Cerpen Cinta - Cerita Dinda | Dwi Surya Ariyadi
Suasana pagi berselimut sejuk. Udara rindang pepohonan selepas menepis embun menyiarkan harum khas pepagian. Awal hari mulai berjalan. Sang kehidupan telah menulis ceritanya kembali.
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah.
Suasana tampak sepi. Aneh sekali, pikirku. Bukankah tidak seperti biasanya
keadaan pagi ini. Aku melirik jam tanganku. Masih pukul setengah tujuh,
sedangkan bel masuk jam tujuh tepat. Seharusnya kondisi sekolah sudah setengah
ramai dengan siswa yang baru datang.
Kususuri satu persatu ruang kelas yang
aku lalui. Tidak ada yang ganjil ketika aku melihatnya. Namun perasaanku masih
terselimut sesuatu yang janggal. “Apakah itu?”, tanyaku dalam hati. Entah dari
mana suara yang berdengung di kepalaku seolah menunjukkan kalau yang kulihat,
kusadari, dan kualami saat ini adalah tidak nyata.
Ya benar, “mungkin aku kurang tidur
semalam”, sahutku tak terdengar. Mungkin waktu tidur yang terbatas semalam
membuatku merasa seperti orang bingung di pagi hari. Tapi, kembali sesuatu itu
datang menyeruak.
Aku berhenti di depan sebuah kelas.
Mataku melihat ada lima orang di dalamnya. Sebagian dari mereka aku mengenalnya
karena pernah satu sekolah dan satu kelas saat SMP dulu. Aku coba melongok
melalui jendela yang terbuka kecil.
Aku melihat Dina sedang duduk di pojok
depan sambil menulis. Pasti sedang menyalin pr, aku mencoba menerka-nerka apa
yang sedang dia kerjakan. Di baris paling belakang empat orang anak laki-laki
sedang asyik mengobrol. Salah satunya Radit, seorang yang duduk di pinggir
meja. Mataku bertemu pandang dengan dirinya. Dan aku kembali merasakan sesuatu
yang berbeda.
Kupalingkan pandanganku dari dirinya
segera aku melihat papan tulis yang menempel di dinding depan kelas. Ini adalah
kelas XII, aku melihat tulisan-tulisan tentang pelajaran masih belum
dibersihkan dari papan tulis tersebut. Beberapa tulisan aku mengenalnya
samar-samar kalau itu adalah hasil karya Pak Diman, guru matematikaku. “Pak
Diman, kemarin di kelas ini”, kataku dalam hati. Kembali suasana berubah.
Aku melanjutkan jalanku dan kali ini
melewati sebuah ruang UKS. Kulirik sebentar, ada seorang siswa disana. Dia
sedang membetulkan sesuatu yang tergantung di dinding. Dari belakang tubuhnya
aku sepertinya mengenalnya. Aku kembali mengingat-ingat siapa dia. ‘Oh ya,
itukan Reni, kenapa pagi-pagi udah ada di uks, seruku lirih.
Reni, adik kelasku. Aku mengenalnya
ketika awal-awal dia masuk sekolah ini. Pada saat masa orientasi, dia memintaku
menandatangani buku MOS-nya. Awalnya aku menolak karena aku bukan bagian dari
panitia atau OSIS sekolah, namun ia tetap memaksaku. Katanya ada orang lain
yang menyuruh dirinya untuk meminta tanda tanganku. Orang itu berkata kepada
Reni, “Kau harus mengenalnya, dia akan menjadi teman sekaligus kakakmu yang
baik di sini”. Aku sendiri tak mengerti mengapa dia berkata seperti itu kepada
Reni. Begitu juga sebaliknya, Reni pun tak mengerti.
Aku melihatnya masih sibuk. Aku biarkan
saja ia dengan kegiatannya di UKS. Aku kembali menuju kelasku. Kelasku ada di
ujung koridor ini. Ketika tiba di depan kelas, aku melihat seseorang berdiri di
sisi luar jendela. Sembilan meter di hadapanku. Ia berdiri bersandar dengan
dinding diantara sela-sela jendela yang sebagian terbuka. “Ngapain dia di
sini”, gumamku diselimuti rasa penasaran.
