Cerpen Horror - 18/4 | Selmi Fiqhi
“Eh Fan, denger-denger misteri 18/4 itu
datang lagi.” Ucap Vera yang terduduk di sampingku.
“Oh.” Ucapku singkat sambil terus menatap buku matematika yang selalu membuat gemuruh di otakku.
“Ish, kamu ini tanggapi sedikit
omonganku.” Vera ketus aku hanya sedikit tersenyum padanya.
“Memangnya apa sih misteri 18/4 itu. Aku
nggak tahu” Ucapku polos.
“Hah” Vera terkaget sambil mulut
menganga, aku tertawa lalu menepuk dagunya.
“Aduh Ver, gak usah segitunya kali!” Aku
tertawa-tawa melihat tingkah polosnya.
“Fanya, serius. Kamu bener-bener gak
tahu? Berita ini udah tersebar meluas sejagad raya.” Vera membentangkan
tangannya sehingga aku tertepisnya.
“Ihh gak usah sambil gituan kali sakit
tahu, emangnya apa 18/14 itu?” Aku mulai sedikit serius padanya.
“Belum ada yang bisa ngungkap misterinya
sampai detik ini juga. Jika peristiwa ini hadir pasti akan memakan tumbal yang
cukup banyak. Katanya juga sih, kalau ada yang berhasil mengetahui kisahnya
semua ini akan berakhir. Tapi aku kurang tahu hal ini. Ini terjadi baru kali
ini, katanya sih ada ruh yang mau balas dendam.” Jelasnya. Aku hanya tetap
menatap buku matematikaku. Sebenarnya memang terpaksa aku menatapnya, jika tak
ada ulangan hari ini tak ingin sekali ku menatap satu hurufpun dari buku ini.
“Itu hanya mitos.” Jawabku santai.
“Tak ada manfaat memberitahumu, kau
selalu saja cuek hiks.” Omel Vera. Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkah
Vera yang kekanak-kanakan.
“Brukk” Aku melemparkan tasku di atas
kasur. Lalu ku ganti pakaianku dengan baju biasa sehari-hari. Ku lihat segelas
air di atas laci mejaku. Langsung ku raih gelas itu dan meneguknya mantap. Hari
ini aku sangat haus sekali sampai-sampai seperti orang yang tak minum selama
100 tahun.
Aku melemparkan tubuhku dikasurku. Lalu
ku gantungkan headset dikupingku. Aku mulai mengotak-atik handphoneku. Memilih
lagu yang akan ku putar. Sambil mendengarkan musik, sepertinya cukup asyik
sambil membuka social network facebook. Ku mulai memasukan email dan passwordku
untuk dapat mengakses akun facebookku. Terlihat ada 5 request pertemanan, 1
pesan dan 11 pemberitahuan. 1 pesan? Kira-kira dari siapa ya?
“Mira: Fanya”
Ternyata dari Mira. Sahabatku yang satu
ini cukup dekat denganku. Dia memiliki wajah yang hitam manis. Aku menyukainya.
Sepertinya aku balas saja.
“Fanya: Apa Mira 😛 ?”
1 menit, 5 menit, 10 menit Mira belum
membalas chatku sama sekali. Padahal dia yang pertama mengirim pesan padaku.
Seketika aku melihat sekelilingku, aku sedikit menoleh ke arah cermin, aku
terkaget.
“Mi.. Mira” Aku melihatnya tersenyum
dari cermin, dia berada disampingku. Aku melirik ke arah sampingku tapi tak ada
siapa-siapa. Seketika aku melihat kembali cermin,
“Hhah” Aku terkejut dan langsung berdiri
lalu keluar dari kamarku. Di sana aku benar-benar melihat Mira berlumuran darah
dan ada goresan luka membentuk huruf H dipipinya. Aku benar-benar takut.
“Tuttt… Tutt”
“Vera?” Dia menghubungiku, akupun
menjawab panggilannya.
“Hallo Fan, Fan gawat Mira meninggal
Fan”
“Apa?!”
“Kematiannya belum terungkap. Katanya
ibunya denger Mira teriak, tahu-tahu dia udah berlumuran darah. Emang
menggenaskan dan misterius banget ya” Jelas Vera padaku. Aku masih sedikit
heran. Aneh sekali, kemarin aku melihat dia dicermin dengan berlumuran darah.
Atau ini hanya kebetulan atau halusinasi saja ya. Iya sepertinya.
PEMBANTAIAN DI MULAI SATU PER SATU
“Ris, kamu tahu gak soal kematian Mira?”
Aku memulai percakapan dengannya. Dia hanya sibuk memakan baksonya.
“Emm itu, aku tahu tapi kematiannya
sedikit misterius gitu.” Jawab Riska dengan mulut penuh. Aku hanya diam menatap
Riska yang ada disampingku. Seketika aku melihat ke bawah, aneh sekali tidak
ada bayang-bayang Riska disana.
“Kok ga ada ya?” Dengusku pelan.
“Apa yang gak ada Fan?” Tanyanya.
“Oh gak ada kok. Kamu udah selesai
makannya?” Tanyaku balik.
“Udah yuk ke kelas” Ajaknya. Akupun
mulai berjalan bersamanya menuju kelas. Aku melihat ke bawah tak ada
bayang-bayang di sana. Aneh sekali ada apa sebenarnya. Seketika aku lihat
sebuah bayangan dari tubuhnya membentuk huruf T.
“Hahh” Aku terkejut, Riska tampak
bingung.
“Ada apa?”
“Gak ada” Jawabku singkat.
“Oh ya udah, kamu bisa ke kelas
sendirikan? Aku kebelet nih.” Omelnya. Aku hanya mengangguk lalu
meninggalkannya pergi. Aku beranjak menuju kelas. Ketika masuk aku tak melihat
Vera disana. Kemana dia?
“Teman-teman gawat nih!” Tiba-tiba Vera
datang dengan nafas ngos-ngosan.
“Ada apa Ver?” Murid-murid langsung
panik melihat Vera yang datang tiba-tiba dengan wajah sedikit pucat.
“18/4, 18/4 memakan korban ke 2. Riska,
dia udah di temuin tergeletak di toilet perempuan dengan berlumur darah.”
Jelasnya aku langsung membelalakan mataku.
“Lo serius Ver?” Tanyaku. Sementara Vera
hanya mengangguk pelan.
18/4, aku tak mengerti. Sudah dua orang
yang menjadi korban. Dan anehnya sebelum korban itu meninggal aku melihat hal
aneh terlebih dahulu. Saat Mira aku melihatnya berlumuran darah di cermin.
