Cerpen Kehidupan - Gang Setan | Hotma Lam Uli Marbun
Semua terdengar memiliki irama ditelingaku. Setiap lantunan detik dari waktu yang terus berjalan ada bisikan dari pasir dijalanan yang tak disadari adanya. Arakan awan membawa lukisan sederhana dari biru dan putih terlewatkan oleh insan yang tengah beradu dengan sengat matahari.
Seperti hari biasanya dia sudah berdiri
di pinggir trotoar menunggu si merah datang. Wajahnya kian kusam akibat terpaan
panas jalanan dan asap kendaaraan yang sudah akrab dengan hidupnya. Topi coklat
usang yang di dapat dari seorang pengendara sepeda motor dua tahun lalu di
kemacetan lampu merah masih setia melindungi kepalanya.
“Kapan kau akan sadar?” seorang lelaki
dengan tinggi seperti seorang polisi dan tusuk gigi yang tengah menari
dimulutnya menghapuskan lamunannya ditepi jalan. Seorang yang memberinya
segelas air segar sekaligus orang yang membuatnya tak ingin minum lagi. Setiap
sore ia akan datang mencarinya dan memberinya sebungkus nasi berisi lauk tempe
sambal atau bahkan ayam goreng. Mereka boleh saja sama-sama mengamen dilampu
merah bermodalkan gitar dan suara yang biasa saja. Tetapi lelaki itu bisa
mendapatkan sepuluh kali lipat dari hasil ia mengamen selama enam sehari.
“Aku sudah sadar sejak awal, kau yang
kapan akan sadar dan.. sudahlah” ia pergi mendapatkan mobil mewah putih yang
berada dibarisan depan lampu merah.
“Jangan keras kepala..” sambil berteriak
ia pergi meninggalkannya, namun bukan untuk mengamen seperti anak jalanan
lainnya.
Setiap hari harus bertempur melawan asap
kendaraan, panas, lelah dan sakit tapi tidak juga menyurutkan janji yang telah
ia ucapkan pada diri sendiri dalam luka batin yang menerpa hidupnya. Meski aku
tak mampu membeli pakaian bagus, makanan mahal dan bahkan harus mati kelaparan.
Aku tak akan pernah menjual hidupku pada
duniawi.
Sekarang usianya telah 20 tahun, tak
terasa sudah 3 tahun ia hidup sebagai anak jalanan yang tak tentu tempat
tinggal dan makannya. Meski sebelumnya ia bukan berasal dari keluarga yang kaya
raya, tapi setidaknya ia masih bisa merasakan betapa nikmatnya bisa makan tiga
kali sehari, sekolah, memanggil seorang ibu atau ayah bahkan dimarahi oleh
orang tua kini sudah menjadi kerinduan baginya.
Diakhir SMA ia harus rela berhenti
sekolah karena harus mengisi perutnya walau hanya dengan sebuskus nasi saja.
Lilitan utang membuat rumahnya menjadi langganan kedatangan rentenir tiap
minggu bahkan setiap hari. Bunga yang kian membengkak membuat rumah dengan
isinya harus jatuh ketangan rentenir. Terpancar senyum puas dan menjijikan saat
ia bertatapan dengan rentenir tua dan buncit itu dihari terakhir ia bisa
menikmati hangatnya kamar tidurnya. Hidup tak jelas dijalanan membuat orang
tuanya harus segera meninggalkannya di dunia ini sendirian.
“Jangan pernah menjual hidupmu dengan
kenikmatan duniawi, nak. itu tak lebih baik dari hidup sederhana.” Adalah
ucapan ibunya yang setiap hari menjadi api dalam hidupnya untuk tetap mengamen
dari pada ikut jalan temannya. Meski begitu bunga tetap saja manusia, seorang
gadis belia yang belum mengenal baik dunia, ia sempat bimbang, “yang mana yang
ibu sebutkan dengan hidup sederhana, ibu. Ini lebih tepat hidup menderita, ibu.
Apakah nerakah telah berpindah kesini, bu..?”
