Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Cinta - The Valuable Shadow | Ifarifah

Braaak!!!

Aku langsung berlari menghampiri asal suara itu. Terlihat seorang gadis tergeletak di pinggir jalan dengan posisi setengah badan tertindih motor yang dikendarainya.

“Kamu baik-baik saja?” Tanyaku sambil mendirikan motornya. Jalanan ini sangat sepi, kulirik kanan kiri ternyata memang tidak ada orang lain selain aku dan gadis dihadapanku ini.

Ia menatapku dengan tatapan aneh. Semacam bingung dan kaget. “Ya” Jawabnya singkat. Namun wajahnya sangat terlihat menahan nyeri. Kubantu ia berdiri dan kutuntun ke bangku yang kebetulan berada didekat kami.

“Sebentar ya” Ucapku sambil berlari menjauh. Tak lama aku kembali dengan sekantong plastik yang berisi obat-obatan dan sebotol air minum. Namun gadis itu tidak ada di tempat. Kuedarkan pandangan ke sekitar dan motornya pun juga tidak ada. Kemana dia? Aku mencari ke sekeliling tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Mungkin ia sudah merasa baikan… atau jangan-jangan dia mengira aku akan melakukan hal jahat kepadanya? Apakah wajahku sekriminal itu? Ya biarlah. Aku berbalik badan dan berjalan ke tempat mobilku parkir.

Di jalan aku masih penasaran dengan gadis itu. Aneh, kenapa dia pergi? Aku hanya berniat membantu. Atau… dia di culik? Ah tidak mungkin. Tapi aku juga mengingat tatapan gadis itu. Seperti melihat buronan polisi yang sudah berpuluh-puluh tahun belum tertangkap. Tiba-tiba handphoneku bergetar menandakan panggilan masuk. Ku lihat sejenak nama yang muncul.

“Ya?”

“Permisi Pak” Ucapku sopan sambil mengetuk pintu ruangan Pak Gery, salah satu dosenku. Sebelumnya, Faris –teman dekatku- menelepon ia mengatakan bahwa Pak Gery mencari dan menyuruhku menemuinya. Mungkin membicarakan masalah yang masih sama.

“Ya masuk!” Pintanya

“Ada keperluan apa bapak mencari saya?” Tanyaku sambil menarik kursi tepat didepannya

“Ada apa denganmu? Lihat jumlah absen dan nilai-nilaimu sama sekali tidak menunjukkan peningkatan!” Balasnya sambil menyodorkan beberapa kertas kepadaku. Dosen satu ini memang sangat memperhatikanku dan selalu menganggapku lebih dari mahasiswa lainnya. Mungkin karena beliau adalah salah satu kerabat keluarga. Awalnya aku merasa sedikit senang karena aku mengira beliau akan memberiku sedikit nilai tambahan tapi kenyataannya tidak sama sekali. Beliau justru selalu mengajakku berdebat tentang hal yang sangat tidak menarik. Lama-lama aku merasa jengah dengan dosen satu ini.

“Itu kemampuan saya” Jawabku sekenanya

“Bohong!” Kelaknya cepat. “Kamu pasti bisa jauh lebih baik dari ini. Ingat Adrian, darah hukum mengalir di dalam darahmu” Tambahnya

Kuhembuskan napas sebal mendengar argumennya barusan. Selalu seperti itu. Semua mengira inilah minatku. Semua mengira dunia hukum adalah duniaku. Mereka salah besar!

“Adrian, saya yakin kamu pasti bisa seperti mereka”

Aku sangat mengerti ‘mereka’ yang dimaksud dosen di depanku ini. “Saya harap juga begitu” Jawabku singkat.

“Percayalah, 5 tahun kedepan akan muncul Suroyoso baru!” Kata Pak Gery antusias. Perkataan beliau hanya kubalas dengan senyum kecil.

“Perbaiki semuanya!”

