulis “Turut berduka cita atas kematian Dewa Agung Artha Radheva Krishvana”
Tuhan, aku harap ini adalah mimpi. Aku tak ingin bila ini kenyataan. Tuhan, ini
benar mimpikan? Otot-otot akiku tiba-tiba melemas semua. Rasanya untuk
berdiripun aku tak sanggup, apalagi harus menerima kenyataan terpahit ini.
Cucuran air mata telah mengalir deras di pipiku. Semuanya nampak gelap, rasanya
sesak dan pengap. Kakiku tak dapat lagi menopang berat tubuhku, akhirnya aku
terjatuh dan tak sadarkan diri.
Setelah tersadar, kedua orang tua Artha
duduk disampingku dengan mata sembab. Mereka memberikanku sebuah amplop yang
berisi sesuatu. Tampak orangtuaku juga tengah berlinangkan airmata. Dengan
tangan yang gemetaran, aku perlahan membuka amplop itu dan membaca isinya.
“Dear Aifa, istriku tersayang..
Aku minta maaf atas semua kebohonganku
padamu selama ini. Sebenarnya aku ingin mengatakan yang sebenarnya dari awal
kita berpacaran. Tapi aku takut kehilanganmu terlalu dini. Maaf bila segala
dustaku telah menyakitimu. Tapi ini ku lakukan karena aku tak ingin melihatmu
tersiksa lebih awal. Lima tahun yang lalu saat aku meninggalkanmu, sebenarnya
aku tak pergi ke Australi untuk kuliah, tapi aku ke Australi untuk berobat.
Karena penyakit kanker otak stadium 3 yang telah menggerogoti hidupku sejak
SMP. Jujur Fa, kamu adalah pacar pertamaku, sekaligus pacar terakhirku. Mungkin
aku belum pernah mengatakan itu padamu, tapi kini aku telah mengatakannya. Aku
tak pernah berpacaran dengan cewek manapun sampai aku mengenalmu, di saat
itulah aku baru mengetahui tentang cinta. Mengetahui apa itu cinta, tahu apa
itu sayang, tahu apa itu kasih. Dan kamu yang mengajariku semua itu. Fa,
seminggu sebelum pernikahan kita, dokter yang merawatku telah memvonis aku
hanya bisa bertahan hidup beberapa minggu lagi. Maka karena itu aku memohon
pada orangtuaku agar aku diijinkan memeluk islam dan segera melamarmu sebelum
hembusan nefas terakhirku. Sayang, maaf karena aku pergi tanpa pamit darimu.
Pagi tadi aku sudah merasa bahwa ajalku sudah sangat dekat, jadi kuputuskan
untuk segera kembali ke Bali agar aku bisa dimakamkan di kampung halamanku.
Surat ini aku tulis saat aku tengah di pesawat menuju Bali, sebagai pengakuan
atas semua kebohonganku selama ini. Terakhir ku ucapkan, Aifa you’re the love
of my life and my death.
(Tertanda) Artha, yang tengah melihatmu
sambil tersenyum dari surga”
Tuhan, inikah rencanamu padaku? Inikah
kata keadilan yang Kau tujukan untuk hidupku? Mengapa Engkau mengembalikannya
bila akhirnya Kau kembali mengambilnya untuk selama-lamanya? Jika ini memang
suratan takdir yang telah Kau gariskan untukku, aku akan coba ikhlas. Ku coba
menghadapi takdirku dengan senyum, walau diiringi kepedihan dan air mata.
Artha telah meninggalkanku
selama-lamanya. Kini senyumannya, canda tawanya, dan guyonannya telah ikut
pergi bersama dirinya di alam sana. Tapi, nama dan kenangan tentang dia tak
akan pernah lekang oleh waktu.
Biarlah kusimpan sampai nanti aku kan
ada di sana
Tenanglah dirimu dalam kedamaian
Ingatlah cintaku, kau tak terlihat lagi
Namun cintamu abadi
Kau adalah peri cintaku, pemberi warna
dalam hidupku. Walau kini kau tak di dunia ini lagi, tapi aku yakin suatu saat
nanti kita akan bersama di dunia lain. Mautlah yang memisahkan kita, dan maut
pula yang akan mempertemukan kita.
Cerpen yang berjudul "Peri Cintaku" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Ima Husnul Khatimah. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di link berikut: iieemha my’first may.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Peri Cintaku | Ima Husnul Khatimah"