Aku mendekatinya. “Tar, ngapain disini,
gak masuk ke kelas? Mungkin Dinda udah dateng” tanyaku tiba-tiba. Ia menoleh ke
arahku dan tersenyum. “Gak Ar, aku gak nyari Dinda, timpalnya. Kali ini ia menjauh
dari jendela dan duduk di bangku panjang depan kelasku. Aku mengikutinya dan
segera duduk disampingnya. “Gak nyari Dinda, tumben, terus ada apa?”, rasa
penasaranku kembali hinggap. Tari di sini tidak bermaksud ketemu Dinda, sahabat
dekatnya. Biasanya setiap sebelum bel masuk atau istirahat, dia kesini menemui
Dinda untuk sekedar mengobrol menghabiskan waktu. Sebelum melanjutkan
percakapan, aku berdiri dan melihat melalui jendela, apakah Dinda ada di dalam
kelas. Mataku menyapu setiap sudut dan tak menemukannya. Jelas sudah Tari
memang tidak sedang mencarinya. Tapi bukankan Tari dan Dinda selalu berangkat
dan pulang bersama-sama. Jadi kalau Tari sudah tiba di sekolah seharusnya Dinda
pun ada disini.
Aku kembali duduk di dekatnya. “Kok
Dinda belum dateng, biasanya bareng terus sama kau. Apa tadi berangkatnya gak
bareng?”, kembali aku bertanya. Meskipun itu bukan urusanku menanyakan tentang
Tari dan Dinda, tapi sebuah kejanggalan kecil cukup untuk memulai pembicaraan.
“Gak, aku tadi berangkat sendiri. Waktu
aku ke rumahnya Dinda gak ada. Kata neneknya dari semalam dia di rumah sakit
karena ibunya sakit. Aku sendiri lupa kalau kemarin sore akulah yang
mengantarnya menjenguk ibunya. Mungkin dia menginap disana dan izin tidak masuk
hari ini”, katanya memberikan penjelasan.
Tari menatapku dan tangannya bergerak
meraih telapak tanganku. “Ar boleh aku ngomong sesuatu sama kamu”, suaranya
lembut dan pikiranku beranjak dari ragaku saat ini. Sesuatu terbang seketika
ketika aku melihat tatapan yang datang dari bola matanya. Sebuah tatapan yang
sering aku lihat di kala itu. Aku menghela napas dan membalas genggamannya.
Kali ini aku bereaksi lebih keras. Aku remas erat namun lembut pada tangannya.
Aku menangkap pikiran yang sempat kabur.
Kali ini terbawa sebuah memori yang telah lama tersimpan. Aku coba mengingatnya
kembali. Aku masih terdiam. “Ya, apa yang kamu mau omongin”, jawabku pada
dirinya.
Sebuah keheningan melingkupi kami. Waktu
seolah berhenti. Alam seolah-olah memberikan jeda diantara aku dan Tari. Aku
hiraukan kedaan luar. Aku hanya ingin kembali mengingat masa itu. Dan saat ini
aku sangat menginginkannya.
Aku pacu motorku dengan kecepatan penuh.
Derasnya hujan tak mengahalangi untuk menerobos jalanan. Helmku berulang kali
basah oleh tetes air dan mengaburkan pandanganku. Tapi aku sigap dan segera
kuenyahkan air yang jatuh membahasi kaca helmku. Suasana jalan lengang. Suara
petir terdengar bersahutan. Tak kupedulikan apa yang terjadi dengan alam saat
ini. Aku hanya punya satu tujuan. Dan harus aku lakukan sekarang juga.
Sebuah mobil tiba-tiba telah lima puluh
meter berlawanan arah di depanku. Sorot lampunya segera menyadarkanku. Untung
saja jalan ini dapat dilalui dua mobil sehingga segera saja aku melaju agak ke
pinggir. Mobil itu terlalu ke kengah jalan. Hampir saja, untung cepat
menghindar, aku mengeluh kejadian barusan. Berbahaya sekali. Untung saja mobil
tersebut menyalakan lampu.