“Baik pak!” Jawabku sambil sedikit menganggukan kepala

Setelah keluar dari ruangan Pak Gery, aku berjalan menelusuri koridor kampus. Mataku menatap satu-persatu ubin keramik yang ku lewati. Semua seperti terkunci. Aku merasa seperti burung yang berada dalam kurungan emas. Dari luar, orang lain memandangku dengan tatapan kagum. Tapi aku tahu, kekaguman mereka tak lain karena kurungan emas itu, bukan karena diriku sendiri. Mereka mengira aku adalah burung istimewa karena berada dalam kurungan mahal dan elegan itu. Tapi apa mereka pernah melihat diriku sendiri? Apa mereka pernah memikirkan betapa inginnya aku keluar dari kurungan sialan itu? Betapa inginnya aku merasakan udara di luar sana? I just an ordinary bird which want to fly away around the sky. I need freedom!

Langkah ku terhenti di taman yang berada di antara gedung Fak. Hukum dan Fak. Olahraga. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, taman itu cukup ramai. Kuhempaskan tubuhku di rerumputan hijau. Ku keluarkan headset dan Ipod dari saku kemeja. Kemudian kukaitkan headset itu ke kedua telingaku. Mengalun sebuah lagu dari simple plan. Astronout.

Can anybody hear me?

Am I talking to my self?

My mind is running empty

In the search for someone else

Lirik itu. Sangat cocok untuk pikiranku saat ini. Semua hanya melihat dari sudut pandang mereka tanpa pernah memikirkan dan mendengarkan ku. Semua mengira ini yang terbaik, tapi bukankah hanya orang itu sendiri yang mengetahui sesuatu yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri? Tapi mengapa aku merasa seperti tidak mempunyai andil dalam hidupku sendiri? I have a dream and i want make it happen. Aku tidak perlu disetir seperti ini.

Cause tonight i’m feeling like an astronout

Sending SOS from the tiny box

And i lost all signal when i lifted up

Now i’m stuck out here and the World forgot

Can i please come down?

Apa gunanya memiliki cita-cita dan mimpi bila akhirnya tidak dapat kita raih? Bahkan kita tidak diijinkan untuk berusaha meraihnya. Apa aku harus berjalan setengah hati seperti ini selamanya? Apa benar ini yang terbaik? Atau apakah aku harus memilih jalan lain yang menyimpang? Entahlah. Selama ini aku belum berani mencoba untuk mengutarakan lagi tentang jalan menyimpang yang aku inginkan ke orang lain, termasuk ke kedua orang tuaku. Aku takut mengecewakan mereka lagi, khususnya Mama. Tapi jika ini diteruskan aku juga takut masa depanku terancam dan itu akan membuat mereka lebih kecewa. What does way i have to choose?

Kukeluarkan buku gambar dan pensil dari dalam ransel. Ku goreskan pensil itu di atas kertas. Kubiarkan tanganku bergerak dengan sendirinya berdasarkan perasaanku saat ini. Kuluapkan semua emosi, kebingungan dan kegundahan ku di kertas ini. Hanya menggambar yang membuatku tenang karena aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa berpura-pura. Aku tidak merasa tertekan saat menggoreskan garis demi garis di kertas gambar. Aku sangat menikmati semuanya. Dan inilah yang kuinginkan. Inilah dunia yang sebenarnya, menurutku. Namun, tidak ada yang mendukungku di bidang ini bahkan kedua orang tuaku sangat menentangnya.

Kuhembuskan napas perlahan. Goresan terakhir. Kutatap lekat kertas gambar ditanganku. Seekor burung di dalam sangkar dan beberapa burung lainnya berterbangan bebas di langit. Tiba-tiba sebuah perasaan menyeruak dalam diriku, entah perasaan yang tidak dapat dideskripsikan. Perasaan yang muncul setiap selesai memindahkan sebuah objek apapun ke kertas gambar. Kuarsir tipis beberapa sisi. Spontan bibirku tertarik keatas menciptakan sebuah senyuman kecil.

“Hai”

Kudongakkan kepala. Aku terperangah ketika mengetahui asal suara itu. Setengah terkejut dan heran. Ya gadis itu. Gadis misterius beberapa hari yang lalu.

