Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

(18+) Cerpen Kehidupan - Diterimakah Taubatku Mbok? | Muniza Apitriani

“Hallo, ya Mas, iya ya, emmuach” kututup telepon digenggamanku yang sudah satu jam ini menemani dan menempel di telinga. Seseorang lelaki langganan memintaku untuk melayaninya malam ini. Kuberanjak bangun dari ranjang kamar tidur untuk bergegas melanjutkan aktivitas. Kusiram seluruh tubuh dengan air hangat yang barusan ku masak beberapa menit lalu, kugosok daki-daki yang menempel dengan sabun wangi yang berharga murah itu. Aku merasa badanku terasa segar kembali setelah selesai mandi, seharian ini kerjaanku hanya tidur dan nonton tv saja.

Kupatut wajah cantikku di depan kaca, kupandangi sejenak, mirip ibuku, cantik, ayu juga manis. Pelan kupoles pelembab wajah kemudian bedak dilanjutkan dengan beberapa alat make-up, pemerah pipi, pelentik mata, pensil alis, dan sederatan perlengkapan lainnya. Tak lupa kugoreskan gincu merah di bibirku dan sedikit parfum.

Ah sempurna, aku yakin banyak lelaki yang akan tertarik dan mendekatiku selama menunggu Mas pelanggan tiba. Lumayan seseran itu akan kugunakan untuk menabung. Elis, teman sekerjaku juga menelpon siang tadi kalau aku harus datang lebih awal, lebih cepat, karena banyak Bos-bos yang akan datang sepulang mereka kerja nanti sore. Terpikir olehku ingin secepatnya sampai kesana.

Selepas magrib, kulangkahkan kaki mengikuti alur jalanku. Berjalan melewati jembatan kampung, lorong-lorong kecil dan sedikit jalan setapak, perjalanan jauh. Ah tidak juga karena aku sering melewatinya. Selanjutnya aku masih harus menunggu Bis menuju tempat kerjaku. Setelah beberapa meter menuju rumah mami, kulepas jaket kulitku. Kupamer keelokan tubuh cantikku, kupanggil setiap lelaki bermobil keren, kudekati mereka. Tak jarang karena memang aku harus seperti itu mereka menggodaku, mentowel pipiku, menjawil pantatku, dan hanya berhello say. Aku hanya membalas mereka dengan senyuman dan tingkah genit yang diajarkan oleh sang mami. Asal mereka dapat memberikanku uang walau hanya uang lembaran biru, itu saja aku bersyukur sekali karena tidak harus di setor pada mami sang mucikari.

“Hai Mas” kudekati sebuah mobil sedan hitam

“Hai cantik” jawabnya disertai rabaan tangannya ke wajahku. Aku hanya diam berharap dia memberiku lembaran uang ratusan.

“Kencan yuk, gak mahal mas, tapi gak lama juga ya” jurus jituku

Perjalanan pun berlanjut. Terkadang aku sangat senang melayani Bos-Bos kaya seperti ini, karena mereka akan memberiku lebih dari biasanya.

Aku lelah, kubangun dari tidur pingsanku. Kulihat jam menunjukkan pukul delapan pagi. Aku berganti pakaian dan mengambil amplop pemberian mami. Allhamdulillah aku banyak dapat uang malam tadi. Kulihat senyuman mami sangat puas saat dia memberiku amplop setebal ini. Katanya aku harus lebih sering melakukan perawatan tubuh supaya tetep laris. Dan aku pun berpamitan padanya dan melanjutkan pulang. Aku harus membayar uang sewa kos hari ini, aku sudah janji pada Bu Suniyem.

Kulihat sebuah Bis berhenti di depanku, aku naik lalu bersandar dibangku kosong nomer 2. Seorang wanita berjilbab duduk di sebelahku menatapku dan tersenyum, aku mengangguk tanda memberi salam. Kucuri pandang sesuatu yang di baca wanita berjilbab di sebelahku itu. Sebuah Al-Qur’an kecil di tangannya. Teringat kenangan lama ketika aku dan teman-teman harus berlarian dan berlomba untuk duduk di bangku paling depan saat mengaji di musolah sewaktu kecil.

“Mau kemana Mbak” tanyanya sambil menutup dan menyimpan kitab suci itu ke dalam tas.

“Ke Salemba, lagi baca Qur’an ya” Dia beroh dan mengangguk. Dia cantik, anggun juga ramah. Dia merogoh kantong plastik yang dibawanya mencari sesuatu. Dia menghela napas tenang sebentar, sepertinya sudah mendapatkan apa yang dicarinya.

