Cerpen Keluarga - Kau Tetap Ayahku | Imuk Yingjun
Aku hanya memanggilmu ayah
Di saat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku t’lah jauh darimu
“Bagaimana, keadaanya Dokter?”
“Alhamdulillah, mulai ada perkembangan.
Tapi, usahakan beliau tidak di ganggu dengan pikiran-pikiran dan juga kenangan
masa lalu. Khususnya, hal-hal yang berbau traumatik dengan kecelakaan itu…”
“Baik, Dokter.”
“Oh ya, saya tunggu Anda di ruangan
saya. Ada hal serius yang perlu kita bicarakan. Berkaitan dengan ayah Anda…”
“Insya Allah, secepatnya saya akan
kesana, Dokter.”
“Kalau begitu, saya permisi. Nanti
suster Maria dan Suster Santi yang akan menjaga ayah Anda secara bergantian
bila perlu…”
“Oh, begitu. Sekali lagi saya ucapkan
terima kasih, Dokter.”
“Sama-sama.”
Perempuan muda ahli kesehatan itu pun
lenyap di balik pintu. Ku tatap wajah pendar seorang lelaki yang lagi terbaring
di atas tilam. Ayahku. Matanya terpejam. Raut mukanya pucat, tirus, tampak mengiba.
Wajahnya tetap bersih, menunjukkan kewibawaan dan kharismatika seorang lelaki
pengampu pendidikan sekolah dasar. Usianya bisa di lihat dari puluhan uban yang
tercuntai disela-sela rambut hitamnya. Senyumnya tertahan dalam ketidak
sadarannya saat ini. Hela nafasku mengisyaratkan betapa aku harus bersabar demi
membuktikan, bahwa aku sangat menyayangi dan begitu dalam peduli padanya. Tak
lagi kuingat apa yang pernah ia abaikan dariku. Tak lagi aku mempertimbangkan
segala ketidak adilannya terhadap kami yang tak terhitung waktu itu. Tak
mungkin juga aku meminta waktu untuk mengulang kembali, agar ia –waktu yang
sia-sia itu– membuktikan kalau dia –ayahku– menyesal telah pernah menganggapku
tak ada. Semua hanya kenangan yang tak perlu di ingat-ingat kembali meski tak
mudah di lenyapkan dari ingatan. Bagiku, apapun yang telah terjadi. Dia tetap
ayahku.
Cerpen Kau Tetap Ayahku
“Lihat, Ayah. Di kelas, Andri dapat
juara dua…” ayah tersenyum padaku sekedarnya. Lalu secepat ia mau melirik
raport kedua saudaraku. Dika dan Dikta.
“Wah, Dika juara satu. Dan Dikta, juara
tiga. Kalian berdua memang hebat!” ayah tersenyum bahagia merangkul kedua
saudaraku. Mataku berbinar bahagia berharap ayah juga sudi merangkulku. Cukup
lama aku mematung dengan sebuah senyuman yang lama kelamaan aku rasa memudar
dengan sendirinya. Ku telan ludahku tercekat. Seolah bola tenis tersangkut di
tenggorokanku.
Aku duduk menatap kedua saudaraku,
tersenyum berharap ayah akan memujiku. Tapi aku tertegun. Waktu itu tak ubahnya
hanyalah sebuah mimpi indahku yang belum menjadi kenyataan. Aku bersabar.
Mungkin ayah akan memelukku nanti, setelah selesai dengan kedua kakak-kakakku
yang memang lebih banyak punya kelebihan dari pada aku dalam segala hal.
“Ayah, Dikta mau di belikan sepatu
baru…” rengek kakakku yang mirip orang bule itu. Matanya binar menatap wajah
ayah. Aku tersenyum.
“Hmmm, boleh!”