“Hai…?” Ulangnya lagi dengan nada menggantung

Aku masih terdiam. Terlalu sibuk dengan pertanyaan yang berkelibat dikepalaku.

“Masih ingat aku?” Tanyanya ragu

“Iya” Jawabku singkat sambil tersenyum untuk mengurangi kecanggungan di antara kami

“Sorry, kemarin aku langsung pergi tanpa pamit dan tanpa ucapan terima kasih. Terimakasih banyak ya!” Ucapnya dengan nada sedikit bersalah

“Oh itu no problem! Kamu mahasiswi di kampus ini?” Tanyaku sambil menggeser posisi dudukku

“Iya. Aku mahasiswi psikologi” Jawabnya. Kemudian ia mengambil posisi duduk di sebelahku.

“Adrian. Kamu?” Kataku sambil mengulurkan tangan

“Khenza” Jawabnya sambil membalas uluran tanganku. “Adrian Suroyoso” Tambahnya

Dia tahu nama lengkapku? Seingatku, aku belum pernah berbincang dengan gadis ini sebelumnya.

“Siapa sih yang nggak kenal kamu? Cucu dari keluarga Suroyoso” Ucapnya tiba-tiba seakan-akan membaca pertanyaan dipikiranku

Aku tersenyum kecut mendengarnya. Memang benar, siapa yang tidak mengenal Arif dan Henry Hadi Suroyoso. Pasangan ayah dan anak yang sangat kompak. Mereka berdua adalah pengacara handal yang mungkin bisa dibilang tersukses di negeri ini. Sebenarnya aku tidak peduli tapi yang membuatku harus peduli, mereka adalah kakek dan ayah kandungku. So they think I have to be same like them.

Dan aku mengingat sesuatu. Tatapan Khenza saat melihatku ketika kecelakaan itu. Mungkin ia terkejut melihat aku yang datang menolongnya.

“Ehm….”

Khenza berdeham. Mungkin dia merasa canggung dengan kediamanku. Aku menoleh ke arahnya dan hanya tersenyum kecil.

“Ini gambaranmu?”

“Bukan” Kelakku cepat sambil menutup buku gambar dipangkuanku.

Khenza tersenyum. “Kamu tidak pandai berbohong” Ucapnya di sela-sela senyum dibibirnya

Aku menatapnya heran. Mengapa dia bisa tahu? “Maksudmu?” Tanyaku

“Kamu lupa aku mahasiswi psikologi?”

Bodoh! Pasti dia bisa membaca dari mata atau dari bahasa tubuhku ataupun dari nada ku yang sedikit meninggi. Kenapa aku bisa seceroboh ini?

“Keren!

“Apanya?”

“Gambaranmu”

Aku hanya tersenyum

“Kalau aku boleh menebak, apakah kamu tertekan?” Tanyanya sambil menatapku

“Tertekan? Tertekan seperti apa?” Jawabku dengan berusaha mengeluarkan nada sedatar mungkin. Walaupun sebenarnya aku sangat terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkannya “I’m fine!” Tambahku

“Entahlah. Setiap goresanmu terlihat cukup jelas kalau kamu tertekan”

“Itu hanya goresan. But reality, i’m okay”

Khenza menatapku lekat. Seperti ingin mengorek sesuatu. “Tapi sorot matamu seperti menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang menurutmu sangat berarti.” Ucapnya serius

Aku terkejut. Gadis ini bisa membaca semua itu. Apakah itu sangat mudah terlihat baginya? Aku hanya diam. Gadis ini sungguh…

“Ehm.. sorry aku terlalu lancang” Ucapnya dengan salah tingkah. “Aku harus pergi, terimakasih sebelumnya”. Khenza bangun dari duduknya dan langsung pergi tanpa sempat aku membalas ataupun mencegahnya.

“kamu benar. Yang kamu katakan benar Khenza!” Batinku

Beberapa minggu setelah perbincangan singkatku dengan Khenza aku tidak pernah melihatnya lagi. Mungkin karena letak gedung fakultasku dengan fakultasnya berjauhan. Tapi sebenarnya jauh dari dalam diriku aku ingin berbincang lebih lama dengannya. Entah rasanya seperti aku ingin mengeluarkan semua kegundahanku selama ini kepadanya. Tapi aku sedikit ragu karena aku baru mengenalnya beberapa hari yang lalu dengan pertemuan yang singkat.

