Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Kehidupan - Mohon Dukungannya | Bergman Siahaan

cerpen lucu mohon dukungannya

“Pak, ada yang cari.” Ayu salah seorang karyawati administrasi memanggilku.

“Oh, ya? Suruh masuk.” Ayu keluar dari ruang kerjaku dan dalam beberapa detik muncul dua orang lelaki dari balik pintu. Usianya sekitar awal tigapuluhan.

“Silahkan masuk, Pak. Ada yang bisa dibantu?” sambutku sambil berdiri dari balik meja mempersilahkan mereka duduk dengan gerakan tangan.

Mereka menjulurkan tangan masing-masing.

“Saya Dedi, Pak.”

“Atmodjo.”

“Endro.”

“Silahkan.”

Mereka duduk di seberang meja kerjaku.

“Langsung saja ya, Pak.” Seorang yang berkumis tipis dan berambut lurus berbicara. “Kami dari Partai Hidup Makmur, Pak. Sehubungan dengan Pilkada dua hari lagi, kami kebetulan menjadi tim sukses Calon Bupati Pak Handriawan dan Calon Wakil Bupati Pak Marwan. Jadi, Partai HM calonnya pun HM…” Dia tersenyum lebar.

Aku manggut-manggut sambil tersenyum menghargai leluconnya.

“Jadi terus terang saja, Pak. Ini kan Pilkada tinggal besok. Yah, kami memohon kiranya Bapak bisa mendukung calon HM ini dengan mengerahkan pegawai-pegawai Bapak.”

Aku kembali tersenyum setelah mengerti akan maksudnya. Walaupun begitu kutanya untuk lebih jelasnya, “Kira-kira bagaimana ya, bentuk dukungannya?”

“Jadi begini, Pak,” pria yang disebelahnya – yang mengenakan batik coklat dan berambut tipis – angkat bicara. “Kami punya dana Pak, untuk disalurkan ke calon pemilih. Nah, kami bisa salurkan ke karyawan bapak di sini. Hanya saja kami minta tolong, Bapak sampaikan kepada seluruh karyawan bahwa dana bantuan ini dari pasangan Pak Handriawan dan Pak Marwan, oleh karena itu mohon suaranya diberikan pada waktu pemilihan besok. Begitu pak.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyum standar khas seorang salesman.

“Maaf, Pak kalau boleh tahu berapa jumlah karyawan Bapak di sini?” Si kumis tipis yang bernama Dedi itu bersuara lagi.

“Hmm… Sekitar seratus,” jawabku. Sebenarnya tidak tepat seratus tetapi kurasa itu tidak terlalu penting bagi mereka.

“Baik, Pak. Kalau begitu, kita bisa turunkan dana delapan juta. Nanti Bapak bisa distribusikan ke karyawan. Kami hanya perlu tanda terimanya saja nanti, Pak.”

Aku mengalihkan pandangan sejenak ke dinding sambil mengejap-ngejapkan mata, aku menimbang-nimbang apa yang harus kukatakan.

“Engg… Gimana ya, Mas ya… ” Pandanganku kembali kepada mereka. “Terima kasih atas bantuannya. Tetapi Saya tidak berani lho, kalau-kalau ntar mereka ndak pilih, gimana ya…?”

“Oh, tidak apa Pak.” Pria berbatik yang menyebut dirinya Endro bereaksi cepat. “Bapak tidak bertanggung jawab untuk itu. Yang penting Bapak sudah bagikan dan beri himbauan. Itu saja, Pak. Kita berharap mereka pasti tergerak hatiya.”

“Nah, itu…,” tukasku. “Soalnya, hati orang kita ndak tau kan?” Kini giliranku tersenyum.

Si kumis tipis – Dedi – menyambut, “Ya, ya, ya, bener Pak, hehehe…. Tapi tidak apa-apa lho, Pak… Nantikan sedikit banyaknya mereka akan bertanggung jawab sendiri, Pak”

Aku berpikir sejenak, delapan juta jumlah yang lumayan untuk dibagi ke para pegawaiku. “Yah, kalau begitu ndak masalah,” jawabku memutuskan. “Asal saya ndak mau ada apa-apa di belakang, iya tho? Ntar sampean nuntut atau gimana…”

“Oh, tidak pak. Itu resiko kami.” Si Endro menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tapi masalah tanda terima, saya rasa nanti tidak semua mau tanda tangan. Saya rasa tidak usah saja ya?”