Ah, aku sadar, ternyata aku juga salah.
Aku sendiri tidak menyalakan lampu. Jadi di hujan yang sangat deras seperti ini
resiko kecelakaan sangat tinggi dan menyalakan lampu menjadi salah satu cara
menghindarinya. Paling tidak suasana cahaya di bawah tetes air dan suasana
gelap sedikit menyadarkan para pengemudi kalau jalanan tidak benar-benar
lengang.
Aku berbelok melalui tikungan tajam.
Suara derit ban yang tertahan rem membuatku terkejut. Seketika aku merasakan
air membasahi keningku. Jatuh meluncur dan menerpa kedua mataku. Tanganku masih
tersadar menggenggam stang motor. Aku yakin tidak terjadi apa-apa. Roda
belakang tak bergerak, motorku terhenti.
Beberapa saat kemudian aku menoleh ke
samping kanan. Entah dimana aku saat ini. Aku tahu itu bukan motor ataupun
mobil. Aku tak yakin dimana aku saat ini. Bukankah setelah berbelok tadi
seharusnya sebuah jalan lurus. Namun kenapa ada banyak lampu bergerak di sisi
kanan-kiri jalan. Mataku masih perih kemasukan air. Berulang kali aku
mengedipkan mata. Kepalaku terasa dingin. Sepertinya air hujan telah masuk
membasahi rambutku dan kini menjalar ke arah punggung melalui celah-celah jaket
yang kupakai. Dingin air juga terasa di tangan kiriku. Aku tak merasakan sarung
tangan yang tadi kugunakan. Tetesan air seperti kerikil kecil yang jatuh
menimpa telapak tanganku. Tunggu dulu, telapak tangan, seruku panik.
“Udah gak usah sedih, semua baik-baik
aja”. Aku mengulurkan tangan memberi selembar tisu kepada Reni. “Tapi Kak,
gimana kalo buku itu gak ketemu. Buku itu sangat berharga bagiku”, kembali isak
tangis kecil keluar dari mulutnya. “Ya udah, yang penting kau gak apa-apa. Soal
buku nanti dipikirkan lagi, sekarang aku antar kamu pulang”, aku berkata
menenangkan dirinya.
Kuajak Reni ke tempat parkir motor. Aku
berikan helm. Aku segera mengantar Reni pulang ke rumahnya. Hanya itu yang
dapat aku lakukan. Setidaknya dia dapat pulang ke rumah dengan selamat.
Pagi yang cerah aku berjalan menuju
ruang kelasku. Ketika melewati ruang UKS, aku melihat Reni sedang duduk terdiam
di sana. Segera aku menghampirinya. Reni segera sadar akan kehadiranku. Dan dia
segera beranjak berdiri dan keluar ruangan.
“Masih sedih”, tanyaku padanya. Dia
menjawabnya dengan angukan kepala. Aku melihat raut wajah muram di rona
parasnya. “Ayo senyum, ada kejutan untukmu”, aku mengangkat dagunya yang
tertunduk. Mata kami saling beradu. Ia tersenyum kecil. “Sebuah hadiah untuk puteri
cantik”, kataku mengoda yang di sambut dengan tawa kecil tiba-tiba dari
bibirnya. “Nah gitu dong, ini buat kamu”. Aku memberikan kotak berbungkus hijau
kepadanya. Ia terkejut dan tak sadar apa yang di lihat. Dengan ragu-ragu Reni
meraih bungkusan di tanganku. Dia merobek sampulnya dan mengeluarkan isi di
dalamnya. Matanya terbelalak ketika mengetahui apa yang telah diterimanya.
