Cerpen Cinta - Ketika Bintang Jatuh Cinta Pada Hujan | Anggi Agistia
Siang ini rintik hujan menyapa tepat begitu sepasang sepatu kets kesayanganku hendak melangkah keluar rumah. Semilir angin berhembus dan membuat setiap tengkuk yang dilewatinya bergidik kedinginan. Dua lapis baju hangat dan shawl yang aku gunakan nyatanya tak juga membuat rasa dingin enyah menyelimuti tubuhku. Seharusnya hujan gerimis di padu dengan suara merdu yang berasal dari iPod-ku ini membuat suasana semakin romantis.
Aku suka hujan. Biasanya pun aku selalu
menikmatinya dengan secangkir kopi atau cokelat panas, tapi kini aku acuh
karena sedang terburu-buru. Ah semoga hujan tidak membesar, jangan dulu
sekarang. Setidaknya tunggu hingga aku sampai di kampus, harapku dalam hati.
“Hhhhhh,” desahku panjang. Dingin.
Ini hari pertama kumpulnya para
volunteer sebuah kegiatan sosial untuk mengkampanyekan suatu gerakan hemat
energi. Aku turut serta di dalamnya dan aku tidak ingin terlambat. Kupacu
sepeda motorku diiringi hujan kecil yang tak henti menggodaku dengan rintiknya.
Sesampainya di kampus aku melihat taman
siang hari itu riuh ramai kedatangan sekelompok orang yang kebanyakan berstatus
mahasiswa dari berbagai jurusan. Aku bertemu banyak teman di sini, baik yang
sebelumnya sudah ku kenal atau bahkan baru kali pertama bertemu. Setahun
belakangan ini aku memang lebih suka menyibukkan diri dengan melakukan berbagai
hal yang menurutku sangat menyenangkan. Mencoba melakukan banyak hal yang
bermanfaat bagi diriku, terutama untuk orang disekitarku, mengikuti aktivitas
sosial, mengajar anak-anak di rumah singgah dan beberapa aktivitas lainnya.
“Selamat datang. Selamat bergabung
dengan kami,” kata itu pertama kali diucapkan. “Perkenalkan nama saya Rian,
dari Jurusan Teknik Sipil. Saya koordinator organisasi untuk wilayah regional I
Bandung. Sekarang silakan perkenalkan diri kalian masing-masing.”
Deg.
Dibalik kacamata aku bisa melihat
matanya yang berwarna coklat. Cahaya matahari menerpa matanya setelah awan
hitam beringsut di sapu angin. Matanya benar-benar berwarna coklat. Coklat tua.
Bukan coklat yang disukai kebanyakan orang. Bukan coklat yang kemudian
menghasilkan semburat agak kekuningan ketika di bias cahaya matahari. Ini
sungguh coklat. Mata ini membuat aku terpana, sungguh menawan. Mata ini
terlihat sangat tajam, bahkan cenderung terlalu sinis menurutku. Juga ia
menyiratkan suatu ciri keangkuhan yang tak bisa aku jelaskan. Aku lihat di sana
tersimpan banyak tanda tanya, entahlah tapi aku tetap suka coklat matanya.
Namun tiba-tiba pandangan mata coklat itu bertabrakan dengan pandanganku. Aku
gelagapan seperti pencuri yang ketauan mencuri jemuran, ternyata giliranku
untuk memperkenalkan diri.
“Eh, nama.. Aku Reyna. Mmm, mahasiswa,
Ekonomi semester 4 mmm..” ucapku memperkenalkan diri terbata.
Matanya berwarna coklat. Mata itu
bergeser kesebelahku, lalu kembali lagi menatapku dengan nada yang berbeda.
Mata itu berwarna coklat.
Aku jatuh cinta pada mata? Ah, yang
benar saja.
Acara hari itu ditutup dengan pembagian
divisi, dan aku tepat berada langsung di bawah kepemimpinan Rian, Si Mata
Coklat. Hari menjelang petang. Hujan menari-nari dengan kasar di antara
rindangnya dedaunan pohon yang berdiri tegap menahan angin pasang. Deras rintik
hujan yang menyerang tanah dengan membabi buta menghasilkan wangi khas tanah
basah. Aku suka..
“Ah, hujan lagi,” ucapnya tiba-tiba dari
belakangku yang sedang menikmati aroma tanah basah.