“Yah kalau memang tidak bisa, tidak apa, Pak.” Si Dedi membuka tasnya di pangkuan. Menghitung-hitung beberapa saat kemudian menarik lembaran uang yang diikat. “Ini delapan juta, Pak. Kami mohon tanda terima mereka, besok kami jemput.”

“Oke kalau begitu. Terima kasih.” Mereka berdiri dari kursinya, menyalamiku dan kemudian pergi.

Aku mengetuk-ngetuk meja dengan jari seperti sedang bermain piano. Kupandangi setumpuk uang yang terletak di hadapanku. Salahkah aku menerima ini? Bagaimana kalau karyawanku tidak menjatuhkan pilihan kepada mereka? Money politics. Inilah dia politik uang itu. Kupanggil Ayu.

“Ya, Pak?” ujarnya setelah membuka pintu ruanganku.

“Sini sebentar. Ini… ada uang dari pasangan HM, Handriawan-Marwan, katanya biar kalian HM juga, Hidup Makmur.”

Ayu tersenyum geli mendengar kalimatku.

“Buat tanda terimanya kalau mereka mau teken. Bagi lima puluh ribu seorang. Khusus buat kamu dan staf-staf, ambil dua ratus. Oke? Nah, coba hitung disini berapa yang perlu diambil.”

“Baik, Pak.” Ayu mengambil uang itu lalu menghitung sesuai instruksiku. Tak berapa lama uang sudah dipisahkannya.

“Ini sisanya, Pak.” Ia menyerahkan sisa uang setelah dipotong untuk karyawan.

“Ya, sudah. Bagi saja sekarang ya.” Kuambil sisa uang itu dan memasukkannya ke kantong celana.

Sepanjang siang itu sesekali aku masih memikirkan calon bupati HM di sela-sela pekerjaanku mengurusi pabrik roti ini. Lucu campur kesal aku melihat negeri ini. Pantas saja biaya politik begitu mahal meski hanya untuk Kepala Daerah kecil seperti Kabupaten kami ini. Tak tahu berapa besar untuk kota level metropolitan yang lain. Ah, sudahlah. Istirahat siang aku keluar, memanfaatkan waktu luang ngobrol dengan rekan-rekan di warung makan.

Sudah lewat pukul empatbelas ketika ponselku berdering. Ayu.

“Ya, halo,” jawabku.

“Pak, ada tamu mau ketemu Bapak.”

“Siapa?”

“Ndak bilang, Pak. Cuma ada perlu saja katanya. Bapak-bapak, sendirian.”

“Hmm… Saya mungkin setengah jam lagi baru ke kantor. Yah kalau mau nunggu, silahkan.”

“Baik, Pak. Nanti saya beritahu.”

Telepon kututup. Kulanjutkan obrolan dengan kolega sekitar setengah jam lagi baru aku beranjak kembali ke kantor. Sesampainya di kantor seorang bapak separuh baya sedang menunggu di ruang tamu. Kusapa dengan senyuman lalu menuju ke ruanganku. Ketika melewati Ayu aku bertanya, “Siapa sih? Masa ndak tau urusannya apa?”

“Iya, Pak, dia bilang penting dan pribadi. Nanti mau ngomong langsung ke Bapak,” jawab Ayu dari kursi kerjanya.

Aku meneruskan langkah menuju ruanganku. Sekejap kulihat Bapak tadi sudah menyusulku dari belakang. Langsung saja kubukakan pintu ruang kerja dan mempersilahkannya masuk. “Mari, Pak. Silahkan.” Setelah mengambil posisi duduk, kutanya apa keperluannya.

“Begini Pak… Perkenalkan saya Wanto. Saya ditugasi oleh pimpinan saya untuk menawarkan bantuan kepada pabrik Bapak ini.”

Lha, sudah jelas ini dia, kataku dalam hati. “Bantuan apa ya, Pak?”