Langkahku terhenti. Aku menemukannya. Ya Khenza, aku melihatnya duduk sendirian di taman. Akhirnya!

“Hai” Ucapku ketika berdiri di sampingnya

Ia mendongakkan kepala. Lagi-lagi ia memandangku dengan tatapan aneh. Bahkan kali ini sangat aneh, aku bingung membaca ekspresinya kali ini.

“Ada yang salah?” Tanyaku memastikan

Kali ini ia menundukkan kepala. Ia hanya diam.

“Khenza?”

“Ya?” Balasnya sambil mendongakkan kepala

Kuhempaskan tubuhku di sebelahnya. Aku memandangnya lekat, ada yang salah dengannya kali ini. Wajahnya sangat pucat. “Kamu sakit?” Tanyaku

“Tidak” Jawabnya singkat dengan tersenyum kecil

“Tapi wajahmu sangat pucat?”

“Bukannya kamu ada kelas?” Jawabnya mengalihkan pertanyaanku

“Darimana kamu tahu?”

“Aku hanya tidak sengaja melewati ruang 5 Fak. Hukum dan tadi ada dosen yang mengajar. Kenapa kamu tidak masuk kelas?”

“Kamu tahu kelasku di ruang 5?” Tanyaku balik

“Siapa yang tidak tahu tentang kamu Adrian, teman cewekku banyak yang mengagumimu”

Aku tersenyum mendengarnya. Ada perasaan senang menyeruak di dalam diriku. Berarti gadis ini mengetahui banyak hal tentangku. “Termasuk kamu?” Tanyaku memancing

Khenza tertawa. Wajahnya terlihat manis saat ia tertawa. Di tambah lesung pipit di kedua pipinya. Gadis ini lucu juga.

“Menurutmu?” Balasnya

“Entah” Jawabku sambil menaikkan kedua bahuku

“Oh ya kenapa kamu tidak masuk kelas?” Tanyanya kembali ke topik sebelumnya

“Aku hanya malas saja” Jawabku asal

“Kamu tidak menyukai hukum?”

Gadis ini selalu pintar menebak dengan tepat.

“Ya bisa dibilang seperti itu”

“Kenapa? Bukannya keluarga Suroyoso identik dengan hukum?”

“Mungkin aku pengecualian. Aku tidak tertarik dengan hukum. Aku tidak tertarik dengan perdebatan di pengadilan, hakim, jaksa, saksi, terdakwa dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan hukum. Semua itu membuatku muak” Jelasku. Sebenarnya aku sedikit bingung mengapa aku begitu mudahnya menceritakan hal ini kepadanya. Padahal kami belum kenal dekat bahkan ini pertemuan kedua kami setelah kecelakaan itu. Faris yang sahabatku saja belum pernah kuberitahu tentang hal ini. Tapi mengapa aku justru menceritakannya kepada Khenza yang bisa dibilang orang asing?

“Jadi benar tebakanku dulu bahwa kamu tertekan. Lalu apa yang kau inginkan?”

“Gambar. Itu yang kuanggap dunia sebenarnya. Membutakan suatu objek atau peristiwa di kertas gambar membuatku merasa tenang dan senang. Aku bisa menjadi diriku sendiri saat menggambar.”

“Apa keluargamu mengetahuinya?”