Aku terlonjak sejenak, Si Mata Coklat.
Kemudian dahiku mengeryit, “Kenapa? Kamu nggak suka hujan?”
“Hujan membuat bintang tak pernah muncul
setelah ia datang bukan?”
“Kamu suka melihat bintang?” tuduhku.
“Kamu tahu nggak kalau bintang-bintang
itu sudah menjadi bagian dari setiap kebudayaan?”
Aku menggeleng.
“Bintang digunakan dalam praktik
keagamaan, dalam navigasi dan bahkan panduan dalam bercocok tanam. Kalender
Gregorian, yang digunakan hampir di semua bagian dunia adalah kalender matahari
dengan mendasarkan diri pada posisi bumi relatif terhadap bintang terdekat,
Matahari,” Rian menjelaskan.
“Bukankah setelah hujan kelak bintang
akan muncul satu persatu? Lantas kenapa kamu nggak suka hujan?” tanyaku.
“Entahlah. Hujan selalu berhasil membawa
kita masuk kedalam bias memori yang telah memburam. Terkadang aku selalu merasa
heran dengan hujan.. Kenapa setiap kali bulir yang berjatuhan seringkali
membuat kita merindukan sesuatu yang sesungguhnya tak ingin atau bahkan tak
boleh lagi dirindukan,” jawabnya yang membuat pikiranku penuh tanda tanya.
Pikiranku mengawang ke satu tahun silam,
saat itu aku juga sempat membenci hujan. ‘Aku hanya ingin kita saling berpikir
dan merenung. Aku ingin fokus belajar untuk bekerja dan menyelesaikan skripsi
untuk saat ini lalu meneruskan S2-ku. Aku harap kamu mengerti, aku butuh
jarak’, ucap Pandu sore itu. Aku mengangguk, mencoba mengerti. Baginya, aku
hanya seorang gadis manja yang akan menghambat ia meraih mimpi-mimpinya,
cita-citanya. Lalu, aku terisak, membiarkan hujan mengguncangi sekujur badan,
hingga perlahan suara isak itu menjauh, melirih, membuat jarak dan mengantarkan
kami pada waktu bernama jeda.
Pandu adalah cinta pertamaku. Dia
tampan, tubuhnya tinggi menjulang, putih dan hidungnya mancung. Mungkin itu
yang membuatnya disukai banyak gadis. Setiap kali pergi dengannya aku kerap
kali melihat mata-mata iri dan sinis para wanita yang menatapku seolah berkata
‘Bagaimana bisa gadis ini mendapatkan pangeran tampan dari khayangan?’. Ah,
tapi apa peduliku, sekarang dia milikku. Setahun lalu kami bertemu lagi.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu ia berubah, ia bukan Pandu yang dulu ku
kenal. Sekarang dia telah menjelma menjadi seorang pekerja keras yang cuek
dengan lingkungan sekitarnya, bahkan denganku. Hampir setiap akhir pekan ia
habiskan untuk bekerja dan bekerja. Selama perpisahan kami yang pertama aku
tidak tahu apa yang terjadi padanya. Namun sekarang dia ingin kami mengakhiri
semuanya lagi dalam jarak yang dinamakan jeda.
Dalam jeda itu, nampaknya aku kelabakan
memperlakukan rindu. Tak lama, rindu itu sungguh semakin kian mejadi rasanya
dan akhirnya memaksaku mengakhiri jeda secara sepihak. Keinginanku untuk
bertemu Pandu malam itu juga tak bisa di cegah. Namun setiba di rumahnya,
buram, kulihat ada dua orang sedang bercengkrama mesra di ruang tengah, di
tempat biasa aku dan Pandu bertukar canda. Tapi aku meyakini, itu Pandu dengan
seorang wanita. Aku dikhianati orang yang paling aku sayangi. Aku kecewa.
Pada musim kemarau setelah itu aku
pertama kali merindukan hujan, bukan rindu karena hujan. Hujan yang
menyadarkanku bahwa di balik tangisku saat berjalan dengannya, aku bisa
tersenyum bahkan tertawa tanpa ada yang tahu bahwa ada tetes luka yang keluar
dari pelupuk mataku. Hujan tak hanya meneteskan duka ataupun meretas luka, ia
juga bisa memulihkan luka bahkan menciptakan suka.
Lalu aku belajar melupakan semuanya,
dengan mencintai hujan..
