Cerpen Cinta - Pertemuan Yang Tak Bisa Kuhindari | Ambiwwa Novita
Pertemuan Yang Tak Bisa Kuhindari - Ambiwwa Novita
“Aku tertegun melihatnya kembali, seseorang yang sudah lama kuhindari. Aku memang masih punya janji kepadanya, tapi aku memang tak bisa menepati. Perpisahan karena emosi terjadi karena pemikiran kilatku, aku arahkan segala cara supaya aku bisa terlepas dari dirinya, delapan tahun aku jalani hidup bersama dengannya, tanpa ada kepastian tanpa ada ikatan.
Bahkan, cincin bohongan yang sering
dipakai orang pacaran tak pernah dia berikan untukku, selama delapan tahun aku
menjalin cerita bersamanya, tak ada bunga mawar, tak ada bungkusan cokelat,
bahkan Bapak dan Mamah pun tak tahu akan kisahku dengannya, jika bertemu dia
selalu menanti diujung jalan, kisahku dengannya begitu datar”
Hari ini, suasana rumah begitu ramai.
Begitu banyak kepala lalu lalang, dan mereka menghujaniku dengan banyak
pertanyaan yang tak bisa kujawab, mereka bertanya penempatan bunga sampai
penempatan meja parasmanan. Ada rasa terbesit iri dan malu sendiri, entah kakak
macam apa aku ini. Kulihat adikku sedang khusu jalani masa pingitnya, hatiku
sakit tak karuan.
“Erika, tolong bantu mama potong
sayuran!”
“Kenapa sih mah, ga pake catering aja?”
“Begini nih kalau kelamaan hidup jauh
dari rumah sendiri, pengennya yang praktis-praktis aja!”
Memang sudah tak aneh, aku dan mamah tak
pernah akur. Selalu saja ada perbedaan mendampingi kami, aku pun akhirnya
bereskan lamunanku, aku menyerah kepada wanita itu dengan mengikuti
perintahnya. Aku kemudian terdiam, dan memikirkan betapa egoisnya diriku
beberapa hari yang lalu, aku begitu tak mengizinkan adikku menikah dengan
pilihannya, hanya karena alasan sepele, pilihan adikku ternyata adiknya Rendi,
dia adalah mantan kekasihku, entahlah aku harus menyebutnya apa mantan atau
apa, hubungan kami berakhir hanya karena faktor kejenuhanku dengan sifat cuek
dan datarnya.
Selama aku menjalani hubungan dengan
Rendi, aku tak merasa begitu banyak kenangan antara kami, hal teromantis yang
pernah ia beri hanya tanda smiley titik dua bintang di sms, hanya itu yang aku
dapatkan. Tak pernah ada peringatan hari jadian, tak pernah ada kecupan, dia
hanya mengenggam tanganku ketika aku akan menyebrang jalan, itupun layaknya
menyebrangkan nenek-nenek, tak ada kehangatan sama sekali. Tepat ketika usia
hubunganku delapan tahun aku meminta jeda pemberhentian kepadanya, aku meminta
supaya kita tidak bertemu dan berkomunikasi selama beberapa waktu dengan
memberikan kepastian bahwa aku akan kembali lagi.
“Kenapa sih harus pake cara gini, emang
ga ada cara lain? Salah aku dimana?”
“Udah lah Rendi, please aku udah bosen,
ini juga buat kebaikan hubungan kita”
“Terus sekarang kamu mau gimana?”
“Kita break dulu, kamu doain aku aja S2
aku di Belanda lancar”
“Ya uda deh! Aku tahu mungkin selama ini
kamu udah jenuh, aku sadar diri kok! Maafin aku ya Erika!”
Aku melihat betapa terkaca-kaca matanya,
ingin sekali aku menarik kembali semua perkataanku, tapi gengsi sudah begitu
menguasai. Hari berganti hari, Bulan berganti bulan, tak terasa aku sudah
setahun di Belanda, aku sepertinya begitu menikmati studiku di Belanda, Setiap
hari Rendi selalu mengirimiku pesan, tapi tak pernah ada yang aku balas. Aku
selalu menghindari online ketika dia sedang online, aku begitu enggan
kepadanya. Aku semakin melupakannya ketika Bryan mencuri hatiku, dia begitu
hangat dan manis tak seperti Rendi. Bryan, memberikan apa yang selama ini aku
impikan, bunga mawar, cokelat, dan genggaman tangan ketika bertemu, dia selalu
menatap mataku ketika berbicara, aku begitu mencintai Bryan.
