Cerpen Lucu - Ayam-Ayam Dilarang Masuk | Willy Sitompul
Mamat kesal. Beberapa hari ini dia melihat teras depan rumahnya kotor. Bukan oleh kotoran yang masuk atau sengaja dilempar orang tetapi karena tanah yang berasal dari taman dan pot bunga di sebelah teras berhamburan keluar.
Selidik punya selidik ternyata tanah
tersebut berhamburan oleh karena adanya ulah 2 ekor oknum. Ekor? Ya, karena
penyebabnya adalah 2 ekor ayam kate (pendek) yang dimiliki oleh tetangga
sebelah rumah Mamat.
Sambil menyapu sisa-sisa tanah di teras
dan lanjut dengan mengepelnya, Mamat berpikir-pikir bagaimana cara memberi tahu
tetangganya itu tentang kelakuan 2 ekor ayam kepunyaan mereka. Maklumlah,
tetangganya Mamat itu adalah seorang tentara. Mamat pernah mencuri dengar
bagaiman si tentara mensetrap anak-anaknya. Anak-anaknya berbaris dan
diinterogasi satu per satu saat menemukan adanya lecet di salah satu bagian
luar Kijang kebanggaan si tentara. Hii.. ngeri, Mamat cuma bisa membayangkan
apa kira-kira reaksi si tentara saat Mamat memberitahukan ulah ayam-ayam yang
dimiliki oleh si tentara itu.
Akhirnya Mamat mendapat ide. Diambilnya
secari kertas yang cukup tebal. Mamat tampak menuliskan sesuatu pada kertas
tebal itu. Setelah selesai menulis, dipasangnya tali raffia pada bagian atas
kertas tebal itu dan menggantungnya di bagian depan pagar.
Besoknya saat membersihkan bagian jalan
di depan rumahnya dari dedaunan yang berjatuhan, Mamat ditegur oleh tetangganya
si tentara tadi.
“Mas, maksudnya tulisan itu apa ya? Kan
ayam nggak bisa baca Mas?”, tanya si tentara.
“Iya Mas, memang maksudnya bukan untuk
ayamnya tapi untuk pemiliknya”, jawab Mamat sedikit kecut takut si tentara
marah. Si tentara mukanya langsung berubah dan ngeloyor pergi. Mamatpun
menyelesaikan pekerjaannya membersihkan dedaunan dan masuk ke dalam rumahnya
bergegas untuk mandi dan bersiap-siap ke kantor. Tulisan Mamat bunyinya
sederhana, “Ayam-Ayam Dilarang Masuk!”.
Sore harinya ternyata Mamat menemukan
hal yang sama. Tanah di terasnya kembali berantakan. Kali ini Mamat melihat
sendiri ulah 2 ekor ayam itu dengan tenangnya mengais-ngais tanah dan membuat
tanah itu berantakan menutupi teras berlapis keramik mengkilat yang langsung
seketika itu kelihatan kotor. Karena kesal, dengan sigap Mamat mengambil sapu
yang biasa dipakai untuk menyapu teras. Dikejarnya kedua ayam itu.
Dipukulkannya sapu itu kuat-kuat. Takkk! Suara sapu keras menghantam lantai
terdengar. Tak satu ayampun yang kena. Ayam-ayam itu dengan lincahnya kabur
melalui celah-celah pagar. Mamat kembali berpikir bagaimana cara menyadarkan si
pemilik ayam agar ayam-ayamnya tidak masuk ke teras rumah Mamat dan membuat
kotor teras dengan mengais-ngais tanah. Mamat kemudian tampak mengangguk-angguk
sendiri. Rupanya sudah ada rencana yang akan dikerjakannya besok. Dibiarkannya
saja tanah itu mengotori teras rumahnya.
Keesokan paginya saat yang ditunggu
Mamat pun tiba. Biasanya pada pagi hari sudah terdengar aktifitas di rumah
sebelah. Suara pagar terdengar diseret. Sebentar lagi pasti si empunya rumah
keluar! Pikirnya. Ternyata setelah pagar dibuka bukan si empunya rumah yang
keluar tapi 2 ekor ayam kate itu lagi. Mamat sengaja mundur masuk ke dalam
rumah dan menutup pintu depan. Ayam-ayam kate pun masuk dan mulai mengais-ngais
tanah. Dengan sabar Mamat tetap menunggu. Ternyata benar, seorang ibu agak tua
tampak keluar. Segera Mamat menghampiri si ibu sambil berkata, “Pagi Bu,
ayam-ayam ini punya ibu ya bu? Kalau bisa dikurung Bu. Teras saya jadi
berantakan begini”, Mamat menyampaikan maksudnya. Si ibu kelihatan tampak
merasa bersalah dan ikut masuk melihat teras rumah Mamat yang kotor.
