Cerpen Horror - Tumbal Telapak Tangan | Murni Oktarina
Tumbal Telapak Tangan - Murni Oktarina
Bangunan berlantai tiga dengan warna biru yang terlihat telah memudar. Ada sedikit cat yang sudah mengelupas sehingga menampakkan warna asli bangunan itu, putih. Bangunan yang sebenarnya adalah tempat dijualnya obat herbal dan berbagai jenis jamu itu memang agak jauh dari bangunan-bangunan lain.
Seorang gadis remaja memandangi bangunan
tersebut dengan raut wajah ragu. “Toko Obat dan Jamu Laveindisc”. Tulisan nama
toko itu cukup besar dan jelas sehingga dari jarak yang cukup jauh dapat dibaca
oleh remaja berambut lurus panjang yang masih berdiri tanpa bergeming.
Tiba-tiba Alikha melangkahkan kakinya
menuju toko itu dan masuk dengan perlahan seperti ada kekuatan yang menariknya
untuk memasuki toko itu dengan segera. Matanya menyapu seisi toko di lantai
satu, mencari karyawan di sana untuk bertanya. Herannya tidak ada satu orang
pun yang terlihat. Hanya ada sofa tua, deretan lemari yang berisi obat-obat dan
jamu, meja kecil yang di atasnya ada sebuah buku kecil lengkap dengan pena
hitam dan ada televisi kecil di atas salah satu lemari obat yag tepat menghadap
jendela. Suasana sangat sepi hanya detak jarum jam yang terdengar. Gadis remaja
bernama Alikha itu merasakan suatu keganjalan.
“Assalamu’alaikum… Permisi, apakah ada
orang? Saya Alikha, calon pegawai yang akan bekerja di toko ini,” seru Alikha
cukup keras berharap ada seseorang yang mendengar.
Belum ada juga tanda-tanda keberadaan
seseorang di sini. Alikha memutuskan untuk duduk sebentar sambil menunggu. Sofa
berwarna coklat gelap yang sekarang diduduki Alikha sudah dimakan usia.
Kulitnya banyak yang sudah terkelupas dan sofa itu tidak cukup empuk lagi bagi
Alikha. Alikha masih tetap menunggu. Ia berpikir mungkin pemilik toko ini
sedang tidur siang di lantai dua atau lantai tiga karena di jam tangannya
memang menunjukkan tepat pukul dua siang.
“Hoaaem… jadi mengantuk juga,” keluh
Alikha sambil melemaskan tubuhnya mencari posisi yang enak untuk duduk di sofa
tua ini. “Kok, seperti tidak ada pembeli ya? Sepi sekali,” katanya dalam hati.
Alikha berdiri untuk melihat keadaan di
luar toko. Dari kejauhan dilihatnya ada seorang gadis dengan selendang berwarna
ungu. Alikha menduga usia gadis itu sekitar dua puluh satu seperti dirinya.
Melihat ada orang lain selain dirinya di sini membuat Alikha cukup lega.
Tiba-tiba gadis berselendang ungu tersebut sudah di depan pintu toko dan masuk
menyapa Alikha.
“Permisi Mbak. Apakah di sini menjual
telapak tangan?” tanya gadis itu serius dengan wajah dingin dan pucat.
“Maksudnya telapak tangan apa? Sarung
tangan ya? Saya belum jadi pegawai di toko ini mbak, jadi belum tahu ada atau tidak.
Pemilik tokonya entah ada di mana,” jawab Alikha yang tiba-tiba merasakan
tubuhnya merinding dan keheranan dengan gadis yang sangat misterius di
hadapannya kini.
“Bukan sarung tangan, tapi telapak
tangan untuk tangan saya,” kata gadis misterius itu sambil mengangkat tangan
kanannya dan ditunjukkannya tepat di depan wajah Alikha yang langsung pucat
pasi memandangi tangan tanpa telapak tangan dan jari-jari. Tangan itu
berlumuran darah dan menetes jatuh ke lantai. Tiba-tiba wajah gadis misterius
yang pucat dan dingin tadi telah berubah menjadi wajah seram berwarna hitam
dengan bola mata meloncat keluar. Rambutnya sudah sangat berantakan dan pakaian
putihnya berlumur darah. Tangan kirinya dengan jari-jari berkuku tajam berusaha
meraih wajah Alikha dan berusaha mencakarnya.
“Aaaaaarrrgghhh…,” jeritan Alikha
memenuhi seisi toko.