Mulutku tiba-tiba saja meracau,
mengatakan hal yang seharusnya tak perlu dikatakan, “Kadangkala semua kenangan
itu berkelebat secepat angin. Kadang masa lalu bisa menjadi keping terindah
dari masa depan yang kita punya. Masa lalu memang tempat yang seringkali
menyenangkan, tapi kita tahu kalau di sana tak ada masa depan. Hanya kenangan.
Perlahan kita akan belajar untuk memahami kalau orang-orang di sana memang ada,
untuk memberi kita sebuah pelajaran. Mau pahit atau manis, nikmati saja.”
“Maksud kamu?” tanya Si Mata Coklat itu
antusias.
“Eh by the way, kamu anak Astrologi?”
tanyaku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Giliran dia yang menggeleng.
Aku tak suka hujanku di hina orang. Aku
masih tak habis pikir dan sedikit tak menerima semua alasan dia untuk membenci
hujan.
“Kamu harus menyukai hujan..” ucapku.
Dia tersenyum sinis, “Kamu bilang kamu
pecinta hujan?” tanyanya dengan nada satu oktaf lebih tinggi. “Aku tak habis
pikir. Kamu bilang kamu cinta hujan, tapi saat hujan seperti sekarang ini kamu
meneduh, menghindar, enggan bermain dengannya.”
Memang benar apa yang ia katakan, aku
berkoar bahwa aku sang pecinta hujan tapi aku selalu mencari perlindungan dari
derainya. Aku terdiam. Tak bisa mengelak, apalagi membela diri. Hujan ini tidak
biasanya, langit sepertinya sedang berduka, seperti sedang kehilangan orang
paling terkasih. Dia mengamuk hebat dengan halilintar dan kilat yang
mengerikan. Aku tak mampu berbuat apa-apa selain menatap hujan.
Lima menit..
Sepuluh menit..
Hujan tak juga memberi tanda akan segera
reda..
Aku melirik lelaki sebelahku ini, sadar
dirinya diperhatikan lalu mata itu menatapku tajam dan tersenyum sinis penuh
makna. Hanya ada dua pilihan, aku diam menunggu hujan berdiam dan semakin
membuat mata itu menatapku dengan tatapan menghujam. Atau.. aku menerobos hujan
lalu membuatnya meng-iya-kan kalau aku memang menyukai hujan.
berlari, menerobos riuh ramai yang
diciptakan oleh dawai hujan. Aku sempat melihat dia tergaket, tapi aku tak
perduli. Aku terus berlari. Sekujur tubuhku sudah basah bahkan sampai bagian
pakaian yang paling dalam. Aku menerobos hujan dan keramaian. Tiba-tiba
tanganku dicengkram begitu keras lalu dia menarikku..
“Kamu ini apa-apaan sih! Jangan kayak
anak kecil dong,” Si Mata Coklat berteriak di antara hujan. Dia menyusulku.
“Apa? Anak kecil?” bentakku sambil
berusaha melepas genggaman tangannya yang keras.
“Iya! Kamu itu kayak anak kecil! Kenapa?
Kamu tersinggung sama yang aku bilang soal hujan tadi?” dia menarik tanganku
untuk mencari tempat berteduh.
“Lepas!” bentakku. “Apa pedulimu? Tau
apa kamu soal aku dan hujan? Hah?”
Dia mendengus, “Jadi kamu mau hujan-hujanan?
Oh! Silakan sana. Bilang pada hujanmu kamu habis di hina olehku. Dasar anak
kecil!”
Aku menarik tanganku dari genggamannya
dan kembali berlari. Aku mencari motorku dan segera memacunya pulang.
“Dasar keras kepala!” ucapnya kesal
sambil menendang tong sampah. Kemudian dia berlari menuju tempat di mana dia
menaruh sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan aku menangis. Aku
mengutuk Si Mata Coklat yang memaksaku untuk bercumbu dengan hujan badai. Ada
rasa sesak saat dia membentakku, ada rasa sesak ketika aku melihat mata
coklatnya.
Sesampainya di rumah aku segera
memasukan motor ke garasi dan bergegas ke kamar mandi. Udara saat itu sedang
tidak bersahabat, seusai mandi bersin tak henti menyerangku. Ah sial, gerutuku.
“Kak, ada temanmu tuh menunggu di luar.
