Cerpen Misteri - Delusi Mila | Ruri Alifia R
Kosong.
Kutolehkan kepala ke belakang. Kira-kira sekitar 18 jam sudah tak kudapati sosok yang biasa menduduki bangku di balik punggungku tersebut. Kemana ia? Tak biasanya belum menampakkan diri hingga jam segini.
Ah, mungkin dia ketiduran. Bukannya
kemarin mukanya kusut sekali?
Berniat melepas penat sesaat,
kuberingsut dari tempat duduk mendekati pintu kelas yang terbuka lebar.
Melangkahkan kaki serileks mungkin menuju koridor utama yang menghadap taman
barat sekolah, tempat paling hijau di seantero sekolah menengah atas ini.
Kuhirup nafas dalam-dalam. Segar.
Seperti biasa, beludru bertumbuhkan tanaman apik di sana-sini mampu membius
kedua manikku. Pun burung gereja yang berkicau riang mendamaikan pagi.
Kusapukan penadangan menikmati seneri kebanggaan sekolahku. Sekilas, situasi
pukul enam pagi ini tampak baik, damai, masih lengang dan…
‘Aku ingin mengakhiri hidupku.’
Dalam pemikiran yang masih mencoba
stabil, mendadak kudapati kilatan potongan demi potongan memoar kemarin.
Sebentar, bukankah itu suara—?
Kontan kutegapkan tubuh berdiri di
ambang kayu abu. Melihat ke dalam, terpekur pada bangku pojok kanan paling
belakang. Dalam sepersekian detik kemudian, kutemukan diri terdampar pada masa
lalu.
… Bel berakhirnya jam istirahat telah
berbunyi. Kontan, sisawa-siswi berpakaian abu menyegerakan diri memasuki kelas.
Dalam hitungan detik suasana kelas X-3 berubah ramai dengan beragam konversasi
dari berbagai mini forum beberapa kumpulan siswa di sana. Banyak pelajar
terlihat melibatkan diri berbagi informasi, speak-up, merumpi atau hanya
sekedar bergurau. Semua—kecuali satu orang yang kurasa tak juga menyuarakan
aspirasinya hingga siang ini.
Kutengokkan kepala ke belakang.
Menghadap seorang perempuan berkulit kuning langsat dengan ikal rambutnya
tergerai ke samping. Perempuan itu mengkulaikan kepalanya di atas meja.
Menutupi keseluruhan paras ayunya menghadap jubin. Hey, ada apa dengannya?
Kataku dalam hati. Samar-samar, dapat kurasa mejanya bergetar. Apa ia
terguncang?
“Mi—” Sapaanku berakhir amat lirih untuk
kudengar sendiri. Dari sini, terlihat jelas tulisan-tulisan frustasi seorang
remaja yang terjelmakan dalam tinta marah pada robekan kertas di atas mejanya.
Buru-buru kubaca dalam hati tulisan yang terposisi terbalik dari tempatku
membaca.
‘Saat mimpi terniatkan dari dalam hati,
apa salah memantapkan diri menapak pada tangga yang lebih tinggi? Masih—’
“Mila, are you sick?” Belum sempat
teraba semua kata, tiba-tiba Bu Ayami sudah berada di samping bangku perempuan
itu. Mencoba tenang tanpa tahu apa-apa, kusampingkan gaya duduk menghadap
dinding. Membaca mading kelas tanpa ada sececahpun niatan untuk menyerap kata.
Dari ekor mataku, kutangkap bayangan
tangannya menyembunyikan kertas robekan itu dalam gerakan cepat. “Nope. Just
having a little bit dizzy, ma’am,” sahutnya ringan. Ini suara pertamanya hari
ini. Singkat, berintensitas rendah dan menyiratkan rasa.. Sebentar, rasa apa
yang tadi terkandung dalam vokalnya?
Seraya menepuk lembut ubun perempuan
itu, guru kami menyeringai, “That’s not a very usual of you to get this quiet.
Do you need to go to UKS?” Tanyanya lagi.
“That’s not necessary. Seriously, I am
okay.” sahutnya terpatah pada kalimat tengah. Aneh, ada yang salah. Apakah
hanya aku yang tak yakin dengan ucapannya atau ia…
Pembicaraan mereka berakhir lalu Bu
Ayami melangkah melewatiku dengan pandangan nanarnya menatapku. Sebuah
kebetulan sekali aku tidak diomeli seperti yang lalu. Semenit setelahnya,
beliau kembali menarik perhatian kami dengan penerangan tanpa celanya perihal
bab Question-tag di depan kelas.
