Cerpen Inspiratif - Keberanian Nadhia | Murni Oktarina
Keberanian Nadhia - Murni Oktarina
Nadhia mengamati bangunan yang berdinding kayu dan berlantai semen tanpa keramik di hadapannya. Bangunan tersebut cukup besar namun terkesan kotor. SMP Pelita Harapan nama sekolah itu, akan menjadi tempat Nadhia menimba ilmu mulai sekarang.
Gadis kecil yang berusia 13 tahun itu
menghela nafas kemudian merapikan jilbabnya dan mulai memasuki halaman sekolah
yang tak begitu luas dengan tiang bendera yang sudah berkarat, tepat berada di
tengah halaman. Benderanya sudah terlihat lusuh melambai-lambai dimainkan angin
yang berhembus pagi ini. Para siswa siswi terlihat asyik dengan kegiatan mereka
tanpa memperhatikan Nadhia, siswi kelas tujuh yang akan menjadi anggota baru di
SMP Pelita Harapan.
Pak Ahmad, ayah Nadhia dulunya adalah
staff karyawan kantor pajak di kota Palembang. Dia dipecat karena telah membuka
rahasia atasannya atas tindakan penggelapan uang kantor. Kedudukan yang lemah
dapat dikalahkan sekalipun itu suatu kebenaran. Nadhia begitu kesal mengetahui
hal tersebut. Apalagi dia harus pindah sekolah dari SMP Negeri 1 di Palembang
ke SMP Pelita Harapan, yang merupakan satu-satunya SMP di desa yang sekarang
menjadi tempat hidup mereka karena Pak Ahmad telah diterima bekerja di
perusahaan industri di desa tersebut.
“Berapa jumlah uang kas kelas sekarang,
Nad?” tanya Bu Marliana setibanya Nadhia di hadapannya.
“Rp 280.000. Ada dua anak yang belum
membayar bulan ini, Bu.” jawab Nadhia sambil memandangi gurunya yang terlihat
sibuk menghitung lembaran uang ratusan ribu.
Bu Marliana adalah wali kelas Nadhia
sekaligus kepala sekolah SMP Pelita Harapan. Dari awal pertemuan, Nadhia
merasakan ada keanehan dari guru ini. Entah apa itu Nadhia belum tahu. Sudah
tiga bulan Nadhia di sini dan semakin merasakan ada sesuatu yang aneh pada Bu
Marliana. Nadhia yang ditunjuk teman-temannya menjadi bendahara kelas, lebih
sering bertemu dengan Bu Marliana dan membahas tentang keuangan kelas. Nadhia
heran karena ibu guru berkacamata ini selalu meminta uang hasil sumbangan para
siswa dan uang kas kelas agar dikumpulkan pada Bu Marliana saja. Ketika sedang
membutuhkan untuk membeli kebutuhan kelas, Bu Marliana akan menyuruh anak-anak
untuk sumbangan lagi.
“Ibu saja yang memegang uang itu ya!”
ujar Bu Marliana sambil membenarkan letak kacamatanya.
Nadhia memberanikan diri dan berkata,
“Biar di Nadhia saja kali ini, Bu. Jika ada keperluan mendadak, kami bisa
menggunakannya dengan segera tanpa harus menemui Ibu untuk meminta uangnya.
Nadhia bendahara kelas punya tanggung jawab atas itu…”
Belum selesai Nadhia berbicara, Bu
Marliana menyelanya dengan kesal, “Mau melawan perintah Ibu? Kamu kira kamu
benar? Cepat kemarikan uang itu dan segera keluar dari ruangan ini!”
Nadhia keluar dengan pikiran berkecamuk
dan keheranan. Langkahnya gontai menuju kelas. Duduk perlahan, lalu membaca
istirghfar untuk menenangkan hatinya. Imah, teman sebangku Nadhia menghampiri
dan duduk di sampingnya.