Riska melihatnya tanpa bayang-bayang. Aneh sekali. Ini pasti hanya kebetulan
saja. Itu kebetulan.
“Fanya… Fanya.” Aku mendengar seseorang
berbisik-bisik ditelingaku memanggil namaku.
“Siapa? Siapa kau?” Aku menyerunya
sambil berputar-putar mencarinya. Ku tatap sekitarku aku berada di tempat yang
cukup gelap dan tak tahu di mana. Ku berjalan mengintari tempat itu, aku rasa
tempat ini tak terlalu asing menurutku.
Ku mulai meraba sekitar tempat itu. Tiba-tiba
sekelebat bayangan hitam melintas didepanku.
“Apa itu? Siapa kau! Tunjukkan dirimu!”
Seruku padanya. Kini bayangan itu berputar-putar di langit-langit sambil
tertawa-tawa.
“Hahahaha aku adalah 18/4!” Itulah yang
diucapkannya. Semakin lama tawanya itu semakin dasyat dan hampir merusak
gendang telingaku. Aku menutup kedua telingaku rapat-rapat.
“Hentikaaannnn!” Seruku padanya. Namun
apa yang yang ku ucapkan sama sekali tak terdengar karena teriakannya yang amat
dasyat. Dia mengulang-ngulang kata tadi beberapa kali. Sehingga membuat gentar
ruangan. Aku melihat angin dari atas menyerbuku, aku berlari menghindari
bayangan dan angin itu. Namun semakin lama angin tersebut semakin cepat,
sehingga aku…
“Tidaaakkkk.”
“Huhh huhh” Aku bernafas terengah-engah.
Ternyata itu hanya mimpi buruk.
“Clekk, Treek”
“Ada apa kak?” Tiba-tiba Faya adikku
datang membuka pintu dan menyalakan saklar lampu sambil mendekap boneka di
tangan kanannya. Dia kelihatannya sedikit gugup.
“Tidak ada apa-apa, kamu pergi tidur
lagi. Masih larut.” Suruhku padanya.
“Tak mau kak, aku takut. Bolehkan aku
tidur denganmu malam ini.” Pintanya. Akupun mengiyakan permintaannya. Diapun
beranjak menuju kasurku. Aku sedikit bergeser memberinya tempat untuk tidur.
Dia langsung terlelap di sampingku. Aku menyelimutinya. Lalu mencium keningnya.
“Kakak sayang Fay. Kamu tidur yang lelap
ya.” Akupun ikut tidur bersama adikku yang berumur 7 tahun ini. Dia memang
sangat ku sayangi. Adikku satu-satunya. Ayah sengaja memberikan nama yang
hampir sama denganku. Karena menurut ayah ketika dia lahir, dia mirip sekali denganku.
Maklum aku kan kakaknya. Sehingga ayah ingin sekali memberikan nama yang hampir
sama denganku.
1 April 2013
Akankah hari ini memakan korban lagi?
Aku harap tidak. Aku harap kejadian 1 minggu lalu tentang kematian kedua
sahabatku Mira dan Riska bukanlah berhubungan dengan misteri 18/4. Aku tak mau
mendengarnya lagi. Hal ini sunggu membuatku sedikit gila.’
“Plukk” Aku menutup buku itu
keras-keras. Aku menutup telingaku saat itu juga. Aku menangis. Ya, terlihat
keadaan kelas masih sepi. Aku sendirian ada di kelas ini. Aku benar-benar
hampir gila dibuat misteri 18/4. Tak bosannya, setiap malam dia selalu
menghinggap mimpiku. Setiap malam 18/4 selalu menjadi misteri di sana. Pernah
aku bermimpi, Mira dan Riska meminta tolong padaku agar segera memecahkan
misteri ini agar tak akan ada korban dan mereka akan bebas. Aku benar-benar tak
mengerti akan semua ini. Mengapa mereka memintaku? Aku tak tahu apa-apa tentang
hal ini. Aku tahu setelah Vera memberi tahuku. Ahh aku benar-benar gila akan
hal ini.
“Fanya kamu kenapa pagi-pagi udah
nangis?” Danu tiba-tiba duduk didepanku tempat bangku duduk bekas Mira. Hmm,
Danu memang sahabatku. Dia juga sahabat Fathir pacarku. Aku selalu
mengaguminya, dia selalu membuatku tertawa di saat aku bersedih.
“Kamu kok nangis, wajah kamu lusuh
banget. Kamu belum mandi ya?” Ejeknya padaku.
“Ih apaan, udah tahu!” Aku murung
mendengarnya dia hanya tertawa-tawa kecil.
“Nah gitu dong ketawa biar Fathir tambah
sayang tuh hahaha”
“Apaan kamu Danu, Fanya gak senyumpun
aku tetep sayang, cuma gak enak aja liatnya kalo cemberut.” Seketika Fathir
datang dan langsung menggetok kepala Danu.
“Ih thir, gak usah getok sakit.”
“Hhaahah.” Aku dan Fathir tertawa-tawa.
Sejenak aku sedikit melirik ke belakang.
‘Siapa dia?’ batinku.
“Fanya, sekarang pulang bareng yuk.”
Ajak Putri padaku. Tak seperti biasanya gadis menor ini mengajakku pulang
bersamanya. Biasanya dia sedikit sombong padaku, namun tak apa menerima
kebaikan seseorang terhadapku apa ruginya?
“Boleh.” Jawabku singkat.
“Ya udah nanti bareng ya, tapi anterin
aku ke toilet dulu.” Pintanya padaku. Aku hanya mengangguk mantap padanya. Dia
tersenyum padaku. Tak biasa dia ikhlas tersenyum padaku.
“Aduhh.” Dia terus mengoles-oleskan lips
glossnya, anak ini mau pulangpun harus berdandan dulu. Tak aneh jika dia
terlihat cantik setiap hari. Seketika dia membereskan rambutnya, aku berniat
mencuci tangan dan membenarkan sedikit rambutku. Terlihat dari cermin Putri
sedang sibuk sendiri merias tampilannya. Seketika aku melirik tanganku lalu
menatap cermin lagi.
“Astaghfirullahal’adzim.” Gerutuku,
Putri kaget mendengar aku mengucapkan istighfar.
“Ada apa Fan?” Dia heran menatap wajahku
yang sedikit pucat.
“Gak ada Put, yuk pulang.” Jawabku
dengan suara parau. Diapun mengangguk. Kami beranjak keluar dari toilet. Ku
lihat dia sedang asyik sendiri dengan BBnya. Wajar sih dia memang terkenal
cantik di sekolahan. Namun aku merasa resah menatapnya. Aku tak pernah berfikir
jika Putri yang kini ada disampingku, yang sedang asyik membalas bbm dan
chatting dari para fansnya akan mengakhiri hidupnya hari ini dengan
meninggalkan misteri dan menggenaskan. Jelas tadi aku melihat bayangannya dari
cermin dengan goresan huruf D dipipinya. Aku benar-benar tak kuasa bila
melihatnya akan pergi.