“Kalau aku, Ayah. Aku mau di belikan tas
baru…”
“Oke. Besok kita kepasar. Kalian bisa
memilih apa yang kalian inginkan. Sebagai kado atas prestasi kalian…”
“Horeeeee….” kedua saudaraku sungguh
girang. Meski aku tak menyebut apa yang aku inginkan. Entah kenapa aku turut
girang ketika kedua kakakku itu melompat-lompat di atas sofa tempat ayah duduk
memegangi koran kesayangannya. Kedua kakakku berlarian kekamar. Ku beranikan
diri mendekat dan berharap ayah mau mengabulkan permintaanku seperti keinginan
Dikta dan Dika. Meski aku tahu kecewa selalu menjadi jawaban di akhir setiap
harapanku. Tapi, saat itu entah kenapa, aku percaya ayah mau melihatku walau
sesaat. Meski hanya sekali itu saja. Hati kecilku berbisik bahwa aku juga akan
mendapat hak sama dengan si kembar itu.
“Ayah. Andri dapat juara dua…” ku sodorkan
raportku meski dengan suara lirih demi berharap ayah mau peduli barang sesaat.
Setidaknya dia mau melihat tak ada satupun angka merah di urutan nilai
akademikku. Ayah diam. Dia membalikkan koran dan memperbaiki kacamatanya
ketempat semula. Hatiku bertasbih.
“Ayah. Aku juga ingin ikut kepasar…”
ayahku masih diam. Seolah ia tidak mendengar. Hatiku kembali bertasbih. Tapi
duri beracun sudah mencekik leherku.
“Ayah, mau aku buatkan kopi?” rayuanku
tak berhasil memalingkan wajahnya dari selembar kertas penuh tulisan dan kabar.
Aku bertasbih berkali-kali. Kini, lumpur hitam menarik tubuhku. Aku terseret
kedalam masa pahit dan getir. Lebih pahit dan getir kala lidahku menelan sari
brantawali.
“Oh, ayah lagi capai yah. Maaf ya Ayah,
Andri mengganggu…”
Dari kejauhan aku mendengar seseorang
memanggil namaku. Mataku menangkap Mak Marni melambaikan tangan. Dia tersenyum
memintaku segera mendekatinya. Ku tatap wajah ayah seksama. Pertanyaan
menggunung pecah dan tumpah ruah di hadapannya. Tak ada jawaban kenapa betah ia
mendiamkanku. Kembali Mak Marni memanggil. Ku tatap ayah lekat. Alisnya
mengatup. Keningnya berkenyit. Konsentrasi?
Tuhan, Kau di langit tidak buta. Kau di
Arsy tidak tuli. Katakan dan bisikan pada ayah. Aku menyanginya. Mak marni
memanggilku lagi. Dia berharap aku mendekatinya segera.
“Ayah, Andri permisi ke dapur, ya.
Besok, Andri ingin ikut ayah kepasar…”
“Hmmm…!” hanya itu balasan yang ia
berikan untukku. Subhanallah. Dadaku yang terbakar seolah disirami embun pagi.
Jiwaku yang kering dan retak seakan mekar bersemi ketika air mata langit
menyiramiku demi mendengar deheman seorang ayah yang sekian lama dingin padaku.
Aku tersenyum girang. Lalu berjalan tercepuk menuju dapur dengan senyum
terindah. Senyum legawa penuh keleluasaan. Sesakku dibawa angin malam. Sesalku
di timpa hujan petang.
“Ada penyakit aneh yang mendera ayah
Anda. Seperti gangguan fungsi kerja otak dan bagian sarafnya. Itu bisa mengacu
dan menyebabkan penyakit parkinson…” ketus dokter Erwina sontak membelalakkan
mataku. Telingaku berdenging kacau. Tidak mungkin hatiku tak ketar ketir saat
itu. Orang yang kucintai akan cacat saraf.
“Ada hal yang kiranya menambat hati
keluarga kami, Dokter…?” perempuan berkemeja putih itu mengangguk. Aku lega.
“Jalan satu-satunya, buatlah ayah Anda
bahagia. Jangan biarkan ia terus menerus larut dalam kesedihan dan masa lalunya
yang saya rasa bagian dari faktor penyebab traumatik yang semakin menganggu
jiwanya. Apalagi kecelakaan itu, sungguh semakin membuatnya trauma. Sorot
matanya seolah berkata seperti itu. Ayah Anda, butuh ketenangan hati dan
kebahagiaan jiwa. Dia butuh kenangan masa lalunya yang bahagia hadir kembali
melingkari hati dan hari-harinya. Saya rasa, Anda tahu apa-apa saja yang mampu
membuat ayah Anda bahagia ‘kan…?”