“Ini, Pak… Seperti sponsor begitu, kerjasama lho, Pak. Jadi kami menawarkan bantuan dana untuk Bapak dan karyawan Bapak. Jadi dana ini dari Calon Bupati dan Wakil, Bapak Armin Alamsyah dan Bapak John Arwindo. Begitu lho, Pak.”

“Jadi kami di minta untuk memilih beliau-beliau itu?” Tanyaku langsung ke sasaran.

“Yah…, begitulah Pak, kira-kira…,” jawabnya diiringi senyum, juga di mataku senyuman khas salesman.

“Begini lho, Pak,” sambungku lagi. “Soal pilihan itu kan privasi setiap orang. Saya tidak bisa menjamin karyawan Saya akan memilih calon yang Bapak usung itu. Terus terang saja saya ngomongnya, Pak. Mana kita tahu apa yang akan mereka coblos di bilik sana. Ya ndak, Pak?”

“Ya, bener Pak. Tapi kan Bapak bisa sekedar mengingatkan atau mempromosikan Pak Armin dan Pak John kepada karyawan Bapak. Jadi gini, Pak,” dia memperbaiki posisi duduknya. “Ini kami titipkan dana sebesar sepuluh juta. Itu terserah Bapak nantinya pembagian ke karyawan gimana-gimana. Yah, mudah-mudahan nanti mereka akan memilih setelah menerima ini, Pak. Saya juga nanti akan meninggalkan selebaran, ini Pak, sebentar ya…” Ia tampak mengeluarkan bungkusan plastik hitam dari dalam tasnya. “Nah, ini Pak. Ini dananya, dan ini selebarannya ada seratus lebih yang berisi visi-misi Pak Armin dan Pak John, sekalian nanti dibagikan ke karyawan bersamaan dengan uangnya. Kalau Bapak mengizinkan saya bisa bagikan langsung, ndak apa, Pak.” Bungkusan plastik hitam itu dibukanya separuh diatas meja.

Kutarik-tarik janggutku tanpa sadar, sambil berpikir, jawaban apa yang harus kuberikan kepada bapak ini. Rasanya berdosa juga kalau menerima uang tetapi tidak memilih Si Pemberinya.

“Jadi begini, Pak,” ia sepertinya menangkap kegelisahanku. “Ini kan hanya pendamping saja. Pasangan ini kan seperti Bapak ketahui menawarkan program yang cukup bagus untuk Kabupaten kita ini. Pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas beliau Pak. Seperti menggratiskan uang Sekolah Dasar dan Menengah dan bantuan biaya kesehatan. Mungkin Bapak sudah pernah dengar ya di kampanye-kampanyenya?”

“Ya, ya, ya,” jawabku sambil mengangguk-angguk. “Saya sudah dengar.”

“Nah begitu, Pak. Jadi bukan karena bantuan ini lho, Pak. Memang programnya Pak Armin dan Pak John juga jelas. Itulah kenapa pasangan ini harus dipilih untuk kemajuan Kabupaten kita ini.”

Keluar jurus kampanyenya, meski masa kampanye telah lewat, batinku.

“Begini aja, Pak,” entah apa yang merasuki pikiranku, akhirnya aku memutuskan untuk menerimanya. “Kalau memang ikhlas menyerahkan uang ini, kami bisa terima dengan senang hati. Tetapi soal siapa yang mereka pilih, saya tidak berani jamin.”

“Ya, Pak. Sepakat, Pak. Tapi mohon maaf, Pak, saya buat tanda terima ya, Pak. Untuk pertanggungjawaban saya.”

“Baik…”

Sementara pria bernama Wanto itu mempersiapkan tanda terimanya, ponselku berbunyi, kulihat nama teman lamaku, Baga, “Halo, Mas. Apa kabar nih?” sahutku.

“Halo Mas Modjo… Lagi dimana, nih? Baik, baik.” Terdengar suara dari sambungan telepon.

“Di kantor… Apa nih, Mas ceritanya?” Senyum tersungging di bibirku. “Lama ndak ketemu nih.”