“Ada apa, Nad? Wajahmu kusut begitu,”
tanya Imah seraya merapikan jilbab Nadhia yang tak sengaja tertarik sedikit ke
belakang.
“Tidak apa-apa Imah. Aku cuma lagi
bingung,” ujar Nadhia sambil melontarkan senyumannya pada Imah yang memasang
wajah serius. Nadhia pun bercerita pada Imah tentang keanehan yang dirasakannya
dari perbuatan Bu Marliana. Seketika wajah Imah memucat dan tertunduk.
“Aku ke toilet sebentar ya Nadhia,” kata
Imah tiba-tiba dan dengan cepat Imah keluar meninggalkan Nadhia yang belum
sempat mengangguk.
Kelakuan Imah barusan semakin menambah
keheranan Nadhia. “Sebenarnya apa yang terjadi? Aku harus cari tahu!” ujar
Nadhia pelan.
Waktu istirahat tiba. Nadhia
melangkahkan kakinya menuju perpustakaan. Langkahnya terhenti ketika dilihatnya
dua orang laki-laki dewasa berpakaian dinas keluar dari ruangan kepala sekolah.
Setelah dua orang tersebut sudah berlalu meninggalkan sekolah, Nadhia
memutuskan untuk mendekati ruangan Bu Marliana dan mengintip dari lubang kecil
di pintu. Dia melakukan ini karena merasakan ada sesuatu dan segera ingin
mengetahuinya.
Terdengar sayup-sayup suara Bu Marliana
sedang berbicara lewat telepon dengan seseorang, “Uang bantuan untuk perbaikan
sekolah dari Pak Kades sudah diantarkan barusan saja, Pak. Uangnya sudah Ibu
jadikan satu dengan uang kas dari murid-murid. Seperti biasa, semuanya
lancar-lancar saja tanpa ada hambatan. Siang ini kita langsung menemui pemilik
tanah itu untuk negoisasi harga. Kalau kita sudah menunjukkan uangnya, tentu
pemilik tanah itu mau melepaskan tanahnya untuk kita…” ujar Bu Marliana dengan
nada suara rendah.
Betapa terkejutnya Nadhia mendengar
pembicaraan Bu Marliana dengan seseorang di telepon, yang ternyata suami Bu
Marliana. Hal yang sungguh tak pantas dilakukan seorang guru terlebih seorang
kepala sekolah. Bu Marliana telah merampas hak para siswa atas perbuatan yang
dilakukannya. Belum hilang kekagetan Nadhia, Bu Marliana meneriakkan namanya.
Nadhia ketahuan.
“Dasar anak kurang ajar! Memangnya di
Palembang diajarkan untuk mengintip dan menguping pembicaraan orang lain ya?!”
bentak Bu Marliana marah.
“Ternyata selama ini Ibu menggelapkan
uang sumbangan dan bantuan untuk siswa di sekolah ini. Uang yang diberikan oleh
utusan kepala desa barusan juga akan diambil untuk keperluan pribadi Ibu, kan?
Ibu benar-benar tega dengan murid sendiri. Bagaimana sekolah ini bisa maju dan
bangunannya diperbaiki kalau uang bantuan tidak dipergunakan selayaknya,”
Nadhia berkata panjang meluapkan isi hatinya.
Plaakk…
Pipi kanan Nadhia ditampar cukup keras
oleh guru yang tak layak menjadi pahlawan tanpa tanda jasa itu. Nadhia menangis
dan berlari meninggalkan gurunya. Dia sangat marah dan kecewa. Bukan karena
telah disakiti tapi dirinya marah akan perbuatan yang telah dilakukan Bu
Marliana.
Keesokan harinya di sekolah, Nadhia
memberanikan diri menemui Bu Marliana. Dia menginginkan Bu Marliana berhenti
melakukan korupsi uang sekolah termasuk uang sumbangan dan uang kas dari para
murid.
“Nadhia tidak akan memberitahu yang
lain, Bu. Asalkan Ibu berjanji untuk berhenti,” tawar Nadhia pelan namun tegas.