Aku tercenung.
“Saya usahakan, Dokter…”
“Sebaiknya begitu!”
Ku ambil layang-layang Dikta yang
tersangkut di atas dahan kecapi. Dari pada telingaku pecah mendengar perintah
otoriternya sejak terik mulai menjerit diatas kepala. Dika duduk sambil
mengibaskan karton yang entah dari mana bisa bersarang ditangannya.
“Sudah, belum?! Lama nian…” pekik Dikta
dari bawah. Dika turut mencibir. Aku menjinjit demi meraih benang gelas yang
tercuntai-cintai di hempas angin. Sesaat hendak kuraih tali itu melayang jauh.
Begitu sejam lamanya. Uratku mau putus.
“Aih, kenapa lama nian, Andri. Bilang
saja tak bisa…!” Dikta semakin memekik. Peluhku deras terjun ke bumi.
Persendianku gemetar menahan ranting yang nyaris retak. Angin kejam tak peduli
dengan tubuh kurusku.
Aku melompat kebawah sesaat setelah
layang-layang sialan itu ku jatuhkan pelan kearah Dikta. Kedua saudara siamku
itu berlari menuju ke teras rumah. Sesekali aku berjingkrak garang kala
angkrang-angkrang nakal mencium kulitku. Aih, sakitnya.
Bagai tak tahu dibalas budi. Bagai air
susu dibalas air tuba. Bagai nila setitik merusak susu sebelanga. Bagai selipar
tak berwarna. Aku tergagu menatap siraman rohani ayah tercinta. Kenapa aku juga
yang salah? Bukankah aku yang telah berjasa? Kenapa pula aku yang kena
getahnya? Padahal tak seiris nangka manis tercicip dimulutku. Tuhan, apa itu
keadilan?
“Kalau nggak boleh pinjam layang-layang
Dikta. Jangan di koyak. Pantang itu…” kelakar Ayah dengan wajah padam. Raut itu
membuat hatiku menjerit. Bukalah matamu ayah.
“Aku tidak mengoyaknya, Ayah. Sumpah!”
Dikta dan Dika tersenyum menjulurkan lidah. Sehebat penipu, Dikta memasang
wajah iba membuat siapa yang melihat tersenyuh. Muka pendusta. Maka kerak
nerakalah yang cocok buatnya.
“Lihatlah, kau membuat Dikta menangis.
Minta maaf padanya…”
Aku terdiam. Darahku mendidih melihat
Dikta yang tersenyum menjengkelkan.
“Minta maaf! Cepat!” aku tersentak. Oh
ayahanda. Lihat perangai anakmu itu. Dia pendusta.
“Tapi aku tak salah, Ayah!” sebutir air
mataku jatuh. Aku tertunduk.
“Besok tidak usah kau ikut Ayah ke
pasar. Di rumah saja?! Mau?!” wajah Ayah berpaling ke halaman rumah. Sebuah
ekspresi tak nyaman di pandang dan membuat tekanan batin sekaligus ancaman
manjur yang tidak mungkin terelak lagi. Orang Arab bilang. Hijran Majhura.
Hatiku dongkol. Dua saudaraku itu selalu begitu. Kenapa banyak setan berwujud
manusia!
“Andri! Ayah juga tak suka kamu
mengambil karton milik orang lain. Tadi, Pak Cik Rafli, menegur Ayah. Sekarang,
kau belikan karton baru. Lalu taruh dimeja anak Pak Cik Rafli segera, karton
itu buat tugas sekolahnya. Sekarang kau pergi ambil uang Ayah. Lekas belikan di
toko Maimunah…” Simalakama. Kedua kalinya bibirku menjerit di dalam hati
memecahkan pembuluh darah. Tulangku gemeletuk. Tuhan, berdosakah aku jika
menyesali telah terlahir dan hidup didunia ini? Dika berlari masuk kedalam
rumah.