“Yah, maklumlah, Mas. Sibuk sedikit nih, hehehe… Saya mau ketemu dengan Mas Modjo, ada yang mau saya bicarakan.”

“Saya di kantor, Mas,” jawabku. “Apa kira-kira nih?”

“Adaa… Sedikit.”

“Masih sibuk di politik nih, Mas Baga?” tanyaku.

“Nah, itu dia, Mas… Hehe… Berkaitan dengan itu juga.”

“Masih di Partai Bintang Bersinar?”

“Masih Mas, masih… Nah ini soal Pilkada besok, Mas. Saya baru teringat dengan Mas Modjo, nih. Minta tolong restu dan bantuannya.”

“Apa yang bisa dibantu?” tanyaku.

“Sepupu saya kan ikut nyalon, Mas. Sriwedari itu sepupu saya, Mas.”

“Ooh… Sepupu Mas Baga tuh?”

“Yah, sepupu agak jauhlah, tapi masih keluarga.”

“Hmm, ya, ya… Apa yang bisa dibantu, Mas?” Tanyaku lagi.

“Yah, suara di pabrik roti Mas kan potensial sekali. Minta tolong Mas arahkan itu pegawai Mas. Kan lumayan tuh Mas …”

Aku merasa tidak etis melanjutkan pembicaraan sementara pria bernama Wanto yang juga minta bantuan suara masih ada di depanku.

“Oh gitu ya, Mas,” sambungku. “Oke, oke… Eeng… Boleh saya telepon balik sebentar lagi, Mas? Kebetulan sedang ada tamu.”

“Oh, baik, baik, Mas. Ndak papa. Monggo…”

Pembicaraan pun kuakhiri. Sementara di depanku, Pak Wanto sudah siap dengan tanda terimanya. Raut wajahnya tampak sedikit sungkan dan ragu-ragu. Katanya, “Maaf Pak… Kalau Bapak berkenan…” Dengan tersenyum aneh dia melanjutkan, “Saya minta pengertian sedikit, Pak, hehehe…”

Hmm, rasanya aku sudah bisa menebak arah pembicaraannya. Tapi kubiarkan dia menuntaskan niatnya.

“Kalau Bapak berkenan lho, Pak. Boleh Bapak bantu saya juga… Kalau bisa… mohon maaf ini Pak, angkanya kosong aja ya, Pak…”

Aku tersenyum mengerti. “Ooh… Ya, ya… Ndak masalah.”

“Baik, Pak. Ini dia,” ujarnya lalu mendorong tumpukan uang dan brosur lebih dekat kepadaku. “Silahkan dihitung, Pak.”

“Sebentar ya, Pak… Ayu…! Ayu…!” Untuk urusan begini biarlah dia yang handle pikirku. Sesaat kemudian Ayu masuk. Kuminta dia menghitung uang tersebut sekaligus menjelaskan asal muasal dan tujuannya. Selesai dihitung, Pak Wanto pun pamitan.

“Sama aja semua…,” ucapku ketika tinggal kami berdua dengan Ayu. “Ya, sudah bagikan saja. Saya sudah bilang kok, tidak bisa jamin. Terserah karyawan kita besok siapa yang mau dipilih,” kataku ketus. “Sini sama saya dua juta. Sisanya bagi-bagikan ya…”

“Ya, Pak. Kalau tidak pas, Pak?”

“Yah… Sisanya untuk kamu saja.”

Setelah Ayu keluar, aku teringat dengan Baga yang aku pending pembicaraannya di telepon. Kupencet tombol dial di ponselku, muncul panggilan masuk terakhir kemudian kuhubungi.

“Ya Mas Modjo, gimana Mas?” Baga menjawab.

“Iya, gimana tadi, Mas? Maaf tadi ada tamu, ntar jadi ndak enak ngomongnya.”

“Iya, iya… Ndak papa, Mas. Jadi gitu, Mas. Saya minta tolong bantuan Mas, ngarahkan para pegawai untuk memilih Ibu Sriwedari besok. Kita ada sisa biaya kampanye kok, Mas. Ntar saya suruh orang kesana ngantarin.”