“Fanya kok nangis?” Gerutunya padaku.
Aku kaget mendengar dia.
“Gak ini cuma kelilipan kok.” Aku
berpura-pura mengibaskan tanganku di depan mataku.
“Ini.” Tiba-tiba dia menyondorkan sapu
tangan ke arahku.
“Buat apa?” Tanya ku polos. Dia malah
tertawa-tawa mendengar perkataanku.
“Hapus air mata kamu. Kamu jelek banget
kalau cemberut.” Dia mengusap air mataku dengan sapu tangan miliknya.
“Makasih Put.” Ucapku. Diapun tersenyum
lalu meletakan sapu tangan itu di tanganku.
“Iya sama-sama. Kamu simpen ya.”
Desahnya padaku.
“Kenapa aku harus nyimpan ini?” Tanyaku
padanya.
“Kau tahu sapu tangan bisa menghapus air
mata. Kalo kamu nangis aku bisa pake itukan. Dan kau tahu apa itu arti
sahabat?” Dia balik bertanya padaku.
“Seseorang yang dapat menghapus air mata
temannya.”
“Kau lebih pintar dari yang ku duga.”
Ucapnya sambil tersenyum.
“Dan kau lebih baik dari yang ku tahu.”
Seketika dia terhenti mendengar ucapanku. Ada raut gelisah di wajahnya.
“Kamu kok diem?” tanyaku.
“Gak kok aku cuma baru nyadar rumah ku
udah terlewat hahah.” Tawanya.
Aku ikut tertawa. Diapun kembali
beberapa langkah dari tempat dia berdiri.
“Makasih udah anterin aku pulang, bye.”
Ucapnya manis. Akupun tersenyum padanya. Dia mulai masuk ke dalam toko bunga
kecil itu. Karena memang rumahnya menyatu dengan toko bunga milik ibunya.
Seketika ku lihat Kiki, kakak kelasku yang baik hati itu.
“Kak mau kemana?” tanyaku.
“Aku mau beli bunga. Kau mau ikut?”
Tanyanya padaku.
“Tidak terimakasih kak.” Tolakku
padanya. Diapun pergi lalu masuk ke dalam ruangan yang tak luas itu. Sekitar 10
detik tak terjadi apa-apa. Namun setelah itu aku mendengar…
“Aaaaa” Kak Kiki dan Putri berteriak.
Aku langsung berlari dan memeriksa keadaan di toko bunga Putri. Seketika aku
melihatnya tiba-tiba tubuhku lemas.
“Tak salahkah yang ku lihat?”
‘Apakah kematiannya ini berhubungan
dengan 18/4?
Tidak hal ini semakin gila. Aku tak mau
keluar dari ingatanku gara-gara hal ini. Aku benar-benar masih ingat
kebaikannya padaku waktu itu. Aku tak bisa melupakannya.’
“Kamu sakit apa?” Tanyanya padaku.
“Aku gak papa.” Ujarku.
“Ya udah, kamu di sini aja ya dari pada
kamu makin sakit nanti. Oh iya nama kamu siapa? Kelas berapa?”
“Fanya, 1 IPS 2” Seketika dia
menggerak-gerakkan pena yang dipegangnya ke sebuah buku yang dia rangkul.
“Jangan kemana-mana ya” Dia tersenyum
manis padaku, akupun hanya membalas sedikit senyumannya. Lalu dia pergi.
“Awas dulu dek!” Diapun langsung masuk
ke toilet. Tepat saat aku keluar dia langsung masuk dan memberi isyarat dengan
menunjukan telunjuknya di bibirnya. Aku hanya mengangguk seperti orang yang
mengerti, walau sebenarnya aku sedikit bingung.
“Kamu lihat orang kesini?” Tiba-tiba Pak
Andi guru terkiller itu datang mengagetkanku. Aku hanya menggeleng. Mungkin
maksud wanita tadi adalah untuk diam tak memberi tahu keadaannya.
“Oh ya sudah. Cepat pulang apa diam di
sini” Ujarnya.
“Baik Pak.” Diapun berlalu, perlahan
gadis tadi keluar.
“Makasih ya… Fa.. n.. Fanya.” Ucapnya
sambil membaca namaku yang terpampang diseragamku.
“Sama-sama kak Ki.. ki.” Aku tersenyum
padanya.
“Eh kamu anak yang waktu senin
sakitkan?”
“Bukan.” Jawabku singkat.
“Aduh gak usah bohong, aku inget kamu
ana kelas 1 IPS 2 kan?” Ujarnya. Aku hanya tersenyum padanya.
“Ayo pulang bareng aku sering lihat kamu
pulang sendiri lewat rumahku.” Ucapnya lagi akupun menyetujuinya lalu pulang
bersamanya.
“Kak Kiki kenapa Kakak yang harus jadi
korban berikutnya. Siapa lagi yang akan menyapaku ketika pulang di depan
rumahmu. Tidak akan ada lagi” Isakku sambil melihat fotonya yang sedang
tersenyum manis padaku.
“Aku berfikir Putrilah yang akan pergi,
namun dugaanku meleset. Kau yang akan pergi”
2 April 2013
Seniorku yang amat ku sayangi telah
menjadi darah dari misteri ini. Sekarang siapa lagi? Apakah hal ini akan
merenggut semua orang yang aku sayang? Jika iya, mengapa harus aku?’
Perlahan air mataku mulai membasahi buku
itu. Diaryku. Tulisan hitam itu berubah menjadi agak pudar warnanya karena
tergores air mataku.
“Udah Fan, kita hanya tinggal tunggu
kematian kita.” Tiba-tiba Vera datang sambil merangkulku. Spontan aku langsung
menutup buku diaryku. Vera hanya menatapku sedikit heran. Akupun langsung
menyeka buliran air mataku dengan sapu tangan pemberian Putri kemarin. Vera
sedikit terdiam menatapku menyeka air mata dengan sapu tangan itu.
“Kenapa Ver?” Aku menatapnya heran.
“Gak ada.” Ucapnya singkat. Akupun
memasukan sapu tangan itu ke dalam sakuku. Ku lihat Danu dengan Kila sedang
jalan berdua romantis. Ada apa sebenarnya dari mereka?