“Makasih banyak Kak, makasih, makasih,
makasih”. Ia berkata sambil membungkukkan badannya seperti orang Jepang yang
sedang memberikan salam. “Udah, udah, gak usah berlebihan”, aku segera
menenangkannya. “Itu pantas kamu terima, jadi sekarang jangan sedih lagi, oke”,
seruku riang. “Udah ya, aku tinggal ke kelas dulu, tetap tersenyum”, kataku
seraya menjauh darinya. Dan ia membalasku dengan lambaian tangan bersemangat.
Aku terus melangkah dan tiba di depan
kelas. “Ar, baru dateng, tuh udah di tungguin Dinda”, Tari mengejutkanku dari
balik pintu. Ia keluar terus pergi kembali ke kelasnya. Aku masuk dan melihat
seseorang duduk di baris kedua dekat tembok. “Dinda”, ucapku lirih. Mata kami
saling beradu. Dia tersenyum dan beranjak dari kursinya. Aku yang masih berdiri
tertegun di depan pintu segera menyadari apa yang terjadi. Aku balas
senyumannya.
“Ar, aku mau ngomong sama kamu”, katanya
ketika tepat berdiri di hadapanku. “Ya mau ngomong apa”, jawabku seketika.
“Soal kemaren aku minta maaf, aku gak bermaksud bikin Reni seperti itu, sekali
lagi aku minta maaf”, ujarnya menyesal. “Aku tahu, ya udah gak usah dimasalahin
lagi, semua udah beres sekarang lupain aja ya. Oh ya nanti sore jadi kan, dah
lama kita gak jalan bareng kesana. Kamu mau kan?”, ujarku menimpalinya.
Aku meletakkan tasku dan segera
menghampirinya. “Ayo ke kantin kamu pasti belum sarapan”, kataku. Segera kuraih
tangannya dan kutarik keluar kelas. Kami berjalan berdua menuju kantin. Dinda
tersenyum. Dia tidak dapat menyembunyikan perasaannya kali ini. Dan akulah
orang yang selalu membuatnya tersenyum di pagi hari.
“Kak Tari ngapain disini”, seseorang
menepuk bahu Tari dari belakang. Sekejap mata Tari terkejut dan menengok ke
belakang. Dilihatnya Reni sedang berdiri dan menatapnya heran. “Kak Tari
ngapain duduk disini sendiri”. Reni mengulangi pertanyaannya. Ia agak heran
melihat respon lawan bicaranya. Tapi sepetinya Tari masih terkejut dia berada
di dekatnya.
“Emm.. itu.. emm.. apa”, Tari tergagap
entah dari mana ia harus memulai pembicaraan menjawab pertanyaan dari Reni.
“Kenapa Kak, ada yang aneh”, Reni tambah gusar dengan tingkah laku Tari kali
ini. Ia tak habis mengerti tadi ia melihat Tari duduk melamun disini. Namun
sebelum menghampirinya, ia mendengar Tari berucap sesuatu sebelum kembali ke
dalam lamunannya.
“Maafin Reni Kak, udah ngagetin, tapi
aku lihat Kak Tari tadi melamun sendiri di sini jadi aku samperin aja. Kayaknya
Kak Tari lagi mikirin sesuatu”, tanyanya penasaran. Tari terdiam. Ia berusaha
mengembalikan kesadarannya yang telah jauh melayang. Pikirannya kabur. Entah
apa yang terjadi barusan sepertinya dia baru saja bangun dari mimpi.
“Itu barusan aku abis ngobrol sama Arya,
emang kamu gak liat dia”, ujar Tari mencoba memberikan pejelasan tentang apa
yang baru saja terjadi. “Kak Arya, maksudnya, Kak Tari tadi abis ngobrol ma Kak
Arya”, kali ini Reni terkejut dengan penjelasan Tari. Apa yang terjadi pada
diri kakak kelas yang saat ini bertingkah aneh di depannya. Reni segera
menimpalinya. “Kak Tari yakin”, reni berkata sungguh-sungguh. Dia harus
memastikan kepada Tari tentang apa yang terjadi pada dirinya.