“Maaf, Pak Andri. Untuk biaya operasi
kurang lebih sembilan belas juta rupiah. Biaya obat-obatan empat juta rupiah.
Ruang ICU dan lainnya empat juta rupiah. Di tambah biaya…”
Administrator di Rumah Sakit ini
menjelaskan detail semua jumlah biaya perawatan ayah selama menginap di sini.
Sebulan di ruang VIP ibarat memelihara lintah penghisap keringatku. Aku harap
tabungan dan simpananku di rumah cukup melunasi semuanya.
“Semuanya empat puluh dua juta rupiah.”
Gleeek! Dahiku berkenyit. Pikiran dan
hatiku kompak dalam urusan kali ini. Uangku tak cukup.
“Inysa Allah, nanti saya lunasi.” Meski
hatiku ketar ketir.
“Terima kasih, Pak Andri.”
Aku terpaksa meminta bantuan. Tak ada
jalan lain.
“Kak…” aku menghubungi Dikta. Dengan
agak malas ia menjawab.
“Sudah agak baikan…!
Kalau di gabung sama tabungan Andri,
perlu dua belas juta lebih, itupun Andri sudah keluarkan semua deposito,
asuransi, sama pinjam uang koperasi kantor.
Ya, saya berharap Kak Dikta atau Kak
Dika berkenan membantu.
Lagi kosong?
Ya sudah, nanti Andri coba pinjam ke
teman.
Ya, kak. Walaikum salam.”
Aku lemas duduk di kursi tunggu. Mataku
berkunang-kunang saat hatiku panas dingin bercampur limbung. Aku masuk
mendekati ayah. Beliau masih terbaring dengan mata menatap jendela kaca. Sinar
mentari senja meneduhkan hati dan pikiranku. Ku paksakan senyum ikhlas membelai
bibirku menyambut pandangan ayah untukku. Agaknya ia terkejut.
“Ma-mana. Di-dikta? Di-dika?” segera aku
berlari mencegah agar ayah tak banyak bergerak.
“Kata dokter, Ayah mesti banyak
istirahat. Jangan bergerak dulu. Operasi ginjal kemarin masih belum kering.”
aku pun menyodorkan setetes demi setetes air mineral dan ku suapi ayah dengan
hati-hati. Hatiku bungah saat ayah bersedia menjamu suapanku. Oh, dunia.
Lihatlah ayahku. Dia peduli padaku.
“Ma-mana. Dikta. Mana, Di-dika?”
lirihnya di paksakan. Aku tercenung. Harus menjawab apa.
“Ke-kenapa di-diam…?” sambungnya kesal.
Hatiku melebur.
“Kak Dikta lagi ada tugas di Bandung.
Kalau Kak Andri, masih ada magang privat di Makassar.”
“Pa-panggil mereka. A-aku ri-rindu
me-mereka…” ia menangis.
“Barusan Andri telfon Kak Dikta. Dia
titip salam buat Ayah. Insya Allah, lusa mereka datang…”
“Nah, Dikta mau tas yang mana?” tanya
ayah ramah.
“Hmmm…!” sepertinya aku akan seperti
Dikta kalau di suruh memilih pilihan yang tak mudah di pilih. Dikta memilih tas
warna hitam. Ayah memilihkan model yang bagus dan keren. Lalu, Dikta juga di
belikan sepatu. Begitu juga Dika. Di belikan tas dan juga sepatu.
“Ayah…” aku menarik pergelangan tangan
kanan ayah. Dia menolehku sesaat.
“Andri, kamu pilih yang mana saja yang
kamu suka yah, nanti biar Mak Marni yang bantuin nyari…” kelakar ayah seraya
memberi isyarat Mak Marni. Meski masih SD. Aku tahu. Ayah tak punya waktu
untukku, tidak dengan kedua kakakku. Mereka berjalan ke outlet pakaian. Aku
berdiri di sebelah estalase menatap mereka yang berlalu tak peduli padaku.