“Hebat! Anak kecil sok menasihati. Saya
gurumu! Kamu pikir semua orang di SMP ini tidak tahu? Sangat salah, mereka
semua sudah tahu. Tapi mereka tidak lancang seperti kamu. Bersikaplah seperti
mereka maka kamu akan aman dan tetap bisa bersekolah di sini! Sekarang kamu
tinggalkan ruangan ini jika tidak ada lagi yang mau dibicarakan, ” gertak Bu
Marliana sinis.
“Nadhia tidak bisa diam saja melihat
ketidakadilan ini,” ujar Nadhia serius sembari mengepalkan telapak tangan
kanannya.
Beberapa hari kemudian…
“Kami belum bisa terima jika Nadhia
harus dikeluarkan dari sekolah ini, Bu. Dia melawan Ibu pasti ada alasannya.
Kami sebagai orang tuanya sangat mengenal sifat Nadhia,” bela Bu Asiah, ibu
Nadhia. Mata wanita berkerudung hijau muda itu menatap lekat pada Bu Marliana
yang terlihat sedikit gugup.
“Keputusan saya tak bisa diganggu gugat.
Silahkan bawa pergi anak Bapak dan Ibu sekarang dan segera tinggalkan tempat
ini!” perintah Bu Marliana emosi. Pak Ahmad memegang tangan Bu Asiah untuk
menenangkan istrinya yang terlihat mulai terpancing marah atas perkataan sang
kepala sekolah.
Pintu tiba-tiba terbuka dan terlihat
Nadhia sudah berdiri di sana. Di samping Nadhia ternyata ada Pak Kepala Desa.
Bu Marliana semakin gugup dan mengusap peluhnya seraya berkata, “Emmhm, Ada
yang bisa saya bantu Pak Kades?”
Pak Kades menatap Bu Marliana dengan
tatapan tajam, “Pak, silahkan bawa guru itu ke kantor polisi sekarang!” seru
Pak Kades kepada dua orang polisi yang berada di belakangnya.
Bu Marliana sangat terkejut dan
meronta-ronta saat kedua tangannya diseret polisi keluar. “Kenapa saya
ditangkap? Saya tidak bersalah,” seru Bu Marliana berusaha menutupi
kesalahannya. “Dasar anak kurang ajar, berani-beraninya kamu Nadhia melakukan
ini!” maki Bu Marliana terhadap Nadhia sambil berusaha memukulnya. Nadhia
menghindar mendekati kedua orangtuanya yang belum mengerti akan kejadian
sesungguhnya.
“Ada apa anakku?” tanya Bu Asiah pada
Nadhia yang berwajah tegang. Nadhia menumpahkan air matanya dalam pelukan ibu
dan ayahnya.
“Nadhia telah menceritakan kasus korupsi
uang sumbangan dan bantuan di sekolah ini kepada saya, yang ternyata pelakunya
adalah kepala sekolah sendiri. Saya sangat berterima kasih pada anak Bapak dan
Ibu. Atas keberanian dan sikap tegasnya maka SMP ini berhasil selamat dari
tindakan korupsi yang sudah lama dilakukan Bu Marliana,” jelas Pak Kades pada
orang tua Nadhia dengan bangga sambil tersenyum menatap Nadhia.
Semua guru dan murid SMP Pelita Harapan
yang sudah berkumpul menyaksikan penangkapan Bu Marliana tersenyum senang dan
memberikan tepuk tangan meriah untuk Nadhia. Imah mendekati Nadhia dan memeluk
temannya itu sambil berbisik, “Aku sangat bangga padamu, Nad.” Nadhia menghapus
sisa air mata di pipinya dan mulai tersenyum.
Cerpen yang berjudul "Kenyataan Buat Tarin" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis yang bernama Murni Oktarina. Kamu dapat mengikuti penulis melalui blognya di link berikut: www.murnioktarina.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Inspiratif - Keberanian Nadhia | Murni Oktarina"