Dia begitu ketakutan. Tubuhnya gemetaran
sehingga tidak dapat menggerakkan kaki untuk berlari. Dengan jelas Alikha
melihat wajah gadis itu yang sekarang berubah menjadi hantu menakutkan yang
begitu dipenuhi kedendaman. Seolah-olah hantu itu ingin membalaskan dendamnya
pada Alikha. Alikha tidak dapat melakukan perlawanan apa-apa. Matanya hanya
terpejam. Membaca surat-surat pendek yang dia hafal dan memasrahkan semuanya
pada Allah apa yang akan terjadi padanya.
“Keluarlah secepatnya… Keluar!” jerit
lirih hantu wanita itu terdengar oleh Alikha.
Beberapa detik berlalu namun Alikha
tidak merasakan wajahnya dicakar atau dilukai hantu itu. Perlahan Alikha
membuka matanya. Hantu itu tidak ada. Hilang. Alikha terduduk lemas di lantai.
Merasakan kelegaan yang begitu besar. Alikha memikirkan suara hantu tadi yang
menyuruhnya keluar. Apa hantu itu tidak menyukai keberadaannya di sini ya,
pikir Alikha. Dari lantai atas terdengar ada langkah kaki seseorang menuruni
tangga. Alikha terperanjat dan membayangkan jika itu adalah hantu tadi yang
masih ingin membunuhnya. Langkah itu semakin jelas karena sudah berada di
lantai dua. Keringat dingin dengan derasnya kembali membanjiri tubuh Alikha
yang lemas. Rasanya ia ingin menangis. Tapi tak berapa kemudian Alikha lega
karena itu benar-benar orang.
“Siapa kamu? Kenapa menjerit-jerit
sehingga membangunkan saya?” tanya bapak berkumis penuh selidik pada Alikha
yang masih terduduk di lantai.
“Sa… saya Alikha, Pak. Calon pegawai di
toko ini. Bapak kemarin menghubungi saya kan kalau saya diterima bekerja di
sini,” jelas Alikha gugup.
“Oh iya iya. Kenapa kamu menjerit dengan
sangat keras?”
“Emm, tadi ada tikus yang menempel di
sepatu saya, Pak.” jawab Alikha berbohong. Dia belum mau menceritakan kejadian
bertemu hantu barusan. Takut itu hanya halusinasinya saja walau ia yakin itu
benar-benar terjadi.
“Oh tikus ya,” Pak Amir dengan wajah
yang terlihat sangar itu menanggapi pernyataan Alikha dengan nada seperti tahu
sesuatu.
Setelah kurang lebih satu jam Pak Amir
memberi penjelasan pada Alikha, dia lansung kembali ke lantai tiga untuk
istirahat. Pak Amir menyuruh Alikha hari ini menginap saja. Mulai besok baru
diperbolehkan untuk pulang pergi. Pak Amir berpesan agar Alikha bisa menempati
kamar di lantai dua dan dilarang naik ke lantai tiga. Sebenarnya Alikha
keberatan untuk menginap, karena dia sangat tak nyaman dengan kondisi di toko
ini. Tapi mau bagaimana lagi, Alikha tidak mau kehilangan kesempatan untuk
bekerja.
Pukul setengah enam sore sudah membuat
langit cukup gelap. Alikha sedang duduk di dekat jendela kaca sambil memandangi
langit di luar sana. Kamar ini cukup besar dan nyaman untuk Alikha. Tempat
tidurnya empuk dan ada kamar mandi dengan keramik berwarna hijau, warna
kesukaannya. Alikha belum memutuskan untuk tidur karena dirasanya tanggung,
karena setengah jam lagi azan maghrib akan berkumandang. Sehabis shalat maghrib
nanti dia baru akan memejamkan mata dan tidur di atas kasur empuk dengan seprai
yang juga berwarna hijau.
Sehabis menunaikan kewajibannya shalat
maghrib, Alikha ingin membaca Al Quran. Tapi ternyata Al Quran Alikha tidak ada
di dalam tasnya. Mungkin tertinggal di rumah karena memang dia tadi pergi
dengan terburu-buru. Alikha hanya berzikir dan berdoa meminta perlindungan pada
Allah agar tidak terjadi apa-apa dengan dirinya di sini.
Tepat pukul dua belas malam, Alikha
terbangun. Dia mendengar suara berisik di lantai tiga. Suara yang seperti
tertahan. ”Toloooong…!” Samar-samar Alikha dapat mendengar suara jeritan
menahan kesakitan itu. Dengan keheranan Alikha bangun dari tidurnya. Rasanya ia
ingin ke lantai tiga untuk mengetahui ada apa sebenarnya. Belum habis
kebingungan Alikha, ada suara hentakan keras seperti suara kayu yang mengenai
sesuatu. Jeritan meminta tolong semakin jelas. Alikha tidak bisa hanya duduk
dan mendengarkan. Dia ingin tahu apa yang terjadi di atas. Tak peduli larangan
dari Pak Amir yang tidak memperbolehkan dirinya menuju ke lantai tiga.