“Dulu ketika SMA aku pernah mencoba bicara kepada kedua orangtuaku, tapi respons yang kudapatkan jauh dari harapan. Papa marah besar, menurutnya menggambar adalah hal yang kurang kerjaan dan tidak dapat menjamin masa depanku nantinya. Aku berusaha meyakinkan beliau bahwa pendapatnya salah namun sia-sia. Mama juga sependapat dengan Papa.” Aku menghela napas sejenak “Tapi aku masih menggambar sembunyi-sembunyi hingga suatu hari mereka menemukan gambaranku. Papa lagi-lagi marah besar dan membakar semua gambar dan alat gambarku. Aku berusaha melawannya tapi tiba-tiba mama jatuh pingsan, penyakit mama kambuh. Semenjak itu aku tidak berani mencobanya lagi, aku takut mengecewakan mama untuk kedua kalinya”

Aku melirik Khenza sejenak, matanya masih tertuju padaku. “Aku hanya takut. Apakah ini memang yang terbaik? Tapi bagaimana jika nanti hukum memang bukan masa depanku? Tapi bagaimana jika sebaliknya, bila menggambar bukan duniaku yang sebenarnya? Mana yang harus kupilih?” Lanjutku dengan nada semakin meninggi

“Hanya kamu yang tahu mengenai itu. Apapun yang kamu pilih kamu harus tetap konsisten menerima resikonya karena setiap hal yang kita pilih pasti ada resikonya tersendiri. Kalau memang menggambar yang mendominasi hatimu, lakukan! Buktikan pada mereka kalau pendapat mereka salah!” Kata Khenza dengan tegas

“Bagaimana kalau aku salah pilih? Karena tidak dapat dipungkiri seniman memang tidak terlalu menjamin”

“Berarti kamu pengecut? Tidak berani mengambil resiko. Hidup itu tidak luput dari pilihan dan resiko, Adrian.” Ia berhenti sejenak “Kalau masalah seniman memang itu benar tapi mengapa kamu tidak mencoba arsitek?” Tanyanya

Arsitek? Kenapa aku tidak terpikir ke situ? Aku tersenyum. Gadis ini memang luar biasa. Tidak kupungkiri aku semakin kagum dengannya. “Sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan” Kataku dengan semangat

“Bagus! Aku akan selalu mendukungmu” Balasnya dengan nada yang lebih semangat “Masih belum terlambat” Tambahnya

Aku merasa kenyamanan didekat gadis ini dan satu hal yang penting aku bisa menjadi diriku sendiri di dekatnya. Aku seperti mendapatkan semangat hidupku kembali. Tiba-tiba angin berhembus membuat rambut Khenza yang terurai bebas bergerak seperti menari. Gadis ini memang manis. Tiba-tiba ada perasaan asing yang tidak kumengerti menyeruak begitu saja.

Aku berdiri di depan ruangan -tempatku melaksanakan tes 2 jam yang lalu-. Aku baru saja mengikuti tes untuk jurusan arsitektur di salah satu universitas ternama di Indonesia. Setelah mengalami cekcok yang cukup lama, akhirnya kedua orangtuaku menyetujui dan mendukung sepenuhnya karena mereka sadar inilah hidup dan cita-citaku. Aku berjanji atas nama diriku sendiri akan membuktikan kepada mereka bahwa pilihanku tepat. Jantungku berdegup kencang.

Tiba-tiba seorang petugas menempel selembar kertas di papan pengumuman yang letaknya tak jauh dari ruang tesku. Dengan hitungan detik, papan pengumuman dikerumuni oleh para peserta tes. Perlu usaha ekstra untuk dapat melihat nama-nama yang tercantum di kertas itu. Pandanganku berhenti disatu nama. ‘ADRIAN SUROYOSO’. Aku diterima. Yes! Aku berhasil! Orang pertama yang terbesit di otakku adalah Khenza. Aku langsung berlari menuju parkiran dan melajukan mobilku dengan cepat.

Setelah sampai di kampus -yang lebih tepatnya akan menjadi mantan kampusku-, aku langsung menuju Gedung Fak. Psikologi. Aku sudah lama tidak melihat Khenza belakangan ini, gadis itu memang sulit ditemukan. Tapi aku yakin hari ini pasti bisa bertemu dengannya. Aku ingin dia adalah orang pertama yang mengetahui kabar bahagia ini sebelum orang tuaku sendiri. Setelah 15 menit berkeliling namun aku tidak menemukan gadis itu, kemana dia? Aku melihat beberapa mahasiswi berbincang-berbincang tak jauh dari tempatku berdiri.