“Beneran Ren, aku gak bohong, aku baru
aja ngomong ma Arya, terus tiba-tiba kamu dateng ngagetin, terus.. terus..
emm.. emm”, kata-kata Tari terputus. Ia seperti tak mengerti kejadian yang baru
saja dialaminya. Tari yakin ada yang aneh. Ada sesuatu yang ganjil yang terjadi
namun dia sendiri tak tahu apa itu.
“Emang kamu gak liat Arya, Ren?. Tadi
kan disini lagi ngobrol sama aku”, ujar Tari berusaha sekuat tenaga meyakinkan
kalau apa yang terjadi bukan mimpi. Namun sebuah kejanggalan segera menghinggap
didirinya. “Kemana dia pergi, barusan dia disini”, gumamnya tak jelas.
“Kak Tari, dari tadi aku gak liat
siapa-siapa kecuali Kak Tari sendiri, aku kesini karena liat Kak Tari yang lagi
ngelamun sendirian”. Hati Reni menjadi was-was. “Apa benar tadi Kak Arya ada
disini. Tapi mengapa aku tidak melihatnya”, pikirnya.
Mata kedua segera menyapu sekitar. Tari
dan Reni memastikan kalau apa yang dilihatnya sekarang adalah nyata. Tari ingin
menyadari keadaannya dan menunjukkan kepada Reni tentang Arya yang baru saja di
sini. Sedangkan Reni berusaha meyakinkan kalau dari tadi ia hanya melihat Tari
dan tidak ada seorang pun disini.
“Aku yakin kalau tadi itu Arya, aku
masih ingat genggaman tangannya. Tak salah lagi. Tanganku masih merasakan
genggaman erat itu”. Seketika Tari dikejutkan oleh suara ponselnya. Ia melihat
disana tertulis sebuah pesan dari Dinda. Tari segera membacanya. Matanya
terbelalak tak percaya. Cepat-cepat dia bangkit dan beranjak pergi. “Aku pergi
dulu Ren”, katanya tergesa-gesa. “Tapi Kak, bentar lagi bel masuk”, seru Reni
memperingatkannya. Tapi terlambat. Tari telah menghilang dari hadapannya.
Pikiran Reni masih berkecamuk. Pesan apa yang membuat Tari bertingkah laku aneh
dan siapa pengirimnya.
Suara bel menyadarkan Reni. Ia berbalik
dan segera menuju ke kelasnya. Satu hal yang menggelayut dibenaknya adalah dia
tak melihat kak Arya pagi ini. Biasanya kak Arya akan menyapanya setiap pagi
sebelum menuju kelas. Tapi kali ini suara kak Arya tak terdengar bahkan
orangnya pun tak tampak di sekolah.
Yang aku ingat adalah tanganku
menggenggam air hujan yang jatuh dari langit. Sebuah cahaya terang menutupi
pikiran dan mataku. Suasana hangat menyelimutiku. Aneh, kenapa tiba-tiba
semuanya menjadi hangat dan serba putih.
Belum habis aku memiikirkan apa yang
terjadi. Aku teringat Dinda. Dinda dimana kau saat ini. Bukankah aku seharusnya
berada di rumahnya. Aku tersadar, bukankah aku menuju rumah Dinda. Dan waktu
itu turun hujan lebat. Benar aku ingat sekarang.
Dinda boleh aku menggenggam tanganmu
saat ini. Hatiku tiba-tiba terusik. Kenapa Dinda selalu memenuhi rongga jiwaku.
Tak biasanya seperti ini. Sepertinya seluruh jiwa, hati, dan pikiranku tertuju
padanya. Benarkah aku kembali menyayanginya. Entahlah yang jelas akupun tak
mengerti di mana aku saat ini.
Keningku terasa hangat sekali. Aku
merasakan suasana damai namun suasana lain ikut bersamanya. Sebuah kegelisahan
dan keganjilan yang terselimut kedamaian. Bukankah sesuatu yang aneh kalau
tiba-tiba aku seperti berada bukan diduniaku sendiri.