“Pasti tidak ada yang beres dengan
sesuatu di lantai tiga,” gumam Alikha.
Dengan langkah pelan Alikha menaiki
tangga. Tubuhnya sedikit gemetar karena takut. Tapi niatnya untuk menolong
orang yang berulang kali menjerit tadi membuat Alikha berani.
Ternyata di lantai tiga hanya ada satu
pintu yang tertutup rapat. Pasti itu pintu kamar Pak Amir. Alikha mendekatkan
telinganya pada pintu. Benar, suara meminta tolong itu berasal dari dalam kamar
tersebut. Reflek, tangan Alikha mengetuk pintu dengan keras.
“Pak Amir… Tolong bukakan pintu, ada apa
di dalam? Saya mendengar suara orang meminta tolong,” seru Alikha keras.
Tiba-tiba suara itu berhenti. Sekarang hanyalah sunyi yang menguasai suasana.
“Dasar tidak sopan! Saya sudah melarang
kamu naik ke sini. Masih saja dilakukan,” marah Pak Amir pada Alikha. Pak Amir
berdiri di dekat pintu kamar yang hanya dibukakannya sedikit.
“Maaf, Pak. Saya hanya ingin tahu apakah
suara jeritan meminta pertolongan tadi benar-benar ada,” ujar Alikha memandangi
Pak Amir dari atas sampai bawah. Dia tercekat karena tangan Pak Amir berlumuran
darah. Sadar kalau tangannya dilihat Alikha, cepat-cepat ditariknya ke belakang
tubuhnya.
“Pak, saya ingin melihat isi kamar
Bapak,” kata Alikha yang kemudian mendorong pintu kamar dengan keras sekali
sehingga terbuka seluruhnya.
Pemandangan di dalam kamar Pak Amir
membuat jantung Alikha seakan meloncat keluar. Seorang wanita muda telah mati
terkapar di atas kasur yang berseprai putih. Namun warna putihnya sudah berubah
menjadi merah karena darah yang mengalir dari tangan kanan wanita itu yang
tidak ada lagi telapak tangan dengan jarinya. Tepat di atas bantal, telapak
tangan yang terpisah itu sudah di bungkus plastik bening. yang kotor oleh darah
yang masih keluar sedikit demi sedikit.
Seketika Pak Amir menarik tangan kanan
Alikha dengan sangat kuat. Diambilnya pisau besar dan tajam yang masih
berlumuran darah segar dari atas meja kemudian mengarahkannya ke tangan Alikha,
berusaha memotong tangan Alikha dengan kesetanan.
“Biadab kau, rasakan apa yang telah
terjadi pada wanita itu juga wanita-wanita lainnya!” jerit Pak Amir yang
sekarang telah berubah menjadi pembunuh yang begitu keji.
Alikha menendang tepat di bawah perut
Pak Amir dan ia bisa terlepas dari cengkraman tangan manusia tak berhati
tersebut. Cepat-cepat Alikha berlari menuruni tangga sampai ke lantai paling
bawah. Pintu keluar dikunci. Alikha ketakutan, ia ingin segera keluar dari toko
ini. Tapi semua pintu terkunci. Jendela kaca sudah dipecahkanya namun terali
besi menghalanginya untuk bisa keluar. Dia menjerit-jerit meminta pertolongan,
berharap ada orang lewat dan mendengar jeritannya. Tapi keadaan di luar sangat
gelap dan sunyi. Alikha menangis membayangkan sebentar lagi Pak Amir akan
memotong tangannya yang pasti akan mengenai urat nadinya dan pada akhirnya
nasibnya akan sama seperti wanita yang tadi dilihatnya. Mati dengan tak layak.
Terdengar langkah Pak Amir menuruni
tangga sambil memanggil-manggil namanya, ”Alikha… Kamu tak akan bisa kabur dari
sini. Tak ada yang bisa lolos dari saya. Telapak tanganmu yang halus dan cantik
itu akan menjadi telapak tangan yang ke sepuluh untuk saya santap. Kemarikan
tanganmu cantik, saya berjanji akan memotongnya dengan perlahan jika kamu tidak
berontak.”
“Dasar orang gila, mana ada orang yang
rela memberikan tangannya pada iblis seperti kamu!” teriak Alikha marah.