Setelah kuliahku beres, aku dan Bryan
pun sepakat untuk bertunangan dan keluargaku pun menyetujui walaupun tadinya
Ibu tak menyetujui karena Ibu menyangka Bryan adalah bule, Bryan adalah orang
Indonesia asli, hanya namanya memang seperti artis hollwood. Kedatanganku ke
Indonesia untuk Tunangan pun diam-diam, tak member tahu siapapun kecuali
keluargaku, aku takut Rendi menemuiku.
Aku melupakan komitmen “break”, aku
lupakan semuanya, aku menyangka ah pasti Rendi juga sudah lupa. Tak ada Rendi,
Tak ada lagi janji aku pun memutuskan untuk semakin berkomitmen dengan Bryan,
Bryan menikah denganku tak lama setelah pertunangan kami. Lima tahun sudah, aku
menjalani hidup dengan Bryan, dan kami menetap tinggal di Belanda. Hidupku
terasa bahagia mempunyai suami seperti Bryan.
Namun…
Kehidupanku seakan kacau, seperti
digulung ombak, dadaku begitu sesak ketika aku harus kembali lagi ke Indonesia
untuk acara pernikahan adikku.
“Kakak, tanggal tujuh bulan Maret aku
mau nikah!”
“Ha? Serius dek”
“Asli… Tahu ga aku nikah sama siapa?”
“Sama laki-laki kan?”
“Ya iyalah, hehehe”
“Siapa-siapa?”
“Masih inget Andra ga?”
“Andra?”
“Iya, adiknya Rendi hehehe, ga nyangka
ya dia mau jadi suami aku, kita kenalan Cuma seminggu terus Andra ngajak nikah,
kakak-kakaknya ga jadi, eh malah adek-adeknya yang jadi ya Kak?”
Aku begitu lemas saat mendengar adikku
menceritakan siapa calon suaminya, aku menutup telpon dan kemudian menangis.
“Kamu kenapa, sayang?”
“Ga papa, kok!”
Bryan menatapku dengan penuh kehangatan
sekaligus kebingungan, aku tak mau sampai Bryan tahu, akan rasa galauku ini.
Aku pun mencari cara supaya bagaimanapun caranya aku harus batalkan pernikahan
ini, aku tak mau menatap wajah Rendi lagi. Aku pun menelpon Ibu, dan aku
ungkapkan semuanya akan rasa tak inginku untuk menyetujui pernikahan adikku.
“Bu, jangan gampang percaya lah sama
cowok yang baru kenal sama si Resti, masa kenal seminggu udah ngajak nikah!”
“Kamu toh kenapa sih? Dia anaknya baik”
“Namanya juga laki-laki bu!”
Aku semakin mendesak ibuku agar
memikirkan lagi rencana pernikahan adikku, tak lama kemudian aku menapat email
dari Resti.
“Kakak, kenapa sih? Cuma karena Andra
adiknya Rendi, kakak maksa-maksa Ibu supaya batalin pernikahan aku, ga adil
kak! Lagian, kak Rendi uda ikhlas ko ngelepasin kakak!”
Aku begitu dihadang bingung, aku memang
egois. Tapi, aku tak mau bila harus menatap Rendi lagi, aku takut dia akan menagih
janjiku, janji yang akan kembali lagi untuknya, aku berjanji meninggalkannya
hanya untuk beberapa saat, tapi ternyata aku sendiri yang mengingkari, aku
malu!. Keesokan paginya, kulihat Bryan di ruang tv sepertinya semalam dia tidak
tidur dikamar.
“Sayang, kamu tidur disini?”
“Iya, Erika!”
Aku terkejut mendengar dia menyebut
namaku, sejak aku pacaran hingga menikah aku tak pernah mendengar dia menyebut
namaku, dia selalu memanggilku dengan panggilan romantis.
“Kamu kenapa?”
“Ga papa! Aku Cuma minta kamu ngomong”
“Ngomong apa?”
“Ngomongin apa ya? Malah nanya ke aku?
Kita udah nikah, Erika, ga usah lah ada hal yang ditutup-tutupin lagi, aku tahu
semuanya!”
“Maksud kamu apa?”
“Rendi, Erika! Rendi! Siapa dia?”