“Wah, maaf Mas, ini baru jelas Mas. Ada
buktinya. Sekali lagi maaf ya Mas, nanti saya bilang sama mantu saya ya..” Ibu
itu sibuk minta maaf berkali-kali. Mamat hanya bingung mendengar kata-kata
“bukti” tadi. Maksudnya apa ya? Apa karena dengan jelas dia melihat
ayam-ayamnya yang bikin kotor? Wah, kalau begitu untung tadi aku menunggu
supaya ayam-ayam itu masuk dulu, pikir Mamat.
Setelah membersihkan teras yang kotor,
Mamat langsung bersiap-siap untuk ke kantor. Dalam hati dia berharap kalau
nanti sore pulang tidak akan lagi ditemuinya pemandangan teras kotor seperti
yang sudah-sudah.
Ternyata Mamat salah! Sore itu ketika
Mamat sudah pulang terlambat karena jalanan yang macet. Pemandangan teras kotor
dengan tanah bercampur cipratan tahi ayam masih juga ditemuinya. Mamat
menggerutu. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah gagah penuh amarah Mamat menuju
pagar rumah tetangganya. Karena tak ada bel, Mamat langsung mengetuk
keras-keras pagar tetangganya. Seorang perempuan berumur tiga puluhan keluar
dengan wajah kesal tak enak dipandang.
“Ada apa sih Mas?” tanya perempuan itu
gusar. “Kok ngetoknya keras-keras gitu?” lanjutnya.
“Ini lho mbak ayam-ayamnya ini lho..
kemarin saya sudah bilang ke ibunya kalau bisa ayam-ayamnya dikurung biar nggak
berantakin teras saya…”, jawab Mamat dengan suara agak keras.
“Lha, ayam-ayamnya di dalam kok Mas.
Nggak mungkinlah ayam-ayam saya berantakin terasnya Mas. Tapi ya sudahlah saya
minta maaf deh..”, perempuan itu menjawab sekenanya sambil langsung menutup
pintu pagar. Masuk ke rumahnya pun dia membanting pintu keras-keras. Mamat
hanya bisa melongo. Kembali ke rumah, sambil masih tetap kesal, dibersihkannya
teras itu. Istrinya yang melihat Mamat kesal hanya geleng kepala melihat
kekesalan Mamat. Dibuatkannya secangkir kopi untuk Mamat agar Mamat tak terlalu
kesal lagi.
Keesokan paginya, saat sedang berada di
dapur, Mamat mendengar suara berkotek-kotek dari teras rumahnya. Segera
diintipnya lewat jendela. Benar saja, ternyata 2 ekor ayam kate itu dengan
santainya mengais-ngais tanah di taman sebelah teras. Terasnya pun sudah tampak
kotor. Mamat tampak menggelengkan kepalanya. Dia tak mengerti sekaligus kesal
dengan ulah tetangganya itu. Karena kesal dengan sigap Mamat keluar dari pintu
dapur dan dengan cepat menyambar sapu. Dengan sigap dikejar Mamat kedua ayam
itu. Rupanya ayam-ayam itu tak semua lincah. Ada satu ayam yang lebih kecil,
sepertinya ayam betina tidak terlalu cepat berlari. Plakk! Pukulan sapu Mamat
menghantam ayam itu pas kena di kakinya. Si ayam tampak masih berusaha kabur
dengan berjalan terseok-seok. Mamat mengangkat sapunya lagi. Saat mau
dipukulkannya, sejenak rasa iba hinggap dalam dirinya melihat ayam itu berjalan
terseok-seok. Akhirnya tak jadi dipukulkan Mamat sapu itu pada ayam betina
tersebut. Si ayam langsung lolos masuk lewat bawah pagar ke rumah tetangga
menyusul si ayam jantan yang sudah duluan kabur meninggalkan si betina.