“Kalian udah jadian Kil?” Tanyaku heran
padanya. Mereka berdua hanya bertatapan lalu tersenyum. Aku ikut tersenyum padanya,
sepertinya mereka benar-benar telah jadian. Aku merasa senang karena mereka
selalu curhat padaku atas perasaannya satu sama lain.
“Wahh selamat ya. Semoga langgeng”
Ujarku pada mereka.
“Makasih Fan.” Ucap Danu padaku.
“Yang baru jadian romantis banget. Kita
juga bisa romantis gitu ya Fan.” Fathir tiba-tiba merangkulku. Sementara Vera
hanya duduk melamun sedikit murung. Aku sedikit melepaskan rangkulan Fathir.
“Ih kamu, ini di kelas thir.” Ucapku.
Diapun beranjak pergi ke tempat duduknya. Akupun duduk di samping Vera sambil
menatap meja Mira dan Riska yang kosong.
“Aku kangen mereka. Biasanya mereka
selalu menghadapku dan mempunyai cerita-cerita baru.” Vera mendekap, dia
mendekapku sangat keras.
“Sudah. Ini sudah takdir.” Vera terus
menenagkanku. Tak ku sadari, aku menjadi sorot mata yang ada di dalam kelas.
Aku tak peduli. Mereka menatapku, banyak yang berkata aku so imut, kecentilan,
caper, namun yang aku rasakan benar-benar sedih. Namun Danu, Putri, Vera,
Killa, Angel, Fathir, Nami, Tari, Hendri dan Toni sahabat-sahabatku, sepertinya
merasakan hal yang sama. Karena memang kami semua beserta Mira dan Riska
menjalin persahabatan yang cukup dekat. Walau itu hanya sekitar baru 8 bulan,
namun kami sudah bisa mempercayai satu sama lain.
“Kamu gak jalan sama Fathir?” Tanya Danu
yang terduduk di motor ninjanya.
“Gak.” Jawabku singkat.
“Oh ya udah, aku mau jalan dulu sama
Killa.”
“Ciee yang baru jadian.” Sindirku
padanya.
“Hahah yo Killa.”
“Ya udah senang-senang ya.” Aku
melambaikan tangan pada mereka. Killa ikut melambaikannya. Seketika mereka
berlalu aku melihat bayangan dari mereka membentuk huruf E dan A.
‘Apa aku melihat itu?’ Batinku dalam
hati.
‘1, 2, 3 dan kini 5. Mereka telah
menjadi darah. Peristiwa ini telah meregang 5 nyawa manusia yang aku sayangi.
Masih berapa orang lagi yang akan menjadi tumbalnya? Daripada harus mereka
lebih baik akulah yang menjadi darah dari peristiwa ini. Yang aku tak kuasa
menahan kematian 2 orang sepasang kekasih ini, mereka baru saja jadian dan akan
menjalani masa-masa bahagia mereka. Namun takdir melarangnya..’
RAHASIA LANTAI 4 SEKOLAH
Pagi ini suasana sangat mencekam,
sekolahan masih sangat sepi. Mungkin di sini hanya ada satpam dan beberapa anak
yang sudah datang. Suasana semakin mencekam ketika aku melewati koridor
sekolah. Apalagi setelah melewati lantai 2. Berhubung sekolahku memang luas
karena merupakan sekolah SMP dan SMA. Kelasku memang terletak di lantai 3, jadi
cukup lama untuk mencapai kelas.
Seketika aku terdiam ketika melihat
tangga menuju lantai paling atas, lantai 4. Aku tak pernah melewati satu anak
tanggapun untuk menuju lantai sana. Tiba-tiba rasa penasaran terbersit di
hatiku.
‘Sebenarnya ada apa dilantai empat?’
Gumamku dalam hatiku. Perlahan aku mulai melewati anak tangga itu namun…
“Mau kemana kamu?” Tiba-tiba seorang
satpam memergokkiku.
“Gak Pak, permisi.” Aku langsung berlari
menuju kelasku.
‘Aduh sialan banget tuh satpam’ Aku
berceloteh di hatiku. Mengapa satpam itu melarangku kesana. Hmm apa ini
berhubungan dengan 18/4? Ahh Fanya, kenapa sih kamu terus aja mikirin hal aneh
itu.
“Clekk” Perlahan aku mulai membuka ruang
kelasku. Kosong, masih tak ada orang kecuali aku di sini. Aku mulai berjalan ke
mejaku yang memang berada di belakang, paling belakang. Aku mulai menatap
sekelilingku. Kelas terasa suram. Karena memang ruangan kelas ini cukup luas.
15 X 12 m2. Hmm.
Seperti biasa akulah yang paling awal
datang ke sini, dan hal yang selalu ku lakukan di sini adalah menulis, tak ada
lagi.
Ku tatap arlojiku 06:35, masih pagi
sekali.
’03 April 2013
Mira H
Riska T
Kiki D
Danu E
Killa A
Huruf apa lagi yang akan muncul? Dan apa
maksud semua huruf ini? Aku tak mengerti. Sungguh!’
Aku mulai menatap dan mengingat untaian
huruf itu, sedikit ku memikirkan sesuatu.
‘Tunggu, ini seperti teka-teki,
sepertinya ini membuat sebuah kata, tunggu apakah TEADH? Bukan tapi.. tapi
DEATH = KEMATIAN
“Fanya, aku pinjam bukumu boleh?” Angel
memelas padaku.
“Ya udah, tapi malem di kembaliin ya
soalnya ada pr.” Akupun meminjamkan buku B. Indonesiaku padanya. Aku tahu 1
minggu lalu dia tak sekolah karena kematian Riska itu, diakan sepupunya.
“Iya, nanti kamu ke rumah aku ya.
Makasih udah ngasih pinjam.” Gumamnya padaku. Akupun tersenyum kecil padanya.
Dia kembali ke tempat duduknya yang kosong disampingnya karena itu adalah
tempat duduk bekas Killa.
“Fay, temenin kakak ke rumah kak Angel
ya.” Pintaku pada adikku ini.
“Kenapa harus aku kak?” Tanyanya.
“Kakak takut sendiri yuk.” Akupun
menarik tangan anak ini. Lalu beranjak keluar.
“Sayang mau kemana?” Sapa ibuku dari
dapur.
“Mau ke rumah Angel mau bawa buku Indo
Fanya.”
“Ya udah hati-hati ya.”
“Bentar ya Fan, dikit lagi nih, satu
paragraf.” Ujarnya sambil terus menari-narikan pena di kertas yang ada
didepannya. Dia terduduk di meja belajarnya yang depannya adalah cermin.