Air mata kerap menemani hari-harinya
sama seperti sore ini. Ditengah lagunya ia langsung pergi meninggalkan mobil
putih itu tanpa meminta upah suara yang telah ia keluarkan. Sisupir sedikit
bingung, namun tak lama karena merah telah berganti.
Ditemani air mata yang masih mengalir ia
melangkah pergi menjauh dari mobil-mobil itu dan asapnya. Disudut gang yang
diberi nama setan itu ia menghilang. Sambil terus menangis ia melayangkan tinju
dan tendangan ke dinding-dinding gang itu, namun tak ada kata yang keluar dari
mulutnya.
Tangisnya belum juga berhenti tiba-tiba
datang batuk mendera tenggorokan dan dadanya. Darah lagi yang hadir dari
mulutnya. Sejenak ia merasa senyap memandangi darah ditangan dan dinding itu.
Kemudian ia malah tertawa. Serangan batuk dan darah merupakan komedi dalam
hidupnya.
Tawa membahana di gang yang lebarnya tak
lebih dari tiga langkah kaki manusia itu. Ia semakin tertawa dan memandikan
darah itu disekitar mulutnya. Meski ia tertawa, namun air mata belum berhenti
menyiram wajahnya bahkan hujan kepiluan itu malah semakin deras. Tubuhnya yang
kurus semakin tak mampu menahan serangan TBC yang juga telah merenggut ibunya
dari sisinya.
Ia juga manusia. Ia seorang wanita yang
juga ingin hidup lama dan merasakan proses dan tahap dalam kehidupan. Menikmati
hangatnya keluarga di rumah, makan setiap hari, bahkan ia juga memiliki niat
untuk dapat menikah.
“Liat Nara gak?” Tanya lelaki yang ternyata
diam-diam sudah simpati padanya sejak tiga tahun ia kenal dijalanan. Sebenarnya
Ia tak tahu nama dari gadis itu, tetapi karena gadis itu tidak pernah berkenan
memberitahukan namanya pada siapapun. Maka ia menamainya dengan Nara, sama
seperti nama dalam judul sinetron yang tengah menjadi pembicaraan banyak
ibu-ibu dimanapun ia tengah berada. Maka jadilah ia dipanggil Nara hingga
sekarang oleh semua orang yang mengenalnya. Bukan tanpa alasan Gadis itu tidak
mau memberikan namanya. Tetapi karena malu atas hidup yang harus ia jalani
sekarang ia tak pernah memberitahukan namanya pada siapapun. Jikapun ada yang
bersikeras ingin tahu ia hanya mengatakan, “Kau boleh panggil aku apa saja”
lalu pergi.
“Tadi lagi ngamen tiba-tiba pergi gitu
aja bang.” Jawab bocah kecil yang biasa ngamen di tempat yang sama dengan Nara.
“Pergi kemana?”
“Tadi kayaknya kearah sana tu bang”
“Ya sudah, makasih. Ngamen yang semangat
biar dapat bayak uangnya”
“Oke bang” sambil pergi berlari menuju
deretan mobil di lampu merah.
Nara tak pernah memanggil lelaki ini
dengan namanya. Ia bahkan tidak pernah mencari lelaki ini. Ia sudah mulai
terbiasa dengan tidak ada lagi orang yang berarti dalam hidupnya untuk ia jaga
dan sayangi. Roy, begitulah ia di sapa oleh semua anak jalanan yang mengenalnya.
Ia memiliki wajah yang tampan untuk ukuran orang yang hidup dijalanan. Tubuhnya
tegap dan tinggi, kulitnya juga putih. Tak heran karena ia memiliki darah arab
dalam tubuhnya. Ibunya adalah TKW yang harus dipulangkan ke Tanah Air karena
mengandung anak dari majikannya dan siksa karena di tuduh merayu suami
majikannya.
