Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Kehidupan - Terima Kasih 10 Tahun Lalu | Hotma Lam Uli Marbun

terima Kasih 10 Tahun Lalu

Langit mulai berubah warna, matahari perlahan mulai tenggelam dalam peluk awan. Sekiranya ia datang jauh lebih cepat layaknya ia saat pertama kali mendapat tugas dari perusahaan tempat ia sekarang bekerja mungkin masih ada kesempatan untuk mengejar klien yang telah pergi mengejar jadwal dari i-padnya.

Kini jangankan mengejar bos dari perusahaan calon penyelamat tempat ia bekerja sejak tiga tahun lalu yang sudah memberinya fasilitas mewah dan gaji yang cukup membiayayai hidup dua belas kepala dalam satu atap sayang ia hanya tinggal sendiri di kota ini. Bayangan lelaki tua nan gemuk itu pun tak berbekas lagi. Butir-butir air dingin berasa garam menuruni dahinya hingga leher.

Belum sempat lagi tubuhnya jatuh dalam peluk kursi yang tampaknya sudah lebih dulu bercengkrama dengan tubuh orang yang telah menunggunya di situ. Ada dua cangkir kopi di atas meja yang telah kosong dengan sisa bubuk kopi seduh di tepi mulut cangkir dan segelas jus jeruk dengan dua bongkah es batu yang tertinggal, seorang pria dengan tinggi hampir mencapai pintu rumahnya dan stelan jas hitam ketat membalut tubuhnya, tapi tak mampu menutupi hasil olah tubuhnya. Ada otot kekar terukir ditubuhnya.

“Ada apa lagi sekarang? Ini sudah klien kita yang keberapa yang kau sia-siakan? Kapan kau bisa bangkit lagi War” marah yang menjalar dalam dirinya tak mampu ia tutupi terbukti dengan merah wajahnya dan gigi yang bersigesek sebelum ia bicara.

Tak ada kata yang ia lontarkan dari mulutnya. Ia hanya duduk seperti hendak tidur entah karena kelelahan mengejar pria tua tadi atau karena ia baru saja lagi dan baru lagi di tegur oleh teman sekaligus atasannya. Walaupun posisi itu seharusnya jatuh padanya, namun ia lebih memilih teman dari pada posisi maka jadilah ia sekaarang sebagai bawahan temannya.

“Sebaiknya kau ambil cuti saja. Aku akan mengurusnya jadi tak usah khawatir. Jangan pikirkan dulu pekerjaan fokuslah untuk memperbaiki hidupmu” ia berdiri dan bersiap meninggalkan bawahan sekaligus temannya yang akrab disapa Anwar itu.

Dengan mata yang masih terpejam dan tangan kirinya menyentuh dahinya yang sejak tadi kepala masih mendongak ke atas ia mulai bicara, “Lalu aku harus memikirkan apa? Apa ini tidak terlihat sedang berusaha untuk berubah?” pakaiannya yang masih basa keringat yang ia tetaskan dari berlari marathon menuju tempat ini tampak seperti kemeja yang baru saja dipakai seorang anak SD bermain menjadi sorotan mata pria itu. “Sejauh ini, ya. Jangan kekanak-kanakan” ia pergi meninggalkan Anwar yang masih dengan posisi awal. “Jangan lupa, besok tak perlu masuk kerja dulu.” Ia berbicara tanpa membalikkan badannya dan melanjutkan langkahnya.

Matahari saja masih enggan untuk menunjukkan gagahnya, tetapi ia sudah bersenang-senang saja bersama wajan, minyak, sayuran dan kawan-kawannya. Bukan ia tak mampu untuk membayar seorang asisten rumah tangga atau malah makan di restoran setiap harinya, ia malah bersibuk ria dengan melayani dirinya sendiri dengan melakukannya sendiri. Bukan ia tak sibuk atau tidak memiliki pekerjaan. Seorang wanita berusia 25 tahun dengan tinggi 167 cm, kulit cerah sawo matang. Rambut bergelombang mewakili riak semangatnya setiap hari, tatapan mata yang tegas dan tentunya dia bisa masuk golongan orang yang disebut fashionnista. Lihat saja semua barang bermerek internasional yang tak diragukan lagi tahtanya dihati perempuan diseluruh dunia.