“Santai aja ngel.” Ucapku. Seketika aku
menatapnya tiba-tiba
‘Ya allah, lagi’ Aku bergumam dalam hati
sambil menutupkan mataku. Sejenak ku buka lagi. Angel mulai merapikan bukunya
lalu menghampiriku.
“Ini makasih ya Fan, berguna banget.”
Dia tersenyum hangat padaku, aku membalasnya sehangat mungkin karena aku tahu,
firasat hatiku dia akan pergi malam ini. Tadi aku melihatnya di cermin tergores
huruf R dipipinya dan tubuhnya sudah tergeletak di lantai dengan menggenaskan.
Tidak.
Akupun mulai keluar dari kamar Angel dan
menuruni tangga satu per satu tangga ku lihat kedua orang tua Angel sedang
terduduk di sofa berdua sambil menonton televisi.
“Om Tante, Fanya pamit dulu ya.” Sapaku
pada mereka.
“Iya, kapan-kapan ke sini lagi ya.”
Akupun tersenyum pada mereka lalu pergi keluar, baru saja beberapa langkah aku
mendengar suara Ibunya Angel berteriak.
“Angeelll!!!” Seketika aku langsung
memeriksa keadaan di rumah Angel. Aku membukakan pintu rumah Angel tanpa izin,
ku lihat Ibu Angel tergeletak pingsan dan Ayahnya kaget tak percaya.
“Om ada apa?”
“Kamu..” Tiba-tiba dia memandangku penuh
dendam.
“Bu, Ibu percaya sama saya Bu, saya tak
mungkin melakukan hal ini Bu, Bu sumpah saya tak pernah melakukan hal kriminal
ini. Ibu tahukan bagaimana sifat saya Bu? Waktu itu juga saya tak membawa benda
tajam atau semacamnya Bu. Ibu percayakan sama saya? Saya murid Ibu, Ibu juga
tahu bagaimana saya berlaku di kelas? Apakah Ibu percaya mendengar mereka Bu.
Itu hanya ketidak pahaman Bu” Aku memelas pada Bu Aisya, wali kelasku. Dia
hanya terdiam mendengar perkataanku saat itu juga. Saat itu aku menangis pada
Bu Aisya agar dia bisa percaya semua yang aku katakan. Aku memang jujur, tapi
memang aku tak punya bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa aku tidak
bersalah.
“Sudah Fanya, Ibu tahu kamu bukan anak
yang seperti itu. Sekarang kamu bersabar ya. Ibu percaya sama kamu kok.” Diapun
memelukku sambil mengusap kepalaku. Aku terisak sambil mendekapnya.
“Terimakasih Bu, Saya tahu Ibu mengerti
perasaan saya.”
“Hati-hati dia pembunuh!”
“Ih pembunuh kok belum di keluarin ya?”
Aku hanya terdiam mendengar ocehan
mereka. Jelas aku bisa mendengar mereka terus mencemoohku dari belakang. Tapi
apa juga untungnya denger omelan mereka? Biarlah fitnah-fitnah itu lalu-lalang
dari mulut ke mulut. Dan biarkan mereka masuk ke telinga kananku lalu keluar
dari telinga kiriku. Aku sudah tak peduli mendengarkannya.
“Vera kenapa kamu pindah duduk?”
“Kamu pikir ada orang yang mau satu
bangku dengan pembunuh?” Ujarnya. Aku hanya terduduk pasrah akan keadaan
menahan emosi. Ingin sekali aku berbicara di depan matanya. Tapi… Sabar Fanya,
Sabar. Tiba-tiba Putri datang dan duduk di sebelahku.
“Untuk apa kau duduk dengan seorang
pembunuh? Tak takutkah kau akan ku bunuh?” Ucapku ketus padanya sambil menahan
air mata.
“Kau tahu, sahabat sejati selalu
menghapus air mata sahabatnya.” Diapun mengeluarkan sapu tangannya lalu
mengusap air mataku.
‘Putri, kau begitu tulus’ Batinku.
“Mama percayakan sama Fanya, Mama bisa
tanya Faya apa yang Fanya lakukan di rumah Angel. Fanya gak pernah bunuh dia.”
Aku terisak di dekapan Mamaku. Dia hanya mengangguk sambil mengelus-elus
tanganku. Aku yakin Mama percaya padaku. Pasti.
“Iya sayang, Mama tahu calon menantu
Mama tak mungkin seperti itu. Kamu baik gak mungkin melakukan tindakan tak
berperikemanusiaan itu.” Mama meyakinkanku. Akupun melepaskan dekapannya lalu
menyeka buliran hangat dari mataku. Aku tersenyum padanya.
“Fanya tahu suatu hari mereka akan tahu
Fanya gak salah Ma.” Gumamku padanya. Dia tersenyum padaku sambil mengangguk.
04 April 2013
Tak bisakah mereka tak membesar-besarkan
hal ini. Ini sungguh memecahkan telingaku. Hatiku memang panas, namun aku
selalu mencoba bersabar. Ya allah, sabarkan aku dari ujian ini. Aku tahu Kau
tak mungkin membebankan sesuatu yang hamba-Mu tak bisa memikulnya. Dan aku tahu
setelah ini akan ada kebahagiaan. Walau tuduhan-tuduhan itu terus
bergentayangan ditelingaku’
“Ayah, apakah ayah tahu misteri 18/4?
Ayah bilang, dulu ayah sekolah di SMA ku.” Aku menanyainya yang saat ini sedang
sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Seketika ayah langsung menatapku.
“Ada apa Ayah?”
“Sudah itu tak penting masih banyak
pekerjaan ayah yang belum terselesaikan.” Seketika dia mendorongku keluar. Aneh
sekali mengapa dia tiba-tiba bersikap seperti itu padaku?’ Akupun keluar lalu
beranjak duduk di samping Ibuku yang sedang menonton televisi.
“Bu, Ibu tahu peristiwa 18/4?” Tanyaku
padanya.
“Kenapa kamu tanya itu?” Tanya dia
balik.
“Tidak apa-apa Bu.”
“Kalau tidak apa-apa ngapain kamu tahu
hal itu.” Jawabnya cuek.
“Eh Bu, Mama udah pulang ya?” Tanyaku
padanya, dia hanya mengangguk lalu kembali menatap televisi.
“Bu, Ibu percaya Fanyakan seperti Mama,
Ayah dan Fay?” Aku menanyainya lagi, Ibu tersenyum lalu menarikku untuk duduk
di sebelahnya. Aku di rangkulnya.
“Putri Ibu gak mungkin gitu. Ibu percaya
sama kamu.”