Yang benar saja, dari tadi aku bisa
merasakan apa yang terjadi. Bukankah itu nyata. Ada yang menolak aku berpikiran
aneh. Ini nyata, tapi mengapa aku tak yakin seratus persen. Ada sebagian kecil
yang hilang dan aku tak tahu itu.
Sayup-sayup terdengar suara orang memanggil.
‘Arya, Arya, Arya’. Itu namaku. Tapi siapa yang memanggilku, sepertinya tak
asing. Astaga, bukankah itu suara Dinda. Tapi kenapa aku tak melihatnya. Kenapa
hanya suasana putih yang tampak disekitarku. “Dinda, kamu dimana”, aku
melepaskan suaraku berharap dia mendengar. “Dinda, Dinda, aku disini” dan suara
itupun lenyap tertelan keheningan.
Sebuah gundukan tanah basah terhampar di
depan Dinda. Dia bersimpuh di depan tanah tersebut. Taburan bunga yang mulai
melayu menjadikan suasana bertambah muram. Mendung menggantung di kaki langit.
Angin dingin berhembus semilir menusuk kulit. Suasana hening namun tersimpan
teriakan.
Dinda menyeka air mata yang mengalir
dari sudut matanya. Sapu tangan putih terus meresap setiap tetes air mata
tersebut. Suara tangis tertahan dari mulutnya. “Tidak, aku tidak boleh
menangis”, jeritnya dalam hati.
Kemarin sore Dinda diantar Tari ke rumah
sakit. Tadinya dia tak tahu kenapa tiba-tiba Tari mengajaknya ke rumah sakit.
Tari berkilah kalau ibunya sedang sakit keras dua hari ini dan ia ingin
menjenguknya. Sebagai seorang teman dinda tak menolak ajakan Tari.
Namun setibanya disana, bukan ibunya
Tari yang terbaring lemah tak berdaya. Seseorang yang Dinda kenal, bahkan lebih
dari sekedar kenal. Dia terbaring kaku di atas ranjang. Seketika itu Dinda tak
sadarkan diri. Ia masih berupaya menggapai pikirannya. Benarkah apa yang
terjadi. Apakah yang ia lihat tidak salah. Benarkah dia yang sekarang
dilihatnya terbaring telah tiada. Dia yang selalu mengajak Dinda sarapan di kantin
setiap pagi. Dan sekarang dia telah pergi meninggalkannya selamanya. Dia yang
selalu membuatnya tersenyum, meskipun selalu jengkel dengan tingkah laku Dinda
selama ini.
“Dia, benarkah dia. Yang terbaring
disana adalah Aryaku”, jeritnya ketika tahu kalau Arya tak kan lagi bersamanya
mulai hari ini. Rintik hujan turun dari langit. Tetesan lembut air membasahi
bumi. Hujan sepertinya sadar kalau, kesedihan terjadi di salah satu sudut bumi.
Hujan membiarkan dirinya menyatu dengan kesedihan tersebut.
Seseorang datang dan mendekati Dinda.
Tetesan air tak lagi menimpa dirinya. Sebuah payung mencegah gerimis yang
bertambah deras. Orang tersebut membungkuk dan meraih bahu dinda. Tubuh dinda
bergerak tegak berdiri. Tanpa disadarinya, sebuah tangan menyelinap lembut dan
menggenggam tangannya. “Din, ayo kita pergi, biarkan Arya beristirahat tenang.
Dia akan selalu tersenyum kepadamu setiap waktu. Kau adalah orang yang
disayanginya selama ini”. Dinda menoleh ke arah sumber suara. “Terima kasih
Radit”, ucap dinda lembut.
Sebuah penghormatan terakhir dilayangkan
Radit kepada sahabatnya. segera mereka berdua meninggalkan tempat itu. Kali ini
tepukan angin menyertai kepergian mereka. Dan seutas senyum tersungging dari
bibirku.
Cerpen yang berjudul "Cerita Dinda" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis yang bernama Dwi Surya Ariyadi. Kamu dapat mengikuti Facebook penulis di akun: D Surya Ariyadi.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Cerita Dinda | Dwi Surya Ariyadi"