“Andri…” tegur Mak Marni membuatku
sadar, kalau sebenarnya ada orang yang sayang dan peduli padaku.
“Ini, Mak pilihkan sepatu bagus
untukmu…” perempuan itu lagi-lagi menitikkan air mata. Aku tersenyum meski
hatiku kecewa. Aku tahu posisiku kala itu. Tak ada kastaku diantara mereka.
Ayah dan kedua kakakku lepas dalam canda di outlet tak jauh dari kios sepatu
tempatku termangu. Sesekali aku berharap ayah memanggil dan memintaku bergabung
dengan mereka. Mak Marni belum berhenti menangis. Bahkan aku melihat tangisnya
semakin sesengukkan saat melihatku yang tersenyum tapi hatiku membisu. Mak
Marni yang tahu isi hatiku. Mak Marni yang lebih peduli dan sayang padaku.
Andai ibu tak meninggal waktu itu. Pasti aku akan bergabung bersamanya, bersama
mereka.
“Mak, kenapa menangis?” tanyaku agak
heran dengan kebiasaan Mak Marni itu. Dia semakin pecah dalam raungnya.
“Mak, sa-sayang, Andri…” kembali dia
menangis. Penjaga toko masih bingung dan heran melihat kami. Mak Marni
memelukku.
“Andri juga sayang, Mak Marni…”
Dua hari ini kondisi ayah drop. Aku
berinisiatif membawa ayah kembali kerumah sakit. Tidak peduli biaya. Tidak
peduli tenaga. Aku ingin ayah kembali sehat. Tersenyum. Bersama keluarga.
“Kamu pikir biaya rumah sakit itu murah,
Ndri? Apalagi untuk pengobatan macam penyakit Ayah. Tidak mungkin sehari dua
hari ayah langsung sehat. Kalau sampai berbulan-bulan kayak kemarin?!” tukas
Dikta agak kesal. Sementara Dika. Cuek. Hatiku terenyuh melihat kondisi ayah
yang sedang terpekur dalam harapannya. Naluriku tak ingin dicegah. Ayah harus
di bawa kerumah sakit.
“Kita ‘kan bisa sama-sama bergotong royong
membiayai pengobatan ayah. Lagian, uang pensiunan bulanan ayah cukup membantu
kita…” jelasku berharap kedua sadaraku setuju.
“Kamu enak Ndri, masih single. Aku harus
membiayai anak dan istriku. Begitu juga Dika. Kalau aku lajang seperti kamu.
Aku pasti bantulah…” Dikta duduk di sofa tak jauh dariku.
“Terus, kita akan biarkan ayah seperti
ini?”
Hening. Kami mencari solusi terbaik demi
kesehatan ayah. Tak ada jawaban selama dua jam lebih. Senja memisahkan kami.
Dikta pulang ke rumahnya. Dika juga. Tanpa sengaja aku melihat ayah meneteskan
air mata dalam lelapanya.
Aku duduk di tepi ranjang ayah. Beliau
sudah siuman sehari yang lalu. Alhamdulillah kondisinya membaik. Sudah lancar
bicara. Sudah pandai menggerakan tangan. Lihai tersenyum kala gurauan dokter
mengelus bibirnya.
“Mereka, mana?” ayah menatapku dalam.
Aku diam. Tak perlu ku jelaskan hal tak penting itu padanya.
“Andri. Kakak-kakakmu, mana?”
Aku diam.
“Mereka sedang bekerja ayah…” kataku
akhirnya.
“Bisa, kau telfon barang sebentar? Ayah
rindu Dikta dan Dika. Rindu cucu-cucuku…”
Cukup lama ayah berbincang ria dengan
kedua kakakku bergantian. Entah kenapa wajah ayah tertegun dan air matanya
pecah. Ayah menangis. Apa yang membuatnya menangis?
“Kenapa, Ayah menangis?”
Dia diam. Air matanya terus meleleh. Ia
meletakkan selulerku di atas ranjang. Memejamkan mata dan seolah tak menghiraukanku.