“Nami, Tari, Hendri dan Toni. Mereka
akan pergi hari ini.” Desahku pada Putri. Kini Putri telah menjadi teman
curhatku. Sewaktu mereka berjalan di koridor, aku melihat bayangan mereka
membentuk huruf O, O, M dan A. Aku sedikit terdiam, Putripun sama.
“Kita hanya tinggal tunggu ajal meregang
nyawa kita.” Ucapnya. Ucapannya hampir sama dengan yang Vera ucap. Hampir.
“Sepertinya semua ini tak lama lagi.
Kita akan mati muda.” Keluhku. Putri hanya terdiam tak berkutik. Tiba-tiba
handphone Putri berbunyi.
“Hallo?” beberapa detik Putri tak berkata
apa-apa. Setelah itu dia mematikan teleponnya lalu memasukannya kembali ke tas
dengan wajah sedikit kaget.
“Ada apa Put?” Seruku padanya. Diapun
menoleh ke arahku.
“Mereka kecelakaan. Nami, Tari, Hendri
dan Toni. Mereka meninggal semua dan ada tanda 18/4 dikaca depan mobilnya.”
06 April 2013
Misteri sedikit demi sedikit
terpecahkan, sepertinya aku telah menemukan sebuah kalimat yang mungkin aneh. A
ROOM DEATH: RUANGAN KEMATIAN. Sepertinya aku mulai berfikir di mana ruangan itu
berada. Apa yang sebenarnya telah terjadi diruang itu?’
“Ibu, bawakan aku makan dan minum ke
kamarku. Aku tunggu ya.” Perintahku padanya. Sementara dia hanya diam di bawah
sana sambil menggerak-gerakan sesuatu yang tak tahu apa. Akupun pergi kembali
ke kamarku. Tampak di atas mejaku sudah ada sepiring mie dan susu. Kesukaanku.
Akupun langsung menyantap mie itu dengan lahapnya. Seketika aku meminum susuku,
‘Kok pahit sih’ Akupun menatap susu itu.
“Hah” Akupun langsung melempar susu
tersebut karena benar-benar jelas ku lihat susu yang aku minum bukanlah susu
tapi darah, ya darah segar. Sejenak ku tatap mie tadi ternyata yang ada di sana
adalah segumpal cacing-cancing hidup yang bergelayutan di piring. Arrghh aku
sangat mual. Mulai ku perhatikan setiap sudut ruangan.
‘Mengapa ruangan ini buruk sekali.
Apakah ini kamarku?’ Aku mulai melihat-lihat, di lantai banyak sekali percikan
darah, di sudut ruangan banyak sekali jaring laba-laba. Keadaannyapun sangat
kotor. Tiba-tiba bau amis menghampiri hidungku. Aku mulai mencari-cari asal bau
itu. Seketika baunya semakin menyekat hidung. Aku menoleh ke arah belakang. Di
sana ku lihat seorang berjubah hitam membawa sebuah parang. Sepertinya dia
melaju ke arahku. Aku mulai berjalan mundur. Ketika itu aku semakin takut
melihatnya berlari menuju ke arahku. Akupun langsung berlari menuju sebuah
pintu namun…
“Aaaaaa.” Aku mimpi buruk. Keringat
dingin mulai bergulir berjatuhan dipipiku. Aku mengusapnya lalu beranjak bangun
dari kasurku.
’05:03′ Batinku. Akupun mulai menuju
toilet untuk berwudlu. Setelah itu ku shalat Subuh. Nampaknya mimpi tadi masih
mengganggu otakku, namun aku mencoba lebih tenang dan melanjutkan wudluku.
“Thir, aku merasakan sesuatu yang aneh
deh.” Ujarku padanya.
“Apa?” Tanyanya singkat.
“Kamu bakal meninggal hari ini.” Ucapku
sekena padanya.
“Apa kau akan membunuhku?”
“Bukan aku yang membunuhmu. Tapi aku
jelas selalu melihat ini jika seseorang akan meninggal. Dan sekarang aku
melihatmu dari kaca spion kau berlumuran darah dan ada goresan N dipipimu.
Sebelum kematian Mira dan Angel, jelas aku melihatnya.” Ujarku. Dia hanya
terdiam. Akupun sama, aku tahu bagaimana perasaan seseorang yang tahu bahwa
dirinya akan meninggal. Resah. Seketika Fathir menghentikan mobilnya di depan
sebuah rumah yang tak asing baginya. Rumahnya. Ku lihat dua orang yang tak
asing keluar dari gedung itu.
“Mama, Papa.” Gumamku. Aku memang
menyebut orang tua Fathir Mama dan Papa. Itu karena mereka sendiri yang
menyuruhnya.
“Terjadi lagi, arrghh.” Aku bergumam
sendiri tampak bayang-bayang membentuk huruf D dan F terlihat.
07 April 2013
Sahabatku, calon suamiku, calon
mertuaku. Mereka telah menjadi darah. Kini aku mengerti ternyata misteri ini
sengaja merenggut nyawa orang-orang yang ku sayangi. Dia ingin aku menderita.
Mengapa tak kau buat aku lebih menderita lagi!
“Ayaahhh, Ibuuuu, Fayy” Aku menangis
histeris melihat 3 orang yang sangat berarti di hidupku telah mengakhiri
hidupnya dengan sangat trangis. Aku terisak hebat. Ku lihat di baju mereka
terdapat sebuah huruf yang di tulis dengan darah.
Aku sungguh tak tahu bagaimana 18/4 itu
merenggut nyawa mereka?
Hal ini benar-benar membuatku stres.
Tiba-tiba handphone ku berdering. Bu
Aisya, ada apa dia menghubungiku?
“Assalamualaikum Fanya.”
“Waalaikumsalam Bu, ada apa Bu?” Aku
menjawab salamnya.
“Fanya, ada orang yang melaporkan
fitnahan kamu membunuh, pada polisi Fan. Kamu harus mengamankan diri Fan. Kamu
bisa datang ke rumah Ibu untuk bersembunyi Fan..”
“Tapi Bu orang tua dan adik Fanya
meninggal”
“Apa?! Innalillahi wainnailaihiroji’un.
Ya sudah kamu amankan dulu diri kamu. Polisi pasti datang ke rumah kamu. Dia
pasti akan mengidentifikasi kasus ini. Jadi cepat Fan sebelum kamu telat.” Seru
Bu Aisya dari sana.
“Ya udah Bu, Fanya kesana sekarang.”
Akupun menutup telepon ku, Ya Allah kenapa hal ini belum berakhir juga. Aku
sudah lelah dengan semuanya.