Kehujanan. Kenapa kamu nggak bilang pulang di antar teman?” tanya Ibu. “Ibu
sudah beri dia handuk, baju dan cokelat panas. Untukmu juga Ibu simpan di sana.
Ayo sana temui dulu, kasihan dia kebasahan,” lanjutnya.
Teman? Siapa? Aku kan sendirian, pikirku
dalam hati. Setelah menggunakan empat lapis baju hangat aku beranjak untuk ke
ruang tamu, melihat siapa yang datang.
Deg.
Si Mata Coklat.
“Ngapain kamu kemari? Kamu ngikutin
aku?” tanyaku sewot masih terkaget.
Mata itu sendu, seperti menyesali
sesuatu, “Aku minta maaf, aku nggak bermaksud menantangmu untuk hujan-hujanan
tadi. A.. aku nggak bermaksud membentak kamu tadi,” ucapnya tulus. Lagi-lagi
mata itu seolah berbicara, ada binar penyesalan di sana.
“Maafkan aku..” pintanya lagi. Aku
mendesah dan pasrah.
Setelah memberinya baju kakak sepupuku,
kami mengobrol di teras rumah sambil menunggu hujan ditemani secangkir cokelat
yang sudah menghangat buatan Ibu. Aku tak mau orang ini sakit lantaran
kebasahan sekujur badan.
Si Mata Coklat ini orang yang cukup
menyenangkan ternyata. Dia berasal dari kota di ujung Indonesia, Sabang, dam
dia kuliah di sini atas hasil beasiswa pemerintah dari prestasinya. Sekarang
dia menjadi ketua di beberapa organisasi sosial di Bandung. Hebatnya lagi dia
juga menjadi seorang asisten dosen di kampus. Sepanjang pembicangan Si Mata
Coklat bercerita dan seringkali membuat aku terbang melayang. Ah tuhan, bisik
hatiku.
Malam itu kami berbincang seperti dua
kawan lama yang lama tak berjumpa, padahal ini hari pertama pertemuan kami.
Memperbincangkan segala hal, mulai dari obrolan warung kopi sampai politik
kelas dunia sambil menunggu redanya hujan. Kami tertawa lepas di balik derasnya
suara hujan. Tapi di sana juga ada duka, saat dia menceritakan kenapa dia
membenci hujan. Kami sama-sama dikhianati. Dibohongi orang-orang yang kami
sayangi.
Yuna, dia memanggilnya. Dia itu bagaikan
bulan, cantik benderang. Bulan memang selalu terlihat paling terang di antara
ribuan bintang dan Rian memujanya. Rian dan wanita itu menjalin hubungan cukup
lama, 4 tahun. Dia bahagia mendapatkan seorang wanita yang cantik juga menawan.
Hidupnya sempurna, dia juga mempunyai seorang kawan dekat, Prio. Hampir tak ada
satu weekend pun mereka lewati bersama. Namun, seiring kesibukan Rian mengejar
prestasi akademis, ia seringkali melewatkan waktu bersama keduanya. Tanpa
sepengetahuan Rian, Yuna dan Prio sering bertemu, bertukar cerita, bertukar
canda sampai ternyata benih cinta itu ada.
Suatu malam, saat Rian ingin
memperlihatkan piagam yang dibawanya dari Negara Tetangga dalam sebuah
kompetisi debat kelas dunia kepada sahabat dan wanita yang dia cintai.. Mereka
berdua bergenggaman tangan dengan erat. Wanita itu meminta maaf, dia bilang
kalau dia mencintai sahabatnya sendiri. Sedangkan Prio tak berkata apapun, dia
hanya menunduk. Seketika itu juga semua terasa sakit, seperti di hunus seribu
jarum kecil, dikhianati.. Dua orang yang selama ini memberikan semangat agar
dia bisa terus berprestasi. Dua orang yang selalu menjadi pemacunya saat mulai
goyah dan putus asa. Dua orang yang paling dia sayangi.. Dia berbalik dengan
rasa sakit yang mungkin tak ada obatnya.
Malam itu pertama kalinya dia ingin
melihat bintang tanpa ada bulan. Tapi hujan menutup cahaya bintang dan
setelahnya hanya bulan yang muncul, bintang tetap tertutup awan hitam. Semenjak
malam itu pula mereka tak pernah lagi bertemu. Rian mendapatkan beasiswa dan
pindah ke kota ini.
Satu jam, dua jam, tiga jam..