Seketika kelas terasa senyap. Semua
perhatian teralih pada seorang mungil di depan. Memerhatikan dengan seksama
setiap penjelasan yang terurai tanpa jeda dan cela. Tapi tidak denganku. Masih
ada yang menggelitik rasa penasaranku.
Saat sesi mengerjakan buku paket
dimulai, pelan-pelan kutolehkan lagi kepala ke belakang dan agak terkejut
mendapati perempuan di balik punggungku kembali mengkulaikan kepalanya. “La,
nomor lima bisa bagian E, nggak?” Tanyaku membuka pembahasaan.
Mengantisipasi responnya, kupandang
lekat sosoknya. Pelan-pelan, ia beringsutkan kepala memandangku, hampa. “Nomor
lima?” Bukannya dijawab, ia malah nampak ogah-ogahan mencari buku yang
bersangkutan dari dalam tasnya. “Sorry, Fik. Kayaknya tadi lupa masukin
bukunya,” ungkapnya menggantung tanpa memandangku.
Mengingat kebiasaannya yang selalu heboh
tatkala tengah tak membawa perlengkapan sekolah, sangat mengherankan ia
menyahut sesantai itu. “Nih, deh. Pake bukuku aja,” ucapku inisiatif menawarkan
bantuan.
“Nope. It’s okay, kok,” potongnya cepat.
Kupandang wajahnya sesaat mendapati
hal-hal tak nampak yang tersemat. Mata kucingnya nampak berkantung samar, sayu.
Ujung hidungnya memerah. Sorot matanya hampa. Tak ada senyum terlengkung manis
di bibirnya. Astaga, ada apa dengannya? “What’s wrong, Mil?”
Belum sempat ia menjawab, bel pergantian
pelajaran telah berbunyi. Tak sesuai ekspektasi, perempuan itu beranjak
beridiri, meminta izin ke kamar mandi pada Bu Ayami menyahutku, “Nothing to
worry about, Fik. I’m completely okay,” kemudian berlalu hingga menghilang di
balik pintu.
Kamu bahkan tak ada sejengkal pun
mendekat dari kata ‘Okay,’ Mila.
Sepeninggalnya, kuendapkan diri
berpindah tempat duduk ke belakang, merasa berhak menuntaskan kalimat
terpenggal tadi. Hati-hati, kuraba laci mejanya, menarik kepalan kertas keluar,
lalu membacanya.. Dan terkesiap sendiri.
…Sesaat kesadaranku kembali. Itu dua
belas jam yang lalu. Sepertinya aku tahu kemana ia melenggang pergi.
Namanya Kamila, wajahnya manis bak gula,
namun hidupnya tak seindah seperti yang kita kira.
Jika ada angin kilat yang bisa
kutumpangi, tanpa fikir ulang aku akan menggunakannya sekarang.
Aku berlari dan terus berlari. Menembus
keramaian jantung kota, meliukkan tubuh, menyelinap di sana-sini, tak peduli
sengatan panas matahari yang menyemai ubun, pun juga pada seragam yang beranjak
lusuh lantaran waktunya pulang sekolah. Anterior berfikir keras, terfokus pada
satu tujuan; perempuan itu.
Dimana tempat paling nyaman bagi kaum
hawa untuk menyelamatkan diri? Tempat yang dekat dengan sekolah, bisa teraih
dengan berjalan kaki, dan mengira tidak ada satu orangpun yang akan
menginterupsi?
Di persimpangan lampu merah aku membelok
ke gang sempit yang tidak dilalui banyak orang. Masih dalam kondisi berlari,
jalan ini membimbingku pada satu gedung bertingkat lima yang masih
terbengkalai. Sayup-sayup kilatan memoar tepat saat memandang bangunan setengah
jadi ini menggetarkan nadi. Ya, ini tempatnya.
Beberapa detik kemudian, kutemukan diri
menaiki dua anak tangga sekaligus dengan menggebu tanpa peduli konstruksi
rapuhnya. Aku harus bergegas menuju lantai paling atas. Harus cepat atau semua
akan terlambat.
Jantungku berdebar lebih cepat. Satu
tangga lagi menuju atap. Dengan nafas memburu kutiti lagi anak tangga setangkas
mungkin. Apa yang akan kudapati di sana? Jika seorang yang kucari ternyata tak
ada? Atau hanya kudapati tubuhnya saja?