“Bu Fanya udah gak punya siapa-siapa
lagi. Semua orang yang Fanya sayangi udah pergi. Kini Fanya cuma punya Ibu dan
Putri. Fanya harus lakuin apa lagi Bu biar semua ini bakal berakhir, Fanya gak
kuat.” Aku menangis tersedu-sedu di depan Bu Aisya. Bu Aisya hanya terdiam
menatapku.
“Sebenarnya kenapa Ibu masih percaya
sama Fanya? Padahal semua orang pada gak percaya sama Fanya.” Gumamku pada Bu
Aisya.
“Ibu tahu misteri 18/4 itu.” Ucapnya.
Aku langsung kaget mendengar ucapannya, mengapa Bu Aisya tahu?
“Ibu tahu dari mana?” Tanyaku padanya.
“Ibu tahu ini penting buat kamu, biar
kamu bisa memecahkan misteri ini. Kamu tahukan lantai 4 sekolah?” Ujarnya. Aku
mengangguk.
“Dulu ada siswi yang bunuh diri dilantai
4.” Ujarnya lagi. Bunuh diri?
“Kenapa dia bunuh diri Bu?” Tanya ku
padanya.
“Dia bunuh diri karena di fitnah
mencelakai wanita yang disukai pacarnya. Pacarnya itu mitnah dan mengejek dia
di depan umum. Akibatnya dia bunuh diri. Saat ini mungkin dia ingin membalas
dendam” Gumamnya.
“Tapi Bu, kenapa mesti Fanya yang jadi
korban?” Tanyaku, Bu Aisya hanya diam seribu bahasa. Matanya menatap ke bawah.
Seketika ku amati apa yang ditatapnya.
“Astaghfirullahal’adzim, Bu.”
Aku kaget melihat bayangan Bu Aisya
menjadi huruf R. Bu Aisya hanya mengangguk terdiam.
“Ibu tahu?” Lanjutku.
“Ibu, tahu. Sekarang pergilah ke sekolah
dan jangan hiraukan Ibu.” Perintahnya padaku. Akupun berlari, sebelum melewati
pintu keluar, aku menoleh terlebih dahulu ke belakang. Ku lihat bayangan hitam
lewat dan di sana Bu Aisya sudah mati menggenaskan. Argghh..
“Jadi seperti itu caramu membunuh!”
TUMBAL TERAKHIR
Aku terus berlari, terus berlari. Pukul
17:00 sore ini sekolah sepi sekali. Tadi, aku beranikan memanjat gerbang
sekolah karena memang di kunci. Sial.
Bajuku sedikit sobek tersangkut ketika
memanjat tadi. Uhh..
Langkahku semakin lambat. Aku lelah.
Bayangkan berlari menuju lantai 4 dengan melewati tangga. Kenapa sekolah ini
tak menyediakan lift saja agar lebih mudah dan cepat?
Perlahan ku mulai menginjak anak tangga
menuju lantai teratas, sebelumnya belum pernah aku lewat kesini. Perlahan
langkahku ku lambatkan. Aku telah mencapai puncak sekolah. Ku lihat sebuah
ruangan dengan pintu yang sudah usang. Perlahan ku buka pintu itu.
‘Tak dikunci?’ Gumamku dalam hati. Aku
mulai memasuki ruangan itu. Ruangan yang sangat buruk, lantainya kotor, catnya
sudah mengelupas, penuh debu dan sarang laba-laba. Mungkinkah dia bunuh diri di
sini sehingga ruang ini di tutup?
Ku mulai berjalan perlahan. Seketika aku
merasa kakiku di belenggu dan di tarik ke bawah. Aku mencoba melangkah namun
berat sekali. Lama kelamaan dia semakin menarikku, dan menarik terus menarik
sampai..
“Aaaaaa.”
“Aduhh.” Aku terbangun, kepalaku sedikit
sakit. Sepertinya tadi aku terjatuh dan mendarat di tempat aneh ini. Dimana
aku?
“Sudah bangun anak manis?” Tiba-tiba
seseorang berseru. Siapa dia.
“Siapa kau?”
“Hhahaha siapa lagi kalau bukan aku 18/4
hahahah, kini kau bisa melihatku nyata.” ujarnya padaku.
“Di mana kau apa maumu!?” Teriakku
padanya.
“Di sini.” Tiba-tiba bayangan hitam itu
mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku. Aku kaget wajah itu sungguh tak
asing bagiku.
“Ve.. Vera?!” Vera, Ya benarkah dia 18/4
itu?
“Hahaha akhirnya kau tahu siapa aku
sebenarnya. Dan kau tahu siapa ini?” Diapun menyeret seseorang gadis seumuranku
yang tertunduk. Dia terus menunduk.
“Tunjukkan wajah mu! Cepat!” Dia
membentak gadis itu. Lalu perlahan gadis itu mengangkat kepalanya, sehingga
jelas sekarang siapa dia.
“Putri, mengapa kau di sini?” Ucapku.
Putri, dia benar-benar Putri.
“Kau tahu, dia itu bukanlah seorang
sahabat! Dia menusukmu dari belakang. Dia berkhianat!” Ujarnya sambil menunjuk
Putri. Ada apa ini? Aku tak mengerti.
“Mengapa kau menyalahkanku! Bukankah kau
yang telah membunuh mereka!” Putri berteriak padanya. Terlihat Vera melotot
padanya.
“Diam!”
“Aaaa!” Putri ditepisnya sehingga dia
pingsan saat itu juga. Mataku langsung terbelalak. Aku benar-benar marah padanya.
“Argghh.. Kenapa kau menepisnya? Ada apa
semua ini! Aku tak mengerti!”
“Anak bodoh kau memang bodoh lihat itu!”
Dia menunjuk sesuatu di sana. Itu.. Itu adalah mayat orang-orang yang telah
meninggal akibat 18/4. Mereka sahabat-sahabat juga orang tuaku. Ku lihat satu
per satu mayat tersebut tepat dipipinya selalu ada luka dengan membentuk sebuah
huruf. Aku mulai membaca dan merangkaikannya perlahan
“FLOOR AND ROOM DEATH: LANTAI DAN RUANG
KEMATIAN” Ucapku. Seketika tubuhku melemas.
“Hahah, perlahan kau mulai pintar. Kau
tahu hari ini hari apa? Tanggal berapa? Pukul berapa?” Tanyanya lagi dengan
suara nyaring yang memekak telinga.
“Kamis, 18 April, 18:04, apa?! 18/4!”
Aku langsung terduduk di ruangan itu. Semuanya benar-benar membuatku hilang
akal.
“Hahaha, kau memang gadis lugu yang
pintar. Namun bodoh hahahah.” Tawanya menggeparkan ruangan. Aku hanya bisa
terdiam menatapnya. Seketika dia menyeringai padaku dan sekejap wajahnya
berubah menjadi seram penuh kebencian. Aku terkaget melihat wajahnya.
