Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Inspiratif - Pembuktian | Triyana Aidayanthi

Pendiam tapi menyenangkan, itulah aku, versi diriku sebulan yang lalu. Ya, andai saja mahasiswa jurusan sastra Indonesia itu tidak PKL (Praktek Kerja Lapangan) di sekolahku, tepatnya di kelasku. Hari ini harusnya ulangan bahasa Indonesia dari Ibu Dewi, guru favoritku. Namun nasibku sungguh malang, Ibu Dewi tidak bisa mengajar karena harus menghadiri rapat tiba-tiba yang diadakan di luar kota. Itu kata Pak Udi, pesuruh sekolah. Sebagai penggantinya, seorang mahasiswa yang harusnya praktek di kelas sebelah, dipindahkan praktek ke kelasku.

Sebelum aku bernafas untuk ketidakhadiran Ibu Dewi, mahasiswa itu nyelonong ke kelas kami tampa menyapa atau sekedar basa-basi. Semua teman cewekku nampak terpukau karena mahasiswa itu adalah seorang cowok. Tidak ganteng menurutku, ia hanya menang memakai pakaian bermerk, yang meski tertutup jas prakteknya masih saja kelihatan. Dinda yang duduk di depanku tak henti-hentinya memuji.

“Selamat pagi, adik-adik SMA!” ia baru menyapa, mungkin baru ingat.

“Pagi Pak!!” balas mereka tapi tak termasuk aku. Aku diam saja di pojokan. Masa bodoh. Aku tetap asyik dengan novel hadiah dari Ibu Dewi. Aku berhenti di halaman 57.

“Hey! Kamu yang duduk paling pojok!” makhluk itu bersua lagi. Pertanyaan yang ambigu. Pojok mana? Masih tak kuhiraukan. Aku melanjutkan halaman 57 lalu 58, 59, 60. Nampaknya ia mulai naik darah. Sempurna!

“Kamu yang baca novel!” aku melirik sepintas. Matanya penuh kemarahan. Segera ia pasti menelanku bulat-bulat, mentah-mentah.

“Ah.. iya. Saya enaknya panggil Bapak atau Kakak?” balasku. Mata seisi ruangan menatapku. Pasti ada di antara mereka yang ingin tertawa, namun tertahan, mungkin takut ikut tertelan seperti aku nanti.

“Tidak sopan bicara dengan tamu!” bentaknya. Ia tak sedang berada di rumahku. Jadi bukan tamu. Iya, kan? Ku balas dengan hembusan nafas pendek, pelan.

“Saya sempat bicara dengan guru BK. Kamu termasuk murid yang bandel di sekolah ini. Suka bertingkah” seenak perut gue”, sering buat onar, dan masih banyak lagi.” Jelasnya. Seharusnya ia langsung menjelaskan materi bahasa Indonesia di depan kelas. Bukannya membeberkan keburukan orang yang sudah menjadi rahasia umum.

“Anda hanya membuang-buang waktu kami dengan mengexpose segala kekurangan saya di depan teman-teman saya. Mereka sudah bosan. Benar begitu, kan?” teman-temanku mengangguk dengan mantap! Kemenangan di tanganku.

“Baiklah. Bisakah sekarang kamu keluar dari kelas ini? Ya. Untuk mempersingkat waktu.” Duarrr…!! Gunung berapi yang sedang aktif di Amerika telah meletus, suara letusannya terdengar sampai ke telingaku.

“With my pleasure, Sir!” balasku. Untuk mempersingkat waktu, segera kuambil tas dan novelku. Sambil melempar senyum kepada semua mata di ruangan itu, ku tutup pintu bercat coklat itu dari luar. Kemenangan beranjak sebentar dari tanganku.

“Kamu belum berubah, ya…” tiba-tiba Putra, kapten basket plus sepupuku nongol dengan wajah berseri-seri menyodorkan sebuah amplop coklat kepadaku. Segera ku buka. Photograph Scolarship. Oh my God! Sesuatu terasa keluar dari ragaku.

“Hadiah untuk Titannia yang bandel, hobbi buat onar, namun punya sebuah bakat istimewa!” pujinya.