Lagi, tersambarlah kilat memoar dari
tangga-tangga yang baru saja kulalui. Sosoknya yang terguncang, getaran
tangannya, pakaiannya yang mulai lusuh dan detik saat ia memungut pisau yang
tergeletak di lantai. Mendadak tenggorokanku tercekat, tubuhku menegang,
jantungku berhenti berdetak sesaat.. Tuhan!
Aku berhasil menemukannya.
“Mila?” Di sela-sela besi tulangan yang
masih mencuat panjang dalam
keteraturan jarak, kudapati sosok mungil
tengah duduk bersila memandang seneri cakrawala biru cerah. Ia—masih mengenakan
seragam putih-abu yang nampak lusuh. Rambut shaggy sebahunya juga nampak
mengusut. Perempuan itu bergeming mematung menghiraukanku tanpa menggerakkan
tubuh barang sederajat pun.
Jadi ia kabur kemarin, menginap di sini,
dan tak memakan apa-apa hingga kini?
Ia masih diam. Tak bergerak tak
mengeluarkan suara. Hati-hati, kuberingsut mendekatinya. Berfikir positif agar
ia tak melakukan hal gila yang dapat sewaktu-waktu terjadi. Rupanya, ia tak
terkejut dengan kedatanganku. “Sudah berapa lama ndekem di sini, Mil? Nggak
bosen?”
“Fik, stop. Jangan ke sini. Atau—”
“—Atau kamu bakal lompat? Kamu lompat,
aku juga melompat,” Kalimat berakhir saat akhirnya aku turut duduk bersamanya,
di sampingnya. Di sini memang indah. Kedua pasang manik kami dapat menikmati
pemandangan Kota kecil kami yang teratur dari barat ke timurnya. Benar-benar
tempat sempurna untuk menenangkan diri.
Mila meringis, lalu menyahut cepat,
“Basi.”
“Kamu nantang?” Ucapku mantap.
Hening sejenak. Dari ekor mataku dapat
kutangkap ia tengah menunduk, kemudian menatapku dan bertanya, “Mengapa kau
membuntutiku?”
Aku balas melihatnya. Menangkap berbagai
gurat emosi di sana. Kelelahan pada kedipan matanya, keteguhan pada tulang
pipinya, ketakutan pada kerutan di keningnya, dan keyakinan dalam dua layar
hitam melingkar maniknya. “Mengapa kamu pergi diam-diam?”
“Mengapa kau mengalihkan pembicaraan?”
“Mengapa kamu ingin mati?”
“Mengapa kau ikut campur?”
“Mengapa aku tak boleh mencampuri
urusanmu?”
“Mengapa kau tidak menjawab
pertanyaanku?”
Aku berhenti berucap, menghela nafas
dalam sejenak. “Pertama karena aku ingin. Kedua, aku hanya penasaran bagaimana
keadaanmu. Ketiga, karena aku tak pernah bisa tenang.. Sebelum melihatmu,”
jawabku panjang lebar dengan tetap menatap kedua mata berkilatnya. Seketika
pupilnya membesar. Pandangannya menunduk pada jalanan sepi di bawah. Aku tidak
mengucapkan kata yang salah, kan?
“Kau tahu… Papa selalu nuntut lebih.
Menyuruhku mendalami hal-hal yang tak kusuka agar aku menjadi luar biasa
berbeda dari yang lain. Dan sepertinya, memenggal usia ketika kita beranjak
dewasa tanpa alasan apapun adalah hal yang luar biasa benar.” Jawabnya
bergeming. Aku menelan ludah. Menanggapi perubahan drastisnya dalam diam. Apa
kau gila?
“Mil,” ujarku menyentuh jemarinya, “Hal
paling luar biasa yang bisa kau lakukan adalah menjadi dirimu sendiri.”
Ia terdiam lagi. Meremas jemariku
erat-erat hingga kumampu merasakan getaran tangannya. Tubuhnya terguncang. Aku
mencoba untuk merengkuhnya. Tapi tak bisa. Aku masih belum pantas mendekapnya
mendekat. Dalam kondisinya yang seperti ini, kulihat memori ingatannya
terkapturisasi oleh sosok pria berwajah tegas dengan dengungan kalimat memaksa,
‘Kamu harus jadi dokter! Nggak boleh yang lain!’