“Apa yang kau inginkan dariku Vera!?”
Ucapku lantang padanya.
“Hahah, apa yang aku inginkan? Tentu
saja dirimu! Dasar anak bodoh!” Ujarnya padaku. Dia menyebutku anak bodoh!
Sial!
“Aku! Mengapa kau ingin aku!?” Seruku
padanya.
“Hahah, karena kau adalah darah daging
dari orang yang aku sayangi dan aku benci! Kau sangat sempurna untukku.”
Ucapnya.
“Lalu apa bayarannya jika aku akan
memberikan ragaku padamu?”
“Bayaran? Kau ingin bayaran. Hahaha kau
ingin kita bertaruh? Begitu maksudmu?!” Teriaknya padaku.
“Iya itu maksudku.” Jawabku lantang.
“Tidak berguna!” Tiba-tiba dia menepisku
ke sudut ruangan.
“Plukk” Terdengar suara tubuhku yang
terjatuh ke lantai. Sakit! Dia benar-benar tidak berfikir bagaimana diriku!
Keparat!
“Kau tahu aku menginginkanmu.” Dia
menyentuh pipiku dengan jari hitam yang panjang kuku-kukunya itu. Sungguh
kasar.
“Kau menginginkanku? Jadi, memang siapa
sebenarnya orang tuaku?” Tanyaku padanya.
“Orang tuamu?! Aku bilang dia adalah
orang yang ku benci dan sayangi. Apakah kau tuli?” Bentaknya. Kini Vera
benar-benar tak punya perasaan. Begitu pintar dia, terlihat manis sebelumnya
namun sekarang..
“Maksudku siapa mereka? Mengapa kau
menyayanginya dan membenci mereka?” Tanyaku polos.
“Tak bisakah kau diam! Kau benar-benar
mengangguku! Ku kira kau mengerti semua ini! Aisya telah memberitahumu bukan!
Dasar, kau memang membuat kesabaranku habis!” Ucapnya. Seketika aku terkejut.
Jadi, pria dan gadis itu adalah orang tuaku? Argghh semakin rumit saja semua
ini.
“Baiklah kini aku mengerti. Aku tak akan
banyak tanya lagi. Sekarang kau ingin ragaku? Tubuhku? Silahkan kau ambil!
Ambil!” Aku memberanikan diriku padanya, walau sebenarnya aku sedikit takut.
Tiba-tiba dia melirik ke arahku lalu menyeringai. Ku lihat wajahnya kini
berantakan. Aku langsung terbelalak.
“Hahaha, berani sekali kau padaku.
Fanya, Fanya kau memang gadis bodoh. Setidaknya berfikir dululah sebelum kau
akan berbicara.” Ucapnya sambil menyeringai padaku. Spontan aku langsung
berjalan mundur. Aku kini benar-benar takut padanya. Entah mengapa tiba-tiba
aku begini. Dia semakin mendekatkan wajahnya ke arahku. Persis ku lihat
seringai dan darah di wajahnya. Suasana semakin dibuatnya mencekam dengan menabur
gelap di setiap yang dilewatinya. Seketika dia menarik kakiku dan aku
benar-benar tenggelam dalam kepengapan. Rasanya aku bernafas di dalam air. Dia
semakin menarikku dan terus menarik. Aku sungguh merasa sesak saat itu juga.
Begitukah dia membuat korban yang lain mati? Sadis sekali!
Aku berusaha naik tapi cengkeraman itu
semakin kuat. Apakah kali ini aku benar-benar akan MATI?
Seketika aku berusaha melepaskan
cengkeraman itu sekuat tenagaku. Aku menepis-nepis kakiku. Dan aku terlepas,
telepas. Perasaan bahagia merasukku. Akupun tak merasa sesak lagi. Seketika ku
kembangkan bibirku, aku menegadah ke atas dan disana…
“Aaaaaaaa”
“Bruuk” Aku terjatuh dan terbangun dari
mimpi yang sangat buruk ini. Aku masih dapat merasakan rasa sakit dipergelangan
kaki dan leherku. Anehnya aku merasa sakit, padahal semalam itu hanya mimpi dan
tak nyata. Semuanya berlangsung di alam bawah sadarku. Tapi sakit ini masih
berbekas.
Aku keluar dari ruang kamarku. Masih ku
lihat Fay yang sedang bermain dengan bonekanya di kamar. Akupun dapat melihat
Ibu memasak di dapur. Ayah sudah pergi ke kantor pagi ini. Jum’at pagi yang
cukup cerah. Ku lajukan kakiku ke halaman rumah untuk membawa koran pagi ini.
Ku lihat benda itu sudah tergeletak di depan rumah. Akupun langsung mengambilnya.
Sebelum ku alihkan pandanganku ke koran itu, aku dapat melihat Mira dan Riska
berjalan menuju sekolah.
‘Mereka masih hidup?’ Batinku. Lalu ku
alihkan pandangan pada koran pagi. Ku lihat judul-judul berita hangat pagi ini.
Perlahan ku mulai membacanya satu per satu.
“Gadis Usia 15 Tahun itu di Temukan
Tewas Menggenaskan di Sekolahnya.” Cukup unik. Sepertinya aku pernah melihat
wajah gadis ini.
“Plukk” Tiba-tiba sebuah surat terjatuh
dari kotak surat itu. Akupun menyimpan koran pagi itu lalu menghampiri dan
meraih surat itu. Ku lihat surat itu tanpa pengirim. Aneh saja. Ku mulai
membukanya lalu terlihat
“Selamat tumbal terakhir.”. Apa
maksudnya ini? Ku lihat di bawahnya ada tulisan lagi. Seketika akan ku baca,
“Srtt”
“Ehh” Tiba-tiba surat itu terbang. Aku
mulai mengejar surat itu yang tergeletak di seberang jalan sana. Aku mulai
berlari. Namun terlihat sebuah bus dari sebelah sana hendak menabrakku. Aku
menutup mataku dan..
“Apa aku tembus?” Desahku bingung. Ada
apa ini? Akupun ingat berita di koran pagi tadi. Seketika aku berlari lalu
meraih koran itu dan ku lihat wajah gadis itu. Wajah yang sangat tak asing. Aku
terkaget melihatnya. Wajah itu.. itu..
“Ini wajahku”
Cerpen yang berjudul "18/4" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Selmi Fiqhi. Kamu dapat mengikuti blog penulis di link: selmifiqhi.blogspot.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Horror - 18/4 | Selmi Fiqhi"