Banyak orang yang menjuhinya dan
memberinya label sebagai anak haram hingga di akhir hidup ibunya pun ia belum
tahu siapa ayahnya. Hampir tak ada yang mau mendekat padanya karena penampilannya
yang masih kental wajah keturunan Arab. Satu-satunya orang yang tidak memandang
aneh dirinya adalah Bang Ben yang terkenal dengan tato Naga di separuh badan
sebelah kanan. Ia pun tinggal bersama Bang Ben hingga Nara muncul dalam
hidupnya yang sama sekali tak pernah membedakan sikulit gelap dengan putih,
sisuku a dengan suku b. Ia bersikap sama terhadapnya dengan orang lain. Itulah
Nara dari pendidikannya.
Memasuki gang setan perlahan Roy
melangkah dan memanggil nama Nara, namun tak mendapat balasan. Semakin keras ia
memanggil ia semakin khawatir. Ia percepat langkahnya dengan mata layaknya
radar mendeteksi pergerakan hingga ia tersandung benda yang cukup besar yang
ternyata adalah kaki Nara. “Nara.. kau kenapa? Nara, kau bisa dengar aku?”
Kepalanya masih pusing dan tubunya
terasa seperti baru mengangkat gunung. Perlahan matanya membuka, ia pegang
kepalanya dan perlahan mulai duduk. Dengan lembut kedua tangan Roy membantunya
mengangkat tubuh Nara mendekat pada bantal untuk peyangga tubuh Nara.
“Lebih baik berbaring aja dulu. Jangan
terlalu dipaksa Nar.” Nara terkejut mendapati suara yang sangat dikenalnya, Roy
dengan tanganya sedang membantu Nara duduk.
“Kau kenapa ada sini? Trus kenapa aku
ada disini dan apa ini?” Nara melihat peralatan infuse yang terpasang
ditubuhnya.
“Kau pingsan, untung aku melihatmu. Jadi
aku membawamu ke sini. Kau harus di rawat Nar, jangan membantah lagi. Biar aku
yang urus soal biayanya. Kau cukup bertahan dan di rawat penyakitmu lalu
sehatlah. Aku..” dengan cepat tangan Nara menghempaskan tangan Roy dan mencabut
selang infuse dari pergelangan tangan Nara dan bersiap melompat dari tempat
tidur. Namun tampaknya tubuhnya belum kuat dan menolak bergerak.
“Nara…” dengan sigap Roy mengangkat Nara
kembali ke tempat tidur dan membaringkannya. “aku mohon jangan menolak”
“Aku gak bisa, sungguh aku gak bisa.
Kalau pun aku harus di rawat aku tak mau uang itu darimu.” Air mata Nara
kembali meluncur diwajah kurus dan pucat itu.
“Kenapa Nar.. aku bersumpah itu uang
halal”
“Jangan coba menipuku lagi. Aku tak bisa
menerimanya.”
“Nara aku berani sumpah ini halal” Roy
mencoba meyakinkan Nara.
“Apanya yang halal..? kau pikir aku tak
tau kau mendapatkan uang itu dari tante-tante girang yang yang kesepian. Kau
sama saja menjual diri.”
“Nara cukup..!” kini suara Roy mulai
meninggi.
“dan aku tak mau menjadi alasanmu
menjual dirimu” sesaat hining muncul di antara mereka. Keduanya tak sanggup
menatap wajah meraka.
“kau tenang saja, aku akan tetap hidup.
Jangan perdulikan aku.” Lalu Nara pergi dengan langkah yang gontai menyusuri
lorong rumah sakit.
Entah mana yang akan menang nantinya.
Apakah semangat hidupnya atau penyakit yang merajai tubunya. Ia belum tahu.
Tetapi satu yang ia tahu bahwa semangat hidupnya masih ada dan belum ditulari
TBC begitu pula dengan hatinya yang masih setia untuk tidak menerima dan
memberi cinta pada siapapun.
Cerpen yang berjudul "Gang Setan" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Hotma Lam Uli Marbun. Kamu dapat mengikuti blog penulis di akun berikut: hotmalamuli.blogspot.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Gang Setan | Hotma Lam Uli Marbun"