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam,
sungguh tak terasa. Sesungguhnya hujan sudah mereda dari pukul 11 tapi aku dan
dia sama-sama terlarut dalam kata serta tawa, seolah tak peduli, tak ingin
mengakhiri hari ini..
Tiba-tiba dia melirik jam.
“Na..” panggilnya. “Sudah malam, aku
harus pulang. Nggak enak sama Ibumu juga.”
“Oh iya,” aku tak bisa menyembunyikan
kecewaku.
“Sekali lagi aku minta maaf ya,” ucapnya
tulus.
“Eh, kamu pernah ke Observatorium
Bosscha?”
Dia menggeleng.
“Kamu bisa melihat bintang di sana.” Aku
melanjutkan, “Aku mau maafin kamu asalkan kamu temani aku kesana. Besok aku
jemput kamu di taman kampus tepat jam 3 sore ya. Jangan telat” perintahku.
Dia mengangguk. Pasrah.
Yang kutahu langit di luar sana sudah
terlewat kelam. Entah sudah berapa kali aku mengintip jendela hanya untuk
melirik warna di luar sana. Malam terasa dua kali lebih lama dari biasanya.
Hari ini aku di landa insomnia. Jarum jam di tanganku sudah mengarah ke angka
3, tapi aku sama sekali belum mengantuk.
Massa kelopak mataku serasa bertambah
berat, tapi anehnya ia tak kunjung ingin terpejam. Saat seperti ini, menghitung
domba pun tak ada guna rasanya. Apa mungkin ini karena dingin yang masih saja
memelukku erat, seolah menembus setiap celah pori-poriku atau mungkin karena
aku tak sabar menunggu untuk lagi menatap Si Mata Coklat.
Biasanya kopi menjadi teman setia yang
menemaniku saat tetap terjaga, tapi tidak kali ini, perbincangan itu, mata itu,
aku ingin menikmati semuanya.
Diam mengiringi perjalanan kami menuju
Lembang sore itu. Observatorium Bosscha adalah lembaga penelitian astronomi
modern yang pertama di Indonesia. Observatorium ini di kelola oleh Institut
Teknologi Bandung dan mengemban tugas sebagai fasilitator dari penelitian serta
pengembangan astronomi di Indonesia. Dalam program pengabdian masyarakat,
melalui ceramah, diskusi dan kunjungan terpandu ke fasilitas teropong untuk
melihat objek-objek langit, masyarakat diperkenalkan pada keindahan sekaligus
deskripsi ilmiah alam raya. Dengan ini Observatorium Bosscha berperan sebagai
lembaga ilmiah yang bukan hanya menjadi tempat berpikir dan bekerja para
astronom profesional, tetapi juga merupakan tempat bagi masyarakat umum untuk
mengenal dan menghargai sains.
Pukul 5 sore itu kami sampai di depan
gerbang Observatorium Bosscha yang tertutup. Aku menyuruhnya turun untuk
bertanya pada satpam.
“Hari Minggu tempat ini tutup,” ujarnya
jengkel seperti habis berdebat dengan satpam.
Aku hanya tersenyum, “Aku tahu.”
Beberapa kali aku kemari sejak menduduki bangku sekolah dasar dan aku tahu
pasti kalau setiap Hari Minggu, senin ataupun hari libur nasional tempat ini
tutup.
“Lalu untuk apa kamu bawa aku kemari?”
tanyanya. Nada mukanya menyiratkan nada kesal.
Aku turun dari mobil, tersenyum dan
mengacuhkan pertanyaannya dengan berjalan menuju satpam. Aku meminta ijin
kepada satpam hanya untuk sekedar melihat-lihat lokasi teropong bintang dari
luar, sebentar saja, dengan alasan bahwa temanku yang satu itu jauh-jauh kemari
dari pulau seberang.
“Itu gedung kubah di Observatorium
Bosscha ini. Di dalam ada teleskop ganda Zeiss 60 cm yang merupakan teleskop
terbesar dan tertua di Observatorium ini. Katanya teleskop itu bisa mengamati
bintang-bintang yang jauh lebih lemah, kurang lebih 100.000 kali lebih lemah
dari bintang yang dapat di lihat oleh mata telanjang,” ucapku bangga masih
mengingat penjelasan sang pemandu kala aku berkunjung kemari dalam rangka acara
sekolah dulu.
