Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Cinta - Menghitung Hari | Ayu Sari Listianda

cerpen cinta menghitung hari

“1.043”

Tidak terasa, sudah hampir 3 tahun aku terus seperti ini. Setiap pagi kerjaannya hanya merobek kalender yang aku buat khusus dengan angka yang aku tulis manual hingga ribuan. Tapi sampai hari ke-1.043 ini juga, masih belum ada perubahan untukku.

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Jangan lupa minum obat non :)”

Pesan dari Rion itu selalu menghiasi layar inboxku setiap pagi. Seolah dia adalah alarm.

“Ra…” tak kuasa ku menahan air mata. Kuterduduk lemas di bangku tepi danau, tepat dibawah rimbunan dahan pohon yang melindungiku dari rintik air hujan pagi itu.

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Non, udah ya, jangan nangis lagi”

Entah dari mana Rion tahu kalau saat ini aku sedang menangis. Aku heran dengannya, kenapa dia selalu tahu apa yang sedang aku lakukan, dimana, bersama siapa dan dalam keadaan apapun. Aku selalu berfikir, apakah dia ada disekitarku? Tapi sudah pernah aku cari, bahkan sering, tetapi tidak ada siapapun di sekitarku.

Dengan mata terpejam, aku berdoa.

“Tuhan, beri aku kekuatan.”

Tak lupa aku menghanyutkan bunga mawar merah itu di danau. Kemudian berlalu dibawah payung di tengah rintik hujan yang bersenandung.

“1.074”

Sudah sebulan ini aku tidak berkunjung ke danau. Rasanya kangen sekali. Tapi, tubuh ini begitu lemah.

“Obatnya udah diminum kan? Jangan sampai kelupaan ya :)”

Seulas senyum simpul tercipta dibibirku tiap pagi ketika aku membaca pesan singkat itu dari Rion. Padahal, hingga saat ini aku belum pernah membalas pesannya sekalipun sejak 2 tahun kita kenal. Tapi dia sudah tahu alasannya dan dia menerima itu semua dengan ikhlas.

“21 hari lagi” gumamku lirih.

Setetes air mata jatuh tepat diatas foto itu. Segera kubersihkan dan kusimpan kembali.

“Sayang, coba deh baju yang ini” sambil menenteng sebuah dress warna putih.

“Iya ma” dengan lemas aku menjawab.

“Ini pasti cocok deh buat kamu. Coba ya?” dengan senyuman manisnya, mama mengisyaratkan untuk aku mencobanya.

Setelah aku keluar dari ruang ganti…

“Ya ampun, Senja. Kamu cantik sekali nak” mama melihatku bak seseorang yang terhipnotis dengan pesonanya yang terkagum-kagum tiada henti. Sampai-sampai, seisi ruangan itupun menoleh kearahku dan berkata hal yang sama.

“Anak ibu cantik sekali. Cocok sekali dengan dress itu” komentar ibu-ibu yang berada tidak jauh dari tempat mama duduk.

“Udah, itu aja, ok nak ?” kembali dengan isyarat bahwa mama sangat setuju dengan apa yang aku pakai saat ini.

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Pasti kamu cantik banget :)”

Seolah dia benar-benar dekat denganku saat ini. Atau memang dia punya indra keenam, aku juga tidak tahu pasti. Yang jelas, dia tahu segalanya tentangku.

“1.088”

Tidak terasa, di kalender sudah memasuki hari ke 1.088. Waktu seolah berjalan begitu cepat, tanpa mau tahu dengan apapun kondisiku. Aku berharap bisa menghentikan waktu, agar aku bisa menikmati seharian penuh hariku tanpa ada seorangpun yang mengganggu.

Sambil menghanyutkan bunga mawar itu, aku bergumam…

“Apa ini jalan yang terbaik? Tunjukkan padaku.”

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Aku tau kamu disana saat ini”

Sekan ada yang mendorongku untuk…

“Iya, aku disini” send…

“Akhirnya…

Kau membalas pesanku, Senja :’) ”

Ketika aku akan beranjak meninggalkan danau, tiba-tiba…

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Seminggu lagi…

Seminggu lagi kita akan bertemu, Senja.