Dia adalah anak angkat dari seorang yang menurut majalah yang hanya membahas politik dan ekonomi itu, ayahnya masuk kedalam lima besar pengusaha terkaya di Indonesia. Meski ia saat ini bermandikan kemewahan, tapi status ia sebagai anak angkat tetap menjadi buah manis mulut-mulut haus berita murah, menurutnya. Tenang saja ia sudah terbiasa dengan berita mengenai dirinya. Hari ini dia akan menjalankan misi pertamanya.

“Pagi pa” terdengar lebih dulu suaranya dari pada tubuhnya di meja makan. “Mama mana, pa?”

“Pagi juga sayang. Mama lagi terima telpon” sahut pria yang tengah mengunyah roti isi dari tangannya. “Sayang, kamu yakin dengan tindakanmu ini? Papa gak mau kamu kesulitan biar Papa yang urus saja”

“Jangan pa. ini sudah menjadi tugasku. Aku janji ini tidak akan menyakitiku kalau pun iya asalkan ini tetap berhasil. Aku tidak keberatan”

Hari ini senyum melingkar jelas diwajahnya. Wajahnya tampak merah merona tanpa sorotan tajam peralajan make-up yang sudah biasa diwajahnya. Khusus untuk hari ini dan sampai misi ia berhasil ia tak akan menggunakan fasilitas istimewa miliknya. Tanpa mobil sport merah yang biasa ia tunggangi, tanpa tas branded, baju kelas atas dan pastinya make-up ia pergi.

Telepon diatas meja itu terus berdering belum ada tangan yang berkenan mengangkatnya. Wanita berok pendek dan biasa membawa agenda dan memakai kaca mata petak berwarna merah muda itu juga belum tampak akan mengangkatnya. Biasanya ia adalah orang yang akan mengangkat telpon dari meja itu tentu saja karena itu memang meja kerjanya.

“Ya, halo. Benar pak. Baik pak, jadi pukul dua siang di kantor bapak. Baik pak. Terimakasih. Selamat siang” baru tersampaikan rindu telepon itu untuk dijawab. “Dari mana saja kamu, kamu tahu itu tadi telepon penting dari klien yang akan menyelamatkan gaji kamu untuk bulan dan bulan-bulan berikutnya.” Pria yang kemarin memarahi Anwar kin berganti menemui sasaran berikutnya, sekertarisnya sendiri. Ia memang dikenal sebagai bos yang perfeksionis dan keras.

“Dimana pegawai yang…” belum lagi ia selesai dengan pertanyannya ia sudah mendapat jawabannya. “Disini pak” seorang wanita membawa beberapa map berwarna biru berdiri dihadapnya.

“Nama saya Claudia Lauren, pak. Saya yang akan..” belum juga ia selesai kembali pemtongan berlaku. “Saya sudah baca CV kamu jadi tak perlu perkenalan panjang. Sebaiknya mulai bekerja. Pekerjaan pertama kamu, terima semua telepon yang akan masuk sampai pukul 10 dan sebelum pukul 10 pastikan tim dua sudah di ruang rapat.”

“Baik, pak” mulailah ia beraksi sebagai wanita kantoran yang sedang sibuk berbicara dengan orang yang dipertemukan dalam saluran kabel. Kertas-kertas ia punguti dari atas meja dan menyusunnya dalam map berdasrkan warna mapnya. Baru saja ia sampai di tempat kerjanya ia sudah harus bertempur dengan penatnya kerja kantoran.