Perasaan Mamat campur aduk. Antara puas
dan kasihan melihat nasib si ayam yang dia pukul tadi. Sebenarnya bukan ayam
itu yang salah, begitu pikir Mamat.
Malamnya bel pintu rumah Mamat berbunyi.
Rupanya Pak RT datang. Ah paling-paling ada undangan acara RT nih, pikir Mamat.
Ternyata bukan. Mamat ternyata diadukan oleh tetangga sebelah rumahnya karena
ayam betina yang tadi dipukul Mamat ternyata akhirnya mati. Mamat bingung. Dia
bertanya ke Pak RT dari mana Pak RT tahu kalau Mamat yang memukul ayam itu.
Oleh Pak RT dijawab, kalau tetangga Mamat melapor bahwa selama ini Mamat tampak
tidak suka dengan kehadiran 2 ekor ayam itu. Mamat makin bingung. Dia mencoba
menjelaskan peristiwa tadi pagi. Mamat menjelaskan bahwa setelah dia pukul, si
ayam masih bisa berjalan walau terseok-seok. Pukulannya pun hanya mengenai
bagian kaki si ayam, Mamat berupaya menjelaskan. Pak RT tampak
mengangguk-angguk. Tapi kata-kata Pak RT kemudian malah membuat Mamat semakin
bingung.
“Gini Mas, sampeyan kan minoritas di
sini. Yah, tolonglah hargai yang mayoritas. Oke ya.. saya permisi dulu. Kalau
bisa besok pagi Mas datang minta maaf ke sebelah ya..”
“Tapi Pak RT…”, Mamat tak puas.
“Sudahlah, sampeyan ikut aja omongan
saya..”, Pak RT beranjak pergi.
Tinggallah Mamat yang bingung. Apa
hubungan mayoritas dan minoritas? Ini kan cuma masalah ayam yang membuat kotor
terasnya?
Keesokan paginya dengan berbesar hati
Mamat menemui istri si tentara. Saat itu si isteri tentara sedang menyuapi
anaknya. Si anak yang mengendarai sepeda roda tiga sesekali mendatangi ibunya
untuk menerima suapan demi suapan. Dengan datar Mamat menyampaikan permintaan
maaf kerena telah melukai salah satu ayam tetangganya. Mamat menerima saja
disemprot kata-kata tajam bertubi-tubi dari tetangganya. Katanya Mamat tak
berkepribinatangan. Yang lucunya, sekilas Mamat sempat melihat makanan yang
dimakan si anak. Tampak paha ayam ukuran kecil yang digoreng ada di situ. Tapi
ya sudahlah Mamat tak mau berandai-andai.
Keesokan harinya dibeli Mamat dua karung
kerikil. Dihamparkannya kerikil itu merata pada bagian yang bertanah di taman
dekat terasnya. Kerikil-kerikil juga disusun Mamat pada tiap pot bunga berisi
tanaman yang masih menyisakan tanah yang bisa dikais-kais oleh si ayam. Paling
tidak tanahnya tidak berantakan lagi, begitu pikir Mamat.
Ternyata ide Mamat cukup berhasil. Sore
hari tak tampak tanah berserakan. Hanya dua gunduk kecil basah berlendir tahi
ayam yang ada di terasnya. Mamat tak mau kesal, dibiarkannya saja tahi ayam
itu. Bergegas Mamat masuk ke rumahnya. Banyak hal yang lebih penting sekedar
mengurusi tahi ayam, pikirnya. Tapi tetap Mamat tak habis pikir apa hubungan
ayam, tanah yang berantakan, tahi ayam dengan minoritas dan mayoritas. Ah
sudahlah, pikirnya. Diseruput Mamat secangkir kopi panas buatan istrinya.
Ngobrol-ngobrol santai dengan isterinya sore itu membuat Mamat sejenak
melupakan masalah ayam tadi. Terserah padamulah ayam, paling-paling nanti kau
juga nanti akan digorengnya. Mamat tersenyum.
Cerpen yang berjudul "Ayam-Ayam Dilarang Masuk" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Willy Sitompul. Kamu dapat mengikuti blog penulis di akun berikut: willysitompul.blogspot.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Lucu - Ayam-Ayam Dilarang Masuk | Willy Sitompul"