“Kalau cuaca cerah, kubah biasanya di
buka jadi kita bisa melihat benda di angkasa dari teropong di dalam itu,”
tambahku. Nada mukanya menyiratkan kekesalan di tambah kecewa karena tidak bisa
melihat apa yang aku ceritakan soal teropong bintang di Observatorium Bosscha
ini. Tapi aku punya kejutan lain untuknya, sesuatu yang juga berkilau layaknya
bintang.
Langit mulai menghitam, pertanda petang
segera datang. Aku mengajaknya masuk ke mobil untuk pergi menikmati sajian
ketan bakar dan bandrek hangat khas Lembang sebelum ke tempat dimana aku akan
membawa bintang untuk mata coklatnya.
“Kita mau kemana?” tanyanya heran.
Aku tersenyum penuh makna, membuat mata
itu mendelik penuh tanda tanya.
Selamat datang di kawasan Dago Resort..
Kami turun dari mobil. “Orang Bandung
bilang ini bukit bintang,” ujarku menatap gemerlap lampu kota dari atas bukit
di kawasan Dago Resort.
Dia menghela nafas panjang, masih takjub
dengan pemandangan di hadapannya ini. “Indah..”
“Jangan membenci hujan.. Di sini, kamu
akan tetap bisa melihat bintang walaupun hujan datang,” ucapku.
Kami berdua terdiam.
Sepuluh menit.
Dua puluh menit.
“Susu panas atau kopi?” aku mencoba
melunturkan diam. Hawa dingin memaksaku untuk segera bergerak mengambil jaket
dalam mobil.
“Cokelat panas sepertinya menyenangkan,”
pintanya sambil memamerkan senyum terindah dari matanya. Ah, lagi-lagi mata itu
membuat aku melayang. Apa aku jatuh cinta? Ah, yang benar saja, bisik hatiku.
Tak lama berselang, aku menghampirinya
dengan secangkir cokelat panas, “Kamu sudah siap pergi?”
“Maksud kamu?” setengah kaget, dia menoleh.
“Kita kan baru saja datang kemari.”
“Iya, aku tahu. Maksudku, apa kamu sudah
siap untuk pergi dari masa lalu?”
Dia kaget dan lagi mata itu menyiratkan
suatu tanda yang aku tak paham, “Entahlah. Sebegitu terlihatnya kah
kesedihanku? Padahal aku sudah berusaha keras menutupinya,” ucapnya sambil
mencoba tertawa kecil yang terlihat dipaksakan.
“Entahlah, dari ceritamu kemarin itu
yang aku simpulkan.”
Dia terdiam.
“Ada yang bilang kalau mata adalah
cerminan hati.” Sambil memalingkan muka dengan lirih aku berkata, “Dan aku
melihat rona duka yang terpancar di mata kamu.” Di mata coklat indah milikmu,
aku membatin.
Aku duduk di atas kap mobil, dia
mengikuti gerakanku. Semilir angin berhembus diiringi hawa yang dingin pertanda
hujan akan segera datang.
“Ada sesuatu di kepalaku. Sesuatu yang
membuatku belum bisa beranjak dari masa lalu,” katanya lagi.
“Kamu masih cinta dia?”
Dia tersenyum, “Iya. Dialah yang
memberiku bahagia selama ini.”
“Lalu, apakah dia bahagia dengan
pilihannya sekarang?”
“Harusnya. Setelah dia lebih memilih
pria itu dan meninggalkanku, aku pikir dia pasti lebih bahagia sekarang.”
“Kalau dia bisa bahagia, mengapa kamu
masih bersedih?”
Mata itu menatapku tajam, “Lantas
bagaimana denganmu? Apa kamu juga sudah sepenuhnya pergi dari masa lalu?”
Aku terdiam. Lama.
“Jangan mendikteku untuk meninggalkan
masa lalu. Jangan mengajariku untuk belajar menyembuhkan luka dan menghapuskan
duka. Kamu nggak tau apa-apa soal masa laluku! Kamu nggak tau apa rasanya sakit
di khianati dua orang yang paling kamu sayangi!” ucapnya dengan nada sedikit
meninggi.