Sepersekian detik kemudian, hangat
genggamannya menghilang. Belum sempat kubaca semua ingatan, ia telah beranjak berdiri
menjauh dariku seraya mengeluarkan pisau dari dalam sakunya. “Fik, aku udah
nggak kuat lagi, sungguh,” ucapnya bergetar. Bersamaan dengan itu, kuterlonjak
menangkap jemarinya yang terguncang menggenggam pisau yang posisinya kian
mendekat secepat kilat pada pergelangan nadi kirinya.
“MILA! STOP!” Tanpa buang waktu,
kulangkahkan kaki menggebu ke arahnya. Aku harus menghentikannya! Mendadak
dapat kurasakan waktu berjalan lamat ketika dalam sadar, kumengetahui pelipir
tajam pisau hanya tinggal sekelingking saja. “ARGH!”
Aku memekik keras. Kuat tangannya
berhasil menyayat lurus sekujur lengan kananku. Aku terduduk tak kuat.
Merasakan perih luka yang kian membuka. Kontan, kudengar Mila memeneriakkan
namaku. Kemudian ia bergegas menghambur ke posisiku.
“Fikri, astaga. Maaf!” Kekuatan yang kudorong
pada tangan kirinya berhasil menghindarkan Mila dari aksinya. Syukurlah. Kini,
ia malah panik melihatku. Dengan satu gerakan cepat, Mila koyak melingkar
bagian bawah rok abunya dengan pisau yang baru saja menyayatku. Jadilah seuntai
perban rok sepanjang tiga kali lenganku lalu ia mulai membalut lukaku.
“Maaf.” Ucapnya selagi menunduk
memandang bebatannya. Samar-samar, nampak buliran air mata jatuh membasuh
sebagian kecil perban rok abunya.
Aku berdeham sejenak. Menyentuh dagunya,
mengangkatnya lalu berujar,
“Saat mimpi terniatkan dari dalam hati,
apa salah memantapkan diri menapak pada tangga yang lebih tinggi? Bukankah kita
harus meyakini dan percaya pada diri sendiri? Tak ada gunanya menjiplak,
mengekang atau memaksa. Kita bebas untuk memilih. Kita bebas menjadi diri
sendiri. Karena kitalah penentu kemana kita akan pergi.”
Satu kristal keluar lagi dari kelopak
mata kanannya. Lantas ia tersenyum. Cekungan asimetris manis pertama yang
kudapat setelah seharian ini. “Kamu juga menggeledah meja dan tasku?” Tanyanya
terkikik pelan.
“Ya.. Tapi tidak seperti yang kamu
fikirin, Mil.”
“Pulang, yuk? Ke rumah sakit, benerin
lukamu dulu.”
Aku menggeleng. “Sebentar, capek tau
ngejar kamu sampe ke sini.”
Mila terkekeh. Lalu ia duduk di sisi
kananku, menggengam erat jemariku dan berucap lirih, “Aku masih penasaran
gimana kamu bisa nyampe di sini.”
“Insting?” Sahutku asal-asalan yang ia
tanggapi dengan memukul pelan lenganku.
“Konyol. Itu jawaban mainstream.”
“Jadi, mau yang anti-mainstream, nih?
Tapi berjanjilah kamu nggak akan kaget…” Tawarku mengundang anggukan anggunnya.
“Sejujurnya, aku bisa membaca masa lalu dari segala sesuatu.”
“Keren! Lalu apa yang bisa kau baca
dariku?”
Aku berdeham dalam. “Kamu…
Menyukaiku—sangat.”
Mendadak, ia memandangku lekat.
Termenung sejenak hingga akhirnya sudut-sudut bibirnya malu-malu menaikkan
derajat. “Bukannya kau juga?”
“Ya, tapi..”
“Tapi apa?” Potongnya menuntut kalimatku
yang menggantung. Lamat-lamat kutatap Mila. Terlarut dalam pesona malam
maniknya. Diam menggantung sesaat dalam semilir angin tenang yang menari di
sekitar kami, damai. Ini waktunya. Pelan-pelan wajahku mendekat, melumat lembut
bibir merahnya sekilas.
“Tapi aku hanya sekedar khayalan
kecilmu.”
Cerpen yang berjudul "Delusi Mila" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Ruri Alifia R. Kamu dapat mengikuti blog penulis di link berikut: rurikakaka.wordpress.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Misteri - Delusi Mila | Ruri Alifia R"