Dan, 4 hari lagi, aku akan pulang ke Indonesia.

Aku sudah urus semuanya.

Tunggu aku di Jogja”

Seketika, rasanya tubuhku begitu lemas hingga akhirnya aku terjatuh di rerumputan. Aku tidak tahu apa yang saat ini sedang aku rasakan dan apa yang tadi sempat membuatku akhirnya membalas pesan Rion. Semua ini sangat membingungkanku.

“Maafin aku…aku benar-benar gak tau harus berbuat apa” dengan isakan aku berusaha berucap.

“1.092”

Tepat H-3 dari tanggal 9 September 2009.

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Aku udah sampai di Jogja detik ini”

Pesan singkat itu membuatku semakin merasa bersalah. Entah bagaimana perasaanku saat ini, semuanya bercampur aduk menjadi satu.

Malam harinya, Rion mengirimkan sebuah foto. Foto dia bersama kedua orang tuanya saat berada di Bangkok, Thailand. Seutas senyum kembali hadir di bibirku.

“A…”

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Semoga tidurmu nyenyak malam mini ?”

“1.093”

H-2. Semakin dekat.

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Aku harap kamu bisa”

Setetes air mata itu jatuh tepat di layar ponselku.

Aku hanya bisa merenung. Hal yang selalu aku lakukan setiap sore di taman belakang sambil menikmati suasana senja yang menghantarkan sang surya kembali ke peraduannya. Begitu indah. Tidak sepertiku, Senja yang selalu dihiasi dengan awan mendung disetiap suasananya. Yang tak jarang untuk meneteskan airnya.

Drrtt…drrtt…drrtt…

Ketika ku buka, ternyata sebuah foto yang dikirim Rion. Foto itu membuatku seolah menghentikan nafasku sejenak. Foto sepasang merpati putih dan …

Kembali, tak ada kuasa untuk menahannya.

“1.094”

Sudah H-1. Itu tandanya…

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Aku harap kamu ikhlas.

Senja…”

Aku berusaha menahannya, aku tidak mau kembali menjatuhkannya.

“Senja, turun nak” suara mama memanggilku.

Ternyata semua orang sudah menungguku dibawah. Bak seorang putri raja, aku berjalan dengan didampingi papa juga mama. Nenek dan kakek serta yang lain sudah bersiap di halaman belakang.

Acara ‘Siraman’ ini merupakan acara sakral adat orang Jawa. Karena, jika diurutkan, aku masih menuruni garis iyut yang dulunya adalah seorang darah biru yang besar didalam Keraton di Jogja sebagai seorang Patih.

Setelah semua acara selesai, aku kembali ke kamar untuk beristirahat. Saat membuka pintu kamar, suasana didalam seolah berubah seketika. Banyak bunga disana-sini. Terutama diatas tempat tidurku. Entah ini maksudnya apa, tapi aku tidak berkomentar apapun.

“Ini adalah malam terakhirku.

Entah apa yang akan terjadi esok, akupun tak tau.

Dengan perasaanku sendiri saja, aku masih bingung.

Aku juga tak tau, apa ini adalah jalan yang terbaik.”

Drrtt…drrtt…drrtt…

Sebuah foto yang sungguh mengejutkanku. Membuatku benar-benar tak bisa menahannya malam ini. Hingga aku sadar, bahwa air mata itu sudah menggenang diatas diaryku.

Setelah sekian lama kupandangi foto itu, akhirnya aku sadar. Bahwa, inilah takdirku. Inilah jalanku. Aku menyesal, sungguh menyesal. Setelah sekian lama aku sia-siakan, kini aku sadar bahwa inilah kenyataan. Jalan hidup yang harus aku jalani, bukan jalan yang hanya bisa aku pandangi.

“Aku ikhlas” send…

“1.095”

Inilah saatnya. Tepat pada hari ke-1.095 di tanggal 9 September 2009 ini, semuanya akan berubah.

“Aku sudah ikhlas” gumamku dalam hati.