Aku terhenyak, sedikit kaget dengan
jawaban dan nada suaranya yang meninggi. “Nggak.. aku sama sekali nggak
bermaksud mendikte apalagi mengajari kamu. Aku juga punya kenangan yang kelam
dengan masa lalu.. kamu juga nggak tau seberapa keras aku berperang dengan
bayang-bayang. Kamu juga nggak tau apa-apa! Kamu nggak tau seberapa keras aku
mencoba berdamai dengannya, dengan perasaanku, dengan diriku sendiri. Aku kan
hanya bertanya..” ucapku diiringi air mata yang turun tanpa permisi.
Rian terkaget. Dia tiba-tiba menarik
tubuhku, memelukku erat..
“Aku minta maaf, lagi-lagi aku
membentakmu. Aku minta maaf..” ucapnya. “Jangan menangis. Maafkan aku..”
Pelukan Si Mata Coklat semakin erat. Aku terus menangis, mengeluarkan apa yang
selama ini aku pendam. Rasa sakit dan kecewa. Dalam pelukan itu aku mendengar
degup jantungnya yang begitu kencang, seperti hentakan kuda dalam pacuan.
Aku melepas pelukkannya, berpaling,
enggan menjawab. Sejenak aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Aku tak
mendengar apa-apa. Bahkan, desah nafas Si Mata Coklat sama sekali tak sampai
ditelingaku. Sepi sekali. Tapi, lamat-lamat ada suara hujan mendekat ke arahku.
Dia mengikutiku, memejamkan mata.
“Apa kau mendengar sesuatu?” tanyaku
dalam pejam.
“Ya, aku mendengarnya. Itu suara hujan.
Lalu ada apa dengan suara itu?”
“Apa kau tak pernah merindukan hujan?”
“Beberapa waktu yang lalu, hujan
membikinkanku rindu. Tapi hari ini, pertama kalinya aku merindukan hujan.”
Dalam pejam aku tersenyum, aku selalu
merindukan hujan. Dan sepertinya Si Mata Coklat ini mengerti perihal rindu yang
kumaksudkan. Ya, rindu pada hujan, bukan rindu karena hujan. Lalu, suatu yang
hangat menyentuh bibirku, ia memaksaku membuka mata pelan-pelan dengan sedikit
terhenyak, sejenak waktu melenyap, kosong, benar-benar kosong.
“Terima kasih,” ucapnya.
“Untuk?” tanyaku heran masih bercampur
kaget. Dia hanya tersenyum sambil menatap bintang dan menikmati rintik yang
menghujani kami.
Hujan menghadirkan aroma-aroma
menyegarkan. Ini hujan kedua kami, namun hujan ini adalah hujan pertama di mana
dia bisa melihat bintang tetap bersinar terang. Hujan kali ini sangat rupawan.
Bagai berlian-berlian kecil yang berjatuhan. Tapi, begini lebih menyenangkan.
Kami berjalan beriringan, bercerita sepanjang jalan. Hujan pun menjadi segan,
ia berhenti untuk meninggalkan genangan yang nanti akan kami sebut kenangan.
Akhirnya kami sampai di depan rumah
kostnya. Mata itu menatapku tajam seolah enggan untuk pulang.
“Terima kasih,” katanya lagi. “Aku mau
belajar menyukai hujan.”
Aku tersenyum dan mengangguk.
Dia turun dari mobil. Aku membuka kaca
mobil bagian kiri, “Oh iya, aku sudah jadi pengagum bintang sejak kemarin
siang.” Ucapku sambil menatap bintang. Bintang di matanya…
Mata itu tersenyum. Beradu pandang.
“Sampai jumpa esok,” seru Si Mata
Coklat.
Ada satu bintang, tidak terlalu terang
tapi tetap indah lagi mempesona. Bintang yang bersinar di bawah termaram hujan.
Mungkin tidak seterang bulan.. tapi aku harap ia akan lebih baik dari bulan
yang ternyata gerhana, bisik hati Rian.
Biarlah seribu bintang tertutup awan.
Cahayanya ternyata berpindah pada sepasang mata yang menawan. Ya, kamu, aku
bicara padamu, pria bermata tampan, bisik hatiku.
Lalu, alunan musik Efek Rumah Kaca
berjudul Desember mengiringi perjalananku pulang.
“Aku selalu suka sehabis hujan di bulan
Desember~”
Cerpen yang berjudul "Ketika Bintang Jatuh Cinta Pada Hujan" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Anggi Agistia. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di akun berikut: agistianggi.blogspot.com
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Ketika Bintang Jatuh Cinta Pada Hujan | Anggi Agistia"