Orang lalu lalang digang-gang kecil diantar sekat meja kerja. Dering telepon menjadi musik satu-satunya yang dominan. Suara dentuman keyboard komputer turut campur namun masih kalah bahkan untuk deru mesin fotocopy sekalipun.

Di ruang rapat bersiaplah jarinya berdansa dengan pena diatas lantai kertas putih miliknya. Pimpinan rapat sejak tadi sudah mengeluarkan kritik “Kita butuh ide baru untuk pemasaran produk terbaru ini. Saya suka ide yang kita lakukan 6 bulan lalu. Apa bisa kita melakukan hal yang sama lagi untuk produksi kali ini?”

“Ide itu yang mengusulkan Anwar, pak. Itu memang ide luar biasa dan

kami rasa itu cocok untuk produksi kali ini hanya saja saat ini seluruh proses ditangani sendiri oleh Anwar jadi tak ada satu pun yang paham betul mengenai proses pemasaran itu pak.”

Semua terdiam karena mereka tahu tak mungkin Anwar yang dulu tiba-tiba muncul dan membawa semangat serta ide-ide barunya. Anwar masih belum bisa fokus terhadap hidupnya. Sejak mengalami kecelakaan yang menyebabkan ia harus memakai tongkat dan kursi roda untuk bergerak dari tempat satu ke yang lain selama 3 bulan dan harus menjadi penyebab kematian wanita yang sudah 1 tahun ia nikahi meski belum dikarunia anak.

Sejak kepergian istrinya untuk selamanya itu ia berubah menjadi pribadi yang sulit mengontrol emosi, lupa banyak hal dan bahkan kacau dalam banyak hal pula. Bukan hanya tubuh atau sekedar rumah yang ia telantarkan, tetapi hatinya sudah lama tidak ia sapa.

“Maaf aku terlambbat.” Suara Anwar memecah keheningan. Ia langsung masuk begitu saja dan duduk disamping sekretaris bosnya dan mulai membaca draf rapat yang dihadapannya.

“Apa yang sedang kau lakukan disini? Bukankah sudah aku katakan kau tak perlu bekerja untuk sementara waktu.”

“Aku tidak membutuhkan itu. Cukup katakan apa yang harus aku lakukan dan aku akan mencoba meraih yang terbaik.” Matanya masih menelusuri rentetan kata-kata dalam kertas yang ada ditangannya itu.

“Dua bulan ini kita harus meluncurkan produk baru, namun belum ada model pemasaran yang dinilai cocok. Hanya ide milikmu untuk pemasaran produk 6 bulan lalu yang cocok namun tak ada satu pun yang tahu kecuali kau” sang sekretaris seakan sedang menengahi adu keras kepala diantara keduanya.

“Kalau begitu biar aku yang tangani” ia memandang setiap mata yang ada di ruangan. Ia terhenti sesaat ketika radar pengenalnya mengenai wajah seorang yang baru ia lihat hari ini.

“Agar kau bisa mengacaukannya lagi dan semua orang akan semakin simpati atas kebodohanmu, begitu? Aku rasa tidak.”

“Kenapa tidak diberikan kesempatan? Tampaknya banyak yang menaruh harapan padanya meski tak sedikit yang tak percaya padanya. Bagaimana kalau ia saja yang menjadi ketua tim dan menangani proses pemasaran. Jika gagal ia harus berhenti secara suka rela jika tidak itu cukup untuk pembuktian dirikan?”

Semua terpanah mendengar usul dari wanita itu termasuk Anwar sendiri. Pimpinan rapat yang sejak tadi memasang tampang menakutkan dengan lipatan di wajanya kini terlihat senyum kemenangan. “baiklah, biar dia yang lakukan. Besok berikan aku laporan perencanaannya.”

Dalam rapat tak ada yang membantah ide itu. Semua sepakat maka jadilah Anwar diposisi siap melepas jabatannya dalam dua bulan ini.

Perkenalan belum juga terjadi diantara mereka saat rapat. Mungkin karena serangan kejut dari wanita itu, Anwar masih terdiam di meja kerjanya.