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Aku sayang dan cinta kamu, Senja” dengan foto Rion yang sedang berdiri ditengah hamparan lilin yang membentuk hati dan taburan bunga mawar ditengahnya sambil membawa serangkaian bunga mawar yang sungguh indah.

Aku merasa begitu terkesan. Entah kenapa, rasa itu tiba-tiba hadir kembali. Jantung yang selama ini seolah berhenti untuk berdetak, kini dia berdetak kembali. Kupeluk ponselku dengan sebuah harapan.

“Semoga ini yang terakhir”

Ditengah perjalanan, kami dikagetkan dengan sebuah kabar yang mengejutkan.

Aku berjalan dengan lemas diantara lorong-lorong itu. Sambil tetap menggenggam ponsel itu ditangan dan mengangkat tinggi-tinggi dressku, berusaha melangkah lebih cepat. Semua mata tertuju padaku disetiap pavilion, tapi aku tak menghiraukannya.

Tepat diruangan 909, aku melihat seseorang yang begitu aku kenal sedang terbujur dengan berlumuran darah segar. Tak kuasa menahan tangis, aku menerobos masuk.

“Rion, ini aku, Senja. Aku disini” dengan nada terisak aku tetap berusaha untuk berucap.

“Sen…ja…ka…mu…can…tik…seka…li…deng…an…gaun…i…tu…” ucapnya terbata.

“Aku disini Rion. Aku udah ikhlas. Semua ini buat kamu. Maafin aku…”

Tiba-tiba dia membuka genggamannya dan mengeluarkan isi dari kotak kecil itu. Sambil meraih tanganku, dia berkata…

“ini…buk…ti…bah…wa…a…ku…sang…gup…” cincin cantik itu akhirnya melingkar di jari manisku.

“a…ku…ba…ha…gi…a…a…ku…ikh…lasss…”

“Iya…iya Rion, aku juga bahagia dan ikhlas. Kamu bertahan ya, demi aku”

“se…ma…yam…kan…a…ku…di…sam…ping…raaaaaaa…diiiitttttttt…”

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttttttt…

Tanda di layar monitor berubah menjadi garis lurus horizontal. Dokter segera mengambil alat untuk membantu memompa jantungnya agar dapat berdetak kembali. Sedangkan aku, sudah tak kuasa menahan beban tubuhku sendiri. Aku semakin tak kuasa ketika dokter berpaling dan menggelengkan kepalanya dengan raut wajah yang sangat menyesal.

“Kenapa? Kenapa? Kenapa ini terjadi lagi? Kenapa!!!”

“udah nak, sabar. udah” mama berusaha menenagkanku walau dalam keadaan yang terisak.

*Dalam ingatanku, semuanya seakan saling berkejaran. Mengingat kejadian 3 tahun silam. Ketika pernikahanku akan digelar, Radit calon suamiku dan aku juga mengalami kecelakaan saat akan menuju gedung. Radit menderita luka yang sangat serius dibagian kepalanya, sedangkan aku hanya luka ringan dan cedera pada kepala. Pada akhirnya, Raditpun tak bisa diselamatkan.

Itulah alasan kenapa aku menutup hati hingga saat ini. Aku berusaha untuk setia pada Radit. Karena dialah cinta pertamaku. Tetapi semua berubah ketika waktu memasuki H-3 dari hari pernikahanku dengan Rion. Tapi kenapa, saat aku sudah sanggup, semuanya terulang kembali?

Akhirnya aku dibantu berdiri sama mama juga papa. Aku melihat sesosok laki-laki yang begitu tegar, setia dan ikhlas telah terbujur kaku dengan jas putihnya yang berlumuran darah sudah tak bernyawa lagi. Semua ini seolah tamparan kedua untukku. Penyesalan terdalam yang aku rasakan setelah kejadian 3 tahun yang lalu.

Dengan masih berpakaian gaun putih yang berlumuran darah Rion, aku menghadiri pemakaman yang dilakukan hari itu juga. Rasanya sungguh berat, sangat terpukul melihatnya terakhir kali dan sedekat ini dengan kondisi yang sangat tidak aku harapkan. Tapi kembali lagi, inilah takdir.