“Permisi, kalian kenal Khenza?” Tanyaku kepada mereka

Mereka menatapku aneh. Mereka tidak menjawab pertanyaanku tapi mereka justru saling pandang satu sama lain.

“Kalian kenal Khenza salah satu mahasiswi psikologi di kampus ini?” Tanyaku ulang

“Khenza Sania?” Balas salah satu dari mereka

“Mungkin, aku tidak mengetahui nama lengkapnya” Jawabku. Bodoh! Kenapa aku tidak pernah bertanya tentang nama lengkap Khenza? Pasti di kampus ini nama Khenza tidak hanya satu. Aku mengumpat diriku sendiri dalam hati.

“Ikuti kami!” Pinta salah satu yang lain dari mereka.

Aku bernapas lega. Aku sudah tidak sabar memberitahukan kelolosanku ini. Pasti dia tidak akan menyesal telah mendukungku. Ku ikuti langkah mereka dengan perasaan senang dan jantungku berdegup sangat kencang. Semakin kuakui Khenza telah mendominasi hati dan pikiranku. Gadis itu memang membuatku kagum. Langkah mereka berhenti tepat di depan papan pengumuman. Aku memandang mereka heran. Pandanganku beralih ke papan pengumuman didepanku.

Dunia seperti berhenti berputar. Napasku tercekat. Seperti tidak ada oksigen yang bisa kuhirup. Dadaku terasa sesak. Tidak mungkin!

“Siapa yang berani-beraninya membuat pengumuman ngawur seperti ini?!” Teriakku tiba-tiba

“Tapi itu kenyataan Adrian” Jawab mereka hampir bersamaan

Aku menarik paksa pengumuman ditanganku.

Innalillahi Wainnaillaihirojiun

Telah meninggal dunia Khenza Sania Putri, Salah satu mahasiswi psikologi terbaik kampus ini. Semoga amal ibadahnya senantiasa diterima oleh Allah SWT.

9 Juli 2012

Di papan pengumuman itu terdapat banyak foto Khenza dan kertas yang berisi doa-doa mahasiswa lainnya untuk Khenza. Tidak mungkin! Tanggal pada pengumuman itu berarti 1 bulan yang lalu tapi 3 minggu yang lalu aku berbincang-bincang dengannya di taman. Ia mendengarkan semua ceritaku dan memberi solusi atas masalahku. Pasti pengumuman ini salah!

Aku menoleh ke arah kelompok mahasiswi yang memberitahuku tadi, mereka menangis tersedu-sedu. “Khenza meninggal karena penyakit komplikasi yang di deritanya sejak kecil” Ucap salah seorang dari mereka.

Mengapa ini terjadi begitu cepat? Dari sudut mata, aku menangkap sosok Khenza. Langsung ku arahkan pandang ke sosok itu. Ya itu Khenza. Dengan wajah pucat dan baju yang sama ketika aku terakhir bertemu dengannya, ia tersenyum kepadaku. Tak lama ia melambaikan tangannya menandakan selamat tinggal. Aku masih tercengang melihatnya. Tiba-tiba sosok itu perlahan-lahan menghilang. Inderaku masih berusaha menangkap bayangan itu, tapi terlambat. Aku merasakan mataku memanas. Aku langsung berlari menuju mobil.

Didalam mobil kutumpahkan semua airmataku. Semua kesedihanku, semua rasa kehilanganku. Disaat aku menyadari perasaanku kepadanya tapi ia justru pergi untuk selamanya. Ia pergi sebelum aku sempat mengungkapkan perasaan yang menggangguku belakangan ini. “Terima kasih Khenza, kamu mengajarkanku banyak hal. Aku janji aku akan memberikan yang terbaik. Aku janji untukmu” Gumamku pelan disela-sela jatuhan airmataku. “Aku.. men… cintaimu Khenza!”

Cerpen yang berjudul "The Valuable Shadow" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Ifarifah. Kamu dapat mengunjungi blog penulis di ifarifah.blogspot.com.

Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - The Valuable Shadow | Ifarifah"