“Maaf menggangu. Panggil saja aku Claudia. Apa pun yang kau butuhkan untuk tim pemasaran ini kau bisa mengandalkan aku.” Ia pergi begitu saja dari hadapannya. Anwar merasa ia seperti sedang melihat adegan opera dihadapannya. Ia senang mempertaruhkan satu-satunya yang tersisa yang ia miliki. Pekerjaannya yang telah lama ia rintis. Teramat gencar detak jantung menghantam sunyi dirinya.

Kala matahari berganti tempat dengan bulan barulah Anwar bersiap untuk pulang. Sejak tadi ia lebih sering melamun tak dapat menetukan fokusnya. Terdengar memang lantunan langkah kaki dari belakangnya. Tiba-tiba tangan seseorang menariknya tak sempat ia melihat wajah orang itu ia hanya berhasil memotret warna merah muda cat kuku orang itu. Ternyata itu Caludia.

“Kau butuh refrensi bukan? Dan kau juga butuh teman kesana, baiklah aku akan menemanimu.”

Tak terbiasa berbicara dengan orang lain Anwar hanya bisa melakukan perlawanan dengan melepas gandengan tangan Claudia dan memasang wajah keberatan. Tapi tetap saja Claudia menjadi pemenang. Sekarang mereka sudah ada di toko buku, mereka pergi berdua, mereka mulai berbicara atau tepatnya hanya Claudia yang berkicau Anwar hanya menganguk atau menggeleng saja.

Waktu teus berjalan, ketika tiba waktu bunga mekar maka akan tiba waktunya untuk dia gugur. Kebersamaan diantara keduanya mulai terjalin. Anwar mulai berbicara pada Claudia meski baru sebatas diskusi mengenai rencana baru pemasaran. Perlahan Claudia mencoret disalah satu lembar agendanya. Mulai berbicara banyak. Itulah yang ia beri garis. Sebelum kata itu ternyata sudah tiga yang ia garis. Pertama bekerja bersama, keluar kantor bersama, fokus pada kerja dan terakhir berbicara banyak. Ternyata itu adalah daftar langkah-langkah yang harus ia lakukan bersama Anwar.

Siapa sebenarnya wanita ini, terkadang pertanyaan itu datang menghampiri Anwar, namun karena tidak memiliki nafsu untuk tahu hal lain dan terbiasa untuk tidak memikirkan sekitarnya lagi maka ia hanya membiarkan pertanyaan itu keluar tanpa jawabannya.

Anwar kian hari sudah datang tepat waktu kembali. Ia bahkan mulai menyapa beberapa orang dari semua orang yang biasa ia sapa sebelum masa lalu yang ia jalanai itu datang. Dalam rapat ia mulai bicara dengan suara keras bahkan ia pernah melakukan mini riset untuk rencana pemasaran baru itu. Claudia semakin sering bicara dengan Anwar, makan siang bersama bahkan pulang kerja bersama. Warna-warna yang sempat hilang dari Anwar perlahan mulai kembali. Tanpa anwar sadari sekarang ia sudah bisa fokus pada sau hal. Ia mulai terlihat rapi kembali.

Dua minggu lagi adalah hari penentuan apakan presentasi Anwar membawa ide anwar dipakai untuk rencana pemasaran atau tidak. Bos sekaligus teman Anwar kian cemas melihat perubaha Anwar, namun ia berhasil menyakinkan dirinya untuk tidak takut pada Anwar.

Hari penentuan tiba, para pemegang saham tiba-tiba saja ikut mendengarkan prentasi perencanaan pemasaran produk perusahaan. Berbeda dengan hal biasanya. Deru jantung Anwar kian terasa kencang. Namun lagi-lagi Claudia ada menenangkan dan menyakinkannya bahwa ia bisa fokus dan memenangkan pertaruhan ini.