Aku tau dia tak mau di ganggu. Biarlah ia lepas dalam tangisnya. Kelak aku akan
tahu apa penyebabnya.
Di depan seluler aku duduk menghadap
kamera. Bernyanyi sebuah lagu dan memainkan gitar sebisaku. Jenuh menyambar
hati dan pikiranku. Ku rebahkan tubuh di atas ranjang seiring mengingat
kata-kata ayah yang entah kenapa terasa begitu menyesakkan dadaku.
“Memang kau yang harus betanggung jawab!
Gara-gara kamu aku masuk rumah sakit. Gara-gara kamu ibumu juga meninggal. Kau
tahu kalau kau itu anak sial! Pembawa petaka. Seharusnya kau sadar. Kenapa aku
bersikap dingin padamu. Mikir!!!”
Air mataku meleleh.
“Apa yang harus aku banggakan dari
seorang pembunuh sepertimu. Jika kau tidak kekeh waktu itu mengajak aku, dan
ibumu juga kakak-kakakmu ke pantai. Ibumu tak akan mati. Ngerti kamu?!”
Hatiku tersayat sembilu.
“Jangan kau pikir, semua kebaikanmu akan
membuatku luluh. Tidak. Aku tidak akan lupa dengan semua kejadian itu. Dari
kecil, kau sudah merepotkan. Sampai sekarang. Kau juga masih merepotkan…”
Tangisku pecah.
“Maafkan, Andri. Ayah!”
“Keluar kau dari sini!” bentaknya
membuatku kaget. Aku mengiba agar ayah tak memantapkan niatnya.
“Cepat keluar!” bentak ayah keras
sehingga Mak Marni meminta pengertianku. Dia memanggil perawat dan memberi ayah
obat penenang.
“Andri, sayang ayah…” kelakarku lalu
pamit dan langsung pulang kerumah.
Engkaulah nafasku
Yang menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik
Kau tak pernah lelah
S’bagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
Aku hanya memanggilmu ayah
Di saat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku t’lah jauh darimu
Tak ada hal yang paling menyedihkan
dalam hidup ketika orang yang kita cintai menolak untuk ditemui. Tak ada
penyembuh luka ratusan tahun lamanya seandainya seorang yang kita harapkan
sekecap saja ucapan penyejuk hati darinya terlontar barang sekecap. Bahkan,
ayah melarang Mak Marni untuk membukakan pintu kamarnya buatku. Ayah akan sedih
jika melihatku ada di dekatnya. Ayah akan trauma jika aku duduk disebelahnya.
Ayah akan berontak jika aku menunjukkan wajah dihadapannya. Masa lalu yang
kelam, seolah mengejar dan terus menerornya. Oh Tuhan, kenapa dengan ayahku
ini?
Aku menangis karena tak ada satupun
orang, terutama kedua saudaraku yang menjadi kebanggaan ayah selama ini untuk
mencarikan pendonor ginjalnya yang kedua. Dika tak bersedia. Dikta tak kuasa.
Aku, tak di terima. Ayah kritis. Mak Marni menangis. Kedua kakakku berlinang
air mata buaya. Hati tedalam mereka berdoa, agar si tua bangka nan bau lemah
kuburan itu segera tiada, agar tak menganggu mereka, tak mengacau keluarga
mereka. Oh Tuhan, betapa kejam mereka membalas pekerti ayah yang sangat
menyanyangi mereka. Diatas sajadah biru lusuh aku bersimbah air mata. Agar
jalan itu segera terbuka. Biarlah aku mati dalam derita, asal ayah tertap bahagia.
Dunia tak penting buatku. Dunia hanya persinggahan buatku. Akhirat. Disana ibu
menunggu. Ku titipkan surat buat Mak Marni. Aku memeluknya dan mengcuap maaf
atas salah dan khilafku yang selama ini tak senonoh dalam senda sehari-hariku
padanya. Mak Marni tak rela aku menjauh. Mak Marni mengaduh ketika aku
bersikukuh. Mak Marni bersumpah demi Tuhan yang meninggikan langit dan
membentangkan bumi. Bahwa ia sangat mencintaiku dan tak ingin aku enyah dari
keluarga. Tapi apa daya. Aku tak berkenan dihati orang yang kuharap cintanya.