Kini Pak Amir berada di hadapannya dan
siap-siap mengayunkan pisau tajam ke arah tangan Alikha. Alikha berhasil
mengelak, hanya lengannya sedikit tergores dan mengeluarkan darah segar. Alikha
berlari menghindar ke arah belakang sambil menahan darah yang keluar dari
lengannya dengan sapu tangan. Dia terus berdoa dan berdoa. Hanya Allah yang
dapat menolongnya. Ia yakin itu. Jika memang harus mati, itu berarti sudah
menjadi takdirnya.
Terdengar jeritan keras. Alikha menoleh
ke belakang dan perlahan menuju ke depan. Pandangan menakutkan menghiasi
penglihatannya. Sungguh tak dapat dipercaya namun ini nyata dilihat Alikha.
Hantu wanita yang menakutinya siang tadi kini mencakar-cakar tubuh Pak Amir.
Beberapa saat kemudian mulai bermunculan hantu-hantu wanita lainnya yang
kesemuanya berpakaian putih penuh darah dan tangan kanan tanpa telapak dan
jari. Salah satu dari mereka memotong dengan sadis kedua tangan Pak Amir. Pak
Amir menghembuskan nafasnya yang terakhir seiring melemahnya jeritan
kesakitannya.
Hantu-hantu itu menghilang dan pintu
tiba-tiba terbuka. Alikha keluar dari toko itu sambil menjerit dan berteriak.
Entah sampai ke mana ia akan lari, Alikha tak tahu. Di tengah jalan Alikha
pingsan tak sadarkan diri.
Perlahan mata Alikha terbuka. Dia berada
di ruangan serba putih dan berbau obat-obatan. Seorang suster tersenyum
padanya. Alikha membalas senyum itu dan meringis ketika dirasakannya sakit di
lengan tangan kanannya yang sekarang telah diperban.
“Tenang dulu ya Alikha. Istirahat saja
karena kamu baru sadar dari pingsan semalaman.” kata suster dengan lembut pada
Alikha.
Papa dan mama Alikha yang juga berada di
sana langsung memeluk anak mereka dengan tangis haru. Mereka sangat bersyukur
karena Alikha berhasil selamat dari pembunuhan sadis oleh Pak Amir yang dulunya
adalah dokter di rumah sakit ini. Ketika Pak Amir bertemu dengan seseorang yang
mengajarkannya ilmu hitam Pak Amir berhenti menjadi dokter dan dia menghilang
tanpa berita. Pak Amir membuka toko obat dan jamu yang tidak pernah mau
melayani pembeli. Membangun toko itu hanyalah salah satu cara Pak Amir untuk
mendapatkan tumbal tangan sepuluh orang wanita yang akan diambil sebatas
pergelangan tangan saja guna membuatnya awet muda dan kaya tanpa usaha. Dia
sengaja memasang iklan di koran tentang lowongan pekerjaan khusus wanita muda
agar dengan mudah ia dapat menjebak para wanita itu.
Ajaran sesat yang di dapat Pak Amir dari
seseorang yang sekarang entah ada di mana itu membuatnya kehilangan akal sehat
dan berakhir tragis terhadap dirinya sendiri karena roh-roh sembilan wanita
yang berhasil dibunuhnya itu ternyata membalas dendam. Saat Alikha pingsan di
tengah jalan, ia ditemukan serombongan polisi yang baru pulang dari dinas. Polisi-polisi
curiga karena lengan Alikha terluka cukup dalam dan masih mengeluarkan darah.
Para polisi itu pun mengikuti jejak darah yang tercecer di jalanan dan
sampailah di “Toko Obat dan Jamu Laveindisc”.
Alikha mendengarkan penjelasan kedua
orang tuanya yang masih memeluk erat dirinya. “Pagi ini toko itu sudah
diamankan polisi, Sayang. Mayat wanita-wanita muda yang dibunuh itu akan segera
di makamkan, begitu juga dengan mayat Pak Amir,” kata ibu berbisik di telinga
Alikha. Alikha menghela nafas lega.
“Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah Ya
Tuhanku,” ucapan syukur tak henti-hentinya keluar dari mulut Alikha. Kini dia
semakin mengerti dan meyakini keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta. Segala
sesuatu yang mustahil sekali pun dapat terjadi jika Tuhan telah menghendaki.
Cerpen yang berjudul "Tumbal Telapak Tangan" ini merupakan sebuah karangan dari seorang penulis yang bernama Murni Oktarina. Kamu dapat mengikuti penulis melalui blognya di link berikut: www.murnioktarina.com.
Posting Komentar untuk "Cerpen Horror - Tumbal Telapak Tangan | Murni Oktarina"