Bibirku bergetar, aku tak tahu harus
menjawab apa, sepertinya dia membaca email yang dikirim oleh Resti. Tubuhku
lemas, badanku seperti tak bertulang rasanya, akhirnya dengan hati-hati aku pun
utarakan semuanya, kemudian aku menangis menyesali semua yang terjadi, aku
menangis dipelukan suamiku.
“Kamu, ke Indonesia besok sendirian ya,
aku nanti nyusul! Kamu disana bantu-bantu hajatan, jangan pas hari H baru
datang!”
“Kamu Marah?”
“Ga sayang, aku ga marah!”
“Beneran?”
“Eh, udah ah lupain! Maaf, aku emosi
barusan!”
Aku pun menangis dan memeluk suamiku
lagi, dia seakan memberiku jalan untuk bertemu dengan Rendi, dia menyemangatiku
supaya tidak takut jika aku harus bertemu Rendi, dia ajariku untuk tidak
menjadi pengecut. Aku pun langsung meminta maaf kepada adikku atas segala
keegoisanku.
Aku pun terduduk masih dengan melamun,
ketakutanku disini adalah ketika aku harus bertemu Rendi, aku mendatangi
adikku. Aku menata bunga, di kursi pengantin. Tiba-tiba, aku merasa ada sosok
yang sedang memperhatikanku. Aku pun kemudian menghadapkan badanku menuju arah
pintu, dan dia adalah apa yang selama ini aku takutkan, Rendi ada dihadapanku
lagi, dia tersenyum dan berjalan ke arahku.
“Halo, Erika!”
“Hai” aku menjawab dengan gugup
“Tenang saja, aku tidak akan menggigit,
walaupun aku sudah kamu permainkan”
Aku hanya diam, tersenyum kecut dan tak
berani menatap matanya.
“Maafkan aku, Rendi!”
“Hehehe, harusnya aku yang minta maaf.
Aku terlalu memperlakukanmu berlebihan, tak pernah ingin aku menyentuhmu, tak
pernah aku memelukmu, aku takut akan menodai nilai-nilai kehormatanmu, maafkan
aku!”
Aku begitu teramat malu, dan menunduk
diam. Ternyata, selama ini aku begitu salah menilainya, aku pikir dia tak
pernah mencintaiku, aku pikir dia tak pernah perlakukan aku secara istimewa,
ternyata aku yang terlalu cepat menilai.
“Selama, delapan tahun aku bersamamu!
Aku bahagia Erika, kamu selalu berikan aku pelajaran akan hidup, ya walaupun
buat sakit hati”
“Rendi…”
“Lucu ya! Besok, kamu berkebaya dan aku
berjas rapi tapi bukan kita yang saling mengikat janji, malah Andra dan Resti
yang mengikat janji dengan utuh”
“Hehehehe, iya! Kamu masih sendiri?”
“Ya iyalah, kan kata kamu aku harus
nunggu kamu, ya udah aku tunggu”
“Rendi, aku ga bisa kamu tunggu! Aku
udah menikah!” wajahku memucat dan salah tingkah
“Hehehehehe bercanda! Tenang saja
Nyonya, aku ga akan ganggu istri orang kok, ya doakan saja biar aku cepet-cepet
nemu”
Aku hanya mengangguk dan kemudian merasa
tenang, ternyata Rendi memang tak seseram yang aku bayangkan ketika bertemu
denganku lagi, aku pun mengakhiri pertemuanku dengan Rendi, aku tak mau
lama-lama berbincang-bincang dengannya, aku takut aku semakin menyesal, dan
kenangan akan masa lalu bermain-main mengitari aku dan Rendi. Keesokan, harinya
Andra dan Resti menikah, aku dan Rendi saling senyum saat saling bertatapan.
Tak lama kemudian, kulihat Bryan sedang bercakap-cakap dengan Rendi, aku begitu
terkejut dan was-was apa yang sedang mereka ceritakan. Tapi, tak ada
tanda-tanda mereka berdebat, mereka saling tertawa lepas. Setelah itu, Bryan
mendatangiku dan memberikan senyuman hangatnya untukku.
“Jangan nakal dan main-main sama janji
lagi ya sayang”
Cerpen yang berjudul "Pertemuan Yang Tak Bisa Kuhindari" merupakan sebuah cerita pendek karangan dari seorang penulis yang bernama Ambiwwa Novita.
Posting Komentar untuk "Cerpen Cinta - Pertemuan Yang Tak Bisa Kuhindari | Ambiwwa Novita"