Aku tak tampak dipandangan orang yang kusanjung wibawanya. Aku sampah. Tak
bertuan. Tidak bernilai. Layaknya aku terkubur hangus dalam kesengsaraan.
Meredam luka yang telah lama membusuk dan melebur bersama amuba di lubang
penderitaan. Selamanya. Kutitip salamku buat ayah. Semoga bingkisanku, tak
membuatnya murka.
Kepada ayahanda tercinta…
Selayang salam kasih ku tabur di
hadapanmu
Sembah baktiku tak terperi dalam sujudku
Setiap malam aku berdoa
Agar Dia mau mengabulkan sebuah doa
Doa seorang anak yang terluka batinnya
Dan mungkin akan mati, dalam merana
Ayah, tak mengerti aku apa yang telah
menjadi tabiat keduamu selama ibu tiada. Agaknya kau sungguh marah dan murka.
Tapi aku manusia. Tak punya maksud berdosa. Bahkan macan pun tak akan memakan
anaknya saat lapar menjerat perutnya yang kering setahun berpuasa. Tapi kenapa
takdir Tuhan kau anggap petaka. Aku tak tahu apa yang ada di benakmu, Ayahanda.
Kalau engkau marah padaku atas musibah
ibunda dan dirimu, aku terima. Tapi apa Ayahanda lupa, Tuhan telah lihai
menulis ketetapan ketika dunia belum ada? Apa Ayah lupa sebagai pengampu
berwibawa? Bahwa rukun iman keenam cukuplah menjadi jawaban atas sikapku pada
Ayahanda sekian lama ini. Maka pada itu, menjerit aku di tengah sahara mencoba
mengejarmu Ayahanda. Berharap kau bersedia aku peluk walau hanya sedetik saja.
Cukup sedetik Ayahanda. Kiranya itu melepas puluhan tahun kesepianku akan rindu
kasihmu.
Tak akan lama ku berucap diatas goresan
kertas dan air mata ini. Takut belum selesai kau baca sudah menjadi sampah isi
hatiku ini. Maka aku hanya berucap. Tak ada satupun yang mampu memberikanmu
bahagia atas apa yang telah kusemaikan sebaik mungkin dihadapanmu. Tapi, jika
hati dan cintaku tak kau terima juga. Biarlah aku pergi entah kemana. Mungkin,
setelah aku enyah dan itu membuatmu bahagia. Aku akan melakukannya. Baru
kusadari kau menangis kala itu, ketika anak-anak yang kau banggakan tak
berkenan menjengukmu sebab alasan sibuk. Padahal aku rela kehilangan mata
rezeki asal kau lekas sembuh. Apa yang kurang dariku Ayah?
Ayahnda…
Aku sangat mencintaimu. Tak pernah aku
mengumpat barang setitik pun pada Tuhan atas sikapmu padaku. Kau tetap ayahku.
Ayahanda…
Demi Allah yang Maha Mulia. Aku iklhas
kau anggap tak ada selama ini. Demi Allah yang Maha Pengampun atas dosa
makhluk-Nya. Aku akan terus mendoakanmu sampai aku mati, dan mungkin aku sudah
mati saat Ayahanda membaca surat ini. Demi Allah yang menyayangi
hamba-hamba-Nya di muka bumi, aku ingin kau meridhoi jalanku. Karena sehebat
apapun aku melangkah dimuka bumi. Tuhan akan memurkaiku jika kau murka. Aku mohon
Ayah. Maafkan salahku. Maafkan khilafku. Aku sayang padamu. Sepanjang waktu.
Kau, tetap ayahku.
Salam kasih dari anak yang rindu
senyummu.
Andrianto
Cerpen yang berjudul "Kau Tetap Ayahku" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis bernama Imuk Yingjun. Kamu dapat mengikuti twitter penulis di @Shimu1990.
Posting Komentar untuk "Cerpen Keluarga - Kau Tetap Ayahku | Imuk Yingjun"