“Ka.. ka.. kamu dapet dari mana? Rumahmu didatengin UFO, ya, kemarin? Aliennya ninggalin ini?”

Putra menertawaiku, mengacak-ngacak rambutku.

“Tuhan yang menggerakkan hati pihak universitas untuk mencantumkan namamu dalam daftar penerima hadiah istimewa ini. Congratuations!” aku masih belum percaya. Catatan merah di raport untuk keperibadianku, semua nilai kecuali bahasa Indonesia yang biasa saja, dan ketidakpercayaan mereka. Namun, sekarang hal yang diragukan semua orang sudah pasti dalam genggamanku. Ya, Tuhanku, entah apa mimpiku kemarin, entah apa itu. Aku tak bisa membalas lebih dari ini.

“Thanks so much, My dear God!”

“Segala keperluan keberangkatan kamu nanti, sudah disiapkan oleh mereka. Kamu cukup memperlihatkan prestasimu!”

“Aku akan sangat, sangat merindukanmu, Putra!! Merindukan segala keonaran yang pernah kita ciptakan dulu, juga segala keributan di dunia kita ini!!” aku memeluknya erat, takkan melepaskan si kecil lemah, penakut, dan cengeng nan manja yang sering kutindas dulu.

“Kamu akan meninggalkan sekolahmu? Atau menunggu sampai lulus?” Putra menanyakan kebimbangan dalam hatiku. Keduanya teramat sangat penting, namun yang terpenting adalah tidak membuang-buang waktu.

“Selamat, sayang!!” Ibu Dewi datang dengan sebuah kotak cukup besar di hari perpisahan khusus untukku yang disponsori oleh Putra. Teman-temanku turut ikut andil dalam mendekorasi. It’s so amazing! I can’t stop saying thanks!

“Ini novel yang ibu koleksi semasi SMA dulu. Untuk menemai kamu di sana nanti.” Ia memelukku erat, takkan melepaskan gadis badung ini. Kurasa seperti sedang dalam dekapan hangat seorang ibu yang selama ini aku impikan. Aku berhasil keluar dari masa-masa sulitku saat dunia menekanku yang sebatang kara ini. Namun Ibu Dewi hadir, ia memang seorang dewi untukku. Ia mendekapku erat di saat segala jenis senjata tajam menusuk ragaku yang rapuh ini. Ia mengirim Putra, yang ternyata adalah sepupuku, dan mematahkan pernyataan dunia, aku bukanlah jiwa sebatang kara. Aku punya Tuhan, aku punya Putra, dan seorang dewi, ya, Ibu Dewi.

“Ayah.. Ibu.. aku masih merindukan kalian, masih sampai kapanpun! Semoga saat aku berada di udara, Tuhan mengizinkanku melihat wajah kalian..” dan pesawat telah terbang. Meninggalkan tanah penuh kenangan itu menuju tanah baru. Aku akan memulai membangun kenangan baru di sana.

“Sudah seminggu, Titannia tidak masuk sekolah. Dia bolos? Atau mungkin sudah sadar akan kesalahannya?” Dinda menirukan perkataan mahasiswa itu di telepon. Aku hanya tersenyum, tak berkomentar untuk kenangan masa lampau. Aku sedang menata masa depanku.

“Lalu?”

“Lalu…. ia menahan malu yang teramat sangat! Saat Roni memecah kesunyian..”

“Pak, mohon maaf, saya lupa.” Sambil menyodorkan sebuah amplop bertuliskan,

Untuk: Teman-temanku, dan Guru yang sedang mengajar.

Dari: Titannia

“Dia mendapat beasiswa di Amerika, Pak.” Kata Dinda menirukan perkataan Roni.

“Lalu?”

“Lalu ia diam. Beruntung bel pulang sekolah kemudian berbunyi.”

Cerpen yang berjudul "Pembuktian" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Triyana Aidayanthi. Kamu dapat mengikuti twitter penulis di akun berikut: @_triyanaa.

Posting Komentar untuk "Cerpen Inspiratif - Pembuktian | Triyana Aidayanthi"