Aku rasa aku mulai jenuh dengan semua tawaran uang ini. Kusandarkan punggung ke sandaran kursi. “Gini Mas, saya takut ndak enakan nantinya sama Mas Baga, kalau ternyata pegawai saya tidak mayoritas memilih Ibu itu. Jelas saya tidak bisa kendalikan, Mas.”

“Mas bagi-bagiin aja sore ini. Bilang dari Ibu Sriwedari. Nanti disertakan dengan kartu nama Ibu itu. Saya juga ndak mungkin nuntut Mas Modjo kalo gimana, gimanalah hehehe… Ini memang ada alokasinya Mas. Jadi kan sayang. Yah… Itung-itung bagi-bagi ke temen-temen, daripada ke orang lain. Gitu lho, Mas.” Mas Baga coba meyakinkanku. Satu sisi Mas Baga adalah teman lamaku. Di sisi lain aku melihat gambar Soekarno di atas lembaran merah. Di sisi satu lagi kulihat foto Bu Sriwedari yang tak tercoblos. Aku bingung…

“Aduh gimana ya… Ya udah terserah Mas Baga aja deh, gimana baiknya.” Akhirnya aku mengalah. “Tapi saya ndak mau nanti jadi gak enakan sama Mas Baga, ya.”

“Oke, Mas. Saya cuma minta tolong aja nanti uangnya dibagi bersamaan dengan kartu Ibu Sri. Besok pagi ada orang yang saya suruh kesana. Terima kasih yo Mas…”

“Baik Mas, sama-sama.”

Hari itupun berlalu seperti biasa. Keesokan harinya sekitar pukul sebelas datang seseorang yang mengantarkan uang dari Mas Baga. Kami hitung jumlahnya ada dua belas juta. Kuambil dua juta dan sisanya kusuruh bagi ke karyawan. Seorang dapat seratus ribu lengkap dengan kartu bergambar Sriwedari calon Bupati. Sesuai rencana, uang itu pun dibagikan. Sepanjang siang aku kehilangan konsentrasi kerja. Gambar ketiga calon Bupati beserta pasangnnya bergantian seperti slide show di benakku.

Menjelang akhir jam kerja Ayu masuk ke ruanganku. Wajahnya terlihat cemas namun ia berusaha tersenyum. “Gimana tuh, Pak? Siapa yang kita pilih besok? Kita sudah terima semua uangnya…”

“Kita kan ndak minta,” kataku. “Saya sudah tolak karena belum tentu karyawan memilih mereka. Tapi mereka gak peduli. Ya, sudah… Lha, jadi kita yang pusing. Mending kita terima aja semua.”

“Karyawan juga tadi pada nanya, Pak: ‘Ini gimana jadinya. Siapa yang mau dipilih?’ Gitu, Pak.”

Aku merapat ke meja dengan masih tetap duduk dikursiku, meletakkan kedua tangan di atas meja dan menarik napas dalam. Ayu yang duduk manis di kursi seberang mejaku siap mendengar jawaban yang akan keluar dari mulutku.

“Gini Ayu… Bilang sama mereka: kita sudah terima uang dari ketiga calon. Tidak etis dan tidak jujur kalau kita sudah terima uangnya tetapi kita tidak memilih dia, iya tho? Nah, karena kita sudah terima uang dari ketiga-tiganya, besok kita coblos saja gambar ketiga-tiganya. Impas kan? Ndak ada hutang moril, tho?” Aku bersandar ke kursi, tersenyum puas dengan solusi yang baru kuutarakan.

Ayu tampak berusaha tersenyum meski dalam hati dia merasa aneh dengan ucapanku.

“Tapi Pak… Ada satu calon Bupati lagi yang ikut. Kan semuanya ada empat pasangan. Nah, itu gimana, Pak, nggak dicoblos?”

“Lha…,” kataku lalu mundur bersandar ke kursi. “Dia kan ndak ngasi duit, Ayu…”

Cerpen yang berjudul "Mohon Dukungannya" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Bergman Siahaan. Kamu dapat mengikuti Facebook penulis di akun: bergmansiahaan.com.

Posting Komentar untuk "Cerpen Kehidupan - Mohon Dukungannya | Bergman Siahaan"