Telepon genggam Claudia berbunyi ternyata ayahnya yang sangat tidak tepat waktunya untuk menelpon. Ayah Claudia masih baru akan berangkat menuju Indonesia dan keadaannya membuat satu kursi pemegang saham kosong. Maka keluarlah titah menjadikan Claudia sebagai utusan ayahnya.

Mulailah Anwar dengan perkenalan dan memberikan motivasi sebelum membuka slide presentasinya. Matanya masih belum berani menjangkau semua yang datang dan menyasikkannya. Ia lebih sering membuang pandangannya dari tatapan mata itu. Perhatian yang tertuju padanya membuat ia sempat tertahan pada kondisi suaranya tiba-tiba hilang. Anwar segera menenangkan dirinya sebelum semua orang sadar akan kondisinya.

Tibalah pada akhir dari presentasi dimana para pemegang saham mengeluarkan pertanyaan dan tanggapan sekaligus keputusan. Jantungnya masih berdetak tak karuan bahkan hampir membuat ia tuli hanya karena suara detak jantungnya yang tersisa untuk ia dengar. Perlahan matanya mengikuti setiap wajah yang bergantian bicara mengungkapkan keputusan perseorangan hingga tiba pada salah satu wajah yang tak asing lagi baginya. Tentu saja karena ia juga ikut dalam penulisan ide itu.

Caludia mengeluarkn satu-satunya pendapat yang berbeda. Ia mengatakan bahwa ia akan ikut apapun keputusan dari suara mayoritas dan hampir suara penuh setuju dengan ide Anwar, maka jadilah ide dan pekerjaan terlebih hidupnya telah berhasil kembali.

Seusai rapat Claudia menghampiri Anwar dan memulai pembicaraan mereka dengan kata ‘maaf’. Anwar mengaku tak mengeri mengapa Caludia biasa melakukan semua itu terhadapnya jika memang Claudia adalah anak dari pemegang saham dan memiliki segudang kekayaan lainnya.

“Aku minta maaf tak memberitahumu yang sebenarnya dan selamat atas presentasimu. Aku berharap ini masih akan berlanjut. Ini awal kebangkitanmu bukan?”

“Aku masih belum mengerti mengapa kau harus membantuku dan menyamar menjadi orang biasa”

Claudia diam untuk sesaat sebelum ia mengeluarkan sebuah buku lusuh dari dalam tasnya. “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu. Tanpamu aku tak akan mampu sampai disini. Ini hari terkhirku di Indonesai malam ini aku akan kembali ke Australia untuk melanjutkan studiku. Anwar bukan.. maksudku abangku terimakasih ya..” Claudia pergi melangkah meninggalkan Anwar.

Buku lusuh itu membawa Anwar terbang ke masa sepuluh tahun lalu di sebuah halaman sekolah dasar yang ternyata itu adalah halaman SD tempat Anwar dulu sekolah. Ia melihat seorang anak perempuan mengintip dari jendela sejak pagi. Ia mendatangi anak perempuan itu dan mulai bercerita, itu berlangsung hingga satu minggu sebelum keberangkatan Anwar ke Bandung bersama orangtuanya. Sebagai hadiah Anwar memberikannya sebuah buku yang baru ia beli. Claudia berjanji akan membatu Anwar suatu hari nanti dengan ilmunya jika Anwar dalam kesulitan. Anwar hanya senyum mendengar perkataan Caludia. Sejak kepergian Anwar jadilah Claudia gadis yang rajin belajar dan pintar yang membuat orang tua angkatnya membawanya ke rumah mewah di tengah kota Jakarta yang kini menjadi malaikat yang membantu Anwar kembali pada hidupnya.

Cerpen yang berjudul "Terima Kasih 10 Tahun Lalu" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Hotma Lam Uli Marbun. Kamu dapat mengikuti blog penulis di link berikut: hotmalamuli.blogspot.com.

Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Terima Kasih 10 Tahun Lalu | Hotma Lam Uli Marbun"