Bagiku, dunia ini begitu kejam. Bagaimana tidak, Dia telah mengambil dua orang yang sangat aku sayang, dengan cara yang sama.

“Rion, aku sangat menyesal. Aku menyesal udah sia-siain kamu selama ini. Aku masih berusaha untuk mengikhlaskan yang lalu. Dan sekarang aku udah bisa, aku udah ikhlas Rion. Tapi kenapa? Kenapa saat aku udah benar-benar sanggup, kamu pergi ninggalin aku? Kenapa kamu pergi…” tak sanggup lagi mulutku berkata-kata.

Saat ku tersadar, aku sudah berada dikamar. Ternyata waktu itu aku tak sadarkan diri di makan. Semua panik. Mereka takut terjadi sesuatu denganku. Terutama mama dan papa.

“Senja, kamu gak apa-apa nak?” Tanya papa.

“Kamu perlu ke rumah sakit, nak?” lanjut mama.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan langsung beringsut di pelukan mama. Air mataku sudah tak terbendung lagi. Semuanya aku luapkan dalam pelukan mma.

“Yang sabar ya nduk. Sing ikhlas. Kamu harus kuat. Mama tau, mama ngerti. Kamu berdoa ya buat Rion” kata mama.

Setelah seminggu atau 7 hari kami mengadakan acara selamatan untuk kepergian Rion, akhirnya aku membuat sebuah keputusan yang terbaik dan terberat untukku.

“Ma…aku ijin ke makam dulu ya”

“Biar ditemenin sama Rani ya nak”

“Gak usah ma, Senja sendirian aja. Senja baik-baik aja kok” tersenyum dan meyakinkan mama.

“Ok kalau gitu, tapi hati-hati ya”

“Iya ma”

—-*—-

“Raditya Airlangga. Ini buat kamu. Diary terakhirku, setangkai bunga mawar dan foto kita. Aku sangat berterimakasih sama kamu atas semuanya. Semua yang udah kita lewati bersama dan semua hal yang membuatku banyak belajar dari kamu. Terimakasih. Dan, sampai jumpa. Aku harus pergi. Aku sayang kamu, Radit” sambil mencium nisan Radit.

“Rion Dewangga Putra. Ini foto sepasang merpati putih dan sepasang cincin yang kamu kasih ke aku. Foto kamu dengan jas putih itu di depan kursi pelaminan serta foto kamu ditengah hiasan lilin itu. Makasih buat semuanya. Makasih udah mau begitu setia nunggu aku buat buka hati. Makasih atas penantianmu selama ini. Dan maaf, karena aku udah sia-siain kamu. Aku sangat menyesal. Tapi akhirnya aku sadar, kamu udah ngajarin aku banyak hal. Untuk ikhlas dan bisa kuat menghadapi apapun yang terjadi. Membuatku mengerti akan arti dari melepaskan, sekalipun itu sangat sulit. Dan sekarang aku udah bisa lakukan itu buat kamu juga Radit. Makasih Rion. Dan ini persembahan terakhirku (sambil menunjukkan cincin yg aku pakai), cincin ini akan terus aku pakai, selamanya.” Sambil mencium nisan Rion.

“Selamat tinggal Radit. Selamat tinggal Rion. Aku akan meninggalkan Indonesia dan menetap di Amerika untuk menjalani kehidupanku yang baru. Dan aku janji, akan selalu mengenang kalian serta mendoakan kalian walau dari jauh.”

Perjalananku tidak berhenti hanya sampai disini. Karena, roda kehidupan akan terus berputar. Masih banyak hari yang harus aku lewati. Dan mulai detik ini, aku janji tidak akan menghitung hari lagi.

Cerpen yang berjudul "Menghitung Hari" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis dengan nama pena Ayu Sari Listianda. Kamu dapat mengikuti facebook penulis di link: www.facebook.com/dcdsvdsdv.

Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Menghitung Hari | Ayu Sari Listianda"