“Ini, tolong di baca ya Mbak” wanita berjilbab itu memberiku selebaran sambil tersenyum.

“Terima kasih” kuambil pemberiannya, kubaca sekilas Wanita-Wanita Penghuni Syurga, kupikir ini sebuah brosur untuk universitas atau kursus-kursus. Kuperhatikan selebaran itu ada logo sebuah universitas, nama sebuah organisasi dan beberapa alamat.

“Mau kuliah ya dik?” tanyaku basa-basi. Dia mengangguk dan masih tersenyum manis. Ada dua lesung pipit di pipinya. Sepertinya dia jauh lebih muda dariku. Apa karena senyum itu sodakoh dia tersenyum terus.

“Mbak, aku bukanlah orang baik, tapi aku ingin menjadi orang yang lebih baik, dan aku bukanlah wanita muslimah yang taat, tapi aku akan berusaha menjadi wanita yang menjaga kesuciannya, menjaga dirinya, menjaga semua yang harus di jaga pada diri seorang wanita dan melaksanakan perintahNya”

“Terkadang Aku masih mempunyai hati yang kotor Mbak, masih ada sedikit penyakit hati, tapi aku terus mencoba, berusaha untuk menghilangkan dan menutupinya, Maaf Mbak kalau aku memberikan selebaran ini tetapi aku tidak sesempurna seperti kata-kata pada selebaran ini, lagi berusaha” dia tersenyum kembali, senyum simpulnya begitu manis, begitu anggun. Aku mengangguk mengiyakan “Tidak semua manusia itu sempurna dik, mereka semua lagi berusaha termasuk Mbak” kataku menambahi. Dia juga mengangguk.

Kubaca-baca selebaran itu walau terkadang aku malas sekali membaca. Takut adik berjilbab ini tersinggung jika langsung kubuang atau kuremas. Tidak ada salah satu pun katagori yang mencerminkanku di beberapa pilihan nomor tentang wanita-wanita penghuni surga. Hatiku bergetar hebat dan gelisah saat kubaca sebuah kalimat yang tertulis Rosulullah saw mewasiatkan kepada wanita bahwa janganlah kalian hai wahai wanita untuk melakukan zina, mendekati saja jangan apalagi sampai berzina karena zina itu sekeji-kejinya dosa dan seburuk-buruknya perbuatan. Walataqrobuzzina innahu ka na fa hisyatan wasaa’a sabiylaa. Qu-ran surat Al-Isro ayat 32.

Aku masih ingat huruf Al-Quran walau belum jelas sekali tajwidnya. Ada genangan air di sudut mataku, entah karena apa tiba-tiba aku rindu pada ibu. Dulu sebelum meninggal Ibu sangat berharap aku menjadi orang yang baik, orang yang sukses selepas SMA, walau tidak jadi sarjana dan tidak sekolah tinggi, jadilah wanita yang baik, carilah pekerjaan yang halal, dan tidak menanggalkan jilbab apalagi bekerja untuk laki-laki seperti yang aku lakukan saat ini. Menjijikkan kata ibu

“Mbak kenapa?” Tanya adik berjilbab itu

“Nggak, gak papa dik, cuma kelilipin dikit, kamu mesti jaga jilbabmu” pesanku, dia mengangguk.

“Oh ya, siapa namamu?” tanyaku memalingkan perhatiannya

“Naya Mbak, Mbak sendiri?”

“Panggil saja Mbak Siti” O dia beroh panjang

“Jelek ya?”

“Nggak, Nama Mbak keren, pasti ibunya berharap Mbak jadi seperti Siti Aisyah, Siti Khodijah dan Siti lainnya, wanita-wanita penghuni syurga” aku tersenyum mendengar ucapannya.

“Mbak permisi, duluan ya” katanya lewat di depanku, kusingkap kakiku kesamping yang menghalangi jalannya.

“Hm.. TT DJ ya dik” Dia tersenyum dan menuruni tangga Bis menuju sebuah Halte.

Disepanjang jalan menuju kosanku, kembali teringat akan ucapan adik soleha itu. Ada rasa ingin seperti dia. Menutupi aurat, menjaga kesucian yang ada pada wanita dan yang mesti seharusnya di jaga. Meninggalkan semua yang kulakukan saat ini. Kuhela napas panjang mengingat betapa banyak dosa yang kulakukan beberapa tahun lamanya, tapi bagaimana jika aku kelaparan, tidak ada pekerjaan, tidak ada satu orangpun mau menjadi temanku.

Sekarang aku sedang berada di pasar inpres, kebutuhan sehari-hariku telah habis dan kian menipis. Kuluangkan waktu senggangku untuk berbelanja keperluan hidup sekalian mumpung lagi ada pasokan uang lebih. Setelah melangkah jauh dari satu kios ke kios lain beberapa kebutuhan pokok sehari-hari telah terpenuhi, dari bahan makanan, alat make up juga beberapa helai pakaian luar dan dalam serta luluran yang disarankan oleh mami. Langkahku terhenti tepat di depan kios pakaian muslim, kupandangi sejenak, kupegang lembut sebuah jilbab yang melambaiku sedari tadi. Ingin rasa membeli untuk diriku sendiri, memakainya setiap hari.

“Woy, beli jilbab buat siapa? tanya elis melongok, sini kupilihin pasti buat Mbok Nem kan, tetangga baikmu yang sebatang kara itu, gak usah yang bagus, nanti cuma nyusahi dia aja, buat ribet jadinya, pilih yang mudah di pakai, sekali nyoblos ke kepala, langsung kan gampang tanpa embel-embel lah, wong tuo kok disusahi, piye iki” kata Elis teman baikku selama ini, sambil memilih-milih jilbab sarungan.

“Kalau ini buat apa?” tanyaku pada sang penjual

“Ini daleman jilbab neng, biar gak turun jilbabnya kalo lagi dipake”

“O.. ya sudah aku ambil ini, jilbab warna pink itu, juga yang ini” kuambil jilbab di tangan Elis

“Loh, banyak banget ti,” Elis heran, terserah ini juga duitku bukan duitmu, kataku dalam hati.

Pekerjaan ini harus tetap kulakukan walau terkadang aku lelah, demi hidup juga demi masa depanku. Masa depan, ah payah.

“Hei…” kuhampiri bangku Bis nomer 2 lagi. Ada seorang adik yang kukenal. Dia menoleh pangling.

“Mbak Siti ya, subhanallah cantik sekali” Dia tersenyum manis, memegang jilbab yang kukenakan. Ada rasa takut menyelimuti, diam-diam kupakai jilbab ini dilorong sepi yang tidak ada seorangpun mengenalku sepulang kerja di tempat mami tadi.

“Mbak masih kerja dipasar?” tanyanya

“Ya..” aku mengangguk. Beberapa hari ini aku selalu bertemu dengannya di Bis. Bercerita tentang hidupku, tentang keinginan ibu agar aku menjadi wanita soleha dan berjilbab seperti dia. Tapi aku berbohong saat dia bertanya aku bekerja di mana, kukatakan saja bahwa aku bekerja di pasar menjual kain. Dan sampai saat ini dia masih suka memberiku selebaran kertas yang berbeda-beda, selebaran-selebaran yang bermanfaat itu kusimpan di rumah dan telah ku jilid di warung Pak Rahmat kemarin sore.

“Mbak, katanya Mbak suka ngajikan sampe ibu Mbak menangis kalo denger suara Mbak, nih sebagai hadiah aku kasih ini ke Mbak, tapi dengan satu syarat Mbak harus tetep baca walau satu hari satu ayat” katanya dengan suara lembut. Sepertinya dia lebih dewasa dariku. Aku kaget, gemetar saat kitab suci itu dipeganganku. Dia hanya tersenyum. “Sebagai bekal buat di akhirat, mau kalo kita nanti gak punya ongkos kesana Mbak!” ucapnya kembali. Jantungku berdegub hebat, kenceng, ada rasa penyesalan, takut luar biasa.

“Oh ya Mbak, pengen deh aku rasanya meninggal nanti dalam keadaan memegang AlQur’an, bukan dalam kemaksiatan” aku seperti di sindir dengan perkataannya yang tajam itu. Tapi aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.

Badanku lunglai, lemah, pandanganku gelap, rasa sakit luar biasa. Mbok Nem tetanggaku membantu mengompres dan memberiku obat ala kadarnya. Teleponku berdering sedari tadi. Kuangkat ketika tubuhku mulai sedikit membaik. Elis mengajakku untuk datang lebih awal, kemungkinan orderan banyak masuk hari ini. Aku menghela napas panjang memberitahu bahwa aku sedang sakit. Di seberang sana dia mendo’akan supaya aku cepat sembuh dan secepatnya beroperasi lagi.

“Ndok, kamu mesti kepuskesmas aja” kata Mbok Nem sambil menyuapiku. Aku diam tak berkutik. “Mbok, aku ingin sholat, aku ingin tobat” air mata itu mengalir begitu deras, sampai Mbok Nem harus menenangkanku saat aku tersedak.

“Yo wis, kamu sehat dulu nanti kita solat bareng, ngaji bareng, kapan-kapan kamu tak ajak ke mushola depan saat pengajian, kadang juga ada ustad yang di TV itu loh dateng” aku tersenyum mengangguk ingin sekali. “Kalo orang sakit itu di beri keringanan oleh Allah SWT, gakpapa gak solat, ada ketentuan-ketentuannya, jika tidak bisa tegak yo duduk, kalo tidak bisa sholat duduk ya berbaring, kalo gak bisa sama sekali ya gak papa, Allah gak marah. Ya, paling di solati kayak mayit gitu mau, makanya sebelum kita di solati orang lain, kita harus sholat dulu menyiapkan diri kita” katanya panjang lebar mempraktekkan apa yang di dengarnya dari ustad-ustadzah. Aku kagum dibuat Mbah satu ini.

Adzan subuh telah berkumandang, aku semalaman tidak bisa tidur lelap, sedikit-sdikit bangun. Teringat perkataan Pak Dokter kemarin sore bahwa aku mempunyai penyakit Aids. Mungkin hidupku tidak akan lama lagi, karena Dokter menyarankanku untuk di rawat inap, tapi aku menolak alasan tidak ada biaya.

“Ikutin Mbok ya, mbok juga kurang hebat dan kurang sempurna, tapi titik-titik wes biso” dia bergerak mengucap Allahuakbar, kemudian membaca Al-fatihah dan sederetan ayat pendek, kemudian rukuk, I’tidal, sujud, duduk dan seterusnya. Aku menangis di sepanjang solat, mengingat ibu yang datang menemuiku malam tadi saat aku terlelap sedikit. Dia tersenyum mengajakku dan aku mengikutinya.

“Mbok mau berangkat mulung, kamu disini saja kalo masih lemes,” dia telah menyiapkan sepiring bubur di meja.

“Mbok, bisakah kau menemaniku hari ini, tidak usah mulung, siti punya simpanan duit untuk Mbok” dia melongok heran. “Loh, ya mesti nyarilah Ndok, gimana kamu iki Ndok”

“Satu hari ini saja temani siti, kita mengaji bareng” ajakku. Dia mengikuti kemauanku. Aku senang luar biasa. “Bismillahirrohmanirrohim,” kumulai membaca surat pilihanku surat An-nuur : 30-31. Tes-tes, air mata itu kembali menetes, kubaringkan tubuhku yang tadi duduk sambil mengaji, tubuhku lemah, lunglai, tidak ada tenaga sama sekali. Kudengar sayup suara memanggilku. “Aku pergi Mbok assalamualaikum.” Ti, Siti, loh katanya mau ngaji kenapa baru dua ayat sudah tidur, kamu kecapekan ya, tidak tidur semalaman “Tubuhku digoncang oleh Mbok. Dia menangis, berlari memanggil tetangga “Siti meninggal” … “Inalillahi waina ilaihirojiun”

Diseberang sana di musollah

“Ya’ minjem pena dong, kotak pensilku ketinggalan dirumah”

“Ambil aja di tas, sekalian bawa kesini ya frend” kata Naya sambil menulis

“Loh, ini jilbab yang kamu beli bulan kemarenkan sama teh Lisa” Ririn teman Naya merogoh-rogoh tas mencari kotak pensil. Naya mengangguk

“Kenapa di bawa terus?” tanyanya

“Untuk seseorang, tapi gak pernah ketemu”

“Mbak Siti yang kamu certain dulu, yang karena selebaran itu dia memakai jilbab” Naya mengangguk.

“Namanya juga temen di Bis, gak mesti ketemu terus Ya’, paling naik Bis lain”

“Tapi kita satu arah terus Rin, makanya aku yakin pasti akan ketemu walau di kemudian hari, namanya juga Dakwah, jangan menyerah begitu saja, Sabar, Sabar” Naya memandang temannya penuh semangat dan kemudian menepuk pelan pundak temannya itu.

“Walau sampai kapan pun” kata Ririn tidak yakin

“Ya, sampai kapan pun, aku akan tetep membawa bungkusan jilbab ini, soalnya jilbab yang suka di pakai Mbak Siti cuma itu doang dan agak ribet buatnya” kata Naya mengepalkan tangannya. Mereka tersenyum bersama. SEMANGAT…

Cerpen yang berjudul "Diterimakah Taubatku Mbok?" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Muniza Apitriani. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di akun berikut: munizaapitriani45[-at-]gmail.com

Posting Komentar untuk "(18+) Cerpen Kehidupan - Diterimakah Taubatku